Perjalanan yang belum selesai (309)
(Bagian ke tiga ratus sembilan), Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 09 juli 2015, 15.34. WIB)
Ramadhan, Puasa, Lailatul Qadr.
Tidak terasa kini sudah pekan ketiga kita melakukan
ibadah puasa di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini.
Dewasa ni banyak kaum muslimin yang beritikaf (berdiam
diri di Masjid ) untuk menyongsong datangnya malam Lailatul Qadr pada sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan.
Kalau kita memperoleh Rahmat, Hidayah dan rezeki dari
Allah untuk dipertemukan dengan malam Lailatul Qadr, maka kita termasuk orang
yang beruntung, karena ibadah pada malam ini kita akan mendapat ganjaran pahala
setara 1000 bulan (sekitar 82 tahun).
Ini sudah melampaui rata-rata usia manusia, sehingga
Allah akan balas kita dengan surganya kalau kita memperoleh Rahmat malam
Lailatul Qadr itu.
Pada masa Tabi dan Tabiin, para sahabat Nabi Muhammad
generasi pertama dan kedua dan para ulama ahlul sunnah waljamaah (Salaf),
selama enam bulan berturut-turut selalu berdoa agar mereka dipertemukan Allah
dengan malam Lailatul Qadr, diantaranya dengan beritikaf di Masjid, dengan
sholat berjamaah, sholat sunnah, membaca Al Quran , berzikir , dan ibadah
lainnya.
Nabi Muhammad bersabda, membaca Al Quran terbata-bata
saja pada hari biasa satu hurufnya dapat dua pahala, kalau membacanya dengan
lancar dan kita mengerti arti dan maknanya, Malaikat beserta kita mendoakan
agar kita mendapat Rahmat dan hidayah dari Allah. Jadi membaca Al Quran di
bulan Ramadhan pahalanya dilipatgandakan. Juga pahala orang yang ber Umroh ke
Mekah pada bulan Ramadhan disetarakan dengan pahala naik haji.
I'TIKAF
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadhan merupakan Sunnah yang dianjurkan, dengan maksud untuk memperoleh
kebaikan dan mencari Lailatul Qadr.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ
مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِلَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍتَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ
وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ
الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada
malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan
itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan
Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu
(penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadr: 1-5]
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata
bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh
hari terakhir di bulan Ramadhan, dan beliau bersabda:
تَحَرُّوْا لَيْلةَ الْقَدَرِ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ
رَمَضَانَ.
“Carilah lailatul qadr pada sepuluh malam terakhir dari
bulan Ramadhan.” [1]
Juga diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma
bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَحَرُّوا لَيْلةَ الْقَدَرِ فيِ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ
مِنْ رَمَضَانَ.
“Carilah Lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari
sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan." [22]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menganjurkan umatnya untuk menghidupkan malam Lailatul qadr. Diriwayatkan dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa yang shalat malam Lailatul qadar kerena iman
dan mengharap ganjaran-Nya, maka akan diampuni dosa-dosa-nya yang telah lalu.”
[3]
I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid, berdasarkan
firman Allah:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“... (Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang
kamu beri'tikaf dalam masjid...” [Al-Baqarah: 187]
Juga karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
selalu beri'tikaf di dalamnya.
Disunnahkan bagi orang yang i'tikaf untuk menyibukkan
diri dengan segala bentuk ketaatan kepada Allah, seperti shalat, membaca
al-Qur-an, mengucapkan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, beristighfar,
membaca shalawat atas Rasulullah, berdo'a, menuntut ilmu dan yang lainnya.
Dan dimakruhkan bagi mereka untuk menyibukkan diri dengan
hal-hal yang tidak bermanfaat, baik itu berupa perbuatan atau perkataan. Begitu
juga dengan menahan diri untuk tidak berbicara karena menganggap hal tersebut sebagai
salah bentuk pendekatan diri kepada Allah.
Dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk keluar dari
tempatnya karena ada kebutuhan yang mendesak, begitu juga dibolehkan bagi
mereka untuk menyisir dan mencukur rambut, memotong kuku serta membersihkan
badan. I’tikaf seseorang akan batal jika ia keluar dari tempat i’tikafnya tanpa
ada kebutuhan yang mendesak dan juga jika ia melakukan hubungan badan.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
KEUTAMAAN HAJI DAN UMRAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا،
وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa antara keduanya,
dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga.” [1]
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ
الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Iringilah antara ibadah haji dan umrah karena keduanya
meniadakan dosa dan kefakiran, sebagaimana alat peniup api menghilangkan
kotoran (karat) besi, emas dan perak, dan tidak ada balasan bagi haji mabrur
melainkan Surga.”[2]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Aku
mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَجَّ ِللهِ عزوجل فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ
كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.
‘Barangsiapa melakukan haji ikhlas karena Allah Azza wa
Jalla tanpa berbuat keji dan kefasiqan, maka ia kembali tanpa dosa sebagaimana
waktu ia dilahirkan oleh ibunya.’”[3]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْغَازِي فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ،
وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ. وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ.
“Orang yang berperang di jalan Allah dan orang yang
menunaikan haji dan umrah, adalah delegasi Allah. (ketika) Allah menyeru
mereka, maka mereka memenuhi panggilan-Nya. Dan (ketika) mereka meminta
kepada-Nya, maka Allah mengabulkan (pemintaan mereka).” [4]
Haji Beserta Umrah Adalah Kewajiban Yang Dilakukan Sekali
Dalam Seumur Hidup, Bagi Setiap Muslim, Baligh, Berakal, Merdeka Serta Mampu
Firman Allah Ta’ala:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا
وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ
كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun untuk
(tempat beribadah) manusia ialah Baitullah yang berada di Bakkah (Makkah) yang
diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Padanya terdapat
tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya
(Baitullah itu) men-jadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Ali ‘Imran: 96-97]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di tengah-tengah kami,
beliau bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوْا،
فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ، حَتَّىٰ قَالَهَا ثَلاَثاً،
ثُمَّ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ قُلْتُ نَعَمْ، لَوَجَبَتْ،
وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَىٰ أَنْبِيَائِهِمْ،
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ
عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ.
“Telah diwajibkan atas kalian ibadah haji, maka
tunaikanlah (ibadah haji tersebut).” Lalu ada seorang berkata, “Apakah setiap
tahun, wahai Rasulullah?” Lalu beliau diam sampai orang tersebut mengatakannya
tiga kali, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Andaikata
aku menjawab ya, niscaya akan menjadi suatu kewajiban dan niscaya kalian tidak
akan mampu (melaksanakannya).” Kemudian beliau bersabda, “Biarkanlah aku
sebagaimana aku membiarkan kalian. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang
sebelum kalian ialah banyak bertanya dan banyak berselisih dengan Nabi mereka.
Apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka laksanakanlah semampu
kalian. Dan apabila aku melarang sesuatu, maka tinggalkanlah.” [5]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ
إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
‘Islam dibangun atas lima pilar: (1) Persaksian bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4)
haji ke Baitullah, dan (5) berpuasa Ramadhan.’” [6]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
هَذِهِ عُمْرَةٌ اسْتَمْتَعْنَا بِهَا، فَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ
الْهَدْيُ فَلْيَحِلَّ الْحِلَّ كُلَّهُ، فَإِنَّ الْعُمْرَةَ قَدْ دَخَلَتْ فِي الْحَجِّ
إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
“Ini adalah ibadah umrah yang kita bersenang-senang
dengannya. Barangsiapa yang tidak memiliki hadyu (binatang kurban), maka
hendaknya ia bertahallul secara keseluruhan, karena ibadah umrah telah masuk
kepada ibadah haji sampai hari Kiamat.” [7]
Dari Shabi bin Ma’bad, ia berkata, “Aku pergi menemui
‘Umar, lalu aku berkata kepadanya:
يَا أَمِيْرَ الْمُؤمِنِيْنَ، إِنِّي أَسْلَمْتُ، وَإِنِّي وَجَدْتُ
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ مَكْتُوبَيْنَ عَلَيَّ، فأَهْلَلْتُ بِهِمَا، فَقَالَ: هُدِيْتَ
لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ.
"Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku telah masuk
Islam, dan aku yakin bahwa diriku telah wajib menunaikan ibadah haji dan umrah,
lalu aku mulai mengerjakan kedua ibadah tersebut.’ Lalu beliau berkata, ‘Engkau
telah mendapat-kan petunjuk untuk melaksanakan Sunnah Nabimu.’” [8]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
No comments:
Post a Comment