!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Wednesday, August 27, 2014

Perjalanan yang belum selesai (18)


Perjalanan yang belum selesai (18)

(Bagian ke delapanbelas, Depok, Jawa Barat, Indonesia, 28 Agustus 2014, 06.52 WIB)
 
Agusno, Usman , Rochadi, Bachtiar berburu rusa 
Belum lama ini saya pulang kampung di Kalimantan Timur, saudara-saudara saya yang tinggal di kampung Kenangan, Balikpapan seberang tidak lagi bekerja sebagai petani kebun dan nelayan, tetapi berkebun kelapa sawit , termasuk Abang (Kakak) Ibu saya Ketul yang sudah berusia 80 tahun masih kuat memetik buah kelapa sawit untuk dijual ke pabrik pengolahan minyak kelapa sawit.

Mereka semua beralih usaha menjadi petani Kelapa Sawit. PT. Intenational Timber C Indonesia (ITCI) yang terletak di kampung ini memenfaatkan pabrik kayu lapis miliknya tidak lagi mengolah kayu gelondongan miliknya (karena menunggu 30 tahun baru hutan tanaman industry miliknya baru bisa di panen. Mereka mengambil kayu gelondongan dari Papua.

Pada tahun 1970an kalau kita mancing ikan di sungai Wain dan sungai somber, kita masih bisa melihat ikan-ikan lalu lalang berenang di air. Kini pencemaran memusnahkan habitat air dan membuat air sungai keruh.
Berbagai buah-buahan hutan seperti durian dan rambutan hutan masih bisa kita temui, rusa-rusa banyak berkeliaran pokoknya keseimbangan alam telah mebuat kita hidup bagai di sorga, ikan dan daging rusa tersedia, buah-buahan hutan mudah diperoleh, kini pengundulan hutan dimana-mana sehingga Hutan hanya memperkaya pengusaha kaya yang tinggal di kota-kota, dengan perkebunan kelapa sawitnya sedangkan orang lokal semakin sulit mencari nafkah.

Pemendangan serupa juga terjadi di Kalimantan Tengah, banyak petani yang masih membuka lahan untuk berladang dengan membakar hutan, juga untuk membuka lahan tambang batubara, perkebunan kelapa sawit. Jadi kesulitan hidup juga akibat kita sendiri yang salah dalam mengelola hutan kita.
Waktu saya berkunjung ke Barito Utara, Kalimantan Tengah puluhan tambang batubara baru dibuka, puluhan bekas tambang batubara yang ditinggalkan meninggalkan lubang-lubang besar yang tandus. Kebiasaan membuka lahan dengan membakar hutan masih terjadi. Sepertinya tanpa pengawasan dari pemimpin setempat yang kelihatannya hanya sibuk dengan perutnya sendiri memperkaya diri sebelum masa jabatannya habis. Coba lihat dari anggota DPRD tingkat II sampai Gubernur berapa ribu kali lipat kekayaannya bertambah sejak menduduki jabatannya. Setiap ijin satu Kuasa Pertambangan konon setiap Bupati terima upeti paling sedikit Rp 1 miliar.







Bachtiar, Usman, Syahruddin, Rochadi di perahu


Hutan Kalimantan Rusak, 80% Karena Perkebunan Sawit


Save Our Borneo (SOB), sebuah lembaga peduli lingkungan, menyatakan sekitar 80% kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan disebabkan ekspansi sawit oleh perusahaan besar.
"Kerusakan terbesar hutan di Kalimantan adalah karena pembukaan lahan untuk kelapa sawit, dan sisanya sebanyak 20% karena pertambangan, dan area transmigrasi," Direktur Eksekutif Save Our Borneo, Nordin, di Palangka Raya, Kamis (19/6).

SOB memaparkan, berdasarkan prediksi tren 10 tahunan, dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektare, laju kerusakan hutan (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16%.

Menurut Nordin, kerusakan hutan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah tercatat sebagai yang terluas dibanding tiga provinsi lain dari sisi luasan kerusakan yakni mencapai 256 ribu hektare per tahun.

