Muhammad Jusuf dan Sudono Salim |
Perjalanan yang belum selesai (17)
(Bagian ke tujuhbelas, Depok, Jawa Barat,Indonesia, 27
Agustus 2014, 15.11 WIB)
Apakah orang kaya sudah pasti hidupnya bahagia dan hidup
tenang ? Jawabannya belum tentu , karena masih tidak bisa dilupakan awal bulan
ini salah satu artis terkaya dunia Robin Wiliam matinya justru bunuh diri
(gantung diri) karena dimasa tuanya menderita stress berat, begitu juga orang
kaya lainnya belum tentu bisa menikmati hidup saya masih ingat ketika
mewawancarai Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Indonesia (APINDO) Sofyan Wanandi
di rumahnya di Menteng, pembantunya menyediakan tiga potong kue bolu, yang
hanya dihabiskan dua tamunya, sedangkan bolu yang disediakan untuk Sofyan
Wanandi sama sekali tidak disentuhnya.
‘’Saya harus menjaga gula darah saya agar tetap stabil
jadi tidak boleh sembarangan makan,’’ katanya.
Begitu juga salah seorang terkaya di dunia Sudono Salim
(Lim Sioe Liong) ketika saya Tanya apa hidup bahagia dengan jadi orang kaya:
Kepala saya Om Lim bilang sulit tidur, pusing mikirin utang banyak’’. Seperti
diketahui para pengusaha itu dalam rangka ekspansi usaha biasanya meminjam uang
dari sindikasi bank.
Ketenangan hidup juga ditentukan apakah uang yang kita
perolah dengan cara halal atau penuh kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Adalah Husein , asal Makassar, berusaha menjadi penjual
martabak manis dan es sirop dengan gerobak kecilnya ia mangkal di pasar Mardika
Ambon. ‘’Saya sudah naik haji dua kali dan anak-anaknya semuanya sekolah,’’
kata Husein.
Barito Utara |
Pasar Mardika Ambon |
Sofyan Wanandi |
Asep, asal Tasikmalaya , Jawa Barat harus mencari nafkah
ke kota Muara Teweh, Kabupatem Barito Utara, Kalimantan Tengah dengan berjualan
Es Campur keliling. Begitu juga sepasang perempuan muda kakak dan adik
jauh-jauh dari Sumatera Selatan ke kota ini hanya untuk mencari nafkah jual es
campur di salah satu pinggir jalan di kota ini. Padahal ke kota Muara Teweh
kita tempuh jalan darat dari kota Banjarmasin rata-rata 10 jam. ‘’Mereka
semuanya mengaku bahagia bisa mengirim uang membantu keluarga di kampung’’.
Sedangkan saya jangankan berhaji, Umroh saja belum
pernah. Walaupun sudah 30 tahun jadi wartawan. Mungkin sebagai wartawan saya
pernah makanan yang tidak halal, (menerima amplop misalnya) sehingga
menyebabkan ada rezeki yang tidak berkah di dalam darah tubuh kita.
Sebagaimana kita ketahui, wartawan yang tergadai,
walaupun gaji kecil, tapi dalam profesinya selalu memeras kliennya atau terima amplop.
Saya pernah mendapat keterangan dari wartawan senior salah satu Media ternama
mengaku kerap ditransfer uang puluhan ribu dolar dari seorang Menteri. ‘’Sudah
pasti Menteri ini terlibat korupsi dalam mencari nafkahnya, karena dengan
mudahnya boros bagi-bagi uang ke wartawan.Tidak heran banyak wartawan bergaji
kecil, tapi punya rumah berharga miliaran rupiah dan memiliki banyak mobil.
Wallahu alam. Hanya Allah Maha Tahu apakah uang itu semua memiliki keberkahan
atau tidak. Yang penting sebelum kita meninggal kita harus Taubatan Nasuha
(banyak Istighfar/minta ampun pada Allah maha pengasih dan pengampun) agar kita
terbebas dari siksaan di hari pembalasan (the day of judgement)).
Agar Rizki Mendapat Keberkahan
Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri
MAKNA KEBERKAHAN
Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan
dan berdo’a untuk mendapatkan keberkahan, baik dalam umur, keluarga, usaha,
maupun dalam harta benda dan lain-lain. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya,
apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keberkahan itu? Dan bagaimana untuk
memperolehnya?
Apakah keberkahan itu hanya terwujud jamuan makanan yang
kita bawa pulang saat kenduri? Atau apakah keberkahan itu hanya milik para
kiyai, tukang ramal, atau para juru kunci kuburan, sehingga bila salah seorang
memiliki suatu hajatan, ia datang kepada mereka untuk “ngalap berkah”, agar
cita-citanya tercapai?
Bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu
bahasa ×Arab maupun melalui dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan ×Sunnah, kita akan
mendapatkan bahwa kata al-barakah memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat
luas dan agung. Secara ilmu bahasa, al-barakah, berarti berkembang, bertambah
dan kebahagian [1]. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Asal makna
keberkahan, ialah kebaikan yang banyak dan abadi” [2]
DAHULU, SABA MERUPAKAN NEGERI PENUH BERKAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang negeri
mereka.
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah
Rabb Yang Maha Pengampun” [Saba/34 : 15]
Ayat diatas berbicara tentang negeri Saba’ sebelum
mengalami kehancuran lantaran kekufuran mereka kepada ×Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kisah
bangsa Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shalih,
maka mereka dilingkupi dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir
mengisahkan, kaum wanita Saba’ tidak perlu bersusah-payah memanen buah-buahan
di kebun mereka. Untuk mengambil hasil buahnya, cukup menaruh keranjang di atas
kepala, lalu melintas di kebun, maka buah-buahan yang telah masak akan
berjatuhan memenuhi keranjangnya, tanpa harus memetik atau mendatangkan pekerja
untuk memanennya.
Sebagian ulama lain juga menyebutkan, dahulu di negeri
Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya. Kondisi demikian
itu lantaran udaranya yang bagus, cuacanya bersih, dan berkat rahmat ×Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang senantiasa meliputi mereka. [3]
Kisah keberkahan yang menakjubkan pada zaman keemasan
umat ×Islam juga pernah diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
:”Sungguh, biji-bijian dahulu, baik gandum maupun yang lainnya lebih besar
dibanding dengan yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya
(biji-bijian kala itu, pent) lebih banyak. Imam Ahmad rahimahullah telah
meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa telah ditemukan di gudang sebagian
kekhilafahan Bani Umawi sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma,
dan bertuliskan pada kantung luarnya :”Ini adalah gandum hasil panen pada masa
keadilan ditegakkan” [4]
Bila demikian, tentu masing-masing kita mendambakan untuk
mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta. Sehingga kita
bertanya-tanya, bagaimanakah cara agar usaha, penghasilan dan harta saya
diberkahi Allah?
DUA SYARAT MERAIH KEBERKAHAN
Untuk memperoleh keberkahan dalam hidup secara umum dan
dalam penghasilan secara khusus, terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi.
Pertama. Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Inilah syarat pertama dan terpenting agar rizki kita
diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan merealisasikan keimanan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا
عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ
بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.
Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” [Al-A’raf/7 : 96]
Demikian, balasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman, dan sekaligus menjadi penjelas bahwa orang yang
kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya tidak akan pernah merasakan
keberkahan dalam hidup.
Di antara perwujudan iman kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang berkaitan dengan penghasilan, ialah senantiasa yakin dan menyadari
bahwa rizki apapun yang kita peroleh merupakan karunia dan kemurahan Allah
Subhanahu wa Ta’ala , bukan semata-mata jerih payah atau kepandaian kita. Yang
demikian itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kadar rizki
setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya.
Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita
bisa membukukan buktinya. Setiap kali kita mendapatkan suatu keberkahan, maka
kita lupa daratan, dan merasa keberhasilan itu karena kehebatan kita. Dan
sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana, maka kita menuduh alam sebagai
penyebabnya, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila demikian, maka mana mungkin Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan memberkahi kehidupan kita? Bukankah pola pikir semacam ini yang
telah menyebabkan Qarun mendapatkan adzab dengan ditelan bumi? Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman.
