Perjalanan yang belum selesai (195)
(Bagian ke seratus Sembilan puluh lima, Depok, Jawa
Barat, Indonesia, 27 Januari 2015, 18.05 WIB)
Joko Widodo: bagi-bagi kekuasaan wajar.
Ada selentingan (kabar angin) di masyarakat kini bahwa
yang memiliki kekuasaan tertinggi di Indonesia bukan Presiden Joko Widodo,
namun tiga serangkai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Megawati Soekarnoputri, ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya
Paloh dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Diantara ketiga orang ini, Megawati lah yang paling
berkuasa, karena dialah yang mencalonkan Joko Widodo menjadi Presiden.
Karena jasa ketiga orang inilah kenapa kini formalnya
Joko Widodo menjadi orang paling berkuasa di Indonesia, walau masih dalam
baying-bayang tiga serangkai itu.
Itulah sebabnya kebijakan balas budi ini tercermin
pertama kali dalam formasi susunan para Menteri Kabinet Joko Widodo, yang
banyak dihuni pimpinan dan tokoh PDIP, seperti Menteri Dalam Negeri, dan tokoh
pendukung Joko Widodo seperti Menteri Perindustrian Rini.
Juga ada pengurus Partai Nasdem seperti Jaksa Agung, dan
ada posisi dari pengurus partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB)
Jadi hal yang normal bila Joko Widodo balas budi terhadap
pimpinan pendukung dari keempat partai itu.
Tapi yang menjadi masalah apakah pimpinan Ke empat partai
itu sudah mencalonkan kandidatnya adalah orang yang jujur, kompeten dan
memiliki trak record yang baik.
Kalau latar belakang para kandidat Menteri, Jaksa Agung,
Kapolri yang diusulkan Pimpinan Partai Politik itu ke Joko Widodo memiliki trak
rekor tidak pernah cacad dan berkompeten tentu tidak masalah.
Kalau yang dicalonkan itu bermasalah dan tetap dicalonkan
Joko Widodo, tentu saja Joko Widodo akan berhadapan langsung dengan rakyat dan
para pendukungnya sendiri, yang menginginkan Joko Widodo memberantas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Tapi KKN di bidang politik akan sulit dihapus, karena
politik balas budi itu, yang menjadi keinginan masyarakat adalah apakah Joko
Widodo bisa objektif dan adil.
Tapi Joko Widodo kan
manusia biasa, bukan nabi dan malaikat, kalau nabi kejujuran dan
keadilannya langsung dijaga Allah yang maha kuasa. Kalau Joko Widodo sebagai
manusia keadilannya di satu pihak akan dijaga Allah (kalau dia terus berdoa
meminta pada Allah agar dia bisa berlaku adil) di satu pihak dia akan digoda
terus oleh syaitan yang menginginkan bangsa Indonesia hancur dan masuk neraka.
Jadi rasa keadilan Joko Widodo akan selalu di dua sisi itu, (sisi menuju
kebenaran tergantung kuatnya dan konsistennya
diaberdoa kepada Allah, agar bisa bebuat adil bukan kebijakan atas dasar
nafsu syahwat belaka, tapi rasa keadilan, yang nanti dipertanggungjawabkan
dihadapan Allah di hari kiamat.
Lihat saja Raja Abdullah dari Arab Saudi, penguasa paling
berkuasa secara mutlak di system Kerajaan paling kaya minyak Mentah saja pekan
lalu dalam usia 90 tahun meninggal, dan dikuburkan secara sederhana,
menghapuskan upacara pemakaman seorang Raja, dia dikuburkan secara sederhana,
hanya membawa kain kafan. Raja Andullah meninggal meninggal kelurga dan harta
benda. Begitu juga para pemimpin Indonesia yang kini tengah berkuasa, jangan
mempermainkan kekuasaan demi nafsu syahwat belaka, karena semua itu akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah, setap harta dam setiap jengkal kekuasaan
akan dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu konsisten lah kita menjalankan
sholat lima waktu dan banyak berzikir agar setiap kebijakan yang kita ambil
akan diridhoi Allah yang maha kuasa.
SIFAT AMANAH
MENURUT AL-QURAN
A. Latar
Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan
wahyu Allah yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui nabi Muhammad
saw. untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan ini. al-Qur’an berisi
ayat-ayat yang arti etimologisnya “tanda-tanda” dalam bentuk bahasa Arab[1]mengandung berbagai aspek kehidupan manusia dan tidak
hanya terbatas pada aspek keagamaan semata.
Sebagai intelektual
muslim dan pewaris para nabi,[2][2]ulama berkewajiban memperkenalkan
al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan dan menjelaskan nilai-nilai tersebut
sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat benar-benar
berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk menyampaikan nilai-nilai tersebut, ulama
menempuh beberapa metode, baik metode penulisan maupun metode pembahasan. Salah
satu metode pembahasan yang paling populer digunakan ulama atau cendekiawan
saat ini adalah metode maudhu’i (tematik) yaitu upaya
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan satu topik dan menyusunnya
sebagai sebuah kajian yang lengkap dari berbagai sisi permasalahannya.[3][3]
Kendatipun al-Qur’an
mengandung berbagai macam masalah, ternyata pembicaraannya tentang suatu
masalah tidak selalu tersusun secara sistematis sehingga perlu menggunakan
metode tematik tersebut. Salah satu topik yang paling sering menjadi bahan
pembicaraan dan termasuk permasalahan yang sentral dalam al-Qur’an adalah
amanah. Amanah merupakan aspek muamalah yang sangat penting karena terkait
dengan kewajiban. Dalam al-Qur’an dijelaskan betapa beratnya sebuah amanah.
Allah berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
Allah memberikan amanah
kepada langit tapi langit tidak mampu mengembannya kemudian diberikan kepada
bumi dan gunung ternyata semuanya tidak mampu memikul amanah tersebut. Namun,
hanya manusia yang berani menerima amanah itu. Amanah pada kenyataannya
tidak semudah yang dipikirkan karena dengan adanya amanah berarti ada
pembebanan atau tuntutan bagi yang bersangkutan untuk merealisasikan. Kajian
dalam makalah ini berusaha mengungkapkan makna amanah dan hal-hal yang terkait
dengan amanah meliputi objek amanah, bentuk-bentuk serta pandangan atau sikap
al-Qur’an terhadap amanah.
Berbagai metode
digunakan dalam mengungkap makna dan maksud dari term-term amanah baik dalam
bentuk fi’il atau isim . Dari situlah akan
muncul sebuah pemahaman yang komprehensif tentang amanah ditinjau dari berbagai
sudut pandang sehingga akan mengantarkan pada sikap untuk menjaga dan
menghargai semua amanah, karena dalam hadis disebutkan bahwaلاَ إِيمَانَ لِمَنْ
لاَ أَمَانَةَ لَه.[4][4]Tidak ada keimanan bagi orang yang
tidak melaksanakan amanah”. Oleh karena itu, mengkaji makna amanah dan aspeknya
dalam al-Qur’an sangatlah penting. Selain sebagai wawasan keagamaan juga
sebagai bentuk pengembangan kajian akademis.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan penjelasan
pada latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa sebenarnya pengertian amanah dalam al-Qur’an ?
2.
Apa saja sifat amanah dalam al-Qur’an ?
3. Bagaimana
Sikap al-Qur’an terhadap Amanah ?
4.
Bagaimana konsep Amanah dalam Al-Qur’an ?
BAB II
A. Pengertian
Amanah
Amanah salah satu bahasa
Indonesia yang telah disadur dari bahasa Arab. Dalam Kamus Bahasa Indonesia,
kata yang menunjuk makna kepercayaan menggunakan dua kata, yaitu amanah atau
amanat. Amanah memiliki beberapa arti, antara lain 1) pesan yang dititipkan
kepada orang lain untuk disampaikan. 2) keamanan: ketenteraman. 3) kepercayaan.[5][5]Sedangkan amanat diartikan sebagai 1)
sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain. 2) pesan. 3)
nasihat yang baik dan berguna dari orang tua-tua; petuah. 4) perintah (dari
atas). 5) wejangan (dari seorang pemimpin).[6][6] Sedangkan dalam bahasa Arab, kata
amanah diambil dari akar kata alif, mim dan nun yang
memiliki dua makna: 1) lawan kata khianat yaitu ketenangan dan ketenteraman
hati, 2) al-tas}diq yaitu pembenaran.[7][7]I brahim dkk., mengatakan bahwa amanah
dapat diartikan sebagai penetapan janji dan titipan.
Abu al-Baqa’ al-Kafumi
mengatakan bahwa amanah adalah segala kewajiban yang dibebankan kepada seorang
hamba, seperti shalat, zakat, puasa, bayar hutang dan segala kewajiban yang
lain.[8][8] Muhamamd Rasyid Rida mengatakan
bahwa amanah adalah kepercayaan yang diamanatkan kepada orang lain sehingga
muncul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali. [9][9]Fakhr al-Din al-Razi berpendapat bahwa
amanah adalah ungkapan tentang suatu hak yang wajib ditunaikan kepada orang
lain.[10][10]
Abu Hayyan al-Andalusi
mengatakan bahwa secara kasat mata, amanah adalah segala bentuk kepercayaan
yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk perintah maupun larangan,
baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Sehingga semua syariat Allah
adalah amanah.[11][11] Al-Qurtubi berpendapat bahwa
amanah adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia, baik sesuatu
terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait dengan perbuatan
maupun dengan perkataan di mana puncak amanah adalah penjagaan dan
pelaksanaannya.[12][12] Dalam
al-Qur’an lafaz yang mengarah pada makna amanah atau kepercayaan berulang sebanyak
20 kali yang kesemuanya dalam bentuk isim, kecuali satu lafaz dalam bentuk
fi’il yaitu اؤتمن dalam QS. al-Baqarah/2: 283.
Namun untuk mengetahui
subtansi amanah, maka perlu dilihat dari tiga aspek yaitu: subjek, objek dan
predikat atau subtansi.
Subtansi amanah adalah
kepercayaan yang diberikan orang lain terhadapnya sehingga menimbulkan
ketenangan jiwa. Hal tersebut dapat terlihat dalam QS. al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
Terjemahnya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[13][13]
Jika dilihat dari sisi
subjeknya (pemberi amanah), maka amanah bisa datang dari Allah swt. sebagaimana
yang dipaparkan dalam QS. al-Ahzab: 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
Terjemahnya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[14][14]
Dan kadang amanah
tersebut datang dari manusia itu sendiri, sebagaimana yang tertera dalam QS.
al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ.
Terjemahnya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya”.[15][15]
Sedangkan jika dilihat
dari objeknya (orang yang melakasanakan amanah), maka amanah diberikan kepada
malaikat, jin, manusia, baik para nabi maupun bukan nabi sebagaimana penjelasan
selanjutnya. Berangkat dari ketiga unsur tersebut dan penafsiran para ulama
tafsir, dapat dipahami bahwa amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh
Allah swt, atau makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah
yang meliputi malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta.
Dengan demikian, amanah
yang datang dari Allah swt. terkait dengan segala bentuk perintah dan larangan
yang dibebankan kepada manusia. Sedangkan amanah dari manusia terkait dengan
segala bentuk kepercayaan, baik dalam bentuk harta benda, jabatan dan rahasia.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa amanah adalah amal saleh yang
paling agung, namun sangat berat dilaksanakan, sehingga wajar kemudian jika
langit, bumi dan gunung enggan menerima amanah dari Allah swt.,[16][16]bahkan manusia yang berani menerima
amanah dan tidak mampu melaksanakannya dianggap sebagai zalum jahul (penganiaya
dan bodoh).
Oleh karena itu, amanah
harus diberikan kepada orang yang ahli dalam bidangnya agar tidak menimbulkan
kekacauan yang digambarkan sebagai kiamat dalam hadis nabi.
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ
الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.[17][17]
Artinya: “Jika amanah telah disia-siakan maka tunggulah kiamat, sahabat
bertanya, bagaimana penyia-nyian amanah wahai Rasulullah saw.? Rasulullah
menjawab, jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya”.
Lebih jauh dari itu,
Nabi Muh}ammad saw. tidak mau memberikan amanah kepada Abu Zarr al-Gifari
ketika meminta jabatan, bahkan Nabi saw. mengatakan bahwa engkau terlalu lemah
untuk posisi tersebut.
عَنْ أَبِي ذَرِّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلُ
اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي؟ قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ
قَالَ (يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى
الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا).[18][18]
Artinya: “Dari Abu> Z|arr berkata, saya berkata kepada Rasulullah saw. wahai
Rasul, hendaklah engkau memberiku jabatan? Rasulullah saw. kemudian menepuk
punggungnya seraya berkata, wahai Abu> Z|arr, sesungguhnya engkau itu lemah
dan sungguh jabatan itu adalah amanah dan jabatan itu pada hari kiamat hanyalah
kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya secara benar dan
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”.
