Suya Paloh |
Perjalanan yang belum
selesai (3)
(Bagian ketiga, Depok ,
Jawa Barat , Indonesia, 6 Agustus 2014. 21.00 WIB)
Enam tahun bekerja sebagai
Reporter Kantor Berita Antara saya bersyukur bisa meliput di hampir semua
benua, mulai dari Amerika Serikat, pada waktu pidato Presiden Soeharto di
Markas Perserikatan Bangsa-bangsa, meliput pengapalan gas alam cair dari Kilang
Gas Alam Cair (LNG) dari Bontang , Kalimantan Timur sampai kota Osaka dan
Tokyo.
Meliput berkali-kali sidang
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Bali dan Vienna, Austria, sampai
Konferensi Energi Dunia di Madrid, Spanyol dan Singapura, sampai pertemuan
mediasi Konflik Iran-Irak di Muscat, Oman di Timur Tengah
Dua kali saya bertugas ke
Amerika Serikat dan Jepang termasuk ke Madrid, Spanyol saya selalu menyempatkan
diri singgah ke rumah adik kandung saya Sri Mulyani (kini guru Taman
Kanak-kanak di San Diego, California. Dia sudah tinggal di San Diego lebih dari
20 tahun karena bersuamikan warga Amerika Serikat seorang pengacara Omar Abdul
Madjid namnya, dari perkawinan mereka dikaruniai empat anak ,pertama kini masih
kuliah di San Fransisco State University, jurusan Biologi, anak kedua kuliah di
California State University , anak ketiga sekolah di Sekolah Menengah Atas dan keempat SMP.
Enam tahun bekerja di
Kantor Berita Antara, kemudian saya pindah ke Majalah Ekonomi PROSPEK yang
dimiliki penguaha Soetrisno Bachir. Alasannya sederhana, gaji saya naik 10 kali
lipat serta fasilitas mobil . Baru setahun beroperasi Majalah ini bangkrut,
padahal awak redaktur dan bidang lain banyak pindahan dari Majalah Tempo,
seperti Praginanto yang jadi pemimpin Redaksinya. Walaupun Praginanto gagal
jadi Pemimpin Redaksi PROSPEK secara permanen karena di ‘’kudeta’’
sahabat-sahabatnya sendiri dari Tempo.
Karena Bangkrut saya
pindah ke Harian Media Indonesia selama enam tahun mulai dari Kantor lama di
Jalan Gondangdia Lama, sampai kantor baru di kawasan Kedoya, Jakarta Barat. Belakangan
di kawasan ini juga dibangun oleh pemiliknya Surya Paloh sebagai markas
Televisi Metro TV.
Enam tahun saya bekerja di
Harin Media Indonesia saya pingin merasakan bekerjs di Televisi (SCTV) semasa
Sumita Tobing jadi Pemimpin Redaksinya dan saudara Eddy Ellison mantan Redaktur
Eksekutif Media Indonesia mendapat posisi yang sama di Surya Citra Televisi
(SCTV).
Muhammad Jusuf Kalla |
Namun, di SCTV saya gagal
masuk karena ketika tes kesehatan di RCTI saya dinyatakan sakit diabetes,
padahal saya sudah menulis surat Pengunduran Diri dari Harian Media Indonesia.
Tahun 1996 Ketika Majalah
Tempo ‘’dibreidel’’ (dicabut hak edarnya ) oleh pemerintah manajemen Majalah
Tempo membeli majalah spesialis Berita Kriminal Detektif & Romantika yang
kemudian logo majalah disingkat D&R saja ini untuk merubah citra majalah
dari Majalah isu hanya Hukum dan Kriminal menjadi Majalah Berita seperti
layaknya Majalah Tempo.
Saya melamar ke Majalah
D&R, dan tetap saja gagal tes kesehatan di Rumah Sakit Carolus Jakarta, karena
diabetes. Tapi Pemimpin Redaksi Majalah D&R Bambang Bujono menelpon
Personalianya agar meluluskan saya dengan alasan penyakit diabetes bisa hidup
normal.
Tiga tahun kemudian
Majalah Berita Tempo terbit kembali, dan Majalah ini sempat di jual dan
dikelola pemegang saham lainnya Harian Berbahasa Inggris The Jakarta Post. Tapi
karena sebagian besar wartawannya kembali kee Majalah Tempo dan D&R sulit
berkembang dan bersaing dengan saudaranya Tempo, akhirnya awal tahun 2000
Majalah D&R ditutup.
Setelah mencoba jadi
Branch Manager PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri di Balikpapan dan Redaktur
Business Week edisi Indonesia awal tahun 2004 saya bekerja Jadi Yayasan Bina
Swadaya yang sebagai Staf Spesialis Komunikasi .
Berkat Bantuan Dana
Selandia Baru Aid (New Zealand Aid) kami melaksanakan proyek perdamaian di kota
Ambon. Sehingga saya dan tim awal Januari 2004 mulai bertugas di Ambon.
Tugas saya sesuai proposal
yang saya buat sebelumnya adalah membangun Radio Komunitas yang dikelola
bersama para pemuda Kristen dan Pemuda Muslim.
Konflik Ambon April 2004 |
Satu dibangun di
aperbatasan Amantelu (Kristen) dengan Batu Merah Muslim, satu lagi dikawasan
Wai Haong (Muslim) dengan Batu Gantung (Kristen), dan satu lagi di kawasan
Baguala, dekat Bandara Ambon.
Baru tiga bulan saya dan
tim bertugas di Ambon, ketika itu saya mengontrak rumah di kawasan bukit
Amantelu (kawasan Kristen) yang berbatasan dengan Batu Merah (Muslim). Rumah
ini sebelumnya bersama ratusan rumah lainnya habis dibakar kelompok Muslim yang
menyerang. Setelah dibangun kembali kami kontrak yang berfungsi sebagai markas
kantor kami juga sebagai tempat tinggal.
Bertepatan dengan Ulang Tahun Republik Maluku
Selatan kerusuhan kembali pecah di kota Ambon yang menewaskan 12 orang termasuk
empat orang prajurit Brigade Mobil yang baru turun dari truk, Brimob ini tewas
terkena senjata sniper gelap dari kejauhan.
Karena kantor saya di
perbukitan dan perbatasan dengan Batu Merah ribuan warga Muslim dengan berbagai
jenis senjata mulai terkonsentrasi di Perbatasan , begitu pula para pemuda Kristen
melewati depan kantor Nampak berlarian dengan berbagai senjata mulai dari
parang panjang khas Maluku sampai Senjata rakitan.
Selama tiga hari tiga
malam kami mencoba bertahan di kantor berharap konflik bisa reda kembali.
Padahal kesatuan Brimob (Brigade Mobil) dan berbagai kesatuan Angkatan DaraT
Republik Indonesia mulai dari Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat) dan
kestuan Marinir telah lama ditempatkan di semua pelosok strategis di Maluku,
baik di provinsi Maluku, maupun di Maluku Utara.
Konflik Ambon April2004 |
Selama tiga hari konflik
bukan mereda tapi malah meningkat. Hotel Amman dan Pasar Mahardika dibakar,
termasuk Kantor Perwakilan UNICEF di Ambon.
Sehingga setelah
konsultasi dengan Yayasan Bina Swadaya Jakarta kami untuk sementara akan
mengungsi Ke Jakarta. Namun bagaimana caranya mengungsi untuk menuju Bandar
Udara Ambon harus melalui kawan Batu Merah yang perbatasannya sudah dijaga
ribuan pemuda Muslim dengan berbagai jenis senjata.
Kebetulan di Kodam
Pattimura Ambon Kepala Puskopat (Koperasi Kodam) adalah Kolonel Chaerul Pasha,
rekan semasa kecil dan tetangga di asrama tentara Kobekdam V Jaya Cililