Perjalanan yang belum selesai (18)
(Bagian ke delapanbelas, Depok, Jawa Barat, Indonesia, 28
Agustus 2014, 06.52 WIB)
Belum lama ini saya pulang kampung di Kalimantan Timur,
saudara-saudara saya yang tinggal di kampung Kenangan, Balikpapan seberang
tidak lagi bekerja sebagai petani kebun dan nelayan, tetapi berkebun kelapa
sawit , termasuk Abang (Kakak) Ibu saya Ketul yang sudah berusia 80 tahun masih
kuat memetik buah kelapa sawit untuk dijual ke pabrik pengolahan minyak kelapa
sawit.
Mereka semua beralih usaha menjadi petani Kelapa Sawit.
PT. Intenational Timber C Indonesia (ITCI) yang terletak di kampung ini
memenfaatkan pabrik kayu lapis miliknya tidak lagi mengolah kayu gelondongan
miliknya (karena menunggu 30 tahun baru hutan tanaman industry miliknya baru
bisa di panen. Mereka mengambil kayu gelondongan dari Papua.
Pada tahun 1970an kalau kita mancing ikan di sungai Wain
dan sungai somber, kita masih bisa melihat ikan-ikan lalu lalang berenang di
air. Kini pencemaran memusnahkan habitat air dan membuat air sungai keruh.
Berbagai buah-buahan hutan seperti durian dan rambutan
hutan masih bisa kita temui, rusa-rusa banyak berkeliaran pokoknya keseimbangan
alam telah mebuat kita hidup bagai di sorga, ikan dan daging rusa tersedia,
buah-buahan hutan mudah diperoleh, kini pengundulan hutan dimana-mana sehingga
Hutan hanya memperkaya pengusaha kaya yang tinggal di kota-kota, dengan
perkebunan kelapa sawitnya sedangkan orang lokal semakin sulit mencari nafkah.
Pemendangan serupa juga terjadi di Kalimantan Tengah,
banyak petani yang masih membuka lahan untuk berladang dengan membakar hutan,
juga untuk membuka lahan tambang batubara, perkebunan kelapa sawit. Jadi
kesulitan hidup juga akibat kita sendiri yang salah dalam mengelola hutan kita.
Waktu saya berkunjung ke Barito Utara, Kalimantan Tengah
puluhan tambang batubara baru dibuka, puluhan bekas tambang batubara yang
ditinggalkan meninggalkan lubang-lubang besar yang tandus. Kebiasaan membuka
lahan dengan membakar hutan masih terjadi. Sepertinya tanpa pengawasan dari
pemimpin setempat yang kelihatannya hanya sibuk dengan perutnya sendiri
memperkaya diri sebelum masa jabatannya habis. Coba lihat dari anggota DPRD
tingkat II sampai Gubernur berapa ribu kali lipat kekayaannya bertambah sejak
menduduki jabatannya. Setiap ijin satu Kuasa Pertambangan konon setiap Bupati
terima upeti paling sedikit Rp 1 miliar.
Bachtiar, Usman, Syahruddin, Rochadi di perahu |
Hutan Kalimantan Rusak, 80% Karena Perkebunan Sawit
Save Our Borneo (SOB), sebuah lembaga peduli lingkungan,
menyatakan sekitar 80% kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan disebabkan
ekspansi sawit oleh perusahaan besar.
"Kerusakan terbesar hutan di Kalimantan adalah
karena pembukaan lahan untuk kelapa sawit, dan sisanya sebanyak 20% karena
pertambangan, dan area transmigrasi," Direktur Eksekutif Save Our Borneo,
Nordin, di Palangka Raya, Kamis (19/6).
SOB memaparkan, berdasarkan prediksi tren 10 tahunan,
dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektare, laju kerusakan hutan
(deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16%.
Menurut Nordin, kerusakan hutan yang terjadi di Provinsi
Kalimantan Tengah tercatat sebagai yang terluas dibanding tiga provinsi lain
dari sisi luasan kerusakan yakni mencapai 256 ribu hektare per tahun.
Dari lebih 10 juta luas hutan yang dimiliki Kalimantan
Tengah, laju kerusakannya telah menembus sekitar 2,2% per tahun.
Sementara Provinsi Kalsel, memiliki laju kerusakan yang
paling cepat dibanding provinsi lain, meski luasannya relatif kecil. Tercatat
seluas 66,3 ribu hektare hutan musnah per tahun dari total luas wilayah hutan
sekitar 3 juta hektare.
Kondisi hampir serupa terjadi di tiga provinsi lain,
dengan luas dan laju yang berbeda. Penyebab utamanya karena pembukaan
pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit.
Kalimantan Barat misalnya, dari luas wilayah hutan
mencapai 12,8 juta hektare memiliki laju kerusakan mencapai 166 ribu hektare
per tahun atau 1,9%.
Nordin menjelaskan, kegiatan eksploitasi secara
serampangan itu selain mengakibatkan hutan rusak, juga berdampak pada
terjadinya bencana banjir dan tanah longsor.
"Indikasinya nyata terjadi terjadi di beberapa kabupaten
di Kalteng seperti Barito Utara, Murung Raya, Barito Selatan. Banjir musiman
yang semula hanya sekali setahun, kini bisa terjadi empat atau lima kali dalam
setahun," tegasnya.
Dampak negatif lain dari eksploitasi hutan adalah
hilangnya identitas masyarakat setempat, kata Nordin.
Arus masuknya budaya luar yang dibawa oleh masyarakat
pendatang dalam kegiatan perkebunan maupun pertambangan dinilai telah
mengakibatkan lunturnya nilai-nilai kearifan lokal.
"Ketergantungan dengan pihak luar itu karena prasarana
berproduksi masyarakat yakni berupa lahan kian menyempit, sehingga mereka
menjadi tergantung dengan pihak luar," tambahnya.
Kelurga di kampung, Teraman |
Kerusakan Hutan di Kalimantan, Bom Waktu yang Siap
Meledak
Ditulis oleh ProFauna pada Sel, 09/17/2013 - 16:21
Oleh: Rustam (peneliti satwa liar dan kehutanan, advisory
board ProFauna)*
Kalimantan bukan lagi pulau masa depan untuk Indonesia.
Kalimantan bahkan pulau terbesar ketiga di dunia yang bukan lagi kawasan hutan
tropis yang dapat dibanggakan negeri ini, tetapi sudah menjadi pulau dengan
investasi bencana terawan di dunia. Minyak dan gas telah disedot sejak ratusan
tahun lalu, kayu hutan tropis yang sangat terkenal pun hampir punah, bahkan
sekarang tambang batu bara meninggalkan lubang-lubang besar. Pulau seribu
sungai ini akan berubah menjadi pulau sejuta danau karena tambang.
Peneliti keragaman hayati menyatakan pulau Kalimantan
adalah hotspot keragaman hayati dunia. Tercatat paling tidak 222 jenis mamalia,
420 jenis burung, 136 jenis ular, 394 jenis ikan air tawar, dan lebih dari 3000
jenis pohon-pohonan. Tipe hutan yang khas kawasan tropis, dari hutan mangrove
yang terdepan hingga hutan kerangas dengan dominansi jenis-jenis endemik, dari
hutan tropis dataran rendah yang paling kaya akan jenis hingga hutan pegunungan
dengan jenis tumbuhan kerdil yang khas. Keindahan terumbu karang pun demikian,
dengan ratusan jenis ikan karang dan pantai berpasir putih dengan beberapa
jenis penyu, demikian pula dengan ekosistem kars dengan jenis flora dan fauna
yang luar biasa. Namun, kita akan kehilangan banyak informasi keragaman hayati
ini bahkan tidak menutup kemungkinan ada jenis yang punah sebelum
teridentifikasi.
Dapatkah pulau surga ini dibanggakan?
Beberapa waktu lalu diberitakan di beberapa media
bagaimana orangutan, hewan kebanggaan penciri pulau ini ditangkap, disiksa dan
dibantai karena dianggap hama pada perkebunan sawit. Cerita lain bagaimana
orangutan dipaksa untuk ditranslokasi karena habitatnya akan diledakkan untuk
memulai aktivitas penambangan batu bara. Cerita satwa kehilangan habitat
seperti ini bukan hal baru bahkan cenderung disengaja, bukan sekadar satwa yang
ketabrak di jalan raya atau jalan logging, Owa Kelawat (Hylobates muelleri)
yang endemik Kalimantan itu, tergantung mati terbakar di tiang listrik tampak
biasa oleh sebagian kita.
Pulau yang sangat aman dari kriminalitas tetapi menyimpan
bom waktu ini, bahkan tampak menjadi tumpukan sampah masalah. Ingat program
food estate ribuan hektar yang direncanakan di Papua, ditolak oleh masyarakat
Papua kemudian dipindahkan ke pulau ini. Kasus penggelapan pajak perusahaan
batu bara terbesar di Indonesia, yang sekarang sepi karena macam-macam kasus
partai penguasa. Belum lagi masalah rencana tata ruang propinsi (contoh kasus
Kaltim) yang tak pernah beres hingga sekarang, tumpang tindih kawasan tampak
jamak terjadi. Namun, sekarang pulau ini pun di"janji"kan dengan
program pemerintah terbaru, yaitu sebagai daerah yang masuk dalam MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).
MP3EI telah dicetuskan pemerintah sejak tahun 2011 lalu
lewat peraturan presiden nomor 32 tahun 2011.
Walaupun program ini dirumuskan dengan memperhatikan Rencana Aksi
Nasional Gas Rumah Kaca, tetapi hampir mustahil dapat berjalan beriringan
karena target utama program MP3EI adalah kenaikan pendapatan perkapita dan
kenaikan nilai total perekonomian (PDB) dengan meningkatkan 22 kegiatan ekonomi
utama termasuk di dalamnya batubara, minyak dan gas, kelapa sawit, karet dan
perkayuan yang lazim dikeruk dari bumi Kalimantan. Hingga sekarang beberapa
kegiatan ekonomi utama ini tidak terbukti bisa sejalan dengan penurunan gas
rumah kaca, jutru sebaliknya pengrusakan hutan besar-besaran termasuk
didalamnya hilangnya habitat satwa liar dan konflik satwa dan manusia sering
terjadi.
MP3EI tampaknya juga berlawanan dengan program pemerintah
yang lain. Pada 5 Januari 2012 lalu
pemerintah mencetuskan akan mengalokasikan sedikitnya 45% wilayah Kalimantan
sebagai paru-paru dunia dalam upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
sebesar 26% pada tahun 2020.
Pertanyaannya, dimanakah letak 45% kawasan hutan yang
dipertahankan tersebut sementara paling tidak ada 6,8 juta hektar untuk ijin
pertambangan, 7,9 juta hektar untuk perkebunan sawit, 200.000 hektar (informasi
lain menyebutkan 2 juta ha) untuk food estate, juga pembukaan jalan, jalur rel
kereta api yang membelah kawasan hutan, perkembangan pemukiman, Belum lagi
beberapa kegiatan illegal yang tak dapat dikontrol oleh pemerintah, seperti
tambang illegal, perkebunan illegal, pemukiman illegal dain lainnya.
Telah lama pula salah satu "LSM besar"
memprogramkan Heart of Borneo bekerja sama dengan tiga negara (Brunei, Malaysia
dan Indonesia) yang berada di pulau Borneo. Namun program ini tidak lebih
sebagai jargon seksi untuk meraup dana besar, sementara progressnya jauh
panggang dari api. Di panggung seminar dan laporan-laporan tampak sangat
didukung oleh ketiga negara pemilik otoritas tersebut, tetapi di lapangan
berbeda cerita. Begitu pula dengan dengan program pemerintah propinsi, misalnya
Kaltim Green, tapi tingkah polah pemberian ijin kuasa (tambang dan perkebunan)
oleh pemerintah daerah jauh dari jargon tersebut. Begitu pula halnya proyek
perintis menjaga paru-paru dunia di Kalimantan Tengah, setali tiga uang.
Lupakan dulu lembaga pengelola dana besar ini, mengingat
pesimisme kegiatan REDD dan kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca berpola
sama. Negara maju tetap dengan berperilaku merusak, berproduksi dan memproduksi
gas rumah kaca kemudian membayar konpensasi yang selain menekan dengan syarat
tak masuk akal, juga mekanisme memperoleh dananya pun dibuat rumit sehingga
mustahil tersentuh. Mereka sadar jika menurunkan emisi gas rumah kaca juga
berarti menurunkan produksi yang akan mempengaruhi perekonomian. Namun buat
kita, berperilaku adil dan bijak terhadap alam tak perlu dengan iming-iming
insentif yang masih di awang-awang dan tak jelas juntrungnya.
Laju pengurangan tutupan hutan di empat propinsi di
Kalimantan demikian fantastis. Berbagai data menyebutkan dari 600 ribu ha
hingga 1,1 juta ha per tahun, dan tampaknya akan terus terjadi hingga hutan
alami tak tersisa. Begitu pula dengan negara tetangga walaupun tidak besar tetapi
terus terjadi, sebesar 0.64% per tahun
dari luas hutan di Serawak dan begitu pula dengan Sabah, di Malaysia. Seperti
halnya kawasan hutan tropis lainnya di dunia, di Kalimantan faktor utama dan
pertama yang menyebabkan hutan tropis terus berkurang adalah pemerintah dengan
kebijakannya memberikan ijin pembukaan lahan dengan berbagai peruntukan. Begitu
yang ditulis oleh Leslie Taylor (2004) penulis Amerika Serikat dalam bukunya
The Healing Power of Rainforest Herbs yang menyimpulkan dari berbagai penelitian
di kawasan tropis di dunia. Tidak salah memang jika melihat keadaan mutakhir
kondisi hutan di Kalimantan.
Begitu serakahnya kita bahkan ruang pun tak ingin
berbagi, bahkan bukan sekadar dengan satwa. Masih segar ingatan kita kejadian
Mesuji di Sumatera, juga kejadian pendudukan pelabuhan oleh masyarakat di Nusa
Tenggara, karena menolak pemberian ijin ekplorasi tambang di daerahnya.
Demikian pula kejadian serupa di beberapa daerah lain termasuk di Kalimantan
yang tidak sempat diliput oleh media.
Semuanya karena tumpang tindih lahan, ketidakjelasan
batas kawasan dan tentu pengaruh ekonomi yang dikuasai pemodal besar. Mirisnya
lagi, kawasan yang diperebutkan justru dikuasai oleh pemodal asing, bahkan dari
negeri tetangga Malaysia yang hampir tiap tahun berkonflik dengan Indonesia di
bidang seni budaya atau tenaga kerja (TKI). Negeri merdeka yang terjajah!
Nasib Hutan Kita yang Semakin Suram!
By : Wisnu Rusmantoro
Abstract : [i]Jika pemerintah tak cepat bertindak dalam
10 tahun mendatang, maka hutan Sumatera akan musnah pada tahun 2005 dan diikuti
oleh musnahnya hutan Kalimantan tahun 2010.[/i] Pengelolaan hutan disepanjang
tahun 2002 tak menunjukkan adanya tanda-tanda perbaikan dibandingkan tahun
sebelumnya.
Sebaliknya, kecenderungannya justru semakin memburuk.
Kebakaran hutan masih terus terjadi, meningkatnya penebangan liar diperburuk
dengan rencana pembukaan lahan hutan lindung bagi pertambangan menambah suram
nasib hutan selama 2002.
No ImageKeterpurukan sektor kehutanan bersumber dari
sistem pengelolaan yang sentralistik, monopolistik serta mengesampingkan
keberadaan masyarakat lokal.
Adanya konflik-konflik -seperti antar masyarakat lokal,
masyarakat lokal dengan perusahaan serta atau antara masyarakat lokal dengan
pemerintah -semakin memperburuk kondisi kehutanan di Indonesia. Selain itu,
lemahnya penegakan hukum menyebabkan makin parahnya kerusakan hutan.
Kerusakan hutan telah
mencapai kurang lebih 2 juta ha per tahun. Berarti setiap menitnya kita
kehilangan hutan seluas 3 ha atau sama dengan enam kali luas lapangan bola.
Reformasi sosial politik tahun 1998 diharapkan membawa perbaikan bagi sektor
kehutanan. Namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya.
Beberapa hal
mempercepat laju kerusakan hutan di Indonesia sebesar 2 kali lipat, yaitu
adanya tekanan masyarakat akibat krisis ekonomi mengakibatkan merajalelanya
penebangan liar. Meningkatnya pengekploitasian sumber daya alam karena
pemerintah berupaya membayar hutang negara serta adanya otonomi daerah,
sehingga pemerintah lokal meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan
menebang hutan secara berlebihan.
Beberapa upaya Pemerintah antara lain mencabut SK Menteri
Kehutanan No. 05.1/Kpts-II/2000 guna menghentikan praktek-praktek pemberian
lahan seluas 100 ha bagi kelompok masyarakat atau badan usaha (lebih dikenal
dengan [i]"HPH 100 ha[/i]"). Penerbitan PP No. 34 Tahun 2002 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan yang mengatur kewenangan
pengelolaan hutan antara pusat dan daerah. Dan yang cukup ramatis adalah
moratorium penebangan hutan (jeda balak) untuk menghentikan penebangan liar.
Sejauh mana keberhasilan upaya itu perlu terus dikaji dan disempurnakan.
Ada tiga faktor
utama yang mempercepat laju kerusakan hutan, yaitu penebangan berlebihan dan
tak terkendali (resmi maupun yang liar), kebakaran hutan serta perubahan fungsi
hutan (kawasan hutan lindung menjadi kawasan pertambangan). [b]Pembalakan Hutan[/b]
Dalam kurun waktu 50 tahun, hutan alam Indonesia mengalami penurunan luas
sebesar 64 juta hektar.
Pembukaan hutan
alam di dataran rendah di Sulawesi telah memusnahkan keanekaragaman hayati yang
terdiri dari berjuta spesies flora dan fauna. Kondisi penggundulan hutan dipicu
adanya ketersediaan kayu lokal, resminya sebesar 20 juta m3, sementara
permintaan di luar terus meningkat hingga 60 juta m3 (tahun 2000).
Kesenjangan
persediaan kayu bulat yang dipenuhi oleh penebangan liar mencapai hampir 70%
dari total suplai. Jika pemerintah tak cepat bertindak dalam 10 tahun
mendatang, maka hutan Sumatera akan musnah pada tahun 2005 dan diikuti oleh
musnahnya hutan Kalimantan tahun 2010. [b]Kebakaran Hutan[/b] Pembukaan lahan
dengan cara membakar hutan menambah masalah kerusakan hutan. Munculnya [i]El
Nino[/i] secara periodik -diperkirakan tiap 2-7 tahun- memperburuk kondisi
hutan. Selama bulan Januari-Oktober 2002, 45% dari keseluruhan titik kebakaran
terkonsentrasi di Propinsi Riau. Kemudian Oktober 2002 terjadi kenaikan jumlah
titik kebakaran yang cukup signifikan di Propinsi Riau, Sumatera Barat dan
Jambi.
Di Sumatera sendiri, berdasarkan titik kebakaran terjadi
di hutan rawa gambut sebanyak 49%, alang-alang 13%, hutan dataran rendah 10%,
pemukiman/pertanian masyarakat 10%, perkebunan 8% dan sisanya rawa (non
gambut). Kebakaran hutan memberikan kerugian tak sedikit. Tahun 1997,
diperkirakan kerugiannya sebesar $3- $4,4 milyar. [b]Pertambangan[/b] Belum
cukup masalah sistem pengelolaan hutan, penebangan liar dan kebakaran hutan,
pemerintah masih menambah kesemrawutan sektor kehutanan dengan rencana
pembukaan kawasan hutan lindung untuk areal pertambangan. Sejak akhir 2001,
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral berupaya membuka lahan seluas 11,4
juta hektar kawasan hutan lindung untuk pertambangan.
Untuk memperjelas
"tujuannya" yaitu mengeksploitasi hutan secara besar-besaran,
Pemerintah melalui keputusan Menko Ekuin : KEP-04/M.EKON/09/2000 membentuk tim
koordinasi pengkajian pemanfaatan kawasan hutan untuk pertambangan. Polemik
izin usaha pertambangan terbuka di lahan konservasi terus berlanjut. Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral berupaya pertambangan tetap diizinkan.
Awalnya, Menteri Kehutanan Muhammad Prakosa dan Menteri
Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menentang keras permintaan Purnomo Yusgiantoro
dan menegaskan bahwa pihaknya tak mentolerir perubahan kawasan hutan lindung
dan cagar alam menjadi wilayah pertambangan. Akhirnya kedua menteri tersebut
meluluskan kebijakan, dengan alasan adanya beberapa penandatanganan kontrak
karya penambangan di hutan lindung yang dilakukan sebelum lahirnya UU No. 41
Tahun 1999. Undang-undang No. 41/1999 tak memperbolehkan adanya kegiatan
pertambangan di hutan lindung dan kawasan konservasi. Dimana pasal 19 ayat 1
tertera bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus disetujui
pemerintah didasarkan hasil penelitian terpadu.
Sementara pasal 19 ayat 2 menjelaskan perubahan kawasan
hutan yang berdampak penting dan cakupan luas, serta bernilai strategis
ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. Sedangkan tata cara
perubahannya diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah. Akhirnya Sidang Kabinet
Terbatas, tanggal 6 Maret 2002, memutuskan kalau keputusan akhir diserahkan
pada hasil pembicaraan dengan DPR. Namun bila pemerintah dan DPR memberikan
ijin kepada 22 perusahaan tambang - 150 perusahaan masih menunggu - dipastikan
mempercepat musnahnya hutan Indonesia.
Padahal, ada tiga
aturan yang melarang penambangan di kawasan lindung: [ol] [li]UU No 5 Tahun
1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, intinya
melarang berbagai kegiatan yang mengakibatkan perubahan keutuhan kawasan
pelestarian alam (vide pasal 19,32); [li]UU No 41 Tahun 1999, Tentang
Kehutanan, melarang penambangan di Hutan Lindung [li]Kontrak Pertambangan,
dalam salah satu klausul nya menyatakan bahwa [i]force majeure[/i] (keadaan
memaksa) meliputi: ...perintah atau petunjuk yang merugikan dari setiap
pemerintahan [i]'de jure'[/i] atau [i]'de facto'[/i] atau perangkatnya atau sub
divisinya. [/ol] [b][i]Clean Development Mechanism:[/i] Pembiayaan Kehutanan
Masa Depan?[/b] Agenda lain yang harus diwaspadai adalah upaya pemberdayaan
hutan di masa mendatang dengan memfungsikan hutan sebagai penyerap karbon
([i]carbon sink[/i]) melalui program [i]Clean Development Mechanism[/i] (CDM).
Program CDM ini adalah sistem perdagangan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)
antara negara maju dan negara berkembang.
Komoditinya berupa kredit penurunan emisi GRK. Komoditi
yang dihasilkan oleh proyek CDM di negara berkembang akan dibeli oleh negara
maju untuk membantu negaranya memenuhi target penurunan emisinya. Dengan masih
maraknya konflik-konflik kepemilikan dan hak atas lahan ([i]land tenure[/i]),
banyaknya peraturan yang tidak efektif, tingginya permintaan atas produk hutan
(yang kemudian memicu penebangan liar), tata praja yang sangat buruk, serta
tingginya korupsi menyebabkan CDM bukanlah solusi yang baik bagi kehutanan di
Indonesia.
Pekerjaan yang
harus dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengurangi kerusakan dan
penggundulan hutan bukanlah dengan memasukkan sektor kehutanan sebagai proyek
CDM. Melainkan dengan melakukan reformasi insitusi kehutanan secara
besar-besaran hingga ke tingkat lokal. Termasuk di dalamnya meningkatkan
penegakan hukum.
Terakhir, perlunya
pembenahan perilaku masyarakat (yaitu pemerintah, swasta dan kelompok
masyarakat lainnya) agar memandang hutan sebagai [i]asset[/i], bukan sebagai
obyek yang bisa dengan mudah dieksploitasi dan dirusak. Untuk itu lagi-lagi
hukum bagi perusak hutan harus ditegakkan.(Bersambung)
No comments:
Post a Comment