!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Monday, December 2, 2013

.Mengapa 'merindukan' sosok Suharto?

Habibie, Try Sutrisno dan Suharto

Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dan Suharto

Suharto umur 80an
Sukarno dan Suharto
.Mengapa 'merindukan' sosok Suharto?
(Laporan Khusus BBC Indonesia)
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/11/131125_lapsus_suharto_wawancara_asvi_warmanadam.shtml

Sosok Suharto belakangan diimpikan sebagian masyarakat Indonesia ketika kondisi ekonomi dinilai tidak membaik dan cita-cita reformasi dianggap tidak sesuai harapan.

Tidak ada yang tahu secara pasti sejak kapan kaos dan sticker bergambar Suharto mulai meramaikan lapak-lapak milik pedagang di kawasan Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sesuatu yang sebenarnya tidak terbayang akan terjadi pada tahun 1998 atau sesaat setelah dia mengundurkan diri dan sempat dikucilkan.

Sejumlah pedagang yang berada di Malioboro memperkirakan kaos bergambar Suharto mulai marak diperdagangkan sekitar bulan Juni lalu.
Motif kaos bergambar Suharto yang ditawarkan beragam mulai dari Suharto dengan pakaian militer kebesarannya hingga sosok Suharto yang tengah mengenakan pakaian safari sambil melambaikan tangannya.
Rata-rata kaos yang dijual seharga Rp30.000 itu memiliki tulisan dalam bahasa Jawa, “Piye kabare bro? Penak jamanku tho..” yang artinya kurang lebih adalah “bagaimana kabarnya bro? masih lebih enak di jaman saya kan.”
Sejumlah pedagang yang ditemui mengaku menjual kaos bergambar Suharto karena alasan ekonomi dan bukan politis.

“Saya jual kaos ini soalnya laku, juga banyak peminatnya, sehari saya bisa jual 20 kaos,” kata pedagang kaos di Malioboro, Adi Narto.
“Saya pernah dapat pesanan 40 kaos dengan gambar sama, biasanya yang laris kaos bergambar Suharto yang melambaikan tangan dan ada tulisan ‘piye kabare enak jamanku tho,’ ” kata pedagang lainnya, Supriyanto.

Memperbaiki citra Suharto

"Terus terang aja ini untuk mengembalikan nama baik Pak Harto, apa betul Pak Harto seperti dituduhkan dia suka menumpuk banyak kekayaan, sadis , terlibat pembunuhan. Kan yang melakukan pembunuhan itu pembantunya bukan Pak Harto".

Selain kaos dan sticker bergambar Suharto yang banyak dibeli, Museum Memorial Jenderal Besar H.M Suharto juga ramai dikunjungi orang.

Museum yang terletak di Kemusuk, Bantul, Yogyakarta ini baru berdiri pada 8 Juni lalu.
Pada akhr pekan pertama di bulan November lalu, museum itu ramai dikunjungi orang yang umumnya datang secara rombongan.

Pengelola mengatakan pengunjung bisa memasuki kawasan museum tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun.

“Kami berharap untuk anak-anak pelajar kita supaya mereka tahu bahwa di desa Kemusuk pernah lahir seorang anak desa bernama Suharto dan beliau bisa berkiprah dalam membangun bangsa dan negara bahkan karena kiprah beliau memimpin selama 32 tahun ,beliau mendapat sebutan bapak pembangunan nasional,” kata Humas Museum Suharto, Gatot Nugroho.

Sementara pengagas dan pendiri museum itu, Probosutedjo mengatakan pendirian museum merupakan bagian dari apa yang disebutnya sebagai upaya untuk mengembalikan nama baik Suharto.

“Terus terang aja ini untuk mengembalikan nama baik Pak Harto, apa betul Pak Harto seperti dituduhkan dia suka menumpuk banyak kekayaan, sadis , terlibat pembunuhan. Kan yang melakukan pembunuhan itu pembantunya bukan Pak Harto,” kata Probosutedjo.

“Tapi memang tujuannya untuk mencapai tujuan yang sebenarnya yaitu supaya bisa membangun dan tidak diganggu terus nanti pembangunankan rusak. Seperti kita lihat sekarang demonstrasi dimana-mana jadi karena demontarsi tidak menentu pembangunan tidak jalan.”
Pengelola museum mengklaim pengunjung yang datang ke museum telah mencapai lebih dari 93 ribu orang sejak berdiri bulan Juni lalu.

“Saya ingin mengajarkan kepada anak saya sejarah tentang Suharto, biar bisa membedakan zaman Pak Harto dengan zaman sekarang, kalau menurut saya enak zaman Suharto karena sekarang banyak kerusuhan,” kata Sri Murti, pengunjung asal Tempel, Sleman yang membawa dua anaknya mengunjungi Suharto.

Pengunjung lainnya mengatakan mereka ditugasi oleh sekolahnya untuk mengetahui sejarah tentang Suharto.

“Saya datang ke sini karena diminta guru di sekolah mempelajarai sejarah soal Suharto,” kata Junianto salah satu pelajar yang datang ke museum itu.

Kerinduan sesaat
Museum Memorial Jenderal Besar H.M Suharto banyak menghadirkan cerita dan diorama yang menggambarkan keberhasilan Suharto mulai dari perannya pada peristiwa tiga puluh September, Operasi Trikora di Irian Jaya hingga keberhasilan di masa pembangunan lima tahunan.

Namun anda tidak akan menemukan catatan kritis seputar Suharto saat dia masih berkuasa.

"Saya kira mereka mencoba untuk membalik lembaran sejarah bahwa Soeharto atau keluarganya dan rezim Soeharto tidak ditulis dalam catatan noda yang kelam dalam sejarah Indonesia, paling tidak itu yang mereka inginkan"
Najib Azca

Bagaimana dia memperlakukan orang-orang yang dituduh sebagai antek komunis atau penjelasan seputar kasus penculikan sejumlah aktivis menjelang Suharto lengser.
Cerita seputar penghentian penyelidikan terkait sejumlah kasus yang dituduhkan kepada Suharto juga tidak akan temui di tempat ini.
Sosiolog UGM, Muhammad Najib Azca mengatakan kerinduan orang terhadap Suharto sebagai pemimpin yang pernah dinilai gagal bukanlah hal aneh jika dilihat dalam konteks kondisi Indonesia yang sedang berada dalam masa transisi.

“Saya kira itu bukan sepenuhnya fenomena yang ganjil, fenomena seperti itu acap terjadi dalam negara yang sedang mengalami fase transisi dimana pada satu titik tertentu ada kejenuhan dimana proses demokratisasi yang berlangsung menemui kegagalan-kegagalan dan orang menengok ke masa lalu,” jelas Najib.

“Dan pada saat itu orang melihat figur pada masa lampau yang pernah menyediakan ketertiban dan kesejahteraan.”
Najib menganalisa kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh elit politik yang menjadi pendukung Suharto untuk kembali mengangkat namanya.
“Saya kira mereka mencoba untuk membalik lembaran sejarah bahwa Suharto atau keluarganya dan rezim Suharto tidak ditulis dalam catatan noda yang kelam dalam sejarah Indonesia, paling tidak itu yang mereka inginkan, “ tambah Najib.

Najib memperkirakan kondisi yang terjadi belakangan ini merupakan upaya yang dilakukan oleh orang-orang dekat Suharto untuk membersihkan nama Suharto dalam sejarah.

“Saya memang tidak melihat ini sebagai ancaman yang gawat, tetapi mereka paling tidak ingin membalikkan sejarah bahwa Suharto atau keluarga Suharto tidak tertulis dengan catata noda yang kelam dalam sejarah Indonesia,” kata Najib.

Suara korban Suharto
Sejumlah orang yang pernah menjadi korban dari kebijakan keamanan era Suharto menilai munculnya kerinduan orang terhadap Suharto harus direspon dengan perbaikan kebijakan dan sikap presiden dalam menangani sejumlah isu ekonomi dan politik.

"Saya diculik oleh intel militer dan dibawa ke sebuah lembaga intelijen selama enam hari, saya disiksa, tidak hanya dipukuli tapi juga disetrum, disundut rokok dan berbagai tindakan tidak manusiawi"
Hendrik Sirait

“Sebenarnya ini menyangkut kepemimpinan. Saat ini kita sudah masuk era demokratisasi. Tidak perlu harus surut kembali. ,“ kata AM Fatwa yang pernah dipenjara semasa pemerintahan Suharto.

Fatwa pernah dikenai pasal subversif dan divonis hukuman 18 tahun penjara karena dituduh terlibat dalam peristiwa kekerasan Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang menewaskan sembilan orang.

“Ini lebih masalah kepemimpinan yang tidak berwibawa dan tidak tegas. Ini yang disuarakan masyarakat. Kita kehilangan seorang pemimpin.”

Sementara korban kekerasan rezim Orde Baru lainnya, Hendrik Sirait mengatakan kecenderungan orang menengok ke masa Suharto karena kegagalan penuntasan sejumlah agenda reformasi.

“Saya melihatnya itu sebenarnya manifestasi protes terhadap situasi saat ini, yang menilai bahwa pemerintahan saat ini tidak jauh lebih baik dari orde baru bahkan dari sisi kesejahteraan sebagian kecil masyarakat menilai masa orde baru lebih baik,” kata Hendrik.

“Meskipun itu tentu saja keliru karena korupsi di masa orde baru sangat marak dan sampai sekarang KKN Suharto dan kroninya juga tidak dituntaskan.”

Sisi gelap
Hendrik yang pernah menjadi korban penculikan pada 1 Agustus 1996 karena aktifitasnya mendukung tokoh oposisi saat itu, Megawati Soekarnoputri, juga mengingatkan orang agar tidak lupa pada kebijakan keras Suharto terhadap lawan politiknya.

“Saat itu sangat represif dan tidak ada keterbukaan di seluruh sektor kehidupan masyarakat, dia melakukan itu untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.”

Hendrik yang terlibat dalam sejumlah aksi unjuk rasa mengritisi kebijakan Suharto sempat diculik dan mengalami penyiksaan oleh aparat keamanan dibawah pemerintahan Suharto.

“Saya diculik oleh intel militer dan dibawa ke sebuah lembaga intelijen selama enam hari, saya disiksa, tidak hanya dipukuli tapi juga disetrum, disundut rokok dan berbagai tindakan tidak manusiawi,” kenang Hendrik.
Sampai saat ini sebagai korban dia merasa kasus kekerasan pada masa orde baru belum diselesaikan secara tuntas.

Lembaran sejarah tentang cerita Suharto dan Orde Baru memang seharusnya tidak dikenang dari satu sisi terangnya saja tanpa melihat catatan gelapnya.

Dwifungsi ABRI, azas tunggal hingga P4
Ketika Presiden Suharto berkuasa lebih dari 30 tahun, sejumlah kebijakan di bidang keamanan banyak dilahirkan. Mulai konsep massa mengambang, Dwi fungsi ABRI, hingga penerapan azas tunggal.

Suatu saat, di sekitar tahun 1980-an akhir, Menteri Dalam Negeri Rudini mengatakan: “Biarkan rakyat desa tenteram sebagaimana adanya.”

Rudini mengutarakan hal itu ketika muncul kritik dari kalangan intelektual dan para politisi agar rezim Orde Baru mengakhiri kebijakan massa mengambang alias floating mass.
Ketika itu, Rudini mewanti-wanti bahwa pemerintah tidak mau ambil resiko. Dengan kata lain, desa tetap dijauhkan dari hingar-bingar politik.

Memang, semenjak kemenangan Orde Baru menggulingkan Orde Lama, ada semacam asumsi bahwa sebab kuat dari konflik-konflik politik pada masa lalu adalah karena ada sistem multi partai dan polarisasi ideologi.

Maka, yang ditempuh rezim Soeharto kemudian adalah proses de-ideologi. “Politik no, ekonomi yes,” begitulah.

Ungkapan ini kemudian diperkuat oleh serangkaian kebijaksanaan stabilitas politik yang dibuat oleh pemerintah demi merehabilitasi perekonomian.

“Untuk itu dilakukan upaya-upaya supaya tidak ada sikap kritis dari masyarakat. Rakyat dibungkam,” kata sejarawan dan peneliti LIPI Asvi Warman Adam, dalam wawancara dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, awal November 2013.

"Untuk itu dilakukan upaya-upaya supaya tidak ada sikap kritis dari masyarakat. Rakyat dibungkam..."
Peneliti LIPI, Asvi Warman Adam

Ada sejumlah kebijakan yang kemudian dilahirkan. Salah-satunya, menjelang Pemilu 1977, seperti dikemukakan Nazaruddin Sjamsuddin dalam buku Integrasi Politik di Indonesia (1989), pemerintah memutus mata rantai ideologi yang menghubungkan rakyat pedesaan dengan ideologi-ideologi partai politik.

Konsep massa mengambang, itulah perwujudannya yang dikonsepsikan pada 1971.
Artinya: pembebasan rakyat di daerah pedesaan terhadap kegiatan-kegiatan politik, memutuskan hubungan mereka dengan partai politik, kecuali di saat pemilu.
Dalam kerangka ini, PPP dan PDI saat itu dilarang mendirikan kantor ranting di desa-desa, seperti yang pernah dipraktekkan di zaman Orde Lama.

Konsep ‘menelanjangi’ desa dari jubah ideologi demi stabilitas politik, hanyalah salah-satu dari kebijakan Orde Baru yang sejak awal berorientasi menjauhkan masyarakat dari politik.

Asas tunggal
Selain itu, rezim Orde Baru juga menyeragamkan azas semua kekuatan politik di Indonesia, yang ditandai pidato Presiden Suharto di depan Sidang Papipurna DPR pada 16 Agustus 1982.

Menurut M Rusli Karim, dalam buku Nuansa Gerak politik era 80-an di Indonesia (1992), penyeragaman asas ini – yang dikenal dengan sebutan asas tunggal Pancasila -- merupakan ‘keampuhan’ Orde Baru dalam menghadapi kekuatan politik, terutama yang beraspirasikan Islam.

Suharto (kiri) membatasi masyarakat dari politik kekuasaan.

Pemerintah Orba, menurut Rusli Karim, “tidak ingin memberi peluang bagi kekuatan mana pun untuk menjadi kekuatan yang mampu menyaingi partai yang didukung pemerintah.”

Pencanangan Pancasila sebagai satu-satunya azas organisasi politik, menurut Nazarudin Syamsudin (1989), merupakan langkah pemerintah Orba untuk “menghindari perpecahan di kalangan elit politik”.

Namun jauh sebelumnya, yaitu pada 1967, pemerintahan Suharto melakukan apa yang disebut Harold Crouch dalam buku Militer dan Politik di Indonesia (1986), sebagai “pengebirian partai-partai politik”.

"Pemerintah Orba tidak ingin memberi peluang bagi kekuatan mana pun untuk menjadi kekuatan yang mampu menyaingi partai yang didukung pemerintah."

Saat itu, menurut Crouch, rezim melakukan langkah-langkah yang nantinya menjamin bahwa partai-partai akan dipimpin oleh orang-orang yang “bersedia patuh dan erat bekerja sama dengan pemerintah.”

Di sinilah, pemerintah kemudian “mencampuri” internal PNI, Masyumi (yang kemudian dipaksa menjelma menjadi Partai Muslimin Indonesia), serta NU sebelum Pemilu 1971.

Melalui “campur tangan melalui Opsus yang dipimpin Ali Murtopo”, menurut Crouch, Golongan Karya – yang didukung secara penuh oleh pemerintah Orba – meraih suara lebih dari 68 persen dalam pemilu 1971.

Tidak lama setelah Pemilu 1971, pemerintah menyederhanakan partai- partai politik alias penggabungan (fusi) menjadi tiga kekuatan sosial politik: PPP, Golkar dan PDI.

Dwi Fungsi ABRI
Setelah reformasi 1998, konsep dan implementasi Dwi Fungsi ABRI dikritik habis-habisan dan akhirnya “dicabut”.
Padahal, di masa Orde Baru, konsep ini sepenuhnya dilaksanakan, walaupun implementasinya dinilai kelewatan ketimbang konsep awalnya.

Sebutlah: hampir semua pejabat daerah dikuasai oleh perwira TNI, adanya kursi TNI di DPR hingga di kursi menteri, serta di perusahaan-perusahaan.

Padahal, menurut mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution, yang juga dikenal sebagai konseptor “Dwi Fungsi ABRI”, konsep “jalan tengah ABRI” itu intinya “peran ABRI... sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan peran yang sifatnya non-militer (sosial dan politik)”.
“Pikiran saya cuma satu, kita perlu mengadakan kerja sama. Kita menganggap kekuatan diri kita juga adalah kekuatan politik,” kata AH Nasution, dalam buku Jenderal tanpa pasukan, politisi tanpa partai, perjalanan hidup AH Nasution (1998).

"Karena ada rekayasa politik, partai-partai tidak punya pembina di tingkat bawah. Tapi Golkar sampai memiliki anggota yang jadi kepala desa. ABRI sampai ke Babinsa... Ini namanya permainan."

Karena itulah, dia mengaku kaget dengan penerapan “jalan tengah” ABRI di masa Orde Baru, yang ditandai antara lain “banyaknya orang-orang militer yang ditempatkan di berbagai perusahaan.

Baginya, penempatan itu tidak tercakup dalam pemahaman Dwifungsi.

Lebih lanjut, Nasution mengatakan, konsep Dwifungsi sekarang (saat Orde Baru) telah bergeser.
Menurut mantan Gubernur Lembahanas Letjen (purnawirawan) Hasnan Habib, dalam wawancara dengan harian NUSA (20 September 1999), pelaksanaan konsep Dwi Fungsi ABRI dalam perjalanannya mengalami “pelencengan”.

“Karena ada rekayasa politik, partai-partai tidak punya pembina di tingkat bawah. Tapi Golkar sampai memiliki anggota yang jadi kepala desa. ABRI sampai ke Babinsa... Ini namanya permainan,” kata Hasnan Habib, saat itu.

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Sampai di situ upaya sistematis rezim Orde Baru untuk menjauhkan masyarakat dari "penyakit" Orde Lama? Tunggu dulu.

Di masa Orde Baru, anda tentu masih ingat, setiap siswa sekolah atau mahasiswa baru wajib mengikuti “indoktrinasi” penanaman nilai-nilai Pancasila, sebagai syarat penting yang harus diikuti.
Indoktrinasi ideologi resmi Pancasila ini digelar secara sistematis oleh rezim Orde Baru, karena didasarkan asumsi bahwa Pancasila telah diselewengkan pada masa Orde Lama.

Nazaruddin Sjamsuddin (1989) mengatakan, sosialisasi nilai-nilai Pancasila, seperti melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), merupakan "salah-satu cara terbaik untuk membuat masyarakat menyadari, mengetahui dan menghayati ideologi negara."

Demi stabilitas politik, utamanya untuk menghadapi bahaya laten Komunisme, indoktrinasi Pancasila ini didahului kebijakan penerapan azas tunggal Pancasila di semua organisasi masyarakat dan parpol.

"Demi stabilitas politik, utamanya untuk menghadapi bahaya laten Komunisme, indoktrinasi Pancasila ini didahului kebijakan penerapan azas tunggal Pancasila di semua organisasi masyarakat dan parpol"
Klaim seperti ini terus dihidupkan, sehingga orang-orang atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah dianggap anti atau “merongrong” Pancasila.

Di luar kebijakan dan konsep massa mengambang, penerapan azas tunggal, Dwi Fungsi ABRI, hingga penataran P4, tentu saja ada beberapa istilah lainnya yang diidentikan dengan Orde Baru.

