!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Tuesday, August 5, 2014

Perjalanan yang belum Selesai. (2)

 Perjalanan yang belum Selesai.
Kapal Selam Belanda

(Bagian kedua, Depok, 6 Agustus 2014, 07.30 WIB)

Ayahku pernah cerita, kalau kakekku Diran Wirotiyoso asal, Klaten Jawa Tengah , Ayahku pernah cerita kalau kakekku ada garus keturunan dari Panglima Perang Tunggul Wulung (tapi cerita ini belum dikonfirmasi kebenarannya,

Tapi yang jelas dia masuk dinas Ketentaraan Kerajaan Belanda yang disebut KNIL dengan posisi pasukan marinir dan pertama kali bermarkas di Muntilan, Jawa Tengah , persis kapan peristiwa ini terjadi, konon sebelum perang dunia II tahun 1945.

Kakekku pernah bertugas di Tanah Grogot, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, di kota inilah ia berkenalan dan berjodoh dengan Nenekku Ny Inah, yang keturunan Dayak Pasir (Paser), Dari perkawinan keduanya mereka dikaruniai dua anak, tapi kakak Ayahku Agusno konon meninggal sejak masih balita.

Pada waktu Perang dunia II Diran Wiryo Tiyoso yang merupakan seorang prajurit marinir berlayar dengan kapal Selam Belanda, dan koonon dalam pertempuran laut dengan tentara Jepang, kapal selamnya ditenggelamkan marinir Jepang di perairan Australia.
Ketika itu komunikasi belum secanggih sekarang sehingga Nenekku yang masih tinggal di Tanah Grogot bingung mencari informasi kemana mengenai kabar suaminya yang berlayar dengan kapal selam Belanda itu tapi sudah berbulan dan tahun tidak ada kabar beritanya.

Akhirnya ia bersama anak semata wayangnya itu (Agusno) yang masih berusia lima tahun berupaya ke Muntilan (Jawa Tengah) markas Marinir Belanda ketika itu. Konon kabarnya informasi tewasnya Kakekku Di perairan Australia diperoleh dari Markas Marinir Belanda,






Pada waktu Nenekku hendak kembali pulang ke Tanah Grogot rupanya sesampainya di sekitar Kebumen terjadi pertempuran antara Tentara Pejuang Republik Indonesia dengan tentara Belanda, sehingga Nenekku yang berlarian menuju ke tempat pengungsian yang teng berlarian ke sana kemari kehilangan anaknya, karena terlepas dari pegangan tangan.

Ayahku yang masih Balita hanya bisa menangis kesana kemari mencari ibunya yang tengah tersesat. Akhirnya sambil menahan rasa lapar Ayahku berjalan kaki di sekira Kebumen dan sesampainya di Gombong ada seorang bapak (ayahnya Ibu Purwanto) yang kami sebut Kakek Gombong ‘’mengambil’’ ayah saya untuk diselamatkan dari amukan perang, sehinnga ayahku tinggal bersama kakek dan Nenek Gombong itu bahkan sempat disekolahkan sampai tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Ketika tahun 1970 saya kembali berkunjung ke Gombong bersama Ayah saya Kakek Gombong itu memperlihatkan bekas berondongan peluru Belanda yang banyak melubangi dinding dapur dan rumahnya yang sengaja dia tidak renovasi biar saya bisa menyaksikan saksi bisu bersejarah itu.

Usai tamat SMP ayahku pulang kampong ingin menyusul Ibunya yang konon sudah sampai di tanah Grogot, dan Ayahku yang masih belia itu sekitar 17 tahun masuk dinas Ketentaraan di kota Balikpapan yang kemudian ditaruh ke kesatuan di Intendam (kini Bekumdam/Komando Perbekalan ) sampai ayahku pension dihabiskan di kesatuan ini, yang sampai pensiun berpangkat Peltu (Pembantu Letnan Satu), karena ayahku gagal sekolah secapa (Calon Perwira) di Cimahi, Bandung, karena menderita sakit maag parah (sempat buang besar bersama darah segar), karena lambungnya sudah luka parah, tidak heran sekitar tahun 1970 dirawat di Rumah Sakit Cikini selama tiga bulan ditangani dokter spesialis penyakit dalam Dr Arifin.

Selama di Jakarta, saya yang masih kelas lima sekolah Dasar ikut mrngantar ayah berobat ke Jakarta, dan dititipkan pada Bapak Letnan Kolonel Dumyati, rekan satu lifting dengan Ayahku ketika bertugas di Balikpapan, hanya saja Letkol Dumyati berhasil sekolah Secapa di Cimahi, Bandung.

Setelah sehat ayahku kembali bertugas ke Balikpapan. Aku kembali rutin ke sekolah mencoba mengejar ketinggalan mata pelajaran maklum sudah bolos (Absen) selama lebih tiga bulan.

Sepeningal kakekku Nenekku tentu memperoleil uang pensiun dari Pemerintah Belanda yang setiap awal bulan selalu diambil di kantor Pos Besar, Klandasan, setiap mau ambil uang pensiun tidak lupa
Nenekku membawasalah satu cucunya untuk dibawa ke kantor Pos.

Aku masih ingat usai ambil uang pensiun Nenekku selalu singgah di pasar Kampung baru tengah untuk belanja sembako (beras, gula putih,ikan asin) untuk dibawanya mudik di Hutan sekitar Sungai Wain, selain membeli jajanan untuk oleh-oleh cucunya, kadang membeli satai ayam , kadang membeli Martabak manis (kalau di Balikpapan dikenal dengan nama Terang Bulan).

Pada 1 Maret 1973 Ayahku memutuskan untuk Pindah Ke Jakarta, dan menjual rumahnya di kampung Baru Tengah Rp 1,3 juta dan kami naik pesawat Dakota Bouraq, yang tempat duduknya masih terpal, aku masih ingat pesawat yang mendarat di Bandar Udara Kemayoran ini praktis dari Balikpapan hanya didominasi Ayahku, Ibuku dan anak-anak yang Sembilan. Ketika itu si Bungsu Bambang Widodo masih menyusui (berumur beberapa bulan).

Di Bandar Udara Kemayoran Letnan Kolonel Dumyati dan istri dan anaknya sudah menjemput dengan menyewa mobil boks kami sekeluarga yang anak-anak duduk di dalm boks bersama beberapa peti buatan yang membawa banyak perabotan untuk dibawa ke Losmen Jaya I, Jatinegara, ketika itu Letkol Dumyati bersama para perwira dari kesatuan lain tingal di Losmen ini sebelum mendapat tempat tinggal baru di Jakarta. Tiga bulan kemudian kami pindah ke Asrama Kobekdam V Jaya di Cililitan Kecil (sekarang di belakang Pusat Grosir Cililitan (PGC).
Seperti biasa yang namanya asrama prajurit pasti ukurannya sangat kecil agar rumah bisa ditiduri Kesebelasan (dengan Sembilan anak, ayahku membangun kamar tingkat (loteng) di dapur) yang dipasangi palbet tentara bisa muat enam orang, sisanya di dua kamar bawah. Dua tahun kemudian lahir lagi Si Bungsu anak ke sepuluh (Wahyu Eko Buwono) kata ibuku dia pernah melahirkan senyak 13 kali, hanya saja tiga kali keguguran, tidak heran karena sering melahirkan Ibuku terkena penyakit pelupa (Alzaimer) tidak heran kalau sampai sekarang ibuku tetap buta hurup, karena belajar membaca dan mengaji selalu lupa.

Aku di Jakarta dimasukkan ke sekolah Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 14 Jatinegara, Jakarta Timur. Setelah lulus Ayahku memasukan aku ke sekolah Teknik Menengah (STM) tepatnya di STM Jaya I yang terletak di jalan Budi Utomo Jakarta Pusat (bersebelahan dengan STM Negeri I Jakarta.

Saya masuk STM Jaya I , jurusan Mesin karena tidak lulus tes masuk STM Pembangunan empat tahun di Rawamangun, Jakarta Timur

Mungkin kondisi ayah saya yang memiliki anak sepuluh dengan gaji prajurit yang kecil dia tidak sanggup membiyai kuliahku kelak kalau aku memilih Sekolah Menengah Atas (SMA). Tapi dihati kecilku aku ingin juga merasakan bangku kuliah seperti kebanyakan teman sebayaku, sehingga aku diam-diam menggunakan uang tabunganku didalam celengan dari tanah liat ayam-ayaman aku pecahkan agar aku bisa mendaftar SMA Pancasila II, Jatinegara (siangnya gedung sekolah ini digunakan untuk siswa SMA Negeri 22 Jakarta Timur.

Kebetulan SMA Pancasila masuk pukul 06 Sore selesai pukul 10 malam. Siangnya dari pukul12 siang sampai jam lima sore aku tetap sekolah di STM Jaya I. jadi setiap hari berangkat pagi pulang malam.

Pada waktu aku masih duduk di kelas II SMA ada iklan lowongan menjadi Pegawai Negeri di Koran Berita Buana, aku mendaftar tentunya masih menngunakan ijasah SMP. Untungnya aku pernah kursus mengetik di Caraka College (bersebelahan dengan SMA Pancasila II, kebetulan yang dibutukan Juru Tik pangkat IB. Diantara ribuan pelamar aku lulus tes, terdiri tes tertulis di Stadion Utama, Senayan Jakarta, Tes wawancara dan tes ketrampilan Mengetik.



Prof.Dr.Daoed Joesoef


Setelah aku lulus aku ditempatkan di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Mentrinya dijabat Prof Doed Joesoef, Direktur Jenderalnya dijabat Prof. Doddy Tisna Amidjaja yang ketika itu merangkap juga sebagai Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB)

Karena proses pengangkatan Pegawai Negeri ketika itu bi mencapai setahun lebih aku sempat juga menyelesaikan sekolah SMA dan STM sekaligus. Beruntung aku karena ketika itu ada perubahan kelulusan sekolah dari Desember ke bulan Juni, karena tenaga STM banyak segera dibutuhkan pasar tenaga kerja ujian akhir tetap di bulan Desember, sedangkan SMA-nya diperpanjang selama enam bulan jadi ujian akhir pada bulan Juni. Sehingga tidak heran ujian STLA (SMA dan STMku) tidak bersamaan jadwalnya sehingga karena ujian akhir dilakukan pagi hari maka aku berhasil lulus SMA juruan Ilmu Sosial (IPS), dan STM Jurusan Mesin.

Sampai aku lulus SLTA penempatan Pegawai Negeri belum juga datang sehingga menggunakan Ijasah ITM aku bekerja di Bengkel Mobil Subaru yang terletak di kawasan sunter Kemayoran. Karena angkutan umum belum sebanyak sekarang aku selalu ikut jemputan mobil dinas yang mangkal di Lapangan Banteng (dulu pusat terminal Bis Jakarta Pusat).



Dr Kuntoro Mangkusubroto


Tiga bulan kemudian aku mulai mendapat surat Pengangakatan Pegawai Negeri, yang ketika itu dalam upacara bendera Prof.Dr.Daoed Joesoef mengumumkan kalau aku diangkat jadi Pegawai Negeri Termuda (sekitar 18 tahun).

Aku ditempatkan di Bagian Umum, bosnya CST Kansil,SH, tugas dibagian ini adalah menggandakan buku-buku untuk Perguruan Tinggi/Universitas seluruh Indonesia.
Selama tiga tahun jadi pegawai Negeri aku sempat mengurus kenaikan pangkatku dari IB ke II A (penyesuaian Ijasah SMA) dan mendapat banyak pelatihan administrasi.

Pada awal tahun 1982 aku berkesempatan Kuliah ke California State University (CSU), Fresno, California jurusan Ekonomi (Economics) setelah dua tahun pulang ke Indonesia mengawali bekerja di Majalah Tempo sebagai korektor anak buah Slamet Jabarudi dan S Prinka. Aku masuk bersama Edy Soetriono yang bekerja sebagai Copy Editor. Kantor Majalah Tempa masih di Pasar Senen.

Ketika itu aku bukan saja sebagai Korektor Majalah Berita Tempo, tapi juga merangkap jadi Korektor Majalah Zaman yang diawaki Kun, sastrawan Putu Widjaja dan Danarto.

Ketika itu Kantor Berita Antara menbuka lowongan wartawan baru, dan aku lulus sekitar tahun 1986 aku melalui pelatihan Susdape IV senyak 13 orang di training selama enam bulan.

Selama enam tahun bekerja sebagai Reporter Antara, ada satu tugas yang tidak bisa aku lupakan sampai sekarang, ketika aku mendapat Tugas Ke Muscat, Kesultanan Oman. Dari Indonesia hanya aku yang berangkat memenuhi undangan itu, karena wartawan senior Sinar Harapan Arnie Berthasimamora berhalangan ikut. Tapi Kerajaan Oman dibawah sultan Al Qabus mengundang pula wartawan dari Negara lain termasuk wartawan TV3 Malaysia, Kantor Berita Reuters dari Inggris, Kantor Berita Associated Press (AP) dari Amerika Serikat dan banyak media lain, agar Oman yang gencar mempromosikan lokasi Wisata di negeri itu, selain ketika itu Sultan Qabus tengah menjadi tuan rumah mediator perang Iran-Irak.

Sebelum berangkat ke Oman aku diundang rekan sekantorku Imam Halilitar, yang ketika itu menjadi Kepala Biro Antara di Arab Saudi, aku diundangnya Umroh Ke Mekah, nanti sampai di Jeddah aku dijemputnya untuk ber Umroh.

Sehingga aku sebelum berangkat mengurus visa Umroh ei Kedutaan Besar Arab Saudi Jakarta, Alhamdulilah karena wartawan aku dikasih gratis tanpa biaya visa.

Aku pun sudah mempersiapkan baju ihrom (baju berhaji) peninggalan mertuaku Mayor Dimyati (yang betugas di Garnizun Jakarta. Ia ketika naik haji meninggal di Mekah, tinggal Ibu Mertaku pulang sendirian.

Pada waktu itu Seagames Bangkok baru saja usai, Wartawan olah raga Antara yang baru saja meliput di Bangkok dk kantor banyak bercerita soal Bangkok, Pattaya dan lokasi pariwisata lainnya, termasuk atraksi Streaptease (penari telanjang) yang banyak dikunjungi Para turis asing.

Karena rute pesawatku (Singapore Airlines) dari Jakarta-Singapore, Bangkok, Karachi baru ke Muscat begitu pula sebaliknya maka dalam hati kecilku aku ingin juga melihat tarian erotis itu di Bangkok.


Sultan Qabus bin Sid Al Said


Sebelum aku ke Oman aku sempat melapor ke Direktuir Utama PT Tambang Timah yang ketika itu dijabat Dr Kuntoro Mangkusubroto, akhirnya agar aku bisa membeli tiket tambahan Muscat- Jeddah pulang pergi, maka aku disangui (dapat tip) uang sebanyak rp 500.000 yang diberikan melalui Direktur Keuangannya Erry Riyana Hardjapamengkas.

Sampai di Muscat , Oman pada hari kedua seperti ada perintah di otakku (mungkian godaan Syaitan) ketika aku diajak jalan-jalan di pasar muscat aku malah memborong oleh Kurma dan topi haji dan lain-lain, sehingga aku gagal Umroh karena kehabisan uang untuk membeli tiket yang ketika itu Hanya US$ 100 dolar Muscat-Jeddah PP.
Dengan penyesalan yang dalam saya pulang ke Jakarta, singgah di Bangkok dari sisa uang yang ada aku sudah terjerumus godan syaitan, melihat Streaptease di Bangkok.

Itulah sebabnya kalau anda berniat berhaji atau Umroh harus berhati bersih jangan niat yang lain walau hanya di dalam hati. Kini aku sudah berusia 55 tahun sudah beberapa kali di PHK karena stroke, diabetes dan ginjal, yang walaupun memiliki kartu Jaminan Kesehatan (JPPS) tapi untuk obat ginjal paten (belum ada generiknya harus membayar jutaan rupiah setiap bulannya, karena Kartu JPPS hanya menangung obat generic hanya untuk lima hari. Sehingga sebagai penganggur dan banyak penyakit ini aku hanya bisa banyak berzikir pada Allah SWT agar aku dimpuni segala dosaku yang sempat banyak lalai ini. Walau banyak teman ku menhiburku ‘’Allah SWT lagi sayang kepada saya, karena musibah Orang menderita sakit karena Allah sedang mengangkat derajat kita dan tengah menghapus dosa-dosa kita, agar kita meninggal dalam keadaan khusnulKhotimah (Amiiin). (Bersambung)













No comments:

Post a Comment