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِنْدِي ۚ أَوَلَمْ
يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ
مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا
“Qarun berkata : “Sesunguhnya aku hanya diberi harta itu
karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah
sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan
lebih banyak harta kumpulannya ..” [Al-Qashah/28: 78]
Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya,
misalnya ketika makan.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أن النبي صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ
أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أَمَا إِنَّهُ لَوْ كَانَ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ. رواه أحمد والنَّسائي
وابن حبان
“Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam
orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan
beliau dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Bismillah,
pent), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian”. [HR Ahmad, An-Nasa-i dan
Ibnu Hibban]
Pada hadits lain, Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Ketahuilah bahwasanya salah seorang dari kamu bila hendak menggauli
istrinya ia berkata : “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami
dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami”,
kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut, pent)
niscaya anak itu tidak akan diganggu setan” [HR Al-Bukhari]
Demikian, sekilas penjelasan peranan iman kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak
menggunakan suatu kenikmatan, sehingga mendatangkan keberkahan pada harta dan
anak keturunan.
Kedua : Amal Shalih
Yang dimaksud dengan amal shalih, ialah menjalankan
perintah dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan syari’at yang diajarkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi
syarat datangnya keberkahan sebagaimana ditegaskan pada surat Al-A’raf ayat 96
diatas.
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ahlul
Kitab yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman.
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا
أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
“Dan sekiranya mereka benar-benar menjalankan Taurat,
Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan
mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka” [Al-Ma’idah :
66]
Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan
“mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki”, ialah Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan meielimpahkan kepada mereka rizki yang sangat banyak dari langit
dan dari bumi, sehingga mereka akan mendapatkan kecukupan dan berbagai
kebaikan, tanpa susah payah, letih, lesu, dan tanpa adanya tantangan atau
berbagai hal yang mengganggu ketentraman hidup mereka [5]
Di antara contoh nyata keberkahan harta orang yang
beramal shalih, ialah kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil.
Pada kisah tersebut, Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh guna
menjaga agar harta warisan yang dimiliki dua orang anak kecil dan terpendam di
bawah pagar tersebut , sehingga tidak nampak dan tidak bisa diambil oleh orang
lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmn.
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي
الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ
رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim
di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai
kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari
Rabbmu” [Al-Kahfi/18 : 82]
Menurut penjelasan para ulama tafsir, ayah yang
dinyatakan dalam ayat ini sebagai ayah yang shalih itu bukan ayah kandung dari
kedua anak tersebut. Akan tetapi, orang tua itu ialah kakeknya yang ketujuh,
yang semasa hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada kisah ini
terdapat dalil bahwa anak keturunan orang shalih akan dijaga, dan keberkahan
amal shalihnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi
syafa’at kepada mereka, dan derajatnya akan diangkat ke tingkatan tertinggi,
agar orang tua mereka menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah’ [6]
Sebaliknya, bila seseorang enggan beramal shalih, atau
bahkan malah berbuat kemaksiatan, maka yang ia petik juga kebalikan dari apa
yang telah disebutkan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
(إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ)
رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم
“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizkinya
akibat dari dosa yang ia kerjakan” [HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dll]
Membusuknya daging dan basinya makanan, sebenarnya
menjadi salah satu dampak buruk yang harus ditanggung manusia. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa itu semua terjadi akibat
perbuatan dosa umat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَوْلَا بَنُو إِسْرَائِيلَ لَمْ يَخْبُثْ الطَّعَامُ وَلَمْ
يَخْنَزْ اللَّحْمُ (متفق عليه)
“Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Israil, niscaya
makanan tidak akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk”
[Muttafaqun ‘alaih]
Para ulama menjelaskan, tatkala Bani Israil diberi rizki
oleh ×Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa burung-burung salwa (semacam burung
puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari,
mereka dilarang untuk menyimpan daging-dading burung tersebut. Setiap pagi
hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan
pada hari tersebut. Akan tetapi, mereka melanggar perintah ini, dan mengambil
daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, untuk
disimpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum
mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk. [7]
Demikian, penjelasan dua syarat penting guna meraih
keberkahan.
AMAL SHALIH MEMBANTU MENDATANGKAN KEBERKAHAN
Setelah terpenuhi dua syarat diatas, keberkahan juga bisa
diraih berkat beberapa amal shalih yang nyata telah kita lakukan. Misalnya
sebagai berikut.
Pertama : Mensyukuri Segala Nikmat
Tiada kenikmatan, apapun wujudnya yang dirasakan menusia,
melainkan datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atas dasar itu, Allah
Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan manusia untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya.
Dengan cara senantiasa mengingat bahwasanya kenikmatan tersebut datang dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala, diteruskan mengucapkan hamdalah, dan selanjutnya
menafkahkan sebagai kekayaannya di jalan-jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Seseorang yang telah mendapatkan taufik untuk bersyukur, ia akan
mendapatkan keberkahan dalam hidupnya, sehingga Allah akan senantiasa melipatgandakan
kenikmatan baginya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan ingatlah tatkala Rabbmu mengumandangkan : “Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” [Ibrahim/14 :
7]
Pada ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
“Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia
bersyukur demi (kebaikan) dirinya sendiri” [An-Naml/27: 40]
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :”Manfaat bersyukur
tidak akan dirasakan, kecuali oleh pelakunya sendiri. Dengan itu, ia berhak
mendapatkan kesempurnaan dari nikmat yang telah ia dapatkan, dan nikmat
tersebut akan kekal dan bertambah. Sebagaimana syukur, juga berfungsi untuk
mengikat kenikmatan yang telah didapat serta menggapai kenikmatan yang belum
dicapai” [8]
Sebagai contoh nyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman. (yang artinya) : “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan
Rabb) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di
sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan) : “Makanlah olehmu dari rizki yang
(dianugrahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah
negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka
berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti
kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah
pahit, pohon atsel (cemara) dan pohon bidara” [Saba : 15-16]
Tatkala bangsa Saba’ masih dalam keadaan makmur dan
tenteram, Allah subhanahu wa Ta’ala hanya memerintahkan kepada mereka agar
bersyukur. Ini menunjukkan, dengan bersyukur, mereka dapat menjaga kenikmatan
dari bencana, dan mendatangkan kenikmatan lain yang belum pernah mereka
dapatkan.
Kedua : Membayar Zakat (Sedekah)
Zakat, baik zakat wajib maupun sunnah (sedekah),
merupakan salah satu amalan yang menjadi faktor yang dapat menyebabkan turunnya
keberkahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah”
[Al-Baqarah/2 : 276]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ
يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُولُ
الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا. متفق عليه
“Tiada pagi hari, melainkan ada dua malaikat yang turun,
kemudian salah satunya berkata (berdo’a) : “Ya Allah, berilah pengganti bagi
orang yang berinfak”, sedangkan yang lain berdo’a :”Ya Allah, timpakanlah
kepada orang yang kikir (tidak berinfak) kehancuran” [Muttafaqun alaih]
Ketiga : Bekerja Mencari Rizki Dengan Hati Qona’ah, Tidak
Dipenuhi Ambisi dan Tidak Serakah
Sifat qona’ah dan lapang dada dengan pembagian Allah
Subhanahu wa Ta’ala, merupakan kekayaan yang tidak ada bandingannya. Dengan
jiwa yang dipenuhi dengan qona’ah, dan keridhaan dengan segala rizki yang Allah
turunkan untuknya, maka keberkahan akan datang kepadanya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(إن اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَبْتَلِيْ عَبْدَهُ بِمَا
أَعْطَاهُ. فَمَنْ رضي بِمَا قَسَمَ الله لَهُ بَارَكَ الله لَهُ فِيْهِ وَوَسَّعَهُ
. وَمَنْ لم يَرْضَ لم يُبَارِكْ لَهُ وَلَمْ يَزِدْهُ عَلَى مَا كُتِبَ لَهُ) رواه
أحمد والبيهقي وصححه الألباني
“Sesungguhnya Allah Yang Maha Luas Karunia-nya lagi Maha
Tinggi, akan menguji setiap hamba-Nya dengan rizki yang telah Ia berikan kepadanya.
Barangsiapa yang ridha dengan pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah
akan memberkahi dan melapangkan rizki tersebut untuknya. Dan barangsiapa yang
tidak ridha (tidak puas), niscaya rizkinya tidak akan diberkahi” [HR Ahmad dan
dishahihkan oleh Al-Albani]
Al-Munawi rahimahullah menyebutkan : “Penyakit ini (yaitu
tidak puas dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan
kepadanya, pent) banyak dijumpai pada pemuja dunia. Hingga engkau temui salah
seorang dari mereka meremehkan rizki yang telah dikaruniakan untuknya ; merasa
hartanya sedikit, buruk, serta terpana dengan rizki orang lain dan
menganggapnya lebih bagus dan banyak. Oleh karena itu, ia akan senantiasa
membanting tulang untuk menambah hartanya , sampai umurnya habis, kekuatannya
sirna ; dan ia pun menjadi tua renta (pikun) akibat dari ambisi yang digapainya
dan rasa letih. Dengan itu, ia telah menyiksa tubuhnya, menghitamkan lembaran
amalannya dengan berbagai dosa yang ia lakukan demi mendapatkan harta kekayaan.
Padahal, ia tidak akan memperoleh selain apa yang telah Allah Subhanahu wa
Ta’ala tentukan untuknya. Pada akhir hayatnya, ia meninggal dunia dalam keadaan
pailit. Dia tidak mensyukuri yang telah ia peroleh, dan ia juga tidak berhasil
menggapai apa yang ia inginkan” [9]
Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya agar
senantiasa menjaga kehormatan agama dan diri dalam setiap usaha yang
ditempuhnya guna mencari rizki. Sehingga, seorang muslim tidak akan menempuh,
melainkan jalan-jalan yang telah dihalalkan dan dengan telah menjaga kehormatan
dirinya.
Keempat : Bertaubat Dari Segala Perbuatan Dosa
Sebagaimana perbuatan dosa menjadi salah satu penyebab
terhalangnya rizki dari pelakunya, maka sebaliknya, taubat dan istighfar
merupakan salah satu faktor yang dapat mendatangkan rizki dan keberkahannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Nabi Hud Alaihissallam bersama
kaumnya.
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ
وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ
“Dan (Hud berkata) : Hai kaumku, beristighfarlah kepada Rabbmu
lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan atasmu hujan yang sangat
deras, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu
berpaling dengan berbuat dosa” [Hud/11 : 52]
Akibat kekufuran dan perbuatan dosa kaum ‘Ad –berdasarkan
keterangan para ulama tafsir- mereka ditimpa kekeringan dan kemandulan,
sehingga tidak seorang wanita pun yang bisa melahirkan anak. Keadaan ini
berlangsung selama beberapa tahun lamanya. Oleh karena itu, Nabi Hud
Alaihissallam memerintahkan mereka untuk bertaubat dan beristighfar. Sebab, dengan
taubat dan istighfar itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan hujan, dan
mengaruniai mereka anak keturunan. [10]
Kelima : Menyambung Tali Silaturahmi
Di antara amal shalih yang akan mendatangkan keberkahan
dalam hidup, yaitu menyambung tali silaturrahim. Ini merupakan upaya menjalin
hubungan baik dengan setiap orang yang akan terkait hubungan nasab dengan kita.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ
لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ . ( متفق عليه )
“Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan (atau
diberkahi) rizkinya, atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia
bersilaturrahim” [Muttafaqun ‘alaih]
Yang dimaksud dengan ditunda ajalnya, ialah umurnya
diberkahi, diberi taufiq untuk beramal shalih, mengisi waktunya dengan berbagai
amalan yang berguna bagi kehidupannya di akhirat, dan ia terjaga dari
menyia-nyiakan waktunya dalam hal yang tidak berguna. Atau menjadikan nama
harumnya senantiasa dikenang orang. Atau benar-benar umurnya ditambah oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. [11]
Keenam : Mencari Rizki Dari Jalan Yang Halal.
Merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya keberkahan
harta, ialah memperolehnya dengan jalan yang halal. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
لاَ تَسْتَبْطِئُوْا الرِّزْقَ ، فَإِنَّهُ لَنْ يَمُوْتَ الْعَبْدُ
حَتَّى يَبْلُغَهُ آَخِرُ رِزْقٍ هُوَ لَهُ، فَأَجْمِلوُاْ فِيْ الطَّلَبِ: أَخْذِ
الْحَلَالِ، وَترَكِ الْحَرَامِ.
“Janganlah kamu merasa bahwa rizkimu datangnya terlambat.
Karena sesunguhnya, tidaklah seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang
kepadanya rizki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya. Maka, tempuhlah
jalan yang baik dalam mencari rizki, yaitu dengan mengambil yang halal dan
meninggalkan yang haram” [HR Abdur-Razaq, Ibnu Hibbanm dan Al-Hakim]
Salah satu yang mempengaruhi keberkahan ini ialah praktek
riba. Perbuatan riba termasuk faktor yang dapat menghapus keberkahan.
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah”
[Al-Baqarah/2 : 276]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :”Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengabarkan bahwa ×Dia akan memusnahkan riba. Maksudnya, bisa saja
memusnahkannya secara keseluruhan dari tangan pemiliknya, atau menghalangi
pemiliknya dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian, pemilik riba
tidak mendapatkan manfaat dari harta ribanya. Bahkan dengan harta tersebut,
×Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya dalam kehidupan dunia, dan
kelak di hari akhirat ×Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyiksanya akibat harta
tersebut” [12]
Bila mengamati kehidupan orang-orang yang menjalankan
praktek riba, niscaya kita dapatkan banyak bukti bagi kebenaran ayat dan hadits
di atas. Betapa banyak pemakan riba yang hartanya berlimpah, hingga tak
terhitung jumlahnya, akan tetapi tidak satu pun dari mereka yang merasakan
keberkahan, ketentraman dan kebahagiaan dari harta haram tersebut.
Begitu pula dengan meminta-minta (mengemis) dalam mencari
rizki, termasuk perbuatan yang diharamkan dan tidak mengandung keberkahan.
Dalam salah satu hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
sebagian dampak hilangnya keberkahan dari orang yang meminta-minta.
(ما يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ). متفق عليه
“Tidaklah seseorang terus-menerus meminta-minta kepada
orang lain, hingga kelak akan datang pada hari ×Kiamat, dalam keadaan tidak ada
secuil daging pun melekat di wajahnya” [Muttafaqun alaih]
Ketujuh : Bekerja Saat Waktu Pagi.
Di antara jalan untuk meraih keberkahan dari ×Allah,
ialah menanamkan semangat untuk hidup sehat dan produktif, serta menyingkirkan
sifat malas sejauh-jaunya. Caranya, senantiasa memanfaatkan karunia ×Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan hal-hal yang berguna dan mendatangkan kemaslahatan
bagi hidup kita.
Termasuk waktu yang paling baik untuk memulai bekerja dan
mencari rizki, ialah waktu pagi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah memanjatkan do’a keberkahan.
اللَّهُمَّ باَرِكْ لِأُمَّتِيْ فِيْ بُكُوْرِهَا ( رواه أبو
داود والترمذي والنسائي وابن ماجة وصححه الألباني )
“Ya Allah, berkahilah untuk ummatku waktu pagi mereka”
[HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani]
Hikmah dikhususkannya waktu pagi dengan doa keberkahan,
lantaran waktu pagi merupakan waktu dimulainya berbagai aktifitas manusia. Saat
itu pula, seseorang merasakan semangat usai beristirahat di malam hari. Oleh
karenanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan keberkahan pada
waktu pagi ini agar seluruh umatnya memperoleh bagian dari doa tersebut.
Sebagai penerapan langsung dari doa ini, bila mengutus
pasukan perang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya di pagi
hari, sehingga pasukan diberkahi dan mendapatkan pertolongan serta kemenangan.
Contoh lain dari keberkahan waktu pagi, ialah sebagaimana
yang dilakukan oleh sahabat Shakhr Al-Ghamidi Radhiyallahu ‘anhu. Yaitu perawi
hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shakhr bekerja sebagai
pedagang. Usai mendengarkan hadits ini, ia pun menerapkannya. Tidaklah ia
mengirimkan barang dagangannya kecuali di pagi hari. Dan benarlah, keberkahan
×Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat ia peroleh. Diriwayatkan, perniagaannya
berhasil dan hartanya melimpah ruah. Dan berdasarkan hadits ini pula, sebagian
ulama menyatakan, tidur pada pagi hari hukumnya makruh.
Masih banyak lagi amalan-amalan yang akan mendatangkan
keberkahan dalam kehidupan seorang muslim. Apa yang telah saya paparkan di atas
hanyalah sebagai contoh
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa melimpahkan
taufiq dan keberkahan-Nya kepada kita semua. Dan semoga pemaparan singkat ini
dapat berguna bagi saya pribadi dan setiap orang yang mendengar atau
membacanya. Tak lupa, bila pemaparan diatas ada kesalahan, maka hal itu datang
dari saya dan dari setan, sehingga saya beristighfar kepada Allah. Dan bila ada
kebenaran, maka itu semua atas taufik dan inayah-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun
XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo –
Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
_______
Footnote
[1]. Al-Misbahul-Munir, 1/45. Al-Qamus Al-Muhith, 2/1236.
Lisanul Arab 10/395
[2]. Syarhu Shahih Muslim, oleh An-Nawawi 1/225
[3]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/531
[4]. Lihat Zadul Ma’ad, 4/363 dan Musnad Ahmad 2/296
[5]. Tafsir Ibnu Katsir, 2/76
[6]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/99
[7]. Ma’alimut Tanzil, 1/97. Syarhu Shahih Muslim 10/59
Fathul Bari 6/411
[8]. Tafsir Al-qurthubi, 13/206
[9]. Faidhul Qadir, 2/236
[10]. Lihat Tafsir Ath-Thabari (15/359) dan Tafsir
Al-Qurthubi (9/51)
[11]. Lihat Syarhu Shahih Muslim (8/350) dan Aunul Ma’bud
(4/102)
[12]. Tafsir Ibnu Katsir, 1/328
Keutamaan Haji Dan Umrah
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin ×Badawi al-Khalafi
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا،
وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa antara keduanya,
dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga.” [1]
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ
الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Iringilah antara ibadah haji dan umrah karena keduanya
meniadakan dosa dan kefakiran, sebagaimana alat peniup api menghilangkan
kotoran (karat) besi, emas dan perak, dan tidak ada balasan bagi haji mabrur
melainkan Surga.”[2]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Aku
mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَجَّ ِللهِ عزوجل فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ
كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.
‘Barangsiapa melakukan haji ikhlas karena ×Allah Azza wa
Jalla tanpa berbuat keji dan kefasiqan, maka ia kembali tanpa dosa sebagaimana
waktu ia dilahirkan oleh ibunya.’”[3]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْغَازِي فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ،
وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ. وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ.
“Orang yang berperang di jalan ×Allah dan orang yang
menunaikan haji dan umrah, adalah delegasi Allah. (ketika) Allah menyeru
mereka, maka mereka memenuhi panggilan-Nya. Dan (ketika) mereka meminta
kepada-Nya, maka ×Allah mengabulkan (pemintaan mereka).” [4]
Haji Beserta Umrah Adalah Kewajiban Yang Dilakukan Sekali
Dalam Seumur Hidup, Bagi Setiap Muslim, Baligh, Berakal, Merdeka Serta Mampu
Firman Allah Ta’ala:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا
وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ
كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun untuk
(tempat beribadah) manusia ialah ×Baitullah yang berada di Bakkah (Makkah) yang
diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Padanya terdapat
tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya
(Baitullah itu) men-jadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap ×Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah
Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Ali ‘Imran: 96-97]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di tengah-tengah kami,
beliau bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوْا،
فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ، حَتَّىٰ قَالَهَا ثَلاَثاً،
ثُمَّ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ قُلْتُ نَعَمْ، لَوَجَبَتْ،
وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَىٰ أَنْبِيَائِهِمْ،
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ
عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ.
“Telah diwajibkan atas kalian ibadah haji, maka
tunaikanlah (ibadah haji tersebut).” Lalu ada seorang berkata, “Apakah setiap
tahun, wahai Rasulullah?” Lalu beliau diam sampai orang tersebut mengatakannya
tiga kali, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Andaikata aku menjawab ya, niscaya akan menjadi suatu kewajiban dan niscaya
kalian tidak akan mampu (melaksanakannya).” Kemudian beliau bersabda,
“Biarkanlah aku sebagaimana aku membiarkan kalian. Sesungguhnya yang
membinasakan orang-orang sebelum kalian ialah banyak bertanya dan banyak
berselisih dengan ×Nabi mereka. Apabila aku memerintahkan sesuatu kepada
kalian, maka laksanakanlah semampu kalian. Dan apabila aku melarang sesuatu,
maka tinggalkanlah.” [5]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ
إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
‘Islam dibangun atas lima pilar: (1) Persaksian bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain ×Allah dan bahwasanya
×Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4)
haji ke ×Baitullah, dan (5) berpuasa Ramadhan.’” [6]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
هَذِهِ عُمْرَةٌ اسْتَمْتَعْنَا بِهَا، فَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ
الْهَدْيُ فَلْيَحِلَّ الْحِلَّ كُلَّهُ، فَإِنَّ الْعُمْرَةَ قَدْ دَخَلَتْ فِي الْحَجِّ
إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
“Ini adalah ibadah umrah yang kita bersenang-senang
dengannya. Barangsiapa yang tidak memiliki hadyu (binatang kurban), maka
hendaknya ia bertahallul secara keseluruhan, karena ibadah umrah telah masuk
kepada ibadah haji sampai hari Kiamat.” [7]
Dari Shabi bin Ma’bad, ia berkata, “Aku pergi menemui
‘Umar, lalu aku berkata kepadanya:
يَا أَمِيْرَ الْمُؤمِنِيْنَ، إِنِّي أَسْلَمْتُ، وَإِنِّي وَجَدْتُ
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ مَكْتُوبَيْنَ عَلَيَّ، فأَهْلَلْتُ بِهِمَا، فَقَالَ: هُدِيْتَ
لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ.
"Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku telah masuk
×Islam, dan aku yakin bahwa diriku telah wajib menunaikan ibadah haji dan
umrah, lalu aku mulai mengerjakan kedua ibadah tersebut.’ Lalu beliau berkata,
‘Engkau telah mendapat-kan petunjuk untuk melaksanakan Sunnah Nabimu.’” [8]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii ×Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin ×Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/597, no.
1773), Shahiih Muslim (II/987, no. 1349), Sunan at-Tirmidzi (II/206, no. 937),
Sunan Ibni Majah (II/964, no. 2888), Sunan an-Nasa-i (V/115).
[2]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ (no. 2901)], Sunan
at-Tirmidzi (II/153, no. 807), Sunan an-Nasa-i (V/115)
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (III/382, no.
1521), Shahiih Muslim (II/983, no. 1350), Sunan Ibni Majah (II/964, no. 2889),
Sunan an-Nasa-i (V/114), Sunan at-Titmidzi (II/153, no. 809), kecuali pada
(bagian akhirnya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah
lalu.”
[4]. Hasan: [Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 2339)],
Sunan Ibni Majah (II/966, no. 2893).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 639)],
Shahiih Muslim (II/970, no. 1337), Sunan an-Nasa-i (5/110) (Bersambung)
[6]. Takhrijnya telah berlalu pada Kitab Thaharah.
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil 982], Shahiih Muslim
(II/911, no. 1241).
[8]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil 983], Sunan an-Nasa-i
(V/142), Sunan Abi Dawud (V/230, no. 1722), Sunan Ibni Majah (II/989, no. 2970)
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment