.
Indonesia menjadi tuan rumah Pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berlangsung di bali pekan lalu.
Namun nampaknya pertemuan itu dituding sebagai pertemuan ajang untuk membela kelompok Negara kapitalis, dan dituding meminggirkan kelompok buruh dan petani. Itu sebabnya India berkeras menentang kesepakatan Paket Bali.
ASATUNEWS - Menurut Salamuddin Daeng, Peneliti dan pengamat ekonomi The Institute for Global Justice (IGJ) ada beberapa alasa mengapa kita harus menolak Pertemuan WTO di Bali.
Pertama, katanya, World Trade Organization (WTO) merupakan otak/mbahnya neoliberalisme, yang hendak melakukan liberalisasi perdagangan dengan menghapus segala bentuk perlindungan ekonomi domestik suatu negara, deregulasi keuangan dengan menemptkan sektor keuangan sebagai jasa dan uang sebagai komoditi perdagangan semata, dan privatisasi sektor publik dengan mendorong pembukaan investasi swasta pada sektor publik.
Kedua, menurutnya, WTO Bali Desember 2013 akan membawa agenda yang disebut paket Bali yang terdiri dari pembatasan subsidi pertanian, trade fasilitation/fasilitas perdagangan seperti penghapusan tarif/bea masuk, yang akan semakin membangkrutkan petani dan industri nasional.
WTO juga membawa agenda development yang isinya tidak lain adalah proyek utang dari lembaga keuangan global seperti Internasional Monetary Fund (IMF), Bank Dunia (WB), Asian Development Bank (ADB) dan berbagai bank investasi internasional, gerombolan tengkulak internasional tersebut menjerat negara-negara miskin dengan utang. Indonesia merupakan contoh nyata bagaimana sebuah negara dijerat dengan utang dan tunduk pada agenda asing.
WTO, tambahnya, merupakan induk dari berbgai perjanjian Free Trade Agreement (FTA) yang merupakan bentuk perjanjian internasional mengikat (legally binding). WTO dan FTA adalah sumber dari kehancuran perekonomian Indonesia. WTO dan FTA adalah perjanjian yang bersifat mengikat dan apabila dilanggar akan membawa Indonesia ke arbitrase internasional.
WTO , tegasnya, akan semakin menjerumuskan Indonesia dalam ketergantungan impor. Pembukaan impor/penghapusan tarif dan penghilangan segala bentuk perlindungan ekonomi domestik menyebabkan Indonesia tergantung pada impor pangan, impor bahan baku industri yang ahirnya menimbulkan defisit perdagangan yang besar.
Selain itu, WTO, tambahnya, akan semakin meningkatkan defisit neraca pembayaran. Agenda pembangunan dan pembukaan impor yang diusung WTO memicu peningkatan utang luar negeri. Selanjutnya utang luar negeri digunakan untuk membiayai impor pangan dan produk industri. Akibatnya akumulasi utang luar negeri jatuh tempo menyebabkan defisit neraca pembayaran yang besar akibat aliran modal keluar untuk membiayai impor, cicilan utang dan utang jatuh tempo.
Selain itu WTO menyebabkan semakin menyusutnya APBN. Kebijakan perdagangan bebas WTO melalui penghilangan bea keluar, penghapusan bea masuk, akan semakin menekan pendapatan negara. Akibatnya defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja negara kian membengkak yang menyebab negara kembali menyandarkan pembiyaan dari utang luar negeri.
‘’Defisit perdagangan, defisit transaksi berjalan dan defisit dalam neraca pembyaran telah meyebabkan semakin terperosoknya nilai tukar rupiah terhadap USD dan mata uang lainnya yang akan semakin meningkatkan/melipatgandakan utang luar negeri, harga-harga pangan impor, yang menghancurkan negara dan rakyat’’.
Ia juga menegaskan, WTO akan semakin memicu hancurnya pertanian dan industri nasional. APEC mendorong penghapusan subsidi pertanian dan subsidi domestik lainnya seperti subsidi dan menuntut ditegakkannya paten/haki dalam pertnian dan industri. Kesemuanya pada ahirnya akan mempermudah bisnis perusahaan multinasional dan merugikan kepentingan rakyat Indonesia.
WTO pada dasarnya menjalankan politik belah bambu, negara berkembang diinjak, sementara kepentingan negara maju dijujung. Dalam kasus gugatan tentang larangan impor tembako dan produk tembako ke Amerika Serikat (AS), meskipun badan penyelesian sengketa (DSB) WTO memenangkan Indonesia, namun negara AS tidak pernah mau menjalankannya dan WTO tidak menjatuhkan sangsi kepada AS.
‘’WTO akan menjadi alat bagi rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam meningkatkan popularitas dan keuntungan pribadi dengan mengobral pasar, kekayaan alam dan kekaayaan ekonomi negara kepada asing. Obral murah kekayaan alam, pasar Indonesia kepada asing jelas akan menguntungkan diri pribadi rezim SBY dan keluarganya atau pejabat di sekitarnya yang mendapatkan komisi dari asing hasil menjual bangsa dan Negara,’’ tambah dia.
Menurut dia, pelaksanaan WTO di Bali dan pertemuan APEC di Bali dilakukan tanpa persetujuan DPR, terutama dalam penggunaan anggaran negara dan pengerahan aparat keamanan negara. Dengan demikian ini merupakan bentuk korupsi pemerintahan SBY. Padahal agenda WTO telah secara jelas merugikan rakyat.
Menurut Salamuddin Daeng, WTO melanggar Pancasila, UUD 1945 dan Demokrasi. WTO dilalakukan secara exlusive, tidak melibatkan rakyat, tidak melibatkan lembaga perwakilan rakyat, namun dilakukan oleh segelintir elite eksekutif. Padahal semua keputusan yang diambil menyangkut kedaulatan negara dan keselamatan rakyat serta keselamtan kemanusiaan.
Selain itu, LSM Indonesia for Global Justice (IGJ) menginginkan Pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) jangan dijadikan sebagai ajang untuk sekadar mencari solusi yang memuaskan semua pihak terkait.
"Kami menyesalkan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan win-win solution (memuaskan semua pihak)," kata Direktur Eksekutif IGJ Riza Damanik di Nusa Dua, Selasa.
Menurut Riza, pernyataan kepala negara tersebut berpotensi membuat petani dan nelayan Indonesia menjadi terancam kepada hal yang lebih besar.
Ia berpendapat, pihaknya sebenarnya masyarakat miskin Indonesia saat ini tidak membutuhkan "win-win solution" tetapi butuh untuk meraih kembali hak-hak yang seharusnya mereka terima.
"Kita mesti melindungi warga kita dari malnutrisi, kita mesti melindungi pekerjaan kita, melindungi warga kita dari kemiskinan," ujarnya.
Riza menjelaskan, apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Eropa dengan memberikan subsidi besar kepada pertanian mereka sendiri namun di saat yang bersamaan melarang pemberian subsidi kepada negara-negara berkembang bukanlah "win-win solution".
Untuk itu, IGJ mendesak agar hak-hak masyarakat bawah termasuk petani dan nelayan dapat dipertimbangkan sepenuhnya dalam berbagai negosiasi terkait subsidi tersebut.
Sebagaimana diketahui, sejumlah LSM telah memobilisasi nelayan dan petani untuk menggelar unjuk rasa menolak WTO dan pertemuan kali ini dinilai sebagai kegagalan sistem multilateral dari organisasi itu.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan sistem perdagangan global harus memihak pada semua negara baik berkembang maupun maju karena pada hakikatnya perdagangan harus melibatkan semua pihak di posisi yang sama.
"Memberikan kesempatan pada negara miskin dalam perdagangan memberikan kesempatan mereka untuk berkembang. Kita harus meningkatkan kesempatan. Keberhasilan kita di Bali ini adalah bila dapat memberikan dorongan bagi ekspansi perdagangan global yang pada akhirnya membantu mengurangi kemiskinan," kata Presiden saat membuka sidang WTO di Nusa Dua Bali, Selasa (3/12).
Presiden mengajak semua pihak yang ada untuk bersama-sama mewujudkan adanya keseimbangan dalam perdagangan sehingga semua pihak mendapatkan keuntungan dan manfaat yang sama dari sistem perdagangan global yang disusun dan disepakati bersama
Konferensi WTO, negosiasi Paket Bali masih a lot
Negosiasi dalam Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (KTM WTO) ke-9 yang diharapkan menghasilkan Paket Bali masih berlangsung alot karena belum adanya kesepakatan khususnya antara India dengan Amerika Serikat dan negara maju terkait Paket Agrikultur atau Pertanian.
"Ada beberapa negara yang belum sepakat, seperti India dan Afrika Selatan," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, kepada para wartawan, di Nusa Dua, Bali, Kamis.
Menurut Gita, saat ini sikap India masih belum melunak terkait dengan salah satu poin yang terdapat dalam Paket Pertanian yakni terkait dengan solusi interim stok ketahanan pangan dan juga penggunaan harga referensi tahun 1986-1988.
Gita menjelaskan, meskipun hingga Rabu malam (4/12) mayoritas negara-negara anggota WTO mendukung untuk dibuahkannya Paket Bali, namun India masih bertahan dengan prinsip ketahanan pangan dan menginginkan adanya solusi permanen terkait hal itu.
"Saya telah melakukan pembicaraan dengan Dirjen WTO, Amerika Serikat, India dan juga Uni Eropa untuk mencari solusi," katanya.
Gita mengakui bahwa tidak ada pendekatan khusus yang dipersiapkan melainkan hanya murni menjembatani kepentingan antara negara maju dan berkembang tersebut.
"Tapi semuanya menyampaikan bahwa ingin keluar dari Bali dengan Paket Bali," ujar Gita.
Penyelesaian perundingan untuk menghasilkan Paket Bali masih bertahan dan belum menyetujui penerapan solusi interim stok ketahanan pangan.
Dalam negosiasi terkait dengan solusi interim tersebut, negara maju sesungguhnya telah menyetujui usulan negara berkembang untuk memberikan subsidi lebih dari 10 persen dari output nasional, namun juga memberikan jangka waktu terhadap pemberian subsidi tersebut.
Jangka waktu yang diberikan selama 4 tahun tersebut tidak diterima oleh India yang menginginkan adanya solusi permanen dan juga adanya penyesuaian harga yang lebih baru dan tidak lagi menggunakan referensi harga dari 1986-1988.
"Kalau saya melihat seluruh pihak optimis untuk bisa mendapatkan solusi permanen dalam waktu 4 tahun, namun India merasa harus ada jaminan langkah apa yang harus diambil jika setelah 4 tahun tidak ada keputusan permanen tersebut," katanya.
Sebelumnya, pada Rabu (4/12), Menteri Perdagangan dan Perindustrian India, Anand Sharma menegaskan bahwa negeri dengan penduduk kurang lebih 1,2 miliar jiwa itu tidak akan merubah sikap terkait dengan solusi interim stok ketahanan pangan.
"India tidak akan ada negosiasi atau kompromi terkait ketahanan pangan, publik butuh keamanan pasokan cadangan pangan dan aturan WTO harus dikoreksi," kata Sharma, dalam Plenary Session Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization ke-9, di Nusa Dua, Bali.
Sharma mengatakan, dikarenakan publik memerlukan keamanan terkait pasokan cadangan pangan tersebut, pihaknya menilai harus dirumuskan solusi permanen, bukan yang sementara saja. Saat ini, posisi India masih bertahan dan belum menyetujui terkait dengan penerapan solusi interim stok ketahanan pangan.
Dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 tersebut, Indonesia mengharapkan Paket Bali dapat disepakati, dalam paket tersebut berisikan "Trade Facilitation, Agriculture and LDCs".
Parlemen Eropa merasa yakin "Paket Bali" yang menjadi kesepakatan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) nantinya dapat mengatasi kesenjangan antara negara sedang berkembang dengan negara terbelakang.
"Paket Bali saya kira sangat penting karena akan membawa perubahan cepat pada sistem perdagangan multilateral dan bermanfaat bagi negara sedang berkembang dengan negara terbelakang," kata Jorg Leichtfried sebagai juru bicara Parlemen Eropa pada Konferensi Parlemen WTO di Kuta, Bali, Kamis.
Menurut dia beberapa negara sedang berkembang telah mengalami perubahan besar setelah akses perdagangan bebas dibuka.
"Memang perdagangan bebas tidak selalu otomatis (berdampak positif bagi perekomian suatu negara) karena yang terpenting dalam perdagangan bebas itu adalah asas keadilan untuk menghilangkan kesenjangan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat," kata Leichtfried.
Oleh sebab itu, dia menganggap kesepakatan yang dihasilkan dari Konferensi Parlemen WTO yang digelar di Kuta pada 2 dan 5 Desember 2013 itu sangat penting sebagai bagian dari upaya parlemen memanfaatkan pengaruh politiknya pada KTM WTO.
Dalam kesempatan itu pula, dia mengusulkan kepada WTO untuk memasukkan masalah hak asasi manusia (HAM), hak lingkungan, dan hak sosial setelah Paket Bali disepakati.
"WTO bisa memberikan sanksi kepada negara yang perdagangannya melanggar ketiga hak itu," ujarnya.
Menurut dia HAM dan kelestarian lingkungan serta hak sosial pekerja harus mendapat perlindungan dari sistem perdagangan multilateral.
Namun usulan Leichtfried tersebut tidak mendapatkan respons dari para peserta Konferensi Parlemen WTO, termasuk Indonesia. "Kita sepakati dulu saja Paket Bali sebelum berbicara mengenai HAM dan lingkungan," ujar Nurhayati Ali Assegaf, delegasi Indonesia pada konferensi tersebut.
Sementara itu, Kazutoshi Chatani selaku pakar ekonomi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mendesak WTO membedakan mekanisme pasar uang dan komoditas dengan pasar tenaga kerja.
"Perdagangan uang dan komoditas sangat mudah, apalagi sekarang era online. Tapi tidak demikian dengan pasar tenaga kerja. Karena yang kita tempatkan adalah orang sehingga butuh kebijakan yang tepat," katanya saat berbicara di depan 39 anggota parlemen dari 39 negara itu.
Ia mencontohkan industri tekstil yang saat ini daya saingnya berkurang. "Padahal untuk menjadikan seorang insinyur tekstil tidak bisa dalam waktu semalam. Kalau negara gagal dalam mengatasi pekerja tekstil, maka sudah barang tentu upah pekerja naik, sedangkan daya saingnya menurun," kata Kazutoshi.
Menurut dia, WTO harus bisa mengantisipasi dampak perdagangan bebas terhadap lalu lintas pekerja untuk menjaga fleksibilitas perekenomian di negara-negara anggota..
Parlemen Eropa merasa yakin "Paket Bali" yang menjadi kesepakatan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) nantinya dapat mengatasi kesenjangan antara negara sedang berkembang dengan negara terbelakang.
"Paket Bali saya kira sangat penting karena akan membawa perubahan cepat pada sistem perdagangan multilateral dan bermanfaat bagi negara sedang berkembang dengan negara terbelakang," kata Jorg Leichtfried sebagai juru bicara Parlemen Eropa pada Konferensi Parlemen WTO di Kuta, Bali, Kamis.
Menurut dia beberapa negara sedang berkembang telah mengalami perubahan besar setelah akses perdagangan bebas dibuka.
"Memang perdagangan bebas tidak selalu otomatis (berdampak positif bagi perekomian suatu negara) karena yang terpenting dalam perdagangan bebas itu adalah asas keadilan untuk menghilangkan kesenjangan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat," kata Leichtfried.
Oleh sebab itu, dia menganggap kesepakatan yang dihasilkan dari Konferensi Parlemen WTO yang digelar di Kuta pada 2 dan 5 Desember 2013 itu sangat penting sebagai bagian dari upaya parlemen memanfaatkan pengaruh politiknya pada KTM WTO.
Dalam kesempatan itu pula, dia mengusulkan kepada WTO untuk memasukkan masalah hak asasi manusia (HAM), hak lingkungan, dan hak sosial setelah Paket Bali disepakati.
"WTO bisa memberikan sanksi kepada negara yang perdagangannya melanggar ketiga hak itu," ujarnya.
Menurut dia HAM dan kelestarian lingkungan serta hak sosial pekerja harus mendapat perlindungan dari sistem perdagangan multilateral.
Namun usulan Leichtfried tersebut tidak mendapatkan respons dari para peserta Konferensi Parlemen WTO, termasuk Indonesia. "Kita sepakati dulu saja Paket Bali sebelum berbicara mengenai HAM dan lingkungan," ujar Nurhayati Ali Assegaf, delegasi Indonesia pada konferensi tersebut.
Sementara itu, Kazutoshi Chatani selaku pakar ekonomi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mendesak WTO membedakan mekanisme pasar uang dan komoditas dengan pasar tenaga kerja.
"Perdagangan uang dan komoditas sangat mudah, apalagi sekarang era online. Tapi tidak demikian dengan pasar tenaga kerja. Karena yang kita tempatkan adalah orang sehingga butuh kebijakan yang tepat," katanya saat berbicara di depan 39 anggota parlemen dari 39 negara itu.
Ia mencontohkan industri tekstil yang saat ini daya saingnya berkurang. "Padahal untuk menjadikan seorang insinyur tekstil tidak bisa dalam waktu semalam. Kalau negara gagal dalam mengatasi pekerja tekstil, maka sudah barang tentu upah pekerja naik, sedangkan daya saingnya menurun," kata Kazutoshi.
Menurut dia, WTO harus bisa mengantisipasi dampak perdagangan bebas terhadap lalu lintas pekerja untuk menjaga fleksibilitas perekenomian di negara-negara anggota.
Negosiasi yang terjadi pada Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (KTM WTO) ke-9 diharapkan mampu mencapai kesepakatan sehingga konferensi bisa menghasilkan Paket Bali.
"Hampir semua delegasi sudah beranggapan bahwa kita sudah sangat dekat untuk mencapai kesepakatan, terlalu mahal jika harus sampai gagal, itu yang kita coba yakinkan kepada seluruh anggota," kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi dalam jumpa pers, di Nusa Dua, Bali, Rabu.
Bayu mengatakan, saat ini posisi negosiasi telah mengalami perkembangan yang lebih cenderung adanya keinginan untuk menyelesaikan Paket Bali tersebut karena hanya tinggal satu langkah lagi untuk mencapai kesepakatan.
Saat ini, posisi India masih bertahan dan belum menyetujui terkait dengan penerapan solusi interim stok ketahanan pangan.
Dalam negosiasi terkai dengan solusi interim tersebut, negara maju sesungguhnya telah menyetujui usulan negara berkembang untuk memberikan subsidi lebih dari 10 persen dari output nasional, namun juga memberikan jangka waktu terhadap pemberian subsidi tersebut.
Jangka waktu yang diberikan selama 4 tahun tersebut tidak diterima oleh India yang menginginkan adanya solusi permanen dari hal tersebut.
"Tinggal sedikit lagi, jangan mencoba untuk membongkar paketnya karena akan menimbulkan masalah yang lebih luas. Kita harus fokus terhadap hal-hal yang belum diselesaikan," kata Bayu.
Menurut Bayu, berdasarkan pidato-pidato yang dibacakan oleh menteri-menteri dari negara anggota WTO, dia meyakini bahwa negara lain juga menginginkan adanya hasil dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-9 itu.
"Semua mengindikasikan bahwa ingin ada hasil dari Bali. Dan saya kira tidak ada hasil bukan merupakan pilihan yang akan dibawa oleh anggota WTO," kata Bayu.
Bayu mengatakan, pihaknya juga telah mengajak delegasi secara keseluruhan termasuk India untuk tidak lagi berbicara pada level ideologi atau kebijakan saja, akan tetapi justru harus ke pembicaraan ke arah lebih riil.
Dalam Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization ke-9 tersebut, Indonesia mengharapkan Paket Bali dapat disepakati, dalam paket tersebut berisikan Trade Facilitation, Agriculture, dan LDCs
Tolak WTO, LSM Indonesia Dukung Perjuangan India
Perjuangan pemerintah India melobi kemudahan perdagangan isu-isu pertanian dan pembangunan bagi negara-negara kurang berkembang, dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization, mendapatkan dukungan dari beberapa lembaga swadaya masyarakat. Salah satu dukungan kepada tim India pada konferensi kesembilan di Nusa Dua, Bali, ini adalah dari Indonesian People Aliance (IPA).
“Ini bicara soal kedaulatan, menyediakan, dan memenuhi pangan dalam negeri adalah bentuk perlawanan terhadap liberalisasi WTO,” kata juru bicara IPA, Ahmad, di Bali, Jumat, 6 Desember 2013. “Jelas, dengan ini membuktikan bahwa tidak ada yang dapat dipertahankan. Kami menuntut WTO harus di bubarkan,” kata dia.
Irhash Ahmady dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengatakan, konsep yang ditawarkan oleh India merupakan konsep perdagangan untuk rakyat. Di dalamnya juga menjamin perlindungan negara terhadap rakyatnya. “Indonesia semestinya mengikuti langkah India dan menjadi bagian dari negara berkembang menghadapi tekanan negara utara, khususnya Amerika. Tapi ini malah menjadi pelobi Amerika Serikat terhadap Indonesia agar menyepakati Paket Bali,” kata dia.
Adapun Rudi HB Daman, Komite Pengarah People Global Camp/PGC, meminta Indonesia menghentikan lobi dan negosiasi delegasi Indonesia dengan India. ”Tidak ada lagi negosiasi dalam WTO. Hentikan lobi yang dilakukan delegasi Indonesia kepada India dan bangun solidaritas antarnegara berkembang dengan semangat Dasa Sila Bandung,” ucapnya.
Para aktivis Gerakan Rakyat Indonesia Melawan Neokolonialisme-Imperialisme (Gerak Lawan) dan Social Movements for an Alternative Asia (SMAA) akan turun ke jalan untuk menolak Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (KTM WTO) di Bali bersamaan dengan pembukaan acara tersebut, hari ini Selasa (3/12/2013).
Ratusan aktivis yang datang dari berbagai penjuru dunia akan melakukan aksi di sekitar Lapangan Renon, Denpasar, mulai pukul 9.00 Wita-14.00 Wita. Protes ini akan dilakukan sekitar 1.000 petani, buruh, mahasiswa, perempuan, dan kaum muda dari 30 negara. Mereka akan berunjuk rasa mengenai penolakan terhadap WTO dan rezim perdagangan bebas.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengatakan Paket Bali adalah kesepakatan yang buruk bagi negara berkembang, jadi sangat tepat untuk ditolak.
“Kita dipaksa untuk menerima perjanjian yang mengikat di fasilitas perdagangan WTO, sementara subsidi tak diizinkan untuk petani kecil dan rakyat yang lapar. Peace clause di WTO merupakan usulan yang tak bisa diterima,” katanya, Senin (2/12/2013).
Kata Henry, gerakan aktivis tersebut tidak mau terikut dalam negosiasi WTO, apakah peace clause berlaku untuk empat tahun atau 10 tahun. Ia menegaskan WTO tidak melakukan apapun untuk petani dalam jangka panjang perdagangan bebas berarti kematian untuk petani.
“Benar, petani di India juga tak akan pernah menerima kesepakatan macam itu,” kata Yudhvir Singh dari Bharatiya Kisan Union (BKU), serikat tani terbesar di India yang telah hadir beberapa hari di Bali.
Henry meyakinkan unjuk rasa akan berlangsung tertib dan damai. Para aktivis telah menyiapkan lagu, tarian dan pendekatan budaya untuk Bali damai, serta mengajak rakyat umum untuk bersolidaritas dan menolak konferensi WTO di Bali.
Sebelumnya, dalam sebuah acara di GOR Yuwana Mandala, Tembau, Denpasar, Gerak Lawan bersama SMAA (sebuah koordinasi gerakan sosial Asia) menegaskan penolakannya terhadap KTT WTO karena selama 18 tahun WTO tidak melakukan apa-apa untuk petani.
Pablo Solon, Direktur Eksekutif Focus on the Global South, mengatakan KTM WTO tak akan menjamin kedaulatan pangan. Melalui fasilitasi perdagangan, akan lebih banyak impor untuk negera berkembang, menjatuhkan harga jual produk domestik, dan mendorong petani kecil keluar dari pasar,” ujarnya.
Puspa Dewy dari Solidaritas Perempuan menambahkan gerakan ini menyerukan berbagai alternatif pengganti perdagangan bebas—seperti kedaulatan pangan, mendukung petani lokal untuk pangan populasi lokal. “Alternatif kebijakan seperti kedaulatan panganlah yang dibutuhkan untuk mengakhiri kelaparan dunia, juga masalah kemiskinan. WTO justru akan memperkaya perusahaan besar saja dan memiskinkan rakyat, khususnya perempuan,” ketanya.
Sementara itu, Senin pagi, sejumlah elemen mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Nasional (FMN), melakukan aksi di depan Kantor Konsuler Agen Amerika Serikat, Denpasar. Puluhan mahasiswa membawa berbagai atribut spanduk bendera dan selebaran menolak KTM WTO.
WTO dituding sebagai awal liberalisasi perdagangan dunia yang akan menindas rakyat. Selain itu, WTO merupakan skema dagang Amerika yang mengeksploitasi alam, menyengsarakan buruh, petani dan kaum terpinggirkan lainnya.
“Pertemuan WTO merupakan skema politik imperialisme Amerika yang hanya menyengsarakan rakyat di di dunia karena itu harus ditolak,” ujar Humas FMN Revan Larung.
Ratusan polisi membuat barikade di selakang pagar berduri yang terletak di pintu masuk Kantor Konsuler Agen AS.
Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo menjelaskan jika kesepakatan berhasil dicapai, Paket Bali yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) akan dapat menggenjot perekonomian dunia senilai US$1 triliun per tahun dan menolong negara berkembang dan negara miskin kurang berkembang untuk menjadi lebih maju.
“Kesepekatan tersebut akan dapat mendorong negara berkembang masuk ke pasar global,” katanya, Selasa (3/12/2012).
Roberto menambahkan saat ini dibutuhkan kemauan politik dari pemerintah setiap negara untuk mendukung tercapainya kesepakatan di KTM WTO kali ini. Jika gagal, maka akan berdampak buruk pada perdagangan dunia. “Kita tidak dapat menunda-nunda lagi. Kita harus menyelesaikan pekerjaan ini jika ada kemauan politik. Tidak ada anggota [WTO] yang diminta melakukan hal yang tidak mungkin,” ujarnya.
Terkait berbagai demonstrasi penolakan KTM WTO, Roberto menilai apa yang dilontarkan demonstran, salah satunya adalah kebijakan WTO akan menyengsarakan kehidupan petani, tidak mendasar. Menurutnya, kebijakan ini justru akan meningkatkan kesejahteraan para petani di negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, menambahkan saat ini dibutuhkan edukasi bagi masyarakat dunia mengenai dampak positif dari kebijakan yang akan dicapai pada KTM WTO ini.
Sebagi contoh, Adhemar Mineiro, Economic Advisor to Trade Union Confederation of the Americas (TUCA) and Brazilian Network for Integration of Peoples (REBRIP), menilai KTM WTO hanya mementingkan liberalisasi dibandingkan dengan pengembangan negara-negara kurang berkembang.
Konferensi WTO di Bali Jadi Peluang Terakhir?
Konferensi WTO di Bali dimulai. Wakil yang hadir akan berupaya mengatasi halangan bagi perdagangan bebas. Namun, bagaimana jika gagal?
Konferensi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang ke-9 dimulai Selasa (03/12/13) di Bali. Delegasi dari 159 anggota WTO memiliki tugas berat pada pertemuan taraf menteri itu. Mereka harus berhasil menyelamatkan hasil pembicaraan dari apa yang disebut "Perundingan Doha".
Dari pertemuan itu seyogyanya timbul impuls bagi perkembangan ekonomi, yang mendatangkan keuntungan bagi negara berkembang dan negara industri maju. Para pakar menduga, perdagangan bebas di seluruh dunia akan menciptakan lebih dari 20 juta lapangan kerja baru, dan 18 juta di antaranya akan berada di negara-negara berkembang.
Proses yang dimulai 2001 di Qatar mencakup pembukaan pasar di seluruh dunia dan penghapusan pembatasan perdagangan. Perundingan Doha sejauh ini tidak sukses. Alasan utamanya adalah kepentingan dan minat yang berbeda-beda antara negara industri dan negara berkembang.
India Dianggap Kuncinya
.
Di Bali para wakil negara-negara anggota hendak merumuskan dan menyepakati sebuah paket tindakan, yang akan menggerakkan kembali proses yang berawal pada perundingan Doha. Tetapi apakah itu akan berhasil, sejauh ini tidak jelas. Direncanakan, perdagangan akan dipermudah lewat sistem cukai yang lebih sederhana. Selain itu subsidi pertanian akan dikurangi, dan pemberian bantuan bagi negara-negara yang paling miskin.
Dalam pertemuan terakhir, India menjadi hambatannya, karena tidak setuju jika subsidi pemerintah untuk bahan pangan dibatasi untuk kurun waktu tertentu. Jika India sekarang pun tidak mau melunakkan sikap, kesepakatan tidak akan tercapai. Karena AS diduga tidak akan mengubah sikap lagi. Tetapi semakin lama hasil perundingan Doha dibicarakan, semakin kecil kesempatan WTO untuk berhasil.
AS sudah lama mengambil langkah sendiri, yaitu dengan cara menandatangani kerjasama bilateral dan regional. Cina juga berunding dengan negara-negara Asia Tenggara, dan Uni Eropa mungkin dalam waktu dekat juga akan berunding dengan AS. Jadi pertemuan WTO di Bali nampaknya terbelah dua, antara membela kepentingan para petani dan buruh di Negara berkembang dengan rekan-rekan sejawat di Negara maju. Disinilah sikap kaku yang ditunjukkan Indonesia. (Dari Berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment