Suharto dan Liem Sioe Liong, |
Hubungan saling menguntungkan antara mendiang Presiden Suharto dan mendiang pengusaha miliarder Liem Sioe Liong adalah basis buku berjudul The Pillar of Suharto’s Indonesia yang diluncurkan akhir Mei di AS.
Buku karangan suami-isteri Nancy Chng dan Richard Borsuk belum lama ini menjadi topik dalam forum diskusi di USINDO Washington. Nancy Chng membahas isi buku ketika diwawancarai Irna Sinulingga.
Nancy Chng, pengarang bersama The Business Pillar of Suharto’s Indonesia mengatakan buku itu adalah mengenai seorang pengusaha milyarder China yang sangat erat dengan Suharto dan punya hubungan emosional dengan Indonesia. Nancy Chng mengatakan ia menulis buku ini sebagai wartawan yang objektif. Buku ini bukan biografi resmi Liem Sioe Liong ataupun keluarga Liem tetapi adalah sebuah proyek independen oleh karena itu buku ini tidak semata-mata memuji pengusaha miliarder itu.
Chng mengatakan, "Saya kira basis buku ini adalah hubungan simbiotik mereka yang saling menguntungkan, karena Suharto ketika itu berkuasa ia bisa mengatakan kepada Liem ia bisa memperoleh monopoli atas ini dan itu dan lain-lain. Sebagai imbalan Liem Sioe Liong menyediakan uang untuk digunakan Suharto. Uang sangat penting untuk bisa berkuasa, jadi saya kira hubungan itu sama-sama menguntungkan dan saya sebut itu hubungan
Buku itu merincikan betapa besarnya pengaruh Lim Sioe Liong pada dunia bisnis Indonesia dan Presiden Suharto. Miliarder Liem menyentuh setiap aspek kehidupan di Indonesia, antara lain bahan pokok, seperti gandum dan terigu, Indomie, Indofood dan semua bisnis besar, industri mobil, pabrik semen dan lain sebagainya. Sebagian bersifat monopoli sebagian bersifat duopoly bersama dengan adik-tiri Suharto.
Chng mengatakan bukan hanya Liem Sioe Liong yang punya koneksi dengan Suharto. Banyak lagi pengusaha China yang menjadi kerabat Suharto tetapi Liem adalah cukong nomor satu dan paling dipercaya pada periode itu untuk menyediakan dana yang dibutuhkan Suharto. Dalam buku itu dijelaskan sistem apa yang digunakan Lim Sioe Liong untuk bisa mengumpulkan dana besar-besaran yang diminta Suharto.
Chng, seorang mantan wartawan Singapore Straits Times kini adalah penulis lepas dan jurnalis bidang politik. Untuk menulis buku ini ia dan suaminya Richard menemui Liem Sioe Liong pada masa kejayaannya meredup. Saat itu Lim Sioe Liong sudah tidak di Indonesia lagi tetapi ia sudah kembali ke kampung halamannya di Fukien, China. Liem meninggal dunia tanggal 10 Juni 2012 di Singapura.
Buku ini secara rinci menguraikan tentang asal-muasal perkenalan Lim Sioe Liong dengan Suharto sampai mereka menjadi sahabat seumur hidup. Chng dan suaminya Borsuk memulai proyek menulis buku ini sejak tahun 2006 jadi bisa dikatakan segala macam kroni-isme dan monopoli yang terjadi semasa era Suharto versi Lim Sioe Liong tercantum di dalamnya. Menurut miliarder itu adalah ikatan sekokoh ini antara mereka yang ikut membuat Suharto bisa memerintah Indonesia selama lebih 3 dasawarsa.
Satu hal yang tak banyak diketahui orang, kata pengarang itu adalah mengenai bantuan Liem Sioe Liong untuk warga China di Indonesia.
Chng mengatakan ia membantu banyak sekali orang China memperoleh kewarganegaraan dan ini adalah sebuah fakta yang tidak pernah dipublikasikannya. Dan Liem benar-benar membayar bagi kewaraganegaraan mereka dan membujuk Suharto supaya setuju membolehkan mereka menjadi warga negara Indonesia.
Buku setebal 580 halaman ini akan diluncurkan akhir bulan Mei ini di Amerika dan bulan Juni di Jakarta. Chng mengatakan buku The Business Pillars of Suharto’s Indonesia adalah hasil wawancara yang pertama disetujui oleh milyarder Liem Sioe Liong. Sebelum itu Liem tidak pernah bersedia diwawancarai oleh siapapun yang hendak menulis buku tentang dirinya. Jadi buku ini kata Chng merupakan sejarah, yang diperoleh langsung dari Lim Sioe Liong. Biarpun kita tidak suka membicarakan topik ini lagi, kita bisa memetik pelajaran dari situ, ujar Nancy Chng.
Buku ini diterbitkan oleh Institute of Southeast Asian Studies. Academic Publishers and Research Institute yang menyediakan fellowship bagi Nancy Chng.
VOA
No comments:
Post a Comment