Meraba Dampak Kejatuhan Ekonomi Cina
Dalam dua minggu terakhir, beberapa bank investasi besar merilis laporan dengan
tema kejatuhan ekonomi di Cina. Mereka memang mengaku, “Kami tidak memprediksi
hal ini akan terjadi.” Tetapi bagaimana jika ekonomi Cina benar-benar jatuh?
Apakah ekonomi dunia akan ikut jatuh?
Sumber kekhawatiran ini selalu bersumber dari akhir
kebijakan easy money Amerika Serikat (AS), yang selama ini menyokong ekonomi
negara berkembang. Akhir banjir kredit Federal Reserve, bank sentral AS,
menimbulkan kecemasan bahwa negara berkembang dapat menghadapi krisis
likuiditas. Negara yang rawan biasanya memiliki defisit perdagangan dan fiskal
yang tinggi. Mereka yang rentan ini juga mencatat lonjakan kredit berlebihan
serta risiko nilai mata uang. Kecemasan ini berujung pada berkurangnya
kepercayaan secara luas.
Investor paling cemas dengan negara-negara yang dilanda
ketidakstabilan politik, seperti Venezuela, Argentina, dan Turki. Negara-negara
dengan masalah struktural seperti India, Brasil, Indonesia, dan Afrika Selatan
juga masuk radar kekhawatiran investor.
Namun, seperti yang sering dikatakan pemimpinnya, Cina
berbeda. Negara Tirai Bambu memiliki cadangan devisa besar dan pertumbuhan
ekonomi yang masih kuat. Produk Domestik Bruto (PDB) Cina hanya melamban
sedikit ke 7,7% on year pada kuartal IV, dari 7,8% pada kuartal III. Cina
mencatatkan pertumbuhan ekspor 10,6% on year pada Januari.
Tetapi data itu tidak menghilangkan kekhawatiran
investor. Raksasa ekonomi Asia itu memang sangat terkait dengan negara
berkembang lain. Cina juga berisiko mengalami krisis kredit dan utang, serta
berpotensi dilanda sejumlah krisis internal.
“Mengingat Cina adalah negara berkembang terbesar di
dunia dan menyumbang lebih dari 25% dari total pertumbuhan PDB global sejak
2010, kelambanan drastis ekonomi Cina kemungkinan akan memengaruhi setiap orang
dan setiap negara,” kata UBS dalam laporannya, “How Might a China Hard Landing
Affect the World.”
Berdasarkan jajak pendapat sejumlah investor di Asia,
Societe Generale menyimpulkan beberapa faktor yang diyakini dapat menyebabkan
berkurangnya kepercayaan investor: membekunya pasar kredit, penarikan dana
besar-besaran dari bank, atau default. Ada tiga sektor yang rawan default,
yakni obligasi perusahaan, “produk manajemen kekayaan” yang diterbitkan bagi
investor, ataupun lembaga keuangan di sektor investasi informal Cina (shadow
banking) yang tidak diawasi dengan ketat.
Risiko lainnya yaitu kesalahan kebijakan dari pemerintah.
Badan regulator Cina tengah berupaya memperketat likuiditas, menangani masalah
shadow banking, serta membatasi kredit dan obligasi pemerintah daerah. Salah
langkah dalam kebijakan soal ini dapat memicu krisis yang sebenarnya berusaha
dicegah pemerintah.
Di tingkat global, UBS melihat tiga area yang sangat
dirugikan oleh kejatuhan ekonomi Cina. Yang paling besar dan jelas tentunya
adalah negara yang bekerja sama di bidang perdagangan dengan Cina. Eksportir
komoditas besar dan negara tetangga Cina adalah yang paling rawan jika ekonomi
Cina jatuh, terutama Mongolia, Taiwan, Australia, Korea Selatan, Jepang, dan
negara-negara Asia Tenggara.
Kerja sama keuangan adalah wilayah yang paling rawan berikutnya.
UBS meyakini kerugiannya tidak akan sebesar risiko dari perdagangan Cina,
lantaran Beijing masih mengontrol alur kapita dengan ketat.
Kejatuhan ekonomi Cina juga bisa merugikan pasar dunia
melalui penularan sentimen negatif, yakni ketika hilangnya kepercayaan menyebar
pesat dengan konsekuensi tak terduga. Krisis keuangan Asia 1997 dipicu oleh
devaluasi mata uang di Thailand dan Filipina. Tak disangka, jatuhnya mata uang
kedua negara itu berpengaruh pada pasar Asia lain yang dasar ekonominya kuat, seperti
Singapura dan Hong Kong.|ASWJ
No comments:
Post a Comment