Apa itu? Sebutlah istilah: modernisasi, pertumbuhan ekonomi, demi pembangunan, ekstrim kanan-kiri, gerombolan pengacau keamanan (GPK), atau anti Pancasila.
Namun semenjak reformasi 1998 digulirkan, istilah-istilah Orde Baru seperti menjadi barang usang, dan terkadang menjadi bahan olok-olok, walaupun ada pula kebijakan seperti Keluarga Berencana (KB) dan Posyandu, yang dianggap berhasil dan kini akan dihidupkan lagi.

Peluang politik anak-anak Suharto
Maraknya kemunculan teks berupa tulisan pada kaus, buku, dan poster yang berisi pujian terhadap pemerintahan era Suharto oleh sebagian kalangan dimaknai sebagai cara untuk memuluskan jalan orang-orang dekat Suharto kembali ke panggung politik di Indonesia.

Namun anggota keluarga Suharto membantah akan memanfaatkan situasi saat ini untuk memuluskan jalan mereka kembali ke panggung kekuasaan.
.
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, menduga kemunculan teks yang memuja Suharto selain digunakan untuk merehabilitasi nama Suharto juga untuk melancarkan jalan politik orang-orang dekatnya.

"Istilah itu barangkali baru diucapkan satu kali, kemudian dikembangkan dalam rangka untuk merehabilitasi Suharto dan dalam rangka memuluskan putra-putrinya terjun kepolitik, serta membersihkan nama Suharto dari korupsi," kata Asvi.

Pihak keluarga Suharto mengatakan satu-satunya anak Suharto yang terjun dalam pemilu tahun depan adalah Siti Hediati Hariyadi yang kerap dipanggil Titiek Suharto.

Sebelumnya sejumlah anak Suharto, seperti Hutomo Mandala Putra atau Tommy Suharto dan Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut Suharto, sempat muncul di panggung politik pasca reformasi.

Tutut yang sempat menggunakan kendaraan Partai Karya Peduli Bangsa gagal kembali bersinar seperti saat aktif di Golkar pada dekade 1990-an

Tutut Soeharto pernah mencoba untuk kembali terjun ke panggung politik namun tidak berkembang.

Pada pemilu 2004 PKPB hanya mendapat 2,11% suara dan pada pemilu berikutnya di tahun 2009 suaranya turun drastis menjadi 1,40% sehingga tidak lolos electoral treshold.
Sementara Tommy sempat berniat kembali maju ke dunia politik lewat Partai Nasional Republik lewat pemilu tahun 2014.

Namun Partai yang diusung Tommy ini gagal lolos tahap verifikasi peserta pemilu 2014 yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Nasib serupa juga dialami oleh Ari Haryo Wibowo Hardjojudanto atau Ari Sigit yang sempat membuat Partai Karya Republik, PAKAR.

Seperti juga Nasrep, PAKAR juga gagal lolos tahap verifikasi yang digelar oleh KPU.

Menyisakan Titiek Suharto
Satu-satunya yang tersisa dari keluarga Suharto untuk terjun di politik tahun ini adalah Titiek Suharto.
Titiek merupakan calon anggota legislatif Partai Golkar dengan nomor urut satu dari daerah pemilihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Adik Suharto, Probosutedjo, mengatakan terjun ke politik tidak bisa lantas dimaknai sebagai keinginan menjadi presiden.

"Untuk menjadi presiden dari anak-anak Pak Harto tidak ada. Sekarang Titiek yang ingin jadi anggota DPR, itu sambil lalu saja, tidak serius," kata Probosutedjo.

"Saya katakan kepada mereka, tidak gampang untuk memimpin Indonesia," tambahnya.
Soal kiprah politik putra-putri Suharto, Probusetdjo mengatakan pihak keluarga tidak memberikan batasan.

"Sebenarnya kerinduan rakyat itu bukan pada keluarga Pak Harto semata, bukan karena Mbak Titiek itu putrinya Pak Harto maka rakyat akan serta merta memilih kerinduan mereka pada rezimnya."

Gandung Pardiman
Ketua DPD Golkar DIY Yogyakarta, Gandung Pardiman tidak menafikan jika kemunculan teks yang berisi pujian dan kerinduan terhadap masa pemerintahan Suharto akan memberikan keuntungan terhadap pencalonan Titiek Suharto dan kepentingan politik Golkar.

"Karena kita orang politik kalau itu diinginkan dan laku, ya kita gunakan tapi kan itu untuk orang-orang pinggiran saja. Sedang kalau orang kampus pasti akan krtitis terhadap soal itu," kata Gandung.

Perlu kerja keras juga
Gandung sendiri mengatakan masuknya Titiek bukan karena banyaknya orang memunculkan teks yang memuji Suharto seperti yang terjadi di Yogyakarta saat ini.

"Pencalonan Mbak Titiek ini agak mendadak dan tidak dirancang sebelumnya. Masalah pencalegan Mbak Titik ini diskresi (hak istimewa) Ketua umum Golkar. Kenapa kemudian Mbak Titiek yang dipilih, kami sendiri tidak tahu," kata Gandung kepada BBC Indonesia.

Apakah adanya kerinduan orang terhadap Suharto akan membuat jalanya Titik menuju Senayan semakin mulus?

"Sebenarnya kerinduan rakyat itu bukan pada keluarga Pak Hartosemata, bukan karena Mbak Titiek itu putrinya Pak Harto maka rakyat akan serta merta memilih kerinduan mereka pada rezimnya," kata Gandung.

"Jadi dengan sistem pemilu seperti ini siapa yang peduli, itu yang diperhatikan rakyat. Siapa yang responsif, aspiratif dan benar-benar terjun ke lapangan, dan (rakyat) tidak melihat you anaknya siapa," katanya.

Upaya 'memuluskan karier politik' anak Suharto
Keinginan 'menghidupkan' kembali sosok Suharto dan kebijakan keamanannya di masa Orde Baru, terlihat melalui pendirian Museum Suharto di Yogyakarta dan penyebaran kaus bergambar mantan penguasa Orde Baru itu.

Adik tiri Suharto, Probosutedjo mengatakan, dia mendirikan museum tersebut untuk membersihkan nama Suharto dari stigma buruk yang dilekatkan pada kakak tirinya itu..
Namun dia membantah berada di belakang pembuatan kaus Suharto yang dijual di tempat-tempat umum.

Sejarawan dan peneliti utama LIPI, Dr Asvi Warman Adam mengatakan, upaya tersebut tidak terlepas dari upaya untuk merehabilitasi Suharto dan dalam rangka memuluskan putra-putrinya terjun ke dunia politik.

"Itu untuk membersihkan nama Suharto dari korupsi," kata Asvi Warman Adam dalam wawancara dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, awal November 2013 lalu.
Berikut petikan wawancara dengan Asvi Warman Adam:

Sejak kapan istilah Orde Baru dikenalkan sehingga dikenal sampai sekarang?

Saya kira tahun 1966 atau akhir 1965. Diartikan Orde Baru itu sebuah orde yang menggantikan orde yang dipimpin oleh Sukarno, yaitu Orde Demokrasi terpimpin yang dianggap sebagai Orde Lama dan yang menggantikan itu adalah Orde Baru. Tetapi Sukarno sendiri mengatakan bahwa dia yang pertama kali berpidato tentang istilah Orde Baru, tetapi tidak dalam pengertian Suharto. Orde baru dalam arti zaman baru, ketika revolusi dianggap belum selesai, dan kita berjuang. Itu pengertian Orde Baru menurut Sukarno.

Dalam praktiknya, akhirnya istilah Orde Baru yang lebih banyak mendominasi di masyarakat adalah istilah yang dikenalkan oleh orang-orang di sekeliling Suharto ya? Menurut Anda apakah media berperan besar mengenalkannya?

Dua-duanya. Tentunya orang di sekeliling Suharto memakai istilah itu dan media secara konsisten juga menggunakan istilah itu. Tujuannya, pertama, untuk membedakan dengan zaman pemerintahan Sukarno. Dan kemudian Orde Baru dengan konotasi yang baru lagi, yaitu suatu zaman yang mengutamakan stabilitas pembangunan dan seterusnya.

Munculnya istilah pembangunan ekonomi yang menomorduakan pembangunan politik itu apakah merupakan desain yang disengaja atau sebuah keniscayaan dari situasi perubahan dari Sukarno ke Suharto?
"Pendekatan keamanan atau ke-otoriter-an Orba itu efektif, efektif secara ekonomi. Artinya, kalau pemerintah mau mengambil tanah atau membeli tanah dengan murah, itu tidak usah repot-repot. Jadi cukup dengan mencap orang yang tidak mau atau petani yang menolak itu sebagai antipembangunan, anti-Pancasila atau PKI."

Asvi Warman Adam
Ya, kalau kita lihat dari waktu sekarang, kita bisa mengatakan ada suatu desain. Tapi yang jelas waktu itu Suharto dihadapkan kepada masalah ekonomi yang sedang merosot, dan dia harus mengatasi. Dan untuk mengatasinya, dia perlu suasana yang mendukung. Yang mendukung itu artinya keamanan nasional yang stabil. Tetapi bukan hanya itu, Suharto juga membutuhkan regional yang aman. Makanya dia mendorong pembentukan ASEAN yang tujuannya mengamankan wilayah di sekitar indonesia.

Bisa Anda gambarkan secara garis besar apa yang terlihat di masa Orba ketika stabilitas politik diterapkan dan mengutamakan ekonomi atau pembangunan?

Ya, ekonomi atau pembangunan itu menjadi panglima, menggantikan apa yang sebelumnya disebut politik sebagai panglima, sehingga semuanya yang diutamakan pembanguan ekonomi. Untuk itu dilakukan upaya-upaya supaya tidak ada sikap kritis dari masyarakat. Rakyat dibungkam. Dan apa yang dikenal sebagai pelanggaran HAM terjadi. Itu dalam rangka untuk mensukseskan pembangunan, dengan segala harga.

Sepengetahuan Anda sejak kapan pemerintah mengenalkan istilah stabilitas politik dan kemudian menerapkannya?

Saya kira itu sejak awal Orde Baru, kenapa stabilitas politik menjadi penting. Saat itu pula sudah ada upaya penting untuk bersahabat dengan pihak-pihak negara adidaya. Dan, menurut saya, paling tidak, bisa dicatat sejak tanggal 15 Desember 1965. Karena, pada saat itu ada rapat di Istana Cipanas untuk membicarakan soal nasionalisasi perusahaan minyak asing Caltex. Pada saat itu, Suharto dengan naik helikopter dari Jakarta ke Istana Cipanas. Di Istana Cipanas, dia masuk ke dalam ruangan dalam rapat yang dipimpin oleh Waperdam Chairul Saleh. Dan dia mengatakan, Angkatan Darat tidak setuju dengan nasionalisasi Caltex. Nah, menurut saya, itu keberpihakan yang jelas dari Suharto dan Angkatan Darat, yaitu keberpihakan kepada negara adidaya. Dan saat itu pula dimulainya dualisme kekuasaan yang kongkrit.

Apakah kebijakan pada Pemilu 1971 yang melarang partai-partai politik melakukan kegiatan di desa-desa juga merupakan contoh kongkret dari kebijakan stabilitas politik?

Oh ya, jadi stabilitas politik sudah dirancang sejak awal. Terbukti partai politik tidak boleh melakukan kegiatan di desa-desa. Tapi tidak hanya itu. Pada tahun 1969, sekitar 10.000 tahanan politik golongan B di buang ke Pulau Buru. Jadi masyarakat diamankan, karena kemungkinan mereka dianggap akan menggangu stabilitas, menyebarkan sikap kritis kepada pemerintah, dan lain-lain. Jadi upaya itu jelas, pembuangan ke Pulau Buru pada tahun 1969.

Dari catatan sejarah, sejak kapan pemerintah Indonesia mulai 'mencairkan' pendekatan keamanan dan membuka sedikit demokratisasi?

Pada akhir pemerintahan Suharto semakin banyak tuntutan dan desakan. Pembuangan tapol ke pulau Buru, misalnya, berakhir pada 1979. Itu karena desakan internasional serta desakan demokratisasi dari dalam negeri. Itu menyebabkan lembaga Kopkamtib diganti menjadi Bakortanas. Walau fungsinya relatif sama, tetapi intensitass kegiatan tidak seagresif sebelumnya. Jadi di masa akhir pemerintahan Suharto, sudah mulai muncul perlawanan, mulai muncul gerakan mahasiswa, yang tidak hanya di kampus tetapi juga di tempat kost, di mana mereka melakukan perlawanan.

Dari perspektif sekarang, apa yang menjadi kelemahan dan kelebihan dari pendekatan keamanan di masa Orba dilihat dari sekarang, di mana ada anggapan awam bahwa pemerintah perlu memperkuat dirinya untuk menghadapi kelompok oposisi?

Pendekatan keamanan atau ke-otoriter-an Orba itu efektif, efektif secara ekonomi. Artinya, kalau pemerintah mau mengambil tanah atau membeli tanah dengan murah, itu tidak usah repot-repot. Jadi cukup dengan mencap orang yang tidak mau atau petani yang menolak itu sebagai antipembangunan, anti-Pancasila atau PKI. Selesai persoalannya. Tetapi kalau sekarang, pemerintah pusat atau daerah harus melakukan negosiasi dengan pemilik lahan yang akan dibebaskan, misalnya. Jadi memang demokrasi itu (menyebabkan) pembangunan lebih lambat. Tetapi barangkali itu lebih baik.

Dalam arti ketika ada sebagian kalangan meminta pemerintah sekarang melakukan 'copy taste' kebijakan Orba untuk menyelesaikan persoalan sekarang, itu merupakan langkah mundur ya?
"Jangan lupa, sekarang itu sudah muncul gambar tandingannya. Jadi ada gambar Ibu Tien Suharto yang berkata 'Jangan percaya suamiku, ngapusi (berbohong)'. Itu juga semacam tandingan."

Sejarawan Asvi Warman Adam
Ada hal positif di masa Orba. Misalnya Keluarga Berencana (KB). Itu salah satu aspek yang cukup positif. Dan di awal reformasi program itu diabaikan, tetapi sekarang mulai digalakkan. Saya kita ini baik dilakukan. Tapi menyangkut keran demokrasi yang sudah dibuka terlalu luas, tentu tidak mudah ditutup dengan begitu cepatnya.

Maksudnya?
Maksudnya, kita jangan terburu-buru melakukan pemilihan presiden secara langsung, dan kemudian sebelum itu dievaluasi, tiba-tiba ada pemilihan gubernur, bupati, walikota yang juga dilakukan secara langsung. Menurut saya, pemilihan langsung kepala daerah itu terburu-buru. Buktinya, saat ini, muncul keinginan pemilihan langsung bupati, gubernur dan walikota dikembalikan lagi seperti model Orba, meski ada penolakan.

Apa komentar Anda terhadap kemunculan poster, sticker atau gambar di belakang truk yang menyebutkan bahwa seolah-olah situasi Orba di bawah kepemimpinan Suharto lebih baik ketimbang sekarang?

Jangan lupa, sekarang itu sudah muncul gambar tandingannya. Jadi ada gambar Ibu Tien Suharto yang berkata 'Jangan percaya suamiku,ngapusi (berbohong)'. Itu juga semacam tandingan.

Menurut anda kemunculan gambar tentang kedigdayaan Orba melalui figur Suharto itu disiapkan sedemikian rupa untuk 'membangkitkan' kembali Suharto?

Gambar itu sendiri itu by design (didesain). Istilah itu barangkali baru diucapkan satu kali, kemudian dikembangkan dalam rangka untuk merehabilitasi Suharto dan dalam rangka memuluskan putra-putrinya terjun kepolitik, serta membersihkan nama Suharto dari korupsi.

Menurut Anda apakah masyarakat gampang terpedaya oleh kampanye seperti itu?

Orde Baru dibenci, Orde Baru dirindukan
Pendekatan keamanan yang pernah dipraktekkan rezim Orde Baru dianggap sebagai resep mujarab untuk mengatasi persoalan keamanan saat ini. Namun usulan ini dianggap mustahil ketika Indonesia memasuki proses demokratisasi.

Tidak ada aktivitas yang mencurigakan malam itu. Hanya terdengar lagu-lagu Natal dan doa-doa dari jemaat gereja di berbagai sudut kota Malang.

Sebagian warga kota kecil itu juga barangkali asyik di depan layar kaca. Lainnya mungkin sudah terlelap tidur.

Suasana khidmat dan ceria memang mewarnai malam itu.

Namun demikian, di sudut lain kota Malang, ada pria berjalan mengendap-endap. Dia barangkali berkeringat dingin dan sedikit gemetar. Dan dia membawa bahan peledak.

"Bleng!" Bom itu sengaja diledakkan. Memang, ledakan itu tidak sampai mengguncang aktivitas warga kota Malang malam itu. Ledakan itu bahkan tidak menggeser duduk pemirsa TV di atas.

"Mungkin cuma tabrakan, " begitu kesan salah-seorang bocah, setelah telinganya sempat mendengar bunyi keras itu tadi. Tak ada yang istimewa, begitulah pikirnya. Dan dia terus ceria.

api, ceritanya jadi lain, ketika pelaku cerita "malam yang tidak mencurigakan" itu divonis di meja Pengadilan Negeri Malang, pada Maret 1986.

Kasus peledakan gedung Sasana Budaya Katolik -- 24 Desember 1984 -- itu didakwa merongrong kekuasaan negara dan kewibawaan pemerintah. Pendeknya, subversi!
Bahkan, kasus ini menurut versi pengadilan, bertautan dengan kasus peledakan sembilan stupa dan dua patung Buddha di Candi Borobudur, 21 Januari 1985, dan peledakan bis Pemudi Express.

Ketiga pelakunya, masing-masing dihukum 20 tahun dan 13 tahun. Belakangan, terungkap aksi-aksi ini dilakukan oleh orang-orang yang -- menurut kriteria rezim Orde Baru -- sebagai "ekstrim kanan".

"Memang iklim kebebasan itu bagus, tapi ini sudah terlalu bebas, sehingga malah pemerintah sendiri kayak tidak punya kekuasaan untuk mengatur warga dengan baik."

Inilah sebutan yang dilekatkan pemerintah Orba kepada orang-orang atau kelompok-kelompok Islam politik, yang saat itu gencar menolak penerapan Pancasila sebagai azas tunggal serta mengkritisi sikap pemerintah yang dianggap alergi terhadap yang berbau Islam politik.

Dua bulan sebelumnya, yaitu pada September 1984, meledak aksi kekerasan yang dikenal sebagai "Peristiwa Tanjung Priok".
Ratusan orang disebut-sebut tewas akibat berondongan senjata aparat keamanan, dan lainnya ditangkap dan diadili.
Dalam perkembangannya, kasus ini menyeret sejumlah tokoh Islam politik dan oposisi yang bersikap kritis -- melalui sikap keprihatinan "lembaran Putih" -- terhadap "pendekatan keamanan" dalam menangani kasus Priok.
Obyektif melihat Suharto
Andi Mappetahang (AM) Fatwa, kelahiran 1939, adalah salah-seorang tokoh Islam politik, yang ditangkap, diadili dan dihukum 18 tahun oleh rezim Suharto dengan dakwaan melakukan subversi.
"Saya waktu itu bersama teman-teman, utamanya di Petisi 50, menyesalkan dan menyalahkan kebijakan Kopkamtib di dalam menangani peristiwa Priok," kata AM Fatwa kepada BBC Indonesia.

Liputan Majalah Tempo tentang latar belakang kerusuhan Tanjung Priok, 1984.
Saat itu dia juga mengkritisi sikap pemerintahan Suharto yang dianggapnya memarjinalkan hak-hak politik umat Islam, sehingga bersama rekan-rekannya di Petisi 50 menyimpulkan Suharto harus "diturunkan" dari kursi Presiden.
AM Fatwa akhirnya menjalani hukuman sembilan tahun penjara, sebelum bebas sementara dan dinyatakan bebas penuh sekaligus rehabilitasi politik pada 17 Agustus 1998.
Lebih dari dua puluh tahun setelah divonis bersalah karena sikap kritisnya, dan kemudian berujung pada pembebasannya, AM Fatwa mengatakan, sudah saatnya masyarakat kini bersikap obyektif terhadap pemerintahan Suharto.

"Sayangnya, kekurangan Pak Harto, dia membawa ABRI ikut serta di dalam politik praktis pemerintahan. Ini yang bikin fatal, sebab kapan dan di manapun, kalau aparat negara bersenjata diikutsertakan dalam politik pengelolaan negara secara langsung, di situlah akan membawa malapetaka."

AM Fatwa, mantan tapol 'Lembaran Putih' Kasus Priok 1984.

Menurutnya, tahapan-tahapan pembangunan dengan persyaratan adanya kestabilan politik yang dilakukan Presiden Suharto di masa Orde Baru mirip dengan yang dilakukan Lee Kuan Yew dengan "tangan besinya" ketika membesarkan Singapura, serta yang ditempuh Mahathir Muhamad di Malaysia.

"Sayangnya, kekurangan Pak Harto, dia membawa ABRI ikut serta di dalam politik praktis pemerintahan," kata mantan Wakil Ketua MPR (1999-2004) ini.

"Ini yang bikin fatal, sebab kapan dan di manapun, kalau aparat negara bersenjata diikutsertakan dalam politik pengelolaan negara secara langsung, di situlah akan membawa malapetaka," ujar anggota DPD Provinsi DKI Jakarta ini.

Namun demikian, ayah lima anak ini tidak setuju jika pendekatan keamanan ala Orde Baru dihidupkan kembali pada saat ini.

"Memang tidak perlu harus surut kembali. Kita ikuti saja langgam demokratisasi saat ini," ujarnya.

Persoalan yang justru harus dibenahi, menurutnya, adalah masalah kepemimpinan. Saat ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang berwibaya dan tegas, tambahnya.

"Kita kehilangan pemimpin. Pemimpin tidak hadir di masyarakat," kata AM Fatwa.

Tidak memaafkan Suharto
Bedjo Untung, usianya baru 17 tahun ketika terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam tragedi 1965.

Saat itu, keluarganya menjadi berantakan, ketika ayahnya dicap anggota Partai Komunis Indonesia, PKI, dan dibuang ke Pulau Buru, tanpa diadili, bersama ribuan orang-orang senasib seperti ayahnya.

Sementara diperkirakan lebih dari 500 ribu orang yang dikategorikan "kiri" saat itu mati dibunuh.

Bedjo Untung, kini berusia 65 tahun, saat itu kemudian dikejar-kejar oleh aparat Orde Baru, sebelum akhirnya tertangkap lima tahun kemudian.

"Masa muda saya hilang percuma," kata Bedjo. Dia kemudian dihukum penjara selama sembilan tahun, plus siksaan, tanpa melalui proses peradilan.

Dia kemudian menggambarkan kondisi ibu dan saudara-saudaranya: "Betul-betul sengsara ibu saya, dia berdagang keliling daerah untuk menghidupi anak-anaknya."

Lebih dari itu, saat meringkuk di balik terali besi, Bedjo mengaku "tidak tahu berapa lama di dalam tahanan... Bayangkan, kami hidup dalam ketidakpastian."

Akibat sikap pemerintah yang dianggap tidak tegas dalam menghadapi tekanan para politisi di DPR, masyarakat menumpahkan keluhannya karena harga sebagian barang-barang terlanjur naik perlahan tanpa bisa dikontrol.

Di Jakarta, seorang pegawai kantoran bernama Herdi, mengatakan, seharusnya pemerintah bisa mengontrol situasi, karena mereka memiliki kewenangan untuk melakukannya.

"Tapi dulu 'kan Pak Harto melakukan pengamanan seperti itu 'kan untuk kepentingan umum. Kalau sekarang terbuka tapi tidak terarah, bebas. Demo tiap hari. Masyarakat itu melihat amannya."

"Memang iklim kebebasan itu bagus, tapi ini sudah terlalu bebas, sehingga malah pemerintah sendiri kayak tidak punya kekuasaan untuk mengatur warga dengan baik," kata Herdi.

Ditanya apakah yang dimaksud kemampuan mengontrol kebebasan itu seperti yang dilakukan pemerintahan Suharto, Herdi menggelengkan kepalanya.

"Lebih baik ya sekarang diteruskan (pemerintahan hasil reformasi). Nggak mungkin kita kembali," katanya, seraya tertawa tipis.

Herdi kemudian menjelaskan: "Tapi, kebebasan yang diterapkan sekarang harus agak dikontrol. Jangan sampai terlalu bebas, sehingga kadang kayaknya pemerintah terlalu lamban untuk mengambil keputusan."

Tidak jauh dari kawasan Bundaran Hotel Indonesia, seorang mahasiswa yang mengaku bernama Hafiz, mengatakan, tidak ingin kembali pada situasi politik seperti ketika Suharto berkuasa, walaupun dia mengkritisi situasi saat ini yang dianggapnya "kelewat bebas."

"Terkadang, bahasa yang tidak pantas, bisa keluar di jaman sekarang. Tapi kalau balik ke belakang, itu sama saja dengan kemunduran. Saya pilih zaman sekarang," katanya.

"Jadi, sungguh aneh kalau seolah-solah Pak Harto adalah pahlawan. Saya jelas katakan Suharto adalah betul-betul pengkhianat bangsa yang telah membunuh rakyatnya sendiri."

Bedjo Untung, bekas Tapol PKI
Walaupun akhirnya dia dibebaskan pada 1976, pria kelahiran 14 Maret 1948 ini menyatakan, tidak dapat memaafkan Suharto, sang penguasa Orde Baru.

"Itu bukan karena kebaikan rezim Suharto, tapi keterpaksaan karena tekanan dunia internasional," katanya.
"Jadi, sungguh aneh kalau seolah-solah Pak Harto adalah pahlawan. Saya jelas katakan Suharto adalah betul-betul pengkhianat bangsa yang telah membunuh rakyatnya sendiri," kata Bedjo, yang kini memimpin Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966.

Jika mau membandingkan bagaimana Anda menilai situasi saat ini dan ketika Suharto masih berkuasa? Tanya saya.

"Memang sekarang relatif ada keterbukaan: kami boleh bicara, boleh rapat, boleh (menggelar) aksi, kemudian mengorganisasi kawan-kawan. Tetapi apa artinya kalau suara kami tidak ditanggapi. Dan kegiatan rekan-rekan kami di Yogyakarta dibubarkan," ujar Bedjo.

Kebebasan harus dikontrol
Suatu saat, di pertengahan 2013, ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dipaksa untuk menaikkan harga bahan bakar minyak, BBM, muncul pro dan kontra di masyarakat.

Para politisi di DPR dan mahasiswa bersuara keras dan menolak rencana kebijakan kenaikan harga BBM, sementara pemerintah terus menunda untuk mengambil keputusan, walaupun mereka berhak melakukannya.

Sebaliknya, seorang pekerja pengantar koran bernama Budi mengatakan, dirinya lebih merasa hidup tentram di zaman Suharto jika dibanding sekarang.

"Salary (pendapatan) memang lebih besar sekarang, tapi zaman Pak Harto, aman, barang-barang ada. Sekarang barang ada tapi harganya mahal," ungkapnya.

Dia mengaku perkembangan politik sekarang jauh lebih bagus dibanding dulu.

"Tapi dulu 'kan Pak Harto melakukan pengamanan seperti itu 'kan untuk kepentingan umum. Kalau sekarang terbuka tapi tidak terarah, bebas. Demo tiap hari. Masyarakat itu melihat amannya," katanya.

Jadi, "Saya pilih seperti zaman Pak Harto..."

Suharto dan pelanggaran HAM
Ketika ditemui BBC Indonesia di kediamannya di sebuah siang yang berhujan, Rabu (13/11/2013), Harmoko -- mantan Menteri Penerangan pada tiga periode kabinet pemerintahan Suharto (1983-1997) -- tetap terlihat bersemangat.

Walaupun kesehatannya agak terganggu, pria kelahiran Kertosono pada 1939 ini masih menyisakan gaya khasnya yang dulu sering dilekatkan pada dirinya: tawa khasnya, sentilan humor, serta ketangkasannya dalam menjawab pertanyaan.

Dari pengalaman bersentuhan langsung dengan Suharto ketika di dalam kabinet, stabilitas politik seperti apa yang diterapkan saat itu? tanya BBC.

Setelah Suharto mengundurkan diri, masyarakat mengungkit berbagai kasus pelanggaran HAM.

Menurutnya, kebijakan stabilitas politik yang ditempuh Orde Baru, tidak terlepas dari situasi di masa Orde Lama, yang disebutnya "terjadi gejolak".

"Ini, menurut Pak Harto, nggak bisa begini terus. Ini harus diadakan stabilitas politik dan keamanan," kata Harmoko, yang menjadi Ketua DPR/MPR ketika Suharto mundur dari kursi Presiden pada Mei 1998.

Dia mengatakan, stabilitas keamanan yang ditempuh Suharto kemudian didukung oleh masyarakat.

"Misalnya saat itu masyarakat ingin bubarkan PKI, Pak Harto kemudian membubarkan. Kemudian, penumpasan terhadap gang-gang atau preman-preman atau petrus, yang dilakukan oleh Pak Harto demi stabilitas politik," ungkapnya.

Bukankah kebijakan keamanan itu terbukti melanggar HAM?

"Misalnya saat itu masyarakat ingin bubarkan PKI, Pak Harto kemudian membubarkan. Kemudian, penumpasan terhadap gang-gang atau preman-preman atau petrus, yang dilakukan oleh Pak Harto demi stabilitas politik."

Harmoko, mantan Menteri Penerangan di masa Suharto berkuasa

Harmoko agak terdiam lama, kemudian berkata: "Ini untuk kepentingan siapa? Contoh, penegakan keamanan petrus (penembakan misterius)."

Lalu dia memberikan contoh yang dilakukan pemerintah Cina: "Saya baru saja bertemu Li Peng (mantan pemimpin RRC).
Kenapa youhabisin (pengunjuk rasa) Tiananmen? Karena saya melindungi yang sekian miliar."

Menurutnya, pendekatan keamanan yang diterapkan Orde Baru berjalan efektif sehingga melancarkan pembangunan ekonomi.

Dia lantas membandingkan dengan situasi nasional sekarang. "Buktinya, terjadi gejolak 'kan. Tidak percaya kepada pemerintah," kata Harmoko.

Itulah sebabnya, Harmoko mengaku tidak kaget dengan kemunculan opini di masyarakat belakangan yang merindukan kepemimpinan ala Suharto.

"Nah ini yang perlu diyakini bahwa masyarakat ini mendambakan situasi kepada jaman Pak Harto," katanya.

Kepemimpinan yang tersentralisasi
Namun demikian, pernyataan Harmoko ini diragukan oleh pengamat politik dan guru besar Universitas Muhammadiyah, Malang, Doktor Mas'ud Said.

Mas'ud mengatakan, dia mempertanyakan anggapan yang menyebut situasi keamanan saat Suharto berkuasa lebih baik ketimbang sekarang.

“Kalau dikatakan tidak aman, maka kita harus adil. Coba bandingkan dengan di Timur Tengah, yang proses demokrasinya berdarah-darah, yang bahkan 30 persen di Timur Tengah, masa pergantian presidennya, harus dibunuh atau dipenjara. Sedangkan di Indonesia dalam waktu 12 tahun 5 kali pemilu relatif aman,” kata Mas’ud Said.

Dia juga mengatakan, dalam hal tertentu, membandingkan situasi politik saat Suharto berkuasa dengan situasi pasca reformasi, tidaklah tepat.
“Pada saat itu, komando kepemimpinan tersentral pada istana atau pada presiden,” katanya.

Saat ini, menurutnya, masyarakat berpikir bahwa sentralisasi kekuasaan saat itu “rapi, tertata dan terkomando.”

Padahal, “masyarakat sendirilah yang sumuk (kepanasan), karena terserimpung hak-haknya, tidak bebas, sehingga meledaklah reformasi 1998,” kata Mas’ud menjelaskan.

"Kalau dikatakan tidak aman, maka kita harus adil. Coba bandingkan dengan di Timur Tengah, yang proses demokrasinya berdarah-darah... Sedangkan di Indonesia dalam waktu 12 tahun 5 kali pemilu relatif aman."

“Nah, kalau sekarang, masing-masing elemen non negara menjadi kuat. Ini ciri demokratis, tidak jadi masalah,” kata Mas’ud, yang saat ini menjadi asisten staf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bidang pembangunan daerah dan otonomi daerah.
Dengan kata lain, lanjut Mas'ud, gaya kepemimpinan ala Suharto tidak bisa diterapkan untuk situasi sekarang.

Dia mengakui, Presiden Suharto saat berkuasa telah mampu menciptakan sistem stabilitas yang luar biasa. Tetapi, “harus diingat dia berkuasa 30 tahun.”

“Maka kesimpulan saya, kita lanjutkan demokrasi ini dengan sirkulasi kepemimpinan yang baik, dan saya setuju untuk memperkuat kedaulatan NKRI dan mendorong kepemimpinan yang kuat,” katanya.
(Laporan Khusus BBC)






No comments:

Post a Comment