B. Sifat Amanah
dalam Alqur’an dan Al hadist
Sifat amanah adalah
sifat para nabi dan rasul yang Allah pikulkan tanggungjawab dalam menyampaikan
risalah-Nya. Selain itu amanah juga adalah sifat-sifat para malaikat yang
mengerjakan kebaikan, dan dari kalangan mereka adalah Jibril alaihissalam yang
menurunkan Al-Quran ke atas Nabi Muhammad shallahualaihiwasallam.Demikian juga
sifat amanah itu adalah dari sifat-sifat para hamba Allah Ta’ala yang beriman
daripada kalangan jin dan manusia.
1. Sifat Amanah Nabi
dan Rasul ALLAH S.W.T
Dalam al-Qur’an, makhluk
yang paling sering disifati dengan amanah adalah para nabi dan rasul, sehingga
dalam kitab-kitab ilmu kalam, para nabi dan rasul memiliki empat sifat yang
wajib bagi mereka, seperti al-tabli>g/ menyampaikan risalah
kepada umatnya, al-fat}a>nah/memiliki kecerdasan atau
intelegensia yang tinggi, al-s}idq/memiliki kejujuran dan
al-ama>nah/dapat dipercaya atau memiliki integritas yang tinggi.[19][19]Dengan demikian, sering ditemukan
dalam beberapa ayat, para rasul menyipati dirinya sebagai al-ami>n.
Nabi Nu>h} misalnya
ketika mengajak kaumnya untuk takut kepada siksaan Allah swt. atas kesyirikan
yang mereka lakukan, namun kaum Nu>h} itu tetap mendustakan dia dan
rasul-rasul sebelumnya, sehingga nabi Nu>h} mengatakan kepada kaumnya:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang
Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara>’: 106-107).[20][20]
Nabi Nu>h} mengatakan
hal tersebut di atas, sebagai bentuk keheranannya atas kesyirikan yang mereka
lakukan padahal sudah dilarang olehnya dan dia termasuk orang yang dikenal
terpercaya dan tidak pernah dicurigai oleh kaumnya.[21][21]
Senada dengan Nabi
Nu>h}, Nabi Hu>d juga mengajak kaumnya agar mengenal Allah swt. dan taat
kepada-Nya dengan melakukan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan
menjauhkan dari siksaan-Nya, namun mereka tetap inkar dan mendustakan Nabi
Hu>d dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nu>h}.
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang
Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara>’: 124-125).[22][22]
Bahkan pada ayat yang
lain, Nabi Hu>d disebutkan sebagai pemberi nasehat yang dapat dipercaya,
ketika kaumnya menolak ajakannya untuk menyembah Allah swt. dan takut
kepada-Nya, akan tetapi kaumnya kemudian mengejeknya dengan menuduhnya sebagai
orang bodoh dan pendusta, lalu Nabi Hu>d menyanggah ejekan itu dengan mengatakan:
يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي
رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا
لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi
Aku Ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat
Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS.
al-A‘ra>f: 67-68).[23][23]
Menurut al-Ra>zi>,
maksud dari ungkapan na>s}ih} ami>n dalam ayat tersebut
sebagai 1) Sanggahan terhadap ungkapan kaumnya وِإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ
الكاذبين, 2) Pokok pembicaraan tentang risalah dan tabli>g adalah amanah,
sehingga ungkapan tersebut sebagai penguat terhadap risalah dan kenabian, 3)
penjelasan tentang integritas Nabi Hu>d sebelum menjadi rasul sebagai
seorang yang dikenal amanah oleh kaumnya. Oleh karena itu tidak seharusnya
kaumnya menganggapnya sebagai pembohong atau orang bodoh.[24][24]
Hal yang sama dilakukan
oleh Nabi S}a>lih}, Nabi lu>t} dan Nabi Syu’aib dengan mengatakan seperti
apa yang dikatakan oleh Nabi Nu>h} dan Nabi Hu>d, yaitu:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang
Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu”.[25][25]
Di samping nabi-nabi
yang telah disebutkan di atas, nabi yang juga disifati sebagai al-ami>nadalah
Nabi Mu>sa> as., bahkan Nabi Mu>sa> disebutkan dua kali sebagai al-ami>n dalam
al-Qur’an, yaitu pada QS. al-Dukha>n: 18.
وَلَقَدْ فَتَنَّا قَبْلَهُمْ قَوْمَ فِرْعَوْنَ
وَجَاءَهُمْ رَسُولٌ كَرِيمٌ. أَنْ أَدُّوا إِلَيَّ عِبَادَ اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ
رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Sesungguhnya sebelum mereka Telah kami uji kaum Fir’aun dan Telah
datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia. (dengan berkata): “Serahkanlah
kepadaku hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya Aku
adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu”.[26][26]
Kata rasu>l
al-ami>n dalam ayat tersebut sebagai dasar ajakan Nabi Mu>sa>
terhadap kaumnya agar beribadah kepada Allah swt. pengakuan Nabi Mu>sa>
as. diperkuat oleh mukjizat yang dimilikinya.
Sedangkan al-ami>n kedua
yang diberikan kepada Nabi Mu>sa> terjadi bukan dalam masalah risalah,
akan tetapi tentang penilaian putri Nabi Syu’aib kepada Nabi Mu>sa> as.
dengan mengatakan:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ.
Terjemahnya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat
lagi dapat dipercaya” (QS. al-Qas}as}: 26).[27][27]
Dalam tafsir al-T}abari>dijelaskan
bahwa penilaian salah satu putri Nabi Syu’aib terhadap Nabi Mu>sa> bahwa
dia sangat kuat dan dapat dipercaya karena apa yang dilihatnya pada saat Nabi
Mu>sa> memberi minum terhadap hewan ternak mereka, sedangkan penilaian
amanah terjadi karena keterjagaan pandangan Nabi Mu>sa> terhadap kedua
putri Nabi Syu’aib dalam perjalanan ke rumah mereka.[28][28]
2. Malaikat
Di antara makhluk yang
menjadi objek amanah adalah malaikat. Malaikat terkadang disifati sebagai al-ami>n oleh
Allah swt., khususnya Jibri>l pembawa wahyu kepada para nabi.
وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ. نزلَ
بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ.
Terjemahnya: “Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta Alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan” (QS. al-Syu’ara>’: 192-194).[29][29]
Menurut Ibn
‘A<syu>r, yang dimaksud dengan al-ru>h} al-ami>n dalam
ayat tersebut adalah Jibri>l as. Menurutnya, Jibri>l as. dinamakan al-ru>h} karena
malaikat berasal dari alam ruhaniyah, sedangkan al-amin diberikan
sebagai kepercayaan Allah swt. terhadap Jibri>l untuk menyampaikan
wahyu-Nya.[30][30]
Lain halnya dengan
al-Sya’ra>wi>, menurutnya Jibri>l as. disebut al-ru>h} karena
dengan ruh seseorang akan hidup dan para malaikat itu hidup meskipun tidak
memiliki jasad. Sedangkan al-ami>n diberikan kepadanya
karena dia terpelihara di sisi Allah swt., terpelihara di sisi al-Qur’an dan
terpelihara di sisi Nabi saw.[31][31]
Dengan demikian,
mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud al-ru>h}
al-ami>ndalam ayat tersebut adalah Jibri>l as.[32][32]karena hal itu diperkuat oleh ayat
lain dalam QS. al-Baqarah: 97 yang menyebutkan nama Jibri>l as.
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ
نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ…
Terjemahnya: “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril
itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah”.[33][33]
Ayat lain yang
menjelaskan tentang malaikat disifati dengan amanah adalah QS. al-Takwi>r:
21-22:
مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ. وَمَا صَاحِبُكُمْ
بِمَجْنُونٍ.
Terjemahnya: “Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan
temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila”.[34][34]
Ayat tersebut di atas
dan ayat sebelumnya menjelaskan beberapa sifat mulya malaikat Jibri>l as. di
antaranya kari>m/mulya karena diberikan tugas yang paling mulya
yaitu menyampaikan wahyu kepada para nabi, z\i> quwwah/memiliki
kekuatan dalam menjaga dan dijauhkan dari kelupaan dan kesalahan, z\i>
al-‘arsy maki>n/mempunyai posisi yang tinggi di sisi Allah swt. karena
dia diberi apa yang dimintanya, mut}a>’in/yang ditaati di alam
malaikat karena pendapatnya menjadi rujukan para malaikat, ami>n/dipercaya
membawakan wahyu dan risalah Allah swt. terhadap para nabi-Nya.[35][35]
Dari kedua ayat
tersebut, diketahui bahwa amanah bukan saja diberikan kepada manusia, akan
tetapi amanah juga dapat disematkan kepada para malaikat, khususnya malaikat
Jibri<l as. selaku penghubung Allah swt. dengan para nabi-Nya.
3. Jin
Jin meskipun sering
dikonotasikan sebagai makhluk durhaka, akan tetapi dalam al-Qur’an sebagian jin
ada yang beriman kepada Allah swt.[36][36] bahkan ‘Ifri>t dari golongan
jin yang hidup pada masa nabi Sulaima>n berkenan membantu nabi Sulaima>n
dengan berusaha memindahkan singgasana ratu Balqi>s, sebagaimana dalam QS. al-Naml:
39:
قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ
قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari
golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu
sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat
untuk membawanya lagi dapat dipercaya”.[37][37]
Ayat tersebut menegaskan
tentang kemampuan ‘Ifri>t memindahkan singgasana ratu Balqi>s pada saat
itu dalam waktu singkat. ‘Ifri>t juga menjamin bahwa dia dapat dipercaya
dalam melaksanakan tugas tersebut.
Al-Ma>wardi> dalam
tafsirnya menjalaskan bahwa yang dimaksud dengan al-ami>n dalam
ayat tersebut ada tiga pendapat, yaitu: 1) dia dapat dipercaya menjaga permata
dan berlian yang terdapat dalam istana tersebut, 2) dia dapat dipercaya
mendatangkan istana tersebut dan tidak menggantinya dengan istana lain, 3) dia
dapat dipercaya menjaga kehormatan ratu balqi>s.[38][38]
Namun mayoritas ulama
tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-ami>n dalam
ayat tersebut adalah jaminan kepercayaan yang diberikan oleh ‘Ifri>t untuk
membawa istana seperti sedia kala tanpa ada perubahan, pengurangan atau
penambahan, khususnya yang terkait dengan isi singgasana.
4. Manusia
Dalam al-Qur’an, manusia
satu-satunya makhluk yang dicela karena menerima amanah dari Allah swt. pada
saat makhluk lain menolaknya ketika ditawarkan kepadanya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا
وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
Terjemahnya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[39][39]
Al-Biqa>’i ketika
menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud al-insa>n adalah
mayoritas manusia, bukan setiap individu manusia. Oleh karena itu, manusia yang
khianat terhadap amanah jauh lebih banyak dari pada yang memegang amanah,
karena nafsu manusia pada dasarnya penuh dengan kekurangan dan keinginan. Oleh
sebab itu, Allah swt. menyifati manusia dengan z}alu>m jahu>l agar
manusia tidak sekedar melihat sifatnya yang al-ins/jinak dan ramah, al-‘isyq/keinginan
yang kuat, al-‘aql/akal fikiran dan al-fahm/pemahaman
sehingga seakan tidak memiliki kekurangan.[40][40]
C. Sikap Al-Qur’an
terhadap Amanah
Untuk melihat seberapa
penting amanah dalam kehidupan sehari-hari, maka penting menjelaskan sikap
al-Qur’an terhadap amanah. Sikap al-Qur’an ketika menjelaskan ayat-ayat amanah
dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:
1. Perintah
Menjaga amanah
Banyak dijumpai dalam
al-Qur’an, ayat-ayat yang menyuruh melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya.
Dalam QS. al-Nisa>’: 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا
الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا….
Terjemahnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya”.
Meskipun ayat tersebut
turun dalam masalah ‘Us\ma>n ibn T}alh}ah al-H}ujubi> tentang kunci
Ka’bah yang diminta oleh al-‘Abba>s agar dia yang memegangnya, kemudian
Allah swt, menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memberikan amanah
kepada orang yang berhak.[41][51]
Namun menurut Wahbah al-Zuhaili>, ayat tersebut tetap berlaku bagi setiap
orang agar melaksanakan amanah yang menjadi tanggungannya, baik kepada khalayak
maupun kepada individu tertentu.[42][52]
Pada ayat lain, meskipun
tidak menggunakan fi’il amr/perintah secara langsung seperti pada
ayat di atas, akan tetapi tetap mengandung perintah untuk melaksanakan amanah
karena menggunakan fi’il mud}a>ri’ yang disertai lam
amr, seperti dalam QS. al-Baqarah: 283.
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
Terjemahnya: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[43][53]
Dalam ayat yang lain,
al-Qur’an datang dengan menggunakan jumlah ismiyah, agar mengandung makna bahwa
penjagaan terhadap amanah tidak terikat dengan waktu, akan tetapi amanah
merupakan sifat orang-orang yang beriman, seperti dalam QS. al-Mu’minu>n: 8
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ
رَاعُونَ.
Terjemahnya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya)
dan janjinya.[44][54]
Oleh karena itu, dalam
beberapa hadis Rasulullah saw. dijelaskan bahwa salah satu karakter orang
munafik adalah tidak amanah.
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.[45][55]
Artinya: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga. Jika dia berbicara maka dia
berdusta, jika dia berjanji maka dia ingkari dan jika dia dipercaya dia
berkhianat”.
Bahkan lebih dari itu,
Rasulullah saw. pernah mengungkapkan bahwa orang yang tidak memegang amanah
berarti dia tergolong orang yang tidak beriman.
لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ
دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ.[46][56]
Artinya: “Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak mempunyai/ melaksanakan
amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak melaksanakan janjinya”.
Dari ketiga ayat di atas
dengan berbagai redaksi yang digunakan dalam berbagai bentuk menunjukkan bahwa
amanah adalah tanggungjawab yang sangat besar yang harus dilaksanakan oleh
siapapun yang diberi amanah.
2. Larangan
Mengkhianati Amanah
Sebagai konsekwensi dari
kewajiban melaksanakan amanah, maka sudah barang tentu mengkhianati amanah
merupakan hal yang dilarang oleh agama. Salah satu ayat yang menjelaskan
tentang larangan mengkhianati amanah antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا
اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui” (QS. al-Anfa>l: 27).[47][57]
Dalam ayat ini
dijelaskan bahwa khianat terhadap amanah sama dengan khianat kepada Allah dan
Rasulullah saw. Dengan demikian, diketahui betapa besar posisi amanah di sisi
Allah swt. karena khianat terhadap amanah disejajarkan dengan khianat kepada
Allah swt. dan rasul-Nya.
D.
KonsepdanImplementasiAmanahdalam Al- Qur’an danHadits
1. Amanah dalam Arti
Tanggung Jawab Personal Manusia kepada Allah SWT
Alasan penolakan alam
(bumi, langit dan sebagainya) terhadap amanah (QS.Al-Ahzab: 72) adalah karena
mereka tidak memiliki potensi kebebasan seperti manusia. Padahal untuk
menjalankan amanah diperlukan kebebasan yang diiringi dengan tanggung jawab.
Olehsebabitu, apapun yang dilakukan bumi, langit, gunung terhadap manusia,
walaupun sampai menimbulkan korban jiwa dan harta benda, tetap saja
“benda-benda alam” itu tidak dapat diminta pertanggung jawabannya oleh Allah.
Berbeda dengan manusia. Apapun yang dilakukannya tetap dituntut pertanggung
jawaban. Manusia adalah khalifah fi al-ardh, oleh karena itu manusia memiliki
beban (tugas) untuk memakmurkan bumi (wasta’marakumalardh). Sebuah tugas yang
mahaberat, karena menuntut kesungguhan dan keseriusan kita dalam
menjalankannya. Bahkan tugas ini jauh lebih berat dari melaksanakan ibadah.
Secara sederhana dapat dikatakan sebagai seorang muslim, hidup tidak sekedar
menjalankan ibadah mahdzoh saja, lalu kita merasa nyaman. Hidup sesungguhnya
adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kebaikan. Jadi perbedaan manusia dari
makhluk lain adalah karena manusia telah diberi potensi kebebasan dan akal,
sehingga dengan potensi itu manusia mampu mengenal Rabbnya sendiri, mampu
menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri.
Semua yang dilakukan manusia adalah pilihannya sendiri, dengan mempergunakan
semua potensi dalam dirinya, sehingga manusia akan memikul akibat dari
pilihannya itu, dan balasan untuknya sesuai denganamalnya.
2. Amanah dalam Arti
Tanggung Jawab Sosial Manusia kepada Sesama
Dalam pandangan Islam
setiap orang adalah pemimpin, baik itu pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga,
masyarakat maupun yang lainnya. Sebab, manusia adalah makhluk sosial dan
mempunyai tanggung jawab sosial pula. Tentu saja semua itu akan dimintai
pertanggung jawaban. Rasulullah SAW bersabda:
كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته (رواه مسلم)
كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته (رواه مسلم)
Artinya:
”Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.” (H.R. Muslim).
”Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.” (H.R. Muslim).
Fenomena yang terjadi
saat ini adalah seringkali amanah dijadikan sebuah komoditi untuk meraih kekuasaan
atau materi (dunia). Sehingga saat ini banyak sekali orang yang meminta amanah
kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang tersebut mempunyai
kapabilitas untuk menjalankan amanah itu. Rasulullah mengancam akan
hancurnya sebuah bangsa.
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
“Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
“Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).
Amanah menempati posisi
‘strategis’ dalam syariat Islam.Rasulullah saw sendiri mendapat gelar Al Amin
(yang bisadipercaya). Amanah menjadi salah satu pembeda kaum muslim dengan kaum
munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Abu Hurairah:
آية المنافق ثلاث :- إذا حدث كذب ، وإذا أوعد أخلف ، وإذا أؤتمن خان (متفق عليه)
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia dusta; apabila berjanji, dia ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia berkhianat”. (HadistSohih). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) dalam hadits yang artinya: Barang siapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli dari padanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R. al-Hakim).
آية المنافق ثلاث :- إذا حدث كذب ، وإذا أوعد أخلف ، وإذا أؤتمن خان (متفق عليه)
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia dusta; apabila berjanji, dia ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia berkhianat”. (HadistSohih). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) dalam hadits yang artinya: Barang siapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli dari padanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R. al-Hakim).
Dengan demikian, meminta
jabatan (amanah) sebagai pemimpin merupakan perbuatan yang dicela. Amanah akan
menjadi penyesalan di akhirat kelak. Betapa tidak, jika seorang yang mendapat
amanah tidak menjalankan dengan baik, mengingkari janjinya dan menipu
saudaranya maka ia diharamkan masuk surga. Rasulullah mengancam pemimpin yang
menghianati dan menyelewengkan amanah yang telah di bebankan kepadanya dengan
ancaman berat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan
yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dibuat beberapa poin-poin penting
sebagai kesimpulan sebagai berikut:
1.
Amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau makhluk lain
untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah, baik dari kalangan malaikat,
jin dan manusia, atau bahkan alam semesta. Namun karena amanah sangat berat
dilaksanakan dan dijaga sehingga harus diberikan kepada orang yang profesional
di bidang tersebut.
2.
Amanah dilihat dari segi objek yang mendapatkan amanah, dapat diklasifikasi
dalam beberapa bagian, yaitu amanah bagi para nabi dan hal tersebut yang paling
banyak disebutkan dalam al-Qur’an karena amanah merupakan sifat wajib bagi para
rasul, amanah bagi malaikat, khususnya pembawa wahyu yaitu Jibri>>l as.,
amanah bagi jin yang hidup pada masa Nabi Sulaiman, amanah bagi manusia secara
umum dalam melaksanakan hal-hal yang terkait dengan kewajiban kepada Allah
swt., sesama manusia dan kepada dirinya sendiri, bahkan ada amanah yang
diberikan kepada wilayah/kampung yaitu kota Mekah.
3.
Amanah juga dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu amanah dalam bentuk
pekerjaan yang mencakup semua bentuk pekerjaan yang dipercayakan kepada
seseorang, baik dari Allah swt. maupun dari sesama manusia. Dan amanah dalam
bentuk hukum yang sebenarnya juga merupakan pekerjaan, akan tetapi khusus
disebutkan karena menjadi asas pemerintahan yang Islami.
4.
Sikap al-Qur’an terhadap amanah terlihat dari perintah Allah swt. kepada
manusia untuk menunaikan amanah tersebut. Perintah tersebut menggunakan fi’il
amr, fi’il mud}a>ri’ dan isimyang menunjukkan betapa
amanah tersebut harus dijaga dan dilaksanakan, bahkan al-Qur’an tidak cukup
sekedar memerintahkan akan tetapi juga melarang khianat terhadap amanah, bahkan
khianat terhadap amanah sejajar dengan khianat terhadap Allah dan rasul-Nya.
B. Implikasi
Amanah sangat penting
posisinya dalam kehidupan dunia, karena tanpa amanah berbagai macam aturan,
undang-undang dan sebagainya tidak dapat terlaksana dengan baik. Oleh karena
itu, wajarlah jika Allah memberikan amanah sebagai suatu bentuk ketaatan.
Amanah tidak hanya terkait dengan aspek diniyah seperti jabatan dan kekuasaan
tapi juga terkait dengan aspek ukhrawi seperti ibadah.
Hal ini juga terkait
dengan kondisi masa sekarang, yang mana sebagian besar orang mengabaikan
amanah. Mereka tidak menyadari apa makna dan hakekat amanah serta posisi amanah
yang begitu urgen dalam mengemban tugas sebagai khalifah fi al-ard}.
No comments:
Post a Comment