Ibrahim G Zakir jumpa pers |
Perjalanan yang beleum selesai (19)
(Depok, Jawa Barat, Indonesia, 28 Agustus 2014, 16.42
WIB)
Pada awal September 1996, saya bekerja jadi editor harian
berbahasa Inggris The Point yang pemimpin Redaksinya dipegang Ibrahim Gidrah
Zakir yang dikenal salah satu anggota Petisi 50.
Namun baru berjalan beberapa bulan harian ini harus
tutup, karena pada saat bersamaan kasus lumpur di sidoarjo terjadi. Secara kebetulan
salah seorang pemegang saham PT Lapindo Brantas juga pemilik saham mayoritas
The Point jadi masalah keuangan PT Lapindo Brantas berimbas juga pada The
Point.
Ibrahim G Zakir pernah bercerita: Sebelum ia jadi
Pemimpin Redaksi The Point ia bekerja jadi wartawan Seputar Indonesia (Sindo)
Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Ia keluar sebagai protes bahwa
wartawan Sindo gemar terima amplop (uang sogokan) dari sumber berita.
Petisi 50
Petisi 50 adalah sebuah dokumen yang isinya memprotes
penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto terhadap
lawan-lawan politiknya.
Petisi ini
diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah "Ungkapan
Keprihatinan" dan ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia,
termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan
Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan gubernur Jakarta Ali Sadikin[1] dan mantan
Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir.
Para penandatangan petisi ini menyatakan bahwa Presiden
telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila; bahwa Soeharto
menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi
negara Pancasila;[2] Soeharto menggunakan Pancasila "sebagai alat untuk
mengancam musuh-musuh politiknya"; Soeharto menyetujui tindakan-tindakan
yang tidak terhormat oleh militer; sumpah prajurit diletakkan di atas
konstitusi; dan bahwa prajurid dianjurkan untuk "memilih teman dan lawan
berdasarkan semata-mata pada pertimbangan Soeharto".[3]
Latar belakang
Dengan maksud menghindarkan ancaman-ancaman ideologis
dari kiri (yaitu komunisme) dan kanan (yaitu Islam politik), pada 1978
pemerintah Orde Baru mengeluarkan instruksi yang mengharuskan dijadikannya
Pancasila sebagai mata pelajaran wajib di departemen-departemen pemerintahan,
sekolah-sekolah, tempat-tempat kerja, dll., sehingga mengundang kritik dan
cemoooh dari kaum intelektual.[4]
Pada sebuah rapat umum dengan para pimpinan angkatan ABRI
pada 27 Maret 1980, Soeharto mengatakan bahwa ABRI telah berjanji untuk
melindungi Pancasila maupun Undang-Undang Dasar 1945 dari kemungkinan-kemungkinan
amandemen. Soeharto juga berkata bahwa sebagai sebuah kekuatan sosial-politik,
ABRI harus memilih mitra-mitra politik yang benar yang telah terbukti bersedia
mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, karena saat itu ada kekuatan-kekuatan
sosial-politik yang meragu-ragukannya. Ia lalu mengulangi pikiran-pikirannya
ini dalam sebuah pidato pada bulan berikutnya pada peringatan hari jadi
Kopassus. Pidato-pidatonya ini mengundang tanggapan-tanggapan yang keras
sehingga muncullah Petisi 50. Nama ini muncul karena petisi ini ditandatangani
oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia.[5]
Isi dokumen
UNGKAPAN KEPRIHATINAN
Dengan berkat rahmat Allah yang Mahakuasa, kami yang
bertandatangan di bawah ini, yakni sekelompok pemilih dalam pemilu-pemilu yang
lalu, mengungkapkan keprihatinan rakyat yang mendalam atas
pernyataan-pernyataan Presiden Soeharto dalam pidato-pidatonya di hadapan rapat
panglima ABRI di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1980 dan pada peringatan hari
ulang tahun Koppasandha di Cijantung pada tanggal 16 April 1980. Kami prihatin
akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang:
a) Mengungkapkan prasangka bahwa di antara rakyat kita
yang bekerja keras untuk membangun meskipun mereka mengalami beban yang semakin
berat, terdapat polarisasi di antara mereka yang ingin "melestarikan
Pancasila" di satu pihak dengan mereka yang ingin "mengganti
Pancasila" di pihak lain, sehingga muncullah keprihatinan-keprihatinan
bahwa konflik-konflik baru dapat muncul di antara unsur-unsur masyarakat;
b) Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan
sebagai suatu ancaman terhadap lawan-lawan politik. Pada kenyataannya,
Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai alat
pemersatu Bangsa;
c) Membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh
pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana untuk membatalkan
Undang-Undang Dasar 1945 sambil menggunakan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit
sebagai alasannya, meskipun kenyataannya hal ini tidak mungkin karena kedua
sumpah ini berada di bawah UUD 1945;
d) Meyakinkan ABRI untuk memihak, untuk tidak berdiri di
atas seluruh golongan masyarakat, melainkan memilih-milih teman-temannya
berdasarkan pertimbangan pihak yang berkuasa;
e) Memberikan kesan bahwa beliau adalah personifikasi
Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai
anti-Pancasila;
f) Melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada usaha-usaha
untuk mengangkat senjata, mensubversi, menginfiltrasi dan perbuatan-perubatan
jahat ainnya dalam menghadapi pemilu yang akan datang
Mengingat pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam
pidato-pidato Presiden Soeharto adalah unsur yang tidak terpisahkan dari
pelaksanaan pemerintahan negara ini dan pemilihan umum yang segera akan
berlangsung, kami mendesak para wakil rakyat di DPR dan MPR untuk menanggapi
pidato-pidato Presiden pada tanggal 27 Maret dan 16 April 1980.
Jakarta, 5 Mei 1980
Tertanda
H.M. Kamal, Letjen Ahmad Yunus Mokoginta, Suyitno
Sukirno, Letjen (purn.) M. Jasin, Ali Sadikin, Prof. Dr. Mr. Kasman
Singodimedjo, M. Radjab Ranggasoli, Bachrun Martosukarto SH, Abdul Mu'thi SH
(Bandung), M. Amin Ely, Ir. H.M. Sanusi, Mohammad Natsir, Ibrahim Madylao, M.
Ch Ibrahim, Bustaman SH, Burhanuddin Harahap, Dra S.K. Trimurti, Chris Siner
Key Timu, Maqdir Ismail, Alex Jusuf Malik SH, Julius Hussein, SE, Darsjaf
Rahman, Slamet Bratanata, Endy Syafruddin, Wachdiat Sukardi, Ibu D. Walandouw,
Hoegeng Imam Santoso, M. Sriamin, Edi Haryono, Dr. A.H. Nasution, Drs. A.M.
Fatwa, Indra K. Budenani, Drs. Sulaiman Hamzah, Haryono, S. Yusuf, Ibrahim G.
Zakir, Ezra M.T.H Shah, Djalil Latuconsina (Surabaya), Djoddy Happy (Surabaya),
Bakri A.G. Tianlean, Dr. Yudilherry Justam, Drs. Med. Dody Ch. Suriadiredja, A.
Shofandi Zakaria, A. Bachar Mu'id, Mahyudin Nawawi, Syafruddin Prawiranegara, SH,
Manai Sophiaan, Mohammad Nazir, Anwar Harjono, Azis Saleh dan Haji Ali
Akbar.[6][7]
Tanggapan pemerintah
Petisi ini dibacakan di depan para anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 13 Mei 1980 dengan maksud untuk meyakinkan
para wakil rakyat agar meminta penjelasan dari Presiden tentang apa maksudnya
yang sesungguhnya dengan kedua pidatonya itu. Delegasi yang menghadap para
wakil rakyat ini dipimpin oleh Mayjen. (purn.) Dr. Azis Saleh. Pada 3 Juli
1980, 19 anggota DPR mengajukan sebuah dokumen yang memuat dua buah pertanyaan
kepada Presiden. Mereka bertanya apakah presiden setuju bahwa Ungkapan
Keprihatinan itu memuat masalah-masalah penting yang patut mendapatkan
perhatian dari semua pihak, khususnya dari DPR dan pemerintah, dan apakah
rakyat Indonesia patut mendapatkan penjelasan yang menyeluruh dan terinci
tentang masalah-masalah yang diangkat.[8] Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan
kepada Presiden dalam sebuah surat tertanggal 14 Juli.[9] Pertanyaan-pertanyaan
tersebut mengundang berbagai reaksi di lingkungan DPR. Seorang anggota DPR,
Soedardji, tidak setuju bahwa Presiden harus menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Namun, rekan separtainya, Anwar Nuris, mengatakan bahwa hal itu
adalah bagian yang normal dari proses berkonstitusi.[10]
Pada 1 Agustus 1980, Soeharto menyampaikan jawabannya
kepada Ketua DPR Daryatmo, dengan melampirkan salinan dari kedua pidatonya yang
mendorong lahirnya "Ungkapan Keprihatinan". Soeharto menulis bahwa ia
yakin bahwa para anggota DPR yang telah berpengalaman akan memahami makna dari
pidato-pidatonya itu, namun apabila mereka masih belum puas, ia mengusulkan
agar para anggota DPR mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka kepada
anggota-anggota dari Komisi-Komisi DPR terkait, sesuai dengan prosedur tata
cara DPR. Pemerintah lalu dengan senang hati akan memberikan
penjelasan-penjelasan tambahan, melalui Menteri Pertahanan/para panglima
militer, khususnya tentang hal-hal yang diangkat oleh "Petisi 50"
[kutipan sesuai aslinya]. Ketua DPR menyampaikan kepada wartawan bahwa menurut
pendapatnya, tanggapan ini telah cukup memberikan perhatian kepada ke-19
anggota DPR itu, dan telah memperlihatkan rasa hormat kepada DPR.[11]
Karena pemerintah menguasai semua komisi, wacana publik
yang sungguh-sungguh pun ditutup begitu saja dan status quo "Orde
Baru" yaitu dwifungsi, kesatuan Golkar dan ABRI, serta keutamaan Pancasila
ditegaskan kembali.[12] Dalam pidato 17 Agustusnya pada tahun yang sama,
Soeharto menyatakan kembali bahwa "Satu-satunya cara bagi kita untuk
melaksanakannya ialah dengan menerapkan pembangunan ...[dan untuk maksud
tersebut] kita semua harus mampu menjaga kestabilan dinamika
regkonal."[13] Suharto kemudian mencabut hak-hak perjalanan para
kritikusnya, dan melarang koran-koran menerbitkan foto-foto mereka ataupun
mengutip pernyataan-pernyataan mereka..[14] Para anggota kelompok ini tidak
dapat memperoleh pinjaman bank dan kontrak-kontrak [15]. Suharto menyatakan:
"Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya
tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka
patriot". [16]
Lapindo Brantas Inc.
Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BPMIGAS untuk melakukan
proses pengeboran minyak dan gas bumi di Indonesia.
Saham Lapindo Brantas dimiliki 100% oleh PT. Energi Mega
Persada melalui anak perusahaannya yaitu PT Kalila Energy Ltd (84,24 persen)
dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Saat ini Lapindo memiliki 50%
participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur, Indonesia. Selain
Lapindo, participating interest Blok Brantas juga dimiliki oleh PT Medco
E&P Brantas (anak perusahaan dari MedcoEnergi) sebesar 32 persen dan Santos
sebesar 18 persen. Dikarenakan memiliki nilai saham terbesar, maka Lapindo
Brantas bertindak sebagai operator.
PT. Energi Mega Persada sebagai pemilik saham mayoritas
Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan Grup Bakrie. Grup Bakrie memiliki
63,53% saham, sisanya dimiliki komisaris EMP, Rennier A.R. Latief, dengan
3,11%, Julianto Benhayudi 2,18%, dan publik 31,18%.[1] Chief Executive Officer
(CEO) Lapindo Brantas Inc. adalah Nirwan Bakrie yang merupakan adik kandung
dari pengusaha dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik
Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu, Aburizal Bakrie.
Penjualan saham
Pada tanggal 20 September 2006, PT Energi Mega Persada
Tbk (PT EMP) berencana menjual Lapindo Brantas Inc ke Lyte Limited, perusahaan
yang berafiliasi ke Kelompok Usaha Bakrie. Akan tetapi penjualan ini tidak
disetujui oleh Bapepam-LK dengan alasan manajemen Energi belum bisa memberi
penjelasan apa penyebab insiden lumpur panas dan pihak mana yang harus
bertanggung-jawab.
Oleh karena itu, PT EMP mengalihkan rencana penjualan
Lapindo Brantas ke pihak ketiga yang tidak berafiliasi dengan grup Bakrie
sehingga tidak perlu meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Dengan alasan tidak adanya benturan kepentingan, sebagaimana yang terjadi
dengan penjualan kepada Lyte Limited,[1] maka pada tanggal 14 November 2006
kepemilikan saham PT EMP di Lapindo Brantas akhirnya dijual kepada Freehold
Group Limited, sebuah perusahaan investasi yang berkedudukan di Kepulauan
Virgin Britania Raya, [2] namun penjualan ini lalu dibatalkan Freehold pada 28
November 2006.[3]
Semburan lumpur di Porong
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Banjir lumpur
panas Sidoarjo
Pada tanggal 29 Mei 2006, lumpur panas menyembur dari
rekahan tanah yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari sumur Banjar Panji-1
milik PT. Lapindo Brantas di desa Renokenongo, kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo provinsi Jawa Timur, Indonesia. Semburan lumpur yang sampai dengan
bulan Oktober 2006 belum berhasil dihentikan telah menyebabkan tutupnya tak
kurang dari 10 pabrik dan 90 hektare sawah serta pemukiman penduduk tak bisa
digunakan dan ditempati lagi. Banjir Lumpur panas selain mengganggu jadwal
perjalanan kereta api dari dan ke Surabaya, juga menyebabkan jalan tol
Surabaya-Gempol ditutup untuk ruas Gempol-Sidoarjo sehingga menyebabkan
kemacetan luar biasa di jalur dari dan menuju ke Surabaya. Jalur tol pengganti
kini mulai dibangun karena kemacetan lalu-lintas di jalur ini sangat mengganggu
perekonomian Jawa Timur.
Banjir lumpur panas Sidoarjo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ini adalah versi yang telah diperiksa dari halaman
initampilkan/sembunyikan detail
Desa Renokenongo dan Kedungbendo yang tergenang lumpur
Banjir lumpur panas Sidoarjo, juga dikenal dengan sebutan
Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo (Lusi), adalah peristiwa menyemburnya
lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo
Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia,
sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini
menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di
tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa
Timur.
Lokasi
Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni
kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan
kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten
Pasuruan) di sebelah selatan.
Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur
Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo
Brantas Inc sebagai operator blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini,
semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang
dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri
punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan
kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan
terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Namun
bahan tulisan lebih banyak yang condong kejadian itu adalah akibat pemboran.
Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan
pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa
Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan
raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur),
serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan
Surabaya-Banyuwangi,Indonesia
Perkiraan penyebab kejadian[sunting | sunting sumber]
Ada yang mengatakan bahwa lumpur Lapindo meluap karena
kegiatan PT Lapindo di dekat lokasi itu.
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1
pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT
Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton
International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari
Lapindo senilai US$ 24 juta.
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman
8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur
tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai
dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya
lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam
sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang
casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing
(liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo
Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi
dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing
9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara
formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan
kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka
membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang
dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona
Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan
memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang
sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena
kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure
(bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out)
tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).
Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)
Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh
batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal
mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat
porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur
formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau
circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi
Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik
tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran
dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup &
segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan
tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan
tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan
selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut,
diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak
terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena
tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur
disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha
mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi &
berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar
area sumur, bukan di sumur itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan
pemboran MIGAS di Indonesia setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua
dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh BP MIGAS.
Dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition
dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan,
tanggal 26-29 Oktober 2008, merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan
oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli
geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia
mendukung GEMPA YOGYA sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan
PEMBORAN sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan KOMBINASI
Gempa dan Pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan
belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal
29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pemboran.
Volume lumpur
Berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar
disebabkan karena adanya patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke
Madura seperti Gunung Anyar di Madura, "gunung" lumpur juga ada di
Jawa Tengah (Bleduk Kuwu). Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan ratusan
tahun yang lalu. Jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar
100.000 meter kubik perhari, yang tidak mungkin keluar dari lubang hasil
"pemboran" selebar 30 cm. Dan akibat pendapat awal dari WALHI maupun
Meneg Lingkungan Hidup yang mengatakan lumpur di Sidoarjo ini berbahaya,
menyebabkan dibuat tanggul di atas tanah milik masyarakat, yang karena
volumenya besar sehingga tidak mungkin menampung seluruh luapan lumpur dan
akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi semakin luas.
Lumpur di Sidoardjo |
Hasil uji lumpur
Beberapa hasil pengujian
Parameter
Hasil uji maks
Baku Mutu
(PP Nomor 18/1999)
Arsen
0,045 Mg/L
5 Mg/L
Barium
1,066 Mg/L
100 Mg/L
Boron
5,097 Mg/L
500 Mg/L
Timbal
0,05 Mg/L
5 Mg/L
Raksa
0,004 Mg/L
0,2 Mg/L
Sianida Bebas
0,02 Mg/L
20 Mg/L
Trichlorophenol
0,017 Mg/L
2 Mg/L (2,4,6 Trichlorophenol)
400 Mg/L (2,4,4 Trichlorophenol)
Berdasarkan pengujian toksikologis di 3 laboratorium
terakreditasi (Sucofindo, Corelab dan Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata
lumpur Sidoarjo tidak termasuk limbah B3 baik untuk bahan anorganik seperti
Arsen, Barium, Boron, Timbal, Raksa, Sianida Bebas dan sebagainya, maupun untuk
untuk bahan organik seperti Trichlorophenol, Chlordane, Chlorobenzene,
Chloroform dan sebagainya. Hasil pengujian menunjukkan semua parameter bahan
kimia itu berada di bawah baku mutu.[1]
Hasil pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Penaeus
monodon) maupun organisme akuatik lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa
lumpur tersebut tidak berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. LC50
adalah pengujian konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50 persen
hewan uji mati. Hasil pengujian membuktikan lumpur tersebut memiliki nilai LC50
antara 56.623,93 sampai 70.631,75 ppm Suspended Particulate Phase (SPP)
terhadap larva udang windu dan di atas 1.000.000 ppm SPP terhadap Daphnia
carinata. Sementara berdasarkan standar EDP-BPPKA Pertamina, lumpur dikatakan
beracun bila nilai LC50-nya sama atau kurang dari 30.000 mg/L SPP.
Di beberapa negara, pengujian semacam ini memang
diperlukan untuk membuang lumpur bekas pengeboran (used drilling mud) ke dalam
laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari 30.000 Mg/L SPP, lumpur dapat dibuang ke
perairan.
Namun Simpulan dari Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan
hasil berbeda, dari hasil penelitian Walhi dinyatakan bahwa secara umum pada
area luberan lumpur dan sungai Porong telah tercemar oleh logam kadmium (Cd)
dan timbal (Pb) yang cukup berbahaya bagi manusia apalagi kadarnya jauh di atas
ambang batas. Dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata lumpur Lapindo dan
sedimen Sungai Porong kadar timbal-nya sangat besar yaitu mencapai 146 kali
dari ambang batas yang telah ditentukan. (lihat: Logam Berat dan PAH Mengancam
Korban Lapindo)
Berdasarkan PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang
batas PAH yang diizinkan dalam lingkungan adalah 230 µg/m3 atau setara dengan
0,23 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/kg. Maka dari hasil analisis di atas
diketahui bahwa seluruh titik pengambilan sampel lumpur Lapindo mengandung
kadar Chrysene di atas ambang batas. Sedangkan untuk Benz(a)anthracene hanya
terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20, yang kesemunya di atas ambang
batas.
Dengan fakta sedemikian rupa, yaitu kadar PAH (Chrysene
dan Benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2000 kali di atas
ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya kandungan PAH
(Chrysene dan Benz(a)anthracene) tersebut telah mengancam keberadaan manusia
dan lingkungan:
Bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan)
Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika
kontak langsung dengan kulit
Kanker
Permasalahan reproduksi
Membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan
kulit
Dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan
lingkungan mungkin tidak akan terlihat sekarang, melainkan nanti 5-10 tahun
kedepan. Dan yang paling berbahaya adalah keberadaan PAH ini akan mengancam kehidupan
anak cucu, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar semburan lumpur
Lapindo beserta ancaman terhadap kerusakan lingkungan. Namun sampai Mei 2009
atau tiga tahun dari kejadian awal ternyata belum terdapat adanya korban sakit
atau meninggal akibat lumpur tersebut.
Hasil analisis logam pada materi
Parameter Satuan Kep. MenKes no 907/2002 Lumpur Lapindo Air
Lumpur Lapindo Sedimen Sungai
Porong Air Sungai Porong
Kromium (Cr) mg/L 0,05 nd nd nd nd
Kadmium (Cd) mg/L 0,003 0,3063 0,0314 0,2571 0,0271
Tembaga (Cu) mg/L 1 0,4379 0,008 0,4919 0,0144
Timbal (Pb) mg/L 0,05 7,2876 0,8776 3,1018 0,6949
Dampak[sunting | sunting sumber]
Peta Semburan
Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi
masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei
2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik
untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp. 6 Triliun.
Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula
hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat
dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian.
Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong.
Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah
desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga
yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi.
Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah
terendam lumpur.
Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur
hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo,
Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring,
Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon;
serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan
aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang
tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para
pegawai juga terancam tak bekerja.
Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas
Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan
listrik dan telepon)
Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur
dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142,
Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7
sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15,
masjid dan musala 15 unit.
Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi,
termasuk areal persawahan
Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager
PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665
miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan
lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah [2].
Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan
tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam [3].
Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu
yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif,
yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
Tak kurang 600 hektare lahan terendam.
Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon
dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat
difungsikan.
Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan
terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta
kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap
aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
Upaya penanggulangan[sunting | sunting sumber]
Rumah yang terendam lumpur panas
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan
lumpur, diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area genangan
lumpur. Namun, lumpur terus menyembur setiap harinya, sehingga sewaktu-waktu
tanggul dapat jebol, yang mengancam tergenanginya lumpur pada permukiman di
dekat tanggul. Jika dalam tiga bulan bencana tidak tertangani, adalah membuat
waduk dengan beton pada lahan seluas 342 hektare, dengan mengungsikan 12.000
warga. Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, untuk menampung lumpur sampai
Desember 2006, mereka menyiapkan 150 hektare waduk baru. Juga ada cadangan 342
hektare lagi yang sanggup memenuhi kebutuhan hingga Juni 2007. Akhir Oktober,
diperkirakan volume lumpur sudah mencapai 7 juta m3.Namun rencana itu batal
tanpa sebab yang jelas.
Badan Meteorologi dan Geofisika meramal musim hujan bakal
datang dua bulanan lagi. Jika perkira-an itu tepat, waduk terancam kelebihan
daya tampung. Lumpur pun meluap ke segala arah, mengotori sekitarnya.
Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS)
memperkirakan, musim hujan bisa membuat tanggul jebol, waduk-waduk lumpur
meluber, jalan tol terendam, dan lumpur diperkirakan mulai melibas rel kereta.
Ini adalah bahaya yang bakal terjadi dalam hitungan jangka pendek.
Sudah ada tiga tim ahli yang dibentuk untuk memadamkan
lumpur berikut menanggulangi dampaknya. Mereka bekerja secara paralel. Tiap tim
terdiri dari perwakilan Lapindo, pemerintah, dan sejumlah ahli dari beberapa
universitas terkemuka. Di antaranya, para pakar dari ITS, Institut Teknologi
Bandung, dan Universitas Gadjah Mada. Tim Satu, yang menangani penanggulangan
lumpur, berkutat dengan skenario pemadaman. Tujuan jangka pendeknya adalah
memadamkan lumpur dan mencari penyelesaian cepat untuk jutaan kubik lumpur yang
telah terhampar di atas tanah.
Skenario penghentian semburan lumpur[sunting | sunting
sumber]
Ada pihak-pihak yang mengatakan luapan lumpur ini bisa
dihentikan, dengan beberapa skenario dibawah ini, namun asumsi luapan bisa
dihentikan sampai tahun 2009 tidak berhasil sama sekali, yang mengartikan
luapan ini adalah fenomena alam.
Skenario pertama, menghentikan luapan lumpur dengan
menggunakan snubbing unit pada sumur Banjar Panji-1. Snubbing unit adalah suatu
sistem peralatan bertenaga hidraulik yang umumnya digunakan untuk pekerjaan
well-intervention & workover (melakukan suatu pekerjaan ke dalam sumur yang
sudah ada). Snubbing unit ini digunakan untuk mencapai rangkaian mata bor
seberat 25 ton dan panjang 400 meter yang tertinggal pada pemboran awal.
Diharapkan bila mata bor tersebut ditemukan maka ia dapat didorong masuk ke dasar
sumur (9297 kaki) dan kemudian sumur ditutup dengan menyuntikan semen dan
lumpur berat. Akan tetapi skenario ini gagal total. Rangkaian mata bor tersebut
berhasil ditemukan di kedalaman 2991 kaki tetapi snubbing unit gagal
mendorongnya ke dalam dasar sumur.
Skenario kedua dilakukan dengan cara melakukan pengeboran
miring (sidetracking) menghindari mata bor yang tertinggal tersebut. Pengeboran
dilakukan dengan menggunakan rig milik PT Pertamina (persero). Skenario kedua
ini juga gagal karena telah ditemukan terjadinya kerusakan selubung di beberapa
kedalaman antara 1.060-1.500 kaki, serta terjadinya pergerakan lateral di
lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu mempersulit pelaksanaan sidetracking. Selain
itu muncul gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran yang dikhawatirkan
membahayakan keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar lokasi pemboran
telah lebih dari 15 meter dari permukaan tanah sehingga tidak layak untuk
ditinggikan lagi. Karena itu, Lapindo Brantas melaksanakan penutupan secara
permanen sumur BJP-1.
Skenario ketiga, pada tahap ini, pemadaman lumpur
dilakukan dengan terlebih dulu membuat tiga sumur baru (relief well). Tiga
lokasi tersebut antara lain: Pertama, sekitar 500 meter barat daya Sumur Banjar
Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1.
Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1. Sampai saat ini
skenario ini masih dijalankan.
Ketiga skenario beranjak dari hipotesis bahwa lumpur
berasal dari retakan di dinding sumur Banjar Panji-1. Padahal ada hipotesis
lain, bahwa yang terjadi adalah fenomena gunung lumpur (mud volcano), seperti
di Bledug Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah. Sampai sekarang, Bledug Kuwu terus
memuntahkan lumpur cair hingga membentuk rawa.
Rudi Rubiandini, anggota Tim Pertama, mengatakan bahwa
gunung lumpur hanya bisa dilawan dengan mengoperasikan empat atau lima relief
well sekaligus. Semua sumur dipakai untuk mengepung retakan-retakan tempat
keluarnya lumpur. Kendalanya pekerjaan ini mahal dan memakan waktu. Contohnya,
sebuah rig (anjungan pengeboran) berikut ongkos operasionalnya membutuhkan Rp
95 miliar. Biaya bisa membengkak karena kontraktor dan rental alat pengeboran
biasanya memasang tarif lebih mahal di wilayah berbahaya. Paling tidak kelima
sumur akan membutuhkan Rp 475 miliar. Saat ini pun sulit mendapatkan rig yang
menganggur di tengah melambungnya harga minyak.
Rovicky Dwi Putrohari, seorang geolog independen, menulis
bahwa di lokasi sumur Porong-1, tujuh kilometer sebelah timur Banjar Panji-1,
terlihat tanda-tanda geologi yang menunjukkan luapan lumpur pada zaman dulu,
demikian analisisnya. Rovicky mencatat sebuah hal yang mencemaskan: semburan
lumpur di Porong baru berhenti dalam rentang waktu puluhan hingga ratusan
tahun.
Dalam dokumen Laporan Audit Badan Pemeriksa Keuangan
tertanggal 29 Mei 2007 disebutkan temuan-temuan bahwa upaya penghentian
semburan lumpur tersebut dengan teknik relief well tidak berhasil disebabkan
oleh faktor-faktor nonteknis, diantaranya: peralatan yang dibutuhkan tidak
disediakan. Senada dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan, Rudi Rubiandini juga
menyatakan bahwa upaya penghentian semburan lumpur dengan teknik relief well
tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan kekurangan dana.
Antisipasi kegagalan menghentikan semburan lumpur[sunting
| sunting sumber]
Jika skenario penghentian lumpur terlambat atau gagal
maka tanggul yang disediakan tidak akan mampu menyimpan lumpur panas sebesar
126,000 m3 per hari. Pilihan penyaluran lumpur panas yang tersedia pada
pertengahan September 2006 hanya tinggal dua.Skenario ini dibuat kalau luapan
lumpur adalah kesalahan manusia, seandainya luapan lumpur dianggap sebagai
fenomena alam, maka skenario yang wajar adalah 'bagaimana mengalirkan lumpur
kelaut' dan belajar bagaimana hidup dengan lumpur.
Pilihan pertama adalah meneruskan upaya penangangan
lumpur di lokasi semburan dengan membangun waduk tambahan di sebelah
tanggul-tanggul yang ada sekarang. Dengan sedikit upaya untuk menggali lahan
ditempat yang akan dijadikan waduk tambahan tersebut agar daya tampungnya
menjadi lebih besar. Masalahnya, untuk membebaskan lahan disekitar waduk
diperlukan waktu, begitu juga untuk menyiapkan tanggul yang baru, sementara
semburan lumpur secara terus menerus, dari hari ke hari, volumenya terus
membesar.
Pilihan kedua adalah membuang langsung lumpur panas itu
ke Kali Porong. Sebagai tempat penyimpanan lumpur, Kali Porong ibarat waduk
yang telah tersedia, tanpa perlu digali, memiliki potensi volume penampungan
lumpur panas yang cukup besar. Dengan kedalaman 10 meter di bagian tengah kali
tersebut, bila separuhnya akan diisi lumpur panas Sidoardjo, maka potensi
penyimpanan lumpur di Kali Porong sekitar 300,000 m3 setiap kilometernya.
Dengan kata lain, kali Porong dapat membantu menyimpan lumpur sekitar 5 juta
m3, atau akan memberikan tambahan waktu sampai lima bulan bila volume lumpur
yang dipompakan ke Kali Porong tidak melebihi 50,000 m3 per hari. Bila yang
akan dialirkan ke Kali Porong adalah keseluruhan lumpur yang menyembur sejak
awal Oktober 2006, maka volume lumpur yang akan pindah ke Kali Porong mencapai
10 juta m3 pada bulan Desember 2006. Volume lumpur yang begitu besar
membutuhkan frekuensi dan volume penggelontoran air dari Sungai Brantas yang
tinggi, dan kegiatan pengerukan dasar sungai yang terus menerus, agar Kali Porong
tidak berubah menjadi waduk lumpur. Sedangkan untuk mencegah pengembaraan
koloida lumpur Sidoardjo di perairan Selat Madura,diperlukan upaya pengendapan
dan stabilisasi lumpur tersebut di kawasan pantai Sidoardjo.
Para pakar yang melakukan simposium di ITS pada minggu
kedua September, menyampaikan informasi bahwa kawasan pantai di Kabupaten
Sidoardjo mengalami proses reklamasi pantai secara alamiah dalam beberapa
dekade terakhir disebabkan oleh proses sedimentasi dan dinamika perairan Selat
Madura. Setiap tahunnya, pantai Sidoardjo bertambah 40 meter. Sehingga upaya
membentuk kawasan lahan basah di pantai yang terbuat dari lumpur panas
Sidoardjo, merupakan hal yang selaras dengan proses alamiah reklamasi pantai
yang sudah berjalan beberapa dekade terakhir.
Dengan mengumpulkan lumpur panas Sidoarjo ke tempat yang
kemudian menjadi lahan basah yang akan ditanami oleh mangrove, lumpur tersebut
dapat dicegah masuk ke Selat Madura sehingga tidak mengancam kehidupan nelayan
tambak di kawasan pantai Sidoardjo dan nelayan penangkap ikan di Selat Madura.
Pantai rawa baru yang akan menjadi lahan reklamasi tersebut dikembangkan
menjadi hutan bakau yang lebat dan subur, yang bermanfaat bagi pemijahan ikan,
daerah penyangga untuk pertambakan udang. Pantai baru dengan hutan bakau di
atasnya dapat ditetapkan sebagai kawasan lindung yang menjadi sumber inspirasi
dan sarana pendidikan bagi masyarakat terhadap pentingnya pelestarian kawasan
pantai.
Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur[sunting |
sunting sumber]
Pada 9 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menandatangani surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan
Lumpur di Sidoarjo, yaitu Keppres Nomor 13 Tahun 2006. Dalam Keppres itu
disebutkan, tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi
bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur
dengan risiko lingkungan paling kecil. Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, dengan tim pengarah
sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan. Seluruh biaya untuk
pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas.Namun
upaya Timnas yang didukung oleh Rudy Rubiandini ternyata gagal total walaupun
telah menelan biaya 900 miliar rupiah.
Keputusan Pemerintah
Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya memutuskan
untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali Porong. Keputusan itu
dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur dari 50,000
meter kubik per hari menjadi 126,000 meter kubik per hari, untuk memberikan
tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur tersebut dan
sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain, seperti pembentukan
lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoardjo.
Pendapat Kontra pembuangan lumpur secara langsung
Banyak pihak menolak rencana pembuangan ke laut ini,
diantaranya Walhi [4] dan ITS [5]. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy
Numberi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, 5 September 2006,
menyatakan luapan lumpur Lapindo mengakibatkan produksi tambak pada lahan
seluas 989 hektare di dua kecamatan mengalami kegagalan panen. Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian akibat luapan lumpur pada
budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan Porong Sidoarjo, Jawa Timur,
mencapai Rp10,9 miliar per tahun. Dan rencana pembuangan lumpur yang dilakukan
dengan cara mengalirkannya ke laut melalui Sungai Porong, bisa mengakibatkan
dampak yang semakin meluas yakni sebagian besar tambak di sepanjang pesisir
Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di sekitarnya, karena lumpur yang sampai di
pantai akan terbawa aliran transpor sedimen sepanjang pantai. [6]
Dampak lumpur itu bakal memperburuk kerusakan ekosistem
Sungai Porong. Ketika masuk ke laut, lumpur otomatis mencemari Selat Madura dan
sekitarnya. Areal tambak seluas 1.600 hektare di pesisir Sidoarjo akan
terpengaruh.
Alternatif yang sudah dikaji lembaga seperti Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, dengan memisahkan air dari endapan lumpur
lalu membuang air ke laut. Lumpur itu mengandung 70 persen air, sisanya bahan
endapan. Kalau air bisa dibuang ke laut, tentu danau penampungan tak perlu
diperlebar, dan tekanan pada tanggul bisa dikurangi. Sampai tahun 2009 ternyata
teori itu tidak bisa membuktikan adanya dampak tersebut.
Penetapan tersangka
Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 13
tersangka yakni :
Ir. EDI SUTRIONO selaku Drilling Manager PT. Energy Mega
Persada, Tbk.
Ir. NUR ROCHMAT SAWOLO, MESc selaku Vice President
Drilling Share Services PT. Energy Mega Persada, Tbk.
Ir. RAHENOD selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra
Nusa.
SLAMET BK selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra
Nusa.
SUBIE selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa.
SLAMET RIYANTO selaku Project Manager PT. Medici Citra
Nusa.
YENNY NAWAWI, SE selaku Dirut PT. Medici Citra Nusa.
SULAIMAN Bin H.M. ALI selaku Rig Superintendent PT. Tiga
Musim Mas Jaya.
SARDIANTO selaku Tool Pusher PT. Tiga Musim Mas Jaya.
LILIK MARSUDI selaku Driller PT. Tiga Musim Mas Jaya.
WILLEM HUNILA selaku Company Man Lapindo Brantas, Inc.
Ir. H. IMAM PRIA AGUSTINO selaku General Manager Lapindo
Brantas, Inc.
Ir. ASWAN PINAYUNGAN SIREGAR selaku mantan General
Manager Lapindo Brantas, Inc.
Namun perkara pidana tersebut dihentikan oleh penyidik
Polda Jawa Timur dengan alasan bahwa dalam perkara perdatanya gugatan YLBHI dan
Walhi kepada Lapindo dan pemerintah telah gagal. Selain itu, adanya perbedaan
pendapat para ahli. Gerakan Menutup Lumpur Lapindo pernah mengajukan nama-nama
ahli tambahan, para ahli terkemuka Indonesia dan luar negeri yang tergabung
dalam Engineer Drilling Club (EDC) yang mendukung fakta kesalahan pemboran
berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tersebut, tetapi ditolak oleh
penyidik Polda Jawa Timur (tidak ditanggapi).
Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan
UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan,
dengan ancaman hukum 12 tahun penjara. "Otomatis UU pencemaran lingkungan
hidup ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena merusak lingkungan
hidup," kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Bachrul Alam
yang sejak tahun 2009 menjadi Kapolda Jawa Timur.
Kritik
Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus luapan
lumpur panas ini. Masyarakat adalah korban yang paling dirugikan, di mana
mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi
yang layak. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan
bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP yang rata-rata harga
tanah dibawah Rp. 100 ribu- dibeli oleh Lapindo sebesar Rp 1 juta dan bangunan
Rp 1,5 juta masing-masing permeter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo,
Renokenongo, Siring, dan jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN,
juga penanganan infrastruktur yang rusak.Hal ini dianggap wajar karena banyak
media hanya menuliskan data yang tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur
ini.
Salah satu pihak yang paling mengecam penanganan bencana
lumpur Lapindo adalah aktivis lingkungan hidup. Selain mengecam lambatnya
pemerintah dalam menangani lumpur, mereka juga menganggap aneka solusi yang
ditawarkan pemerintah dalam menangani lumpur akan melahirkan masalah baru,
salah satunya adalah soal wacana bahwa lumpur akan dibuang ke laut karena
tindakan tersebut justru berpotensi merusak lingkungan sekitar muara. [7][8]
PT Lapindo Brantas Inc sendiri lebih sering mengingkari
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan korban.Menurut
sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883 buah dokumen Mei 2009 hanya
tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status tanah yang belum
jelas. Namun para warga korban banyak yang menerangkan kepada Komnas HAM dalam
penyelidikannya bahwa para korban sudah diminta menandatangani kuitansi lunas
oleh Minarak Lapindo Jaya, padahal pembayarannya diangsur belum lunas hingga
sekarang. Dalam keterangannya kepada DPRD Sidoarjo pada Oktober 2010 ini Andi
Darusalam Tabusala mengakui bahwa dari sekitar 13.000 berkas baru sekitar 8.000
berkas yang diselesaikan kebanyakan dari korban yang berasal dari Perumtas Tanggulangin
Sidoarjo. Hal ini menunjukkan bahwa banyak keterangan dan penjelasan yang masih
simpang siur dan tidak jelas. [9][10][11][12]
Perkembangan terbaru yang diinformasikan bahwa
pengeluaran yang sudah dilakukan oleh Abu Rizal Bakrie untuk kawasan terdampak
lumpur mencapai 9 Triliun Rupiah dan memiliki sisa tanggungan sebesar 800
Miliyar rupiah atau sebesar 8% saja, berbeda dengan pemberitaan di Media yang
menyatakan pihak Bakrie Grup baru melunasi 20% biaya penanggulangan kawasan
terdampak lumpur lapindo.[Bersambung)
No comments:
Post a Comment