Dari lebih 10 juta luas hutan yang dimiliki Kalimantan Tengah, laju kerusakannya telah menembus sekitar 2,2% per tahun.

Sementara Provinsi Kalsel, memiliki laju kerusakan yang paling cepat dibanding provinsi lain, meski luasannya relatif kecil. Tercatat seluas 66,3 ribu hektare hutan musnah per tahun dari total luas wilayah hutan sekitar 3 juta hektare.

Kondisi hampir serupa terjadi di tiga provinsi lain, dengan luas dan laju yang berbeda. Penyebab utamanya karena pembukaan pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit.

Kalimantan Barat misalnya, dari luas wilayah hutan mencapai 12,8 juta hektare memiliki laju kerusakan mencapai 166 ribu hektare per tahun atau 1,9%.

Nordin menjelaskan, kegiatan eksploitasi secara serampangan itu selain mengakibatkan hutan rusak, juga berdampak pada terjadinya bencana banjir dan tanah longsor.

"Indikasinya nyata terjadi terjadi di beberapa kabupaten di Kalteng seperti Barito Utara, Murung Raya, Barito Selatan. Banjir musiman yang semula hanya sekali setahun, kini bisa terjadi empat atau lima kali dalam setahun," tegasnya.

Dampak negatif lain dari eksploitasi hutan adalah hilangnya identitas masyarakat setempat, kata Nordin.

Arus masuknya budaya luar yang dibawa oleh masyarakat pendatang dalam kegiatan perkebunan maupun pertambangan dinilai telah mengakibatkan lunturnya nilai-nilai kearifan lokal.

"Ketergantungan dengan pihak luar itu karena prasarana berproduksi masyarakat yakni berupa lahan kian menyempit, sehingga mereka menjadi tergantung dengan pihak luar," tambahnya.







Kelurga di kampung, Teraman


Kerusakan Hutan di Kalimantan, Bom Waktu yang Siap Meledak

Ditulis oleh ProFauna pada Sel, 09/17/2013 - 16:21
Oleh: Rustam (peneliti satwa liar dan kehutanan, advisory board ProFauna)*

Kalimantan bukan lagi pulau masa depan untuk Indonesia. Kalimantan bahkan pulau terbesar ketiga di dunia yang bukan lagi kawasan hutan tropis yang dapat dibanggakan negeri ini, tetapi sudah menjadi pulau dengan investasi bencana terawan di dunia. Minyak dan gas telah disedot sejak ratusan tahun lalu, kayu hutan tropis yang sangat terkenal pun hampir punah, bahkan sekarang tambang batu bara meninggalkan lubang-lubang besar. Pulau seribu sungai ini akan berubah menjadi pulau sejuta danau karena tambang.

Peneliti keragaman hayati menyatakan pulau Kalimantan adalah hotspot keragaman hayati dunia. Tercatat paling tidak 222 jenis mamalia, 420 jenis burung, 136 jenis ular, 394 jenis ikan air tawar, dan lebih dari 3000 jenis pohon-pohonan. Tipe hutan yang khas kawasan tropis, dari hutan mangrove yang terdepan hingga hutan kerangas dengan dominansi jenis-jenis endemik, dari hutan tropis dataran rendah yang paling kaya akan jenis hingga hutan pegunungan dengan jenis tumbuhan kerdil yang khas. Keindahan terumbu karang pun demikian, dengan ratusan jenis ikan karang dan pantai berpasir putih dengan beberapa jenis penyu, demikian pula dengan ekosistem kars dengan jenis flora dan fauna yang luar biasa. Namun, kita akan kehilangan banyak informasi keragaman hayati ini bahkan tidak menutup kemungkinan ada jenis yang punah sebelum teridentifikasi.

Dapatkah pulau surga ini dibanggakan?

Beberapa waktu lalu diberitakan di beberapa media bagaimana orangutan, hewan kebanggaan penciri pulau ini ditangkap, disiksa dan dibantai karena dianggap hama pada perkebunan sawit. Cerita lain bagaimana orangutan dipaksa untuk ditranslokasi karena habitatnya akan diledakkan untuk memulai aktivitas penambangan batu bara. Cerita satwa kehilangan habitat seperti ini bukan hal baru bahkan cenderung disengaja, bukan sekadar satwa yang ketabrak di jalan raya atau jalan logging, Owa Kelawat (Hylobates muelleri) yang endemik Kalimantan itu, tergantung mati terbakar di tiang listrik tampak biasa oleh sebagian kita.

Pulau yang sangat aman dari kriminalitas tetapi menyimpan bom waktu ini, bahkan tampak menjadi tumpukan sampah masalah. Ingat program food estate ribuan hektar yang direncanakan di Papua, ditolak oleh masyarakat Papua kemudian dipindahkan ke pulau ini. Kasus penggelapan pajak perusahaan batu bara terbesar di Indonesia, yang sekarang sepi karena macam-macam kasus partai penguasa. Belum lagi masalah rencana tata ruang propinsi (contoh kasus Kaltim) yang tak pernah beres hingga sekarang, tumpang tindih kawasan tampak jamak terjadi. Namun, sekarang pulau ini pun di"janji"kan dengan program pemerintah terbaru, yaitu sebagai daerah yang masuk dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).

MP3EI telah dicetuskan pemerintah sejak tahun 2011 lalu lewat peraturan presiden nomor 32 tahun 2011.  Walaupun program ini dirumuskan dengan memperhatikan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca, tetapi hampir mustahil dapat berjalan beriringan karena target utama program MP3EI adalah kenaikan pendapatan perkapita dan kenaikan nilai total perekonomian (PDB) dengan meningkatkan 22 kegiatan ekonomi utama termasuk di dalamnya batubara, minyak dan gas, kelapa sawit, karet dan perkayuan yang lazim dikeruk dari bumi Kalimantan. Hingga sekarang beberapa kegiatan ekonomi utama ini tidak terbukti bisa sejalan dengan penurunan gas rumah kaca, jutru sebaliknya pengrusakan hutan besar-besaran termasuk didalamnya hilangnya habitat satwa liar dan konflik satwa dan manusia sering terjadi.

MP3EI tampaknya juga berlawanan dengan program pemerintah yang lain.  Pada 5 Januari 2012 lalu pemerintah mencetuskan akan mengalokasikan sedikitnya 45% wilayah Kalimantan sebagai paru-paru dunia dalam upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020.

Pertanyaannya, dimanakah letak 45% kawasan hutan yang dipertahankan tersebut sementara paling tidak ada 6,8 juta hektar untuk ijin pertambangan, 7,9 juta hektar untuk perkebunan sawit, 200.000 hektar (informasi lain menyebutkan 2 juta ha) untuk food estate, juga pembukaan jalan, jalur rel kereta api yang membelah kawasan hutan, perkembangan pemukiman, Belum lagi beberapa kegiatan illegal yang tak dapat dikontrol oleh pemerintah, seperti tambang illegal, perkebunan illegal, pemukiman illegal dain lainnya.

Telah lama pula salah satu "LSM besar" memprogramkan Heart of Borneo bekerja sama dengan tiga negara (Brunei, Malaysia dan Indonesia) yang berada di pulau Borneo. Namun program ini tidak lebih sebagai jargon seksi untuk meraup dana besar, sementara progressnya jauh panggang dari api. Di panggung seminar dan laporan-laporan tampak sangat didukung oleh ketiga negara pemilik otoritas tersebut, tetapi di lapangan berbeda cerita. Begitu pula dengan dengan program pemerintah propinsi, misalnya Kaltim Green, tapi tingkah polah pemberian ijin kuasa (tambang dan perkebunan) oleh pemerintah daerah jauh dari jargon tersebut. Begitu pula halnya proyek perintis menjaga paru-paru dunia di Kalimantan Tengah, setali tiga uang.

Lupakan dulu lembaga pengelola dana besar ini, mengingat pesimisme kegiatan REDD dan kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca berpola sama. Negara maju tetap dengan berperilaku merusak, berproduksi dan memproduksi gas rumah kaca kemudian membayar konpensasi yang selain menekan dengan syarat tak masuk akal, juga mekanisme memperoleh dananya pun dibuat rumit sehingga mustahil tersentuh. Mereka sadar jika menurunkan emisi gas rumah kaca juga berarti menurunkan produksi yang akan mempengaruhi perekonomian. Namun buat kita, berperilaku adil dan bijak terhadap alam tak perlu dengan iming-iming insentif yang masih di awang-awang dan tak jelas juntrungnya.

Laju pengurangan tutupan hutan di empat propinsi di Kalimantan demikian fantastis. Berbagai data menyebutkan dari 600 ribu ha hingga 1,1 juta ha per tahun, dan tampaknya akan terus terjadi hingga hutan alami tak tersisa. Begitu pula dengan negara tetangga walaupun tidak besar tetapi terus terjadi, sebesar 0.64%  per tahun dari luas hutan di Serawak dan begitu pula dengan Sabah, di Malaysia. Seperti halnya kawasan hutan tropis lainnya di dunia, di Kalimantan faktor utama dan pertama yang menyebabkan hutan tropis terus berkurang adalah pemerintah dengan kebijakannya memberikan ijin pembukaan lahan dengan berbagai peruntukan. Begitu yang ditulis oleh Leslie Taylor (2004) penulis Amerika Serikat dalam bukunya The Healing Power of Rainforest Herbs yang menyimpulkan dari berbagai penelitian di kawasan tropis di dunia. Tidak salah memang jika melihat keadaan mutakhir kondisi hutan di Kalimantan.   

Begitu serakahnya kita bahkan ruang pun tak ingin berbagi, bahkan bukan sekadar dengan satwa. Masih segar ingatan kita kejadian Mesuji di Sumatera, juga kejadian pendudukan pelabuhan oleh masyarakat di Nusa Tenggara, karena menolak pemberian ijin ekplorasi tambang di daerahnya. Demikian pula kejadian serupa di beberapa daerah lain termasuk di Kalimantan yang tidak sempat diliput oleh media.

Semuanya karena tumpang tindih lahan, ketidakjelasan batas kawasan dan tentu pengaruh ekonomi yang dikuasai pemodal besar. Mirisnya lagi, kawasan yang diperebutkan justru dikuasai oleh pemodal asing, bahkan dari negeri tetangga Malaysia yang hampir tiap tahun berkonflik dengan Indonesia di bidang seni budaya atau tenaga kerja (TKI). Negeri merdeka yang terjajah!

Nasib Hutan Kita yang Semakin Suram!

By : Wisnu Rusmantoro
Abstract : [i]Jika pemerintah tak cepat bertindak dalam 10 tahun mendatang, maka hutan Sumatera akan musnah pada tahun 2005 dan diikuti oleh musnahnya hutan Kalimantan tahun 2010.[/i] Pengelolaan hutan disepanjang tahun 2002 tak menunjukkan adanya tanda-tanda perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya.

Sebaliknya, kecenderungannya justru semakin memburuk. Kebakaran hutan masih terus terjadi, meningkatnya penebangan liar diperburuk dengan rencana pembukaan lahan hutan lindung bagi pertambangan menambah suram nasib hutan selama 2002.
No ImageKeterpurukan sektor kehutanan bersumber dari sistem pengelolaan yang sentralistik, monopolistik serta mengesampingkan keberadaan masyarakat lokal.

Adanya konflik-konflik -seperti antar masyarakat lokal, masyarakat lokal dengan perusahaan serta atau antara masyarakat lokal dengan pemerintah -semakin memperburuk kondisi kehutanan di Indonesia. Selain itu, lemahnya penegakan hukum menyebabkan makin parahnya kerusakan hutan.

 Kerusakan hutan telah mencapai kurang lebih 2 juta ha per tahun. Berarti setiap menitnya kita kehilangan hutan seluas 3 ha atau sama dengan enam kali luas lapangan bola. Reformasi sosial politik tahun 1998 diharapkan membawa perbaikan bagi sektor kehutanan. Namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya.

 Beberapa hal mempercepat laju kerusakan hutan di Indonesia sebesar 2 kali lipat, yaitu adanya tekanan masyarakat akibat krisis ekonomi mengakibatkan merajalelanya penebangan liar. Meningkatnya pengekploitasian sumber daya alam karena pemerintah berupaya membayar hutang negara serta adanya otonomi daerah, sehingga pemerintah lokal meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menebang hutan secara berlebihan.

Beberapa upaya Pemerintah antara lain mencabut SK Menteri Kehutanan No. 05.1/Kpts-II/2000 guna menghentikan praktek-praktek pemberian lahan seluas 100 ha bagi kelompok masyarakat atau badan usaha (lebih dikenal dengan [i]"HPH 100 ha[/i]"). Penerbitan PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan yang mengatur kewenangan pengelolaan hutan antara pusat dan daerah. Dan yang cukup ramatis adalah moratorium penebangan hutan (jeda balak) untuk menghentikan penebangan liar. Sejauh mana keberhasilan upaya itu perlu terus dikaji dan disempurnakan.

 Ada tiga faktor utama yang mempercepat laju kerusakan hutan, yaitu penebangan berlebihan dan tak terkendali (resmi maupun yang liar), kebakaran hutan serta perubahan fungsi hutan (kawasan hutan lindung menjadi kawasan pertambangan). [b]Pembalakan Hutan[/b] Dalam kurun waktu 50 tahun, hutan alam Indonesia mengalami penurunan luas sebesar 64 juta hektar.

 Pembukaan hutan alam di dataran rendah di Sulawesi telah memusnahkan keanekaragaman hayati yang terdiri dari berjuta spesies flora dan fauna. Kondisi penggundulan hutan dipicu adanya ketersediaan kayu lokal, resminya sebesar 20 juta m3, sementara permintaan di luar terus meningkat hingga 60 juta m3 (tahun 2000).

 Kesenjangan persediaan kayu bulat yang dipenuhi oleh penebangan liar mencapai hampir 70% dari total suplai. Jika pemerintah tak cepat bertindak dalam 10 tahun mendatang, maka hutan Sumatera akan musnah pada tahun 2005 dan diikuti oleh musnahnya hutan Kalimantan tahun 2010. [b]Kebakaran Hutan[/b] Pembukaan lahan dengan cara membakar hutan menambah masalah kerusakan hutan. Munculnya [i]El Nino[/i] secara periodik -diperkirakan tiap 2-7 tahun- memperburuk kondisi hutan. Selama bulan Januari-Oktober 2002, 45% dari keseluruhan titik kebakaran terkonsentrasi di Propinsi Riau. Kemudian Oktober 2002 terjadi kenaikan jumlah titik kebakaran yang cukup signifikan di Propinsi Riau, Sumatera Barat dan Jambi.

Di Sumatera sendiri, berdasarkan titik kebakaran terjadi di hutan rawa gambut sebanyak 49%, alang-alang 13%, hutan dataran rendah 10%, pemukiman/pertanian masyarakat 10%, perkebunan 8% dan sisanya rawa (non gambut). Kebakaran hutan memberikan kerugian tak sedikit. Tahun 1997, diperkirakan kerugiannya sebesar $3- $4,4 milyar. [b]Pertambangan[/b] Belum cukup masalah sistem pengelolaan hutan, penebangan liar dan kebakaran hutan, pemerintah masih menambah kesemrawutan sektor kehutanan dengan rencana pembukaan kawasan hutan lindung untuk areal pertambangan. Sejak akhir 2001, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral berupaya membuka lahan seluas 11,4 juta hektar kawasan hutan lindung untuk pertambangan.


 Untuk memperjelas "tujuannya" yaitu mengeksploitasi hutan secara besar-besaran, Pemerintah melalui keputusan Menko Ekuin : KEP-04/M.EKON/09/2000 membentuk tim koordinasi pengkajian pemanfaatan kawasan hutan untuk pertambangan. Polemik izin usaha pertambangan terbuka di lahan konservasi terus berlanjut. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral berupaya pertambangan tetap diizinkan.


Awalnya, Menteri Kehutanan Muhammad Prakosa dan Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menentang keras permintaan Purnomo Yusgiantoro dan menegaskan bahwa pihaknya tak mentolerir perubahan kawasan hutan lindung dan cagar alam menjadi wilayah pertambangan. Akhirnya kedua menteri tersebut meluluskan kebijakan, dengan alasan adanya beberapa penandatanganan kontrak karya penambangan di hutan lindung yang dilakukan sebelum lahirnya UU No. 41 Tahun 1999. Undang-undang No. 41/1999 tak memperbolehkan adanya kegiatan pertambangan di hutan lindung dan kawasan konservasi. Dimana pasal 19 ayat 1 tertera bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus disetujui pemerintah didasarkan hasil penelitian terpadu.

Sementara pasal 19 ayat 2 menjelaskan perubahan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan luas, serta bernilai strategis ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. Sedangkan tata cara perubahannya diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah. Akhirnya Sidang Kabinet Terbatas, tanggal 6 Maret 2002, memutuskan kalau keputusan akhir diserahkan pada hasil pembicaraan dengan DPR. Namun bila pemerintah dan DPR memberikan ijin kepada 22 perusahaan tambang - 150 perusahaan masih menunggu - dipastikan mempercepat musnahnya hutan Indonesia.

 Padahal, ada tiga aturan yang melarang penambangan di kawasan lindung: [ol] [li]UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, intinya melarang berbagai kegiatan yang mengakibatkan perubahan keutuhan kawasan pelestarian alam (vide pasal 19,32); [li]UU No 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan, melarang penambangan di Hutan Lindung [li]Kontrak Pertambangan, dalam salah satu klausul nya menyatakan bahwa [i]force majeure[/i] (keadaan memaksa) meliputi: ...perintah atau petunjuk yang merugikan dari setiap pemerintahan [i]'de jure'[/i] atau [i]'de facto'[/i] atau perangkatnya atau sub divisinya. [/ol] [b][i]Clean Development Mechanism:[/i] Pembiayaan Kehutanan Masa Depan?[/b] Agenda lain yang harus diwaspadai adalah upaya pemberdayaan hutan di masa mendatang dengan memfungsikan hutan sebagai penyerap karbon ([i]carbon sink[/i]) melalui program [i]Clean Development Mechanism[/i] (CDM). Program CDM ini adalah sistem perdagangan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) antara negara maju dan negara berkembang.


Komoditinya berupa kredit penurunan emisi GRK. Komoditi yang dihasilkan oleh proyek CDM di negara berkembang akan dibeli oleh negara maju untuk membantu negaranya memenuhi target penurunan emisinya. Dengan masih maraknya konflik-konflik kepemilikan dan hak atas lahan ([i]land tenure[/i]), banyaknya peraturan yang tidak efektif, tingginya permintaan atas produk hutan (yang kemudian memicu penebangan liar), tata praja yang sangat buruk, serta tingginya korupsi menyebabkan CDM bukanlah solusi yang baik bagi kehutanan di Indonesia.


 Pekerjaan yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengurangi kerusakan dan penggundulan hutan bukanlah dengan memasukkan sektor kehutanan sebagai proyek CDM. Melainkan dengan melakukan reformasi insitusi kehutanan secara besar-besaran hingga ke tingkat lokal. Termasuk di dalamnya meningkatkan penegakan hukum.

 Terakhir, perlunya pembenahan perilaku masyarakat (yaitu pemerintah, swasta dan kelompok masyarakat lainnya) agar memandang hutan sebagai [i]asset[/i], bukan sebagai obyek yang bisa dengan mudah dieksploitasi dan dirusak. Untuk itu lagi-lagi hukum bagi perusak hutan harus ditegakkan.(Bersambung)




No comments:

Post a Comment