!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Saturday, February 22, 2014

Meraba Dampak Kejatuhan Ekonomi Cina

Meraba Dampak Kejatuhan Ekonomi Cina

Dalam dua minggu terakhir, beberapa bank investasi besar merilis laporan dengan tema kejatuhan ekonomi di Cina. Mereka memang mengaku, “Kami tidak memprediksi hal ini akan terjadi.” Tetapi bagaimana jika ekonomi Cina benar-benar jatuh? Apakah ekonomi dunia akan ikut jatuh?

Sumber kekhawatiran ini selalu bersumber dari akhir kebijakan easy money Amerika Serikat (AS), yang selama ini menyokong ekonomi negara berkembang. Akhir banjir kredit Federal Reserve, bank sentral AS, menimbulkan kecemasan bahwa negara berkembang dapat menghadapi krisis likuiditas. Negara yang rawan biasanya memiliki defisit perdagangan dan fiskal yang tinggi. Mereka yang rentan ini juga mencatat lonjakan kredit berlebihan serta risiko nilai mata uang. Kecemasan ini berujung pada berkurangnya kepercayaan secara luas.

Investor paling cemas dengan negara-negara yang dilanda ketidakstabilan politik, seperti Venezuela, Argentina, dan Turki. Negara-negara dengan masalah struktural seperti India, Brasil, Indonesia, dan Afrika Selatan juga masuk radar kekhawatiran investor.

Namun, seperti yang sering dikatakan pemimpinnya, Cina berbeda. Negara Tirai Bambu memiliki cadangan devisa besar dan pertumbuhan ekonomi yang masih kuat. Produk Domestik Bruto (PDB) Cina hanya melamban sedikit ke 7,7% on year pada kuartal IV, dari 7,8% pada kuartal III. Cina mencatatkan pertumbuhan ekspor 10,6% on year pada Januari.

Tetapi data itu tidak menghilangkan kekhawatiran investor. Raksasa ekonomi Asia itu memang sangat terkait dengan negara berkembang lain. Cina juga berisiko mengalami krisis kredit dan utang, serta berpotensi dilanda sejumlah krisis internal.

“Mengingat Cina adalah negara berkembang terbesar di dunia dan menyumbang lebih dari 25% dari total pertumbuhan PDB global sejak 2010, kelambanan drastis ekonomi Cina kemungkinan akan memengaruhi setiap orang dan setiap negara,” kata UBS dalam laporannya, “How Might a China Hard Landing Affect the World.”

Berdasarkan jajak pendapat sejumlah investor di Asia, Societe Generale menyimpulkan beberapa faktor yang diyakini dapat menyebabkan berkurangnya kepercayaan investor: membekunya pasar kredit, penarikan dana besar-besaran dari bank, atau default. Ada tiga sektor yang rawan default, yakni obligasi perusahaan, “produk manajemen kekayaan” yang diterbitkan bagi investor, ataupun lembaga keuangan di sektor investasi informal Cina (shadow banking) yang tidak diawasi dengan ketat.

Risiko lainnya yaitu kesalahan kebijakan dari pemerintah. Badan regulator Cina tengah berupaya memperketat likuiditas, menangani masalah shadow banking, serta membatasi kredit dan obligasi pemerintah daerah. Salah langkah dalam kebijakan soal ini dapat memicu krisis yang sebenarnya berusaha dicegah pemerintah.

Di tingkat global, UBS melihat tiga area yang sangat dirugikan oleh kejatuhan ekonomi Cina. Yang paling besar dan jelas tentunya adalah negara yang bekerja sama di bidang perdagangan dengan Cina. Eksportir komoditas besar dan negara tetangga Cina adalah yang paling rawan jika ekonomi Cina jatuh, terutama Mongolia, Taiwan, Australia, Korea Selatan, Jepang, dan negara-negara Asia Tenggara.

Kerja sama keuangan adalah wilayah yang paling rawan berikutnya. UBS meyakini kerugiannya tidak akan sebesar risiko dari perdagangan Cina, lantaran Beijing masih mengontrol alur kapita dengan ketat.


Kejatuhan ekonomi Cina juga bisa merugikan pasar dunia melalui penularan sentimen negatif, yakni ketika hilangnya kepercayaan menyebar pesat dengan konsekuensi tak terduga. Krisis keuangan Asia 1997 dipicu oleh devaluasi mata uang di Thailand dan Filipina. Tak disangka, jatuhnya mata uang kedua negara itu berpengaruh pada pasar Asia lain yang dasar ekonominya kuat, seperti Singapura dan Hong Kong.|ASWJ

No comments:

Post a Comment