Undang-Undang OJK Tidak Berpihak
kepada Rakyat dan Ekonomi Kerakyatan
Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan mandat yuridis Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia, yang menyatakan “Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-undang”. Namun, sebagaimana diketahui, mandat yuridis tersebut merupakan rencana besar International Monetary Fund (IMF), sebagai bagian dari paket kerjasama dengan Indonesia, demikian SIARAN PERS
Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa
Kamis, 27 Februari 2014
Dalam kerja sama itu, IMF menginginkan dibentuknya sebuah lembaga yang terpisah dari Departemen Keuangan dan bank sentral, yang diharapkan dapat menyiapkan industri perbankan nasional agar mampu menjadi pelaku global dengan inspirasi dari Financial Supervisory Agency (FSA) di Inggris. Padahal, terbukti kemudian, FSA gagal total dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Undang-Undang Bank Indonesia yang menjadi dasar pembentukan OJK sendiri sebenarnya adalah undang-undang yang dimaksudkan untuk menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan bank, bukan undang-undang yang mengatur pengawasan sektor jasa keuangan non-bank dan jasa keuangan lain. Karena itu, Undang-Undang Bank Indonesia baik secara keseluruhan meupun secara khusus melalui pasal 34 ayat (1)-nya tidak dapat dijadikan dasar sebagai pembuatan undang-undang yang mengatur sektor jasa keuangan non-bank dan jasa keuangan lain. Sektor jasa keuangan non-bank dan jasa keuangan lainnya telah diatur dalam sejumlah undang-undang, yang secara khusus mengatur sektor dimaksud berikut pengawasannya.
Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia juga bukan produk hukum yang lebih tinggi kekuatannya atau lebih besar mandatnya dibandingkan dengan undang-undang yang secara khusus mengatur sektor jasa keuangan non-bank dan jasa keuangan lain, berikut seperangkat kewenangan pengawasannya. Dengan kata lain, undang-undang yang mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan dan jasa lain memiliki dasar konstitusional yang lebih kuat, tapi malah dinegasikan dan dikalahkan oleh Undang-Undang OJK yang sama sekali tidak memiliki landasan konstitusional.
Fungsi pengawasan dan pengaturan bank sejatinya merupakan tugas konstitusional Bank Indonesia, yang diturunkan langsung dari ketentuan Pasal 23D UUD 1945, yang diatur melalui Undang-Undang Bank Indonesia. Dengan demikian, Bank Indonesia lebih memiliki landasan konstitusional dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank.
Sementara itu, OJK merangkum fungsi, tugas, kewenangan, dan institusi pengaturan dan pengawasan bank (bersama dengan kegiatan jasa keuangan di pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain) ke dalam salah satu bagian dari keseluruhan fungsi, tugas, dan wewenang OJK sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6 UU OJK.Padahal, kegiatan jasa keuangan semua itu merupakan kegiatan keuangan yang bersumber dari pengaturan peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dan; peraturan perundang-undangan lainnya dalam lingkup Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Dengan demikian, nilai konstitusionalnya tidak setara dengan kegiatan perbankan.
Sifat OJK yang meleburkan tugas dan kewenangan pengaturan dan pengawasan bank, kegiatan jasa keuangan di pasar modal, dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya menimbulkan konsekuensi terhadap aplikasi Basel II (dan Basel III) dan siapa yang akan mewakili Indonesia dalam forum bank sentral seluruh dunia. Secara fungsi dan kewenangan, Bank Indonesia sudah tidak memiliki kelayakan untuk memerankan diri menjadi wakil Indonesia.
Kata”independensi” dalam Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia oleh OJK dicangkok secara bulat melalui ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang OJK, yang menyebutkan “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
Kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang OJK tidak menemukan cantolannya dalam konsideran Undang-Undang OJK, undang-undang yang mendasarkan pijakannya antara lain pada Pasal 33 UUD 1945. Pertentangan ini akan jelas tampak jika Pasal 33 UUD 1945 yang dimaksud adalah Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
Bahkan, jika konsideran yang dimaksud adalah Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi “Perekenomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”, kata “independen” tidak menemukan induknya.
Konsideran Undang-Undang OJK yang menggunakan Pasal 33 UUD 1945 sebagai cantolan mengharuskan OJK terintegrasi dengan sistem perekenomian yang diamanatkan konstitusi. Dengan begitu, OJK tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain.
Karena itu, independensi OJK menjadi pertanyaan besar.Untuk kepentingan siapa sebenarnya independensi OJK itu dibuat?
Terkait independensi itu sendiri hanya dikenal melalui turunan regulasi yang merujuk dan mengacu pada ketentuan Pasal 23D UUD 1945, yang dapat dimungkinkan adanya bank sentral yang independen. Namun, entitas OJK bukan turunan dan/atau lembaga operasional dari fungsi dan tugas bank sentral. Apalagi, tugas OJK juga mencakup tugas Bapepam LK. Dengan begitu, kata “independen” bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Masih banyak masalah terkait dengan OJK dan keberadaan OJK juga akan menimbulkan banyak masalah bagi negeri ini. Karena, penumpukan kewenangan dalam satu tangan/badan dapat menimbulkan potensi moral hazard. OJK juga cenderung menjauhkan peran negara dan memperbesar peran pasar keuangan. Akibatnya, kepentingan publik untuk adanya stabilitas keuangan, penurunan kejahatan keuangan, dan perlindungan konsumen akan lebih sulit dicapai. OJK juga berpotensi merugikan keuangan negara secara masif.
Terkait dengan itu, Syamsudin Slawat Pesilette, S.H. dan Azhar Rahim Rivai, S.H., M.H. yangt merupakan Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB)bertindak bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama Salamuddin (peneliti di Institute for Global Justice), Ahmad Suryono, dan Ahmad Irwandi Lubis mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 111). Permohonan gugatan uji materi tersebut diajukan secara resmi pada hari Kamis, 27 Februari 2014,ke Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Menurut Ahmad Suryono, OJK mendorong terbentuknya pasar bebas yang berpihak pada orang kaya dan pemilik modal, bukan berpihak kepada rakyat dan ekonomi kerakyatan. “Tidak ada satu pasal pun, apalagi jiwa dan semangat konstitusi, yang hidup dan mewarnai Undang-Undang OJK,” kata Ahmad Suryono.
No comments:
Post a Comment