Waspada, Banyak Perempuan Indonesia Dipaksa Jadi Pelacur di AS!
Banyak perempuan Indonesia yang ternyata dijual ke Amerika Serikat, untuk kemudian dijerumuskan ke lembah hitam dan mendapat perlakuan kejam. Tersebutlah Shandra Woworuntu, seorang perempuan asal Indonesia menjadi korban perdagangan manusia di Amerika Serikat. Ia dipekerjakan secara kejam sebagai seorang pelacur. Demikian dilaporkan lembaga penyiaran negara Jerman, Deutsche Welle.
Shandra adalah seorang ibu dan juga lulusan sebuah perguruan tinggi saat pertama datang ke Amerika. Begitu tiba di Bandar Udara John F Kennedy, ia dibawa pergi paksa dengan ancaman pistol oleh sebuah geng yang beroperasi di New York. Itulah awal mula ia terjebak dalam dunia prostitusi dan kekerasan di Amerika Serikat.
Setelah kehilangan pekerjaan sebagai seorang penganalisis keuangan di sebuah bank akibat krisis ekonomi Asia, ia memutuskan untuk melamar sebagai pekerja sementara di sebuah hotel di Chicago. Setelah lulus tes, dengan membawa visa dari Kedutaan Amerika Serikat, ia meninggalkan anak perempuannya dan terbang ke Amerika Serikat.
“Saya sangat bersemangat. Saya pikir ini adalah The American Dream. Saya akan mendapatkan uang dan kembali lagi setelah enam bulan,“ katanya. Tapi, di malam pertama saat tiba di Amerika Serikat, ia dipekerjakan di sebuah rumah bordil di New York dan dipindah-pindahkan dari satu germo ke germo yang lain—dari seorang germo warga Malaysia, Johnnie Wong, lalu ke seorang laki-laki Taiwan yang hanya bisa bicara bahasa Kanton dan bahkan kepada seorang germo Amerika Serikat. “Mereka menodongkan pistol ke kepala saya dan saya hanya berpikir untuk menyelamatkan nyawa,“ tutur Shandra, yang kini menjadi aktivis anti-perdagangan manusia dan perbudakan di Survivors of Slavery.
Banyak perempuan yang ia temui adalah orang Indonesia. Mereka yang bekerja di bordil itu juga telah diperdaya dari luar negeri. Sebagian besar dari mereka adalah remaja. Seorang gadis berusia antara 10 sampai 12 tahun yang ia temui di sana dan tak ia ketahui asal-usulnya dipaksa bekerja di kasino-kasino dan hotel-hotel. Para pelanggan akan memilih seorang perempuan dalam barisan atau memesan mereka melalui telepon. “Telepon selalu berdering,” kenang Shandra. Para perempuan yang diperkejarkan secara paksa itu, tambah Shandra, sering tak diberi makan, tapi sering disuguhi alkohol dan obat-obatan.
Shandra pun menjadi buta-waktu berkali-kali, karena kerap dipindahkan menggunakan van yang punya jendela berwarna dan dijaga tukang pukul berbadan besar. Shandra juga diharuskan melunasi biaya perekrutan sebesar US$ 30 ribu.
Shandra bisa lolos lewat kendela kamar mandi yang terbuka di lantai dua sebuah rumah. Sebelumnya, ia sempat membujuk perempuan lain untuk ikut lari bersamanya. Ia dan perempuan lain itu pun meloncat. Dan secara ajaib, keduanya selamat tanpa cedera.
Sejak hari pertama tiba di Amerika Serikat, Shandra sudah tak memiliki paspor karena paspornya telah di rampas. Setelah berminggu-minggu hidup dalam kekerasan—polisi, FBI, dan gereja menolak percaya ceritanya—akhirnya ia berhasil mendapat bantuan dari Safe Horizon, sebuah agen di Amerika Serikat yang memberikan bantuan kepada korban kejahatan dan penyalahgunaan narkotika.
Ceritanya memang tampak tak masuk akal, tapi agensi yang menyelamatkan Shandra mengatakan hal ini biasa terjadi. Ini tak hanya terjadi kepada orang asing, kaum muda Amerika Serikat pun sering melarikan diri dan menempatkan diri mereka sendiri dalam kondisi berbahaya. Mereka tergiur tawaran menjadi model atau kontrak musik.
Alliance to End the Slavery atau Aliansi Penghenti Perbudakan dan Perdagangan manusia memperkirakan, sekitar 14.000 sampai 17.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak setiap tahun diselundupkan secara ilegal ke Amerika Serikat untuk dipekerjakan dalam dunia perdagangan sex, di pabrik, pertanian, atau di bar-bar. “Ini adalah kejahatan terorganisasi dan mereka sangat terorganisasi,“ kata Melysa
Sperber, Direktur Alliance to End the Slavery. Kelompok ini menyerukan pemerintah Amerika Serikat melakukan kontrol yang lebih besar terhadap para perekrut yang memperdayai orang-orang yang rentan tersebut untuk datang ke Amerika Serikat.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyadari negaranya adalah negara tujuan, transit, dan asal bagi laki-laki, perempuan, dan anak-anak, baik warga asing maupun warga Amerika Serikat, yang menjadi sasaran kerja paksa, jeratan utang, perbudakan paksa, dan perdagangan sex. Mereka yang menjadi korban tersebut sebagian besar berasal dari Mexico, Thailand, Filipina, Honduras, dan Indonesia.
Beberapa tahun lampau, Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi) juga mencatat adanya perdagangan ribuan perempuan Indonesia setiap hari ke luar negeri. Mereka ada yang dijadikan pelacur dan ada juga yang dijadikan pembantu rumah tangga. Kopbumi mencatat setidaknya ada lima jalur sindikasi perdagangan perempuan, yakni Belawan, Riau, Entikong, Nunukan, dan Bandara Soekarno-Hatta.
“Pelabuhan Belawan merupakan pintu masuk ribuan buruh migran ilegal asal Sumatera Utara menuju Johor, Malaysia. Para calo atau tekong memasukkan calon buruh migran ilegal ke Johor umumnya menggunakan jalur ini dengan kapal laut,” kata Trisakti Rachim dari Kopbumi, beberapa tahun lalu.
Sementara itu, Riau dipergunakan oleh calo/tekong sebagai pintu masuk ke Malaysia melalui Singapura, Johor, dan Pulau Penang. “Sebelum ke tiga tempat itu, mereka diselundupkan menggunakan kapal dan perahu-perahu tradisional menuju Batu Ampar, Batam, Sri Bintang Pura, dan Pangkal Pinang. Para calon buruh migran ilegal itu umumnya berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Mereka umumnya akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh pabrik di Johor,” ungkap Trisakti.
Nunukan merupakan pintu masuk ke Sabah, Malaysia. “Jalur ilegal yang biasa digunakan calo atau tekong adalah Pantai Tawao. Calon buruh migran umumnya berasal dari Sulawesi Selatan dan Jawa Timur,” kata Trisakti.
Ia juga mencatat Bandar Udara Soekarno-Hatta sebagai salah satu pintu untuk menyelundupkan calon buruh ilegal. “Biasanya kegiatannya berlangsung dari pukul 06.00 sampai pukul 10.00. Tujuannya umumnya Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Timur Tengah,” katanya.
Jalur Entikong digunakan bagi mereka yang akan dijual ke Sarawak, Malaysia. “Secara geografis, Entikong adalah pintu perbatasan darat Indonesia-Malaysia. Di samping memakai jalur darat Entikong, kadang penyelundupan perempuan juga memakai jalur laut, langsung ke Kuching, Malaysia. Tapi, bagi calo atau tekong, jalur darat lewat Entikong adalah jalur yang paling aman untuk menyelundupkan calon buruh migran ilegal ke Malaysia,” tutur Trisakti. Kopbumi mencatat, setiap hari rata-rata 500 calon buruh ilegal yang masuk lewat Entikong.
Namun, pintu perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat bukan hanya di Entikong. “Ada 13 pintu di sana, yang rata-rata dari masing-masing pintu itu ada 500 orang diselundupkan ke Malaysia. Selain Entikong, pintu yang paling digemari adalah pintu perbatasan di daerah Jagobabang, Bengkayang, karena dari sana ke Kuching hanya dua jam,” ujar Trisakti.
Umumnya, perempuan yang dijual ke Sarawak dan Kuching dijadikan pelacur. “Kebanyakan mereka awalnya diiming-imingi akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, bekerja di restoran, dan bekerja tempat hiburan semacam karaoke, tapi kemudian dipaksa untuk jadi pelacur, karena mereka di sana diserahkan kepada germo,” ungkap Trisakti. Kalau tidak mau, mereka akan diintimidasi atau disiksa,” kata Trisakti.
No comments:
Post a Comment