Perjalanan yang belum selesai (316)
(Bagian ke tiga ratus enam belas), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 19 juli
2015, 23.02.00 WIB)
Puasa Sunnah yang memberi hikmah.
Saya punya teman, tetangga sebelah rumah, saya sudah bertetangga dengan dia
selama sekitar 30 tahun, ada kebiasaan dia yang katanya dilakukan sejak muda,
yaitu puasa Nabi Dawud, yaitu puasa sunnah, satu hari puasa, satu hari
berikutnya tidak puasa.
Ini dia lakukan sampai usia dia kini sekitar 70 tahun, selama saya
bertetangga sama dia, dia jarang sakit, paling dia pernah di rawat di rumah
sakit beberapa tahun lalu akibat penyakit demam berdarah.
Setelah itu dia sampai kini tidak pernah sakit, badannya pada usia 70 an
tahun nampak fit dan sehat, bahkan bila ada pekerjaan gotong royong baik
pembangunan Masjid di lingkungan perumahan, atau membersihkan saluran air (got)
aau kerja bakti lainnya dia ikut terlibat secara fisik.
Kesehatan yang purna ini mungkin akibat dari kegemarannya puasa sunnah
Dawud atau karena doa-doanya yang terus dia lakukan setiap sholat wajib dan
sholat malam.
Puasa Sunnah
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan untuk berpuasa
pada hari-hari berikut ini:
a. Enam hari di bulan Syawwal
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ.
“
Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian dikuti dengan berpuasa enam hari di
bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun." [1]
b, c. Hari ‘Arafah bagi mereka yang tidak menunaikan ibadah haji dan hari
'Asyura (hari kesepuluh dari bulan Muharram) serta sehari sebelumnya (hari
kesembilan).
Diriwayatkan dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, ia berkata,
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ j عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ
الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ. وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ، فَقَالَ:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَضِيَةَ.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari
‘Arafah, beliau menjawab, ‘Ia menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang
akan datang.’ Beliau juga ditanya tentang puasa hari 'Asyura, beliau menjawab,
‘Ia menghapus dosa-dosa tahun lalu.’”[2]
Dari Ummu al-Fadhl bintu al-Harits Radhiyallahu anhuma bahwasanya ada
beberapa orang yang ada di dekatnya pada saat di ‘Arafah sedang berselisih
tentang puasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di hari ‘Arafah. Ada
sebagian mereka berpendapat bahwa beliau berpuasa dan sebagian yang lain
mengatakan beliau tidak berpuasa, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dibawakan segelas susu, saat itu beliau berada di atas untanya di
‘Arafah, lalu beliau meminumnya.[3]
Diriwayatkan juga dari Abu Ghathfan bin Tharif al-Muri, ia berkata, “Aku
mendengar Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Ketika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa ‘Asyura dan beliau menganjurkan para
Sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini
adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Kemudian
beliau bersabda, ‘Kalau begitu, pada tahun yang akan datang kita akan berpuasa
pada hari yang kesembilan (tasu’a) insya Allah.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Akan
tetapi belum sampai tahun depan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
meninggal dunia.’” [4]
d. Puasa pada sebagian besar hari di bulan Muharram
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ
بَعْدَ الفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَيْلِ.
“Sebaik-baik puasa setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan
Allah, bulan Muharram dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah
shalat malam.” [5]
e. Puasa pada sebagian besar hari di bulan Sya’ban
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyempurnakan puasa sebulan penuh
kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa dalam suatu
bulan lebih banyak daripada bulan Sya'ban.” [6]
f. Hari Senin dan Kamis
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu berpuasa pada
hari Senin dan Kamis, manakala beliau ditanya tentang hal tersebut, beliau
menjawab:
إِنَّ أَعْمَالَ اْلعِبَادِ تُعْرَضُ يَوْمَ الإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ.
‘Sesungguhnya amal-amal hamba dihadapkan (kepada Allah) pada hari Senin dan
Kamis.’" [7]
g. Puasa tiga hari dari tiap bulan (Hijriyyah)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku:
صُمْ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا,
وذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ.
‘Puasalah tiga hari dari tiap bulan. Sesungguhnya amal kebaikan itu
ganjarannya sepuluh kali lipat, sehingga ia seperti puasa sepanjang masa.’” [8]
Dan disunnahkan untuk menjadikan tiga hari tersebut hari ketiga belas,
empat belas, dan lima belas. Berdasarkan riwayat dari Abu Dzarr Radhiyallahu
anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ, إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَةَ
عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ.
“Wahai Abu Dzarr, jika engkau ingin puasa tiga hari dari suatu bulan, maka
puasalah pada hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas." [9]
h. Puasa sehari dan berbuka sehari (puasa Nabi Dawud Alaihissallam)
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ كَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ
يَوْمًا.
“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Nabi Dawud, beliau berpuasa
sehari dan berbuka sehari.” [10]
i. Hari Kesembilan di bulan Dzul Hijjah
Diriwayatkan dari Hunaidah bin Khalid, dari isterinya, dari sebagian isteri
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesembilan Dzul Hijjah, hari 'Asyura, tiga
hari dari setiap bulan, hari Senin pertama dari suatu bulan dan hari Kamis.”
[11]
14. Hari-Hari yang Dilarang untuk Berpuasa Padanya
a. Dua Hari Raya (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha)
Dari Abu ‘Ubaid, budak yang dimerdekakan Ibnu Azhar, ia berkata, “Aku
merayakan hari ‘Id bersama ‘Umar bin al-Kaththab Radhiyallahu anhu, kemudian
dia (‘Umar) berkata, 'Ini adalah dua hari yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam melarang kita untuk berpuasa padanya, hari di mana kalian berbuka
puasa dan hari yang lainnya, hari di mana kalian memakan hewan kurban
kalian." [12]
b. Hari Tasyriq *
Dari Abu Murrah, budak yang dimerdekakan Ummu Hani’, bahwasanya dia bersama
‘Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu anhuma datang menemui ‘Amr bin al-‘Ash, lalu
dia menghidangkan makanan untuk mereka berdua, seraya berkata, “Makanlah!” Dia
menjawab, “Aku sedang puasa.” ‘Amr berkata, “Makanlah, sesungguhnya ini adalah
hari yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk
berbuka dan melarang kami berpuasa.” Malik berkata, “Hari itu adalah hari Tasyriq.”
[13]
Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhum, mereka
berdua mengatakan, “Tidak diizinkan berpuasa pada hari-hari tasyriq, kecuali
orang yang tidak mendapatkan hewan kurban (di Mina saat ibadah haji).” [14]
c. Puasa hari Jum'at saja
Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَصُوْمَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ.
‘Janganlah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum'at, kecuali ia
berpuasa sehari sebelumnya atau sesudahnya.’” [15]
d. Puasa hari Sabtu saja
Berdasarkan riwayat dari ‘Abdullah bin Busr as-Sulami Radhiyallahu anhu,
dari saudarinya, ash-Shamma Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa alam telah bersabda:
لاَ تَصُوْمُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ, وَ إِنْ
لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلاَّ لِحَاءَ عِنَبٍ أَوْ عُوْدَ شَجَرَةٍ فَلْيَمْضُغْهَا.
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali yang telah diwajibkan
atas kalian. Jika salah seorang di antara kalian tidak mendapatkan (makanan
untuk berbuka) kecuali kulit anggur atau ranting pohon, maka hendaklah ia
mengunyahnya.” [16]
e. Pertengahan kedua dari bulan Sya’ban bagi mereka yang tidak mempunyai
kebiasaan berpuasa
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُوْمُوْا.
“Jika telah sampai pertengahan bulan Sya'ban, maka janganlah kalian
berpuasa.” [17]
Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, diriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ
أَنْ يَكُوْنَ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ.
“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan
dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali jika orang itu tengah
mengerjakan suatu puasa yang biasa dilakukan, maka hendaklah ia puasa pada hari
itu.” [18]
f. Puasa pada hari yang meragukan
Dari 'Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Barangsiapa yang
berpuasa pada hari yang meragukan berarti dia telah mendurhakai Abul Qasim
(Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam).” [19]
g. Puasa selamanya, walaupun dia berbuka pada hari-hari yang terlarang
untuk berpuasa.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو! إِنَّكَ لَتَصُوْمُ الدَّهْرَ وَتَقُوْمُ اللَّيْلَ,
وَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمْتَ لَهُ الْعَيْنَ وَنَهَكْتَ, لاَ صَامَ مَنْ
صَامَ اْلأَبَدَ.
“Wahai ‘Abdullah bin ‘Amr, sesungguhnya engkau selalu berpuasa sepanjang
hari (selamanya) dan bangun malam. Jika engkau terus melakukannya, maka engkau
telah menjadikan matamu cekung serta menyiksa dirimu. Tidak ada puasa bagi
orang yang puasa selamanya.” [20]
Juga diriwayatkan dari Abu Qatadah, bahwasanya ada seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya bertanya, “Ya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bagaimana cara engkau berpuasa?” Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam marah mendengar perkataan tersebut dan manakala
‘Umar melihat hal itu, ia berkata, “Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam
sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai Nabi kami. Kami berlindung kepada
Allah dari murka-Nya dan murka Rasul-Nya.” Dia terus mengulang perkataan itu
sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berhenti marah, kemudian ia
bertanya, “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bagaimana dengan
orang yang berpuasa selamanya?” Beliau bersabda:
لاَ صَامَ وَلاَ أَفْطَرَ.
“Dia tidak berpuasa dan tidak berbuka.” [21]
15. Larangan Berpuasa Bagi Seorang Isteri Jika Suaminya Ada (di Rumah)
Kecuali dengan Izinnya
Berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَصُمِ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.
“Tidak dibolehkan seorang isteri berpuasa di saat suaminya di rumah,
kecuali dengan izinnya.” [22]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis
Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih
Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Tiga Ibadah Agung Di Penghujung Ramadhan
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsamin
Bulan Ramadhan akan segera berlalu, hendaklah kita mengevaluasi diri kita
masing-masing tentang apakah yang sudah kita perbuat pada bulan yang Mulia ini.
Bulan ini akan menjadi saksi di hari akhirat atas semua perbuatan yang telah
kita lakukan padanya. Saksi yang akan memberatkan kita atau saksi yang
meringan. Maka hendaklah kita memanfaatkan waktu yang tersisa untuk bergegas
bertaubat, memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla dan memperbanyak amal
shalih. Semoga semua kebaikan yang kita lakukan setelah menyadari berbagai
kesalahan dan kekurangan, bisa menutupi kekurangan-kekurangan yang telah kita
lakukan pada hari-hari sebelumnya.
Pada awal-awal Ramadhan, siang dan malamnya penuh dengan ibadah. Siang hari
diisi dengan puasa, dzikir dan membaca al-Qur'an, sedang malam harinya
dipergunakan untuk shalat dan juga baca al-Qur'an. Saat itu, kondisi kebanyakan
kaum Muslimin dalam aspek ibadah, sesuai dengan yang diharapkan. Mereka
bersemangat dan sangat antusias memanfaatkan detik demi detik dalam rangka
beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Namun kini, hari-hari yang penuh dengan
keberkahan itu akan segera berlalu meninggalkan kita, padahal masih banyak yang
belum termanfaatkan dengan maksimal. Kita berharap dan berdo'a kepada Allâh
Azza wa Jalla, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kemampuan kepada kita
semua untuk memaksimalkan waktu yang tersisa dalam meraih ridha Allâh Azza wa
Jalla.
Semoga kita bisa mengakhiri Ramadhan ini dengan meraih ampunan dari Allâh
Azza wa Jalla atas semua dosa yang telah kita perbuat, baik dosa yang kita
sadari maupun dosa yang tidak kita sadari.
Kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar berkenan menerima semua amal
ibadah kita, terbebas dari api neraka, beruntung dengan bisa meraih surga dan
semoga Allâh Azza wa Jalla mempertemukan kita kembali dengan Ramadhan tahun
berikutnya dalam keadaan yang lebih baik.
Mengakhiri bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, Allâh Azza wa Jalla
mensyari'atkan kepada kita beberapa ibadah agung yang bisa menambah keimanan
kita kepada Allâh Azza wa Jalla dan bisa menyempurnakan ibadah kita serta bisa
semakin melengkapi nikmat Allâh Azza wa Jalla kepada kita. Ibadah-ibadah
terebut adalah zakat Fithri, takbîr pada malam Îd dan shalat Îd.
Zakat Fithri diwajibkan atas setiap kaum Muslimin. Zakat Fithri ditunaikan
dengan mengeluarkan satu Sha' (kurang lebih 3 kg) bahan makanan pokok, sebagai
pembersih bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa dan sebagai bahan makanan
bagi orang-orang miskin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Dari Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat Fithri untuk menyucikan orang yang
berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi
orang-orang miskin.[1]
Karena zakat Fithri ini merupakan kewajiban kita semua, maka hendaklah kita
melaksanakannya dengan benar dalam rangka mentaati perintah Allâh Azza wa Jalla
dan Rasul-Nya.
Hendaklah kita mengeluarkan zakat untuk diri kita dan orang-orang yang
berada dalam tanggungan kita.
Hendaklah kita memilih bahan makanan pokok yang terbaik yang kita mampu dan
yang paling bermanfaat, karena zakat ini hanya satu sha' dalam setahun. Dan
dikarenakan juga tidak ada seorang pun di dunia ini yang tahu dan bisa menjamin
bahwa dia akan bisa melaksanakan zakat ini lagi pada tahun yang akan datang.
Apakah kita mau dan rela berbuat bakhil untuk diri kita sendiri yaitu
dengan mengeluarkan zakat dari bahan makan pokok yang jelek atau yang lebih
jelek dari yang kita makan atau yang paling jelek? Jawabannya, tentu tidak.
Marilah kita berantusias untuk menunaikan ibadah zakat ini dengan benar
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para Shahabat Radhiyallahu anhum. Janganlah kita menunaikannya dengan membayarkan
atau mengeluarkan uang sebagai ganti dari bahan makanan pokok, karena hal itu
tidak pernah dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Shahabat setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal saat itu alat
tukar yang sejenis dengan uang sudah ada, namun mereka tidak membayar zakat
Fithri mereka dengan dinar dan dirham yang mereka miliki. Ini menunjukkan hal
itu tidak disyari'atkan.
Barangsiapa menunaikan zakat ini dengan menggunakan uang sebagai ganti dari
bahan makanan pokok, maka ibadah zakatnya dikhawatirkan tidak diterima oleh
Allâh Azza wa Jalla, karena menyelisihi apa yang diwajibkan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hendaklah kita menunaikan zakat Fithri dan memberikannya kepada orang-orang
miskin sekitar kita, terutama kepada orang-orang miskin yang masih ada hubungan
kekeluargaan dengan kita sementara dia tidak termasuk orang-orang yang wajib
kita nafkahi.
Tidak apa-apa, jika satu orang miskin diberi dua zakat Fithri atau lebih
atau sebaliknya satu zakat Fithri dibagikan kepada dua orang miskin.
Berdasarkan ini, jika ada satu keluarga yang mengumpulkan zakat Fithri mereka
lalu diberikan kepada satu orang miskin, maka itu tidak apa-apa. Jika zakat
yang kita berikan itu dipergunakan lagi oleh si penerima zakat untuk membayar
zakat dirinya dan keluarganya, maka itu juga tidak apa-apa.
Tunaikanlah zakat Fithri pada hari raya sebelum shalat karena itu yang
terbaik. Namun diperbolehkan juga mengeluarkan zakat Fithri sehari atau dua
hari sebelum hari raya. Juga tidak boleh menunda zakat Fithri sampai setelah
shalat hari raya kecuali karena ada udzur syar'i, misalnya berita tentang hari
raya datang mendadak dan tidak memungkinkan dia untuk mengeluarkannya sebelum
shalat, karena waktunya yang sangat singkat.
Apabila kita telah berniat hendak mengeluarkan dan menyerahkan zakat Fithri
kita untuk seseorang lalu orang tersebut tidak kunjung kita temukan sementara
shalat sudah akan dilaksanakan, maka hendaknya kita memberikannya kepada orang
lain. Jangan sampai kita kehilangan waktu tersebut! Jika kita sudah berniat
hendak menyerahkannya kepada orang tertentu yang kita pandang paling berhak
namun tak kunjung kita temukan orangnya, maka kita bisa meminta kepada orang
lain untuk mewakili orang tersebut dan menyerahkan zakat tersebut kepada orang
yang kita maksudkan jika sudah bertemu.
Ibadah kedua yaitu ibadah Takbîr. Allâh Azza wa Jalla telah jelaskan dalam
firman-Nya:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allâh atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.[Al-Baqarah/2:185]
Maka hendaklah kita bertakbir dengan mengucapkan :
اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ , لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ
, اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Takbir ini diucapkan dengan suara keras oleh kaum laki-laki namun bagi kaum
wanita maka takbîr ini dilakukan dengan suara perlahan.
Ibadah ketiga yaitu Shalat Îd. Dalam rangka pelaksanaan ibadah ini,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada para lelaki
dan wanita hingga para wanita perawan dan pingitan serta orang yang tidak
memiliki kebiasaan keluar rumah untuk keluar melaksanakannya. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka semua termasuk wanita yang sedang haidh
diperintahkan untuk keluar agar dapat menyaksikan kebaikan dan doanya kaum
Muslimin. Para wanita yang sedang haidh ini tentu harus menjauh dari tempat
shalat sehingga tidak duduk di tempat shalat ‘Îd.
Wahai kaum Muslimin! Hendaklah kita keluar semua laki dan perempuan untuk
shalat hari raya dalam rangka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dan
melaksankan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berharap
kebaikan dan doanya kaum Muslimin. Berapa banyak kebaikan yang diturunkan oleh
Allâh Azza wa Jalla dan betapa banyak doa-doa yang diijabahi (dikabulkan) oleh
Allâh Azza wa Jalla kala itu.
Hendaknya para lelaki keluar dalam keadaan bersih dan memakai minyak wangi
serta mengenakan pakaian terbaik mereka! Namun bagi kaum wanita, hendaknya
keluar tanpa berhias dan menggunakan wewangian.
Disunnahkan, saat berangkat shalat Îd dengan berjalan kaki kecuali ada
udzur seperti tidak mampu berjalan dan tempatnya jauh.
Termasuk amalan sunnah pada hari itu juga adalah makan sebelum berangkat
shalat beberapa biji kurma dalam jumlah ganjil ; tiga, lima atau lebih. Anas
bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata:
أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ
حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada
hari Îdul Fithri hingga makan beberapa kurma dan memakannya dengan bilangan
ganjil. [HR al-Bukhâri]
Inilah tiga ibadah yang disyari'atkan dipenghujung bulan Ramadhan. Semoga
Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah taufiq-Nya kepada kita semua sehingga
bisa melaksanakannya ketiga ibadah ini dengan baik dan benar.
(Diadaftasi dari ad-Dhiyâ'ul Lâmi minal Khutabil Jawâmi, Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsamin rahimahullah 3/141-144)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus (03-04)/Tahun
XVIII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57773 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh
al Albani
No comments:
Post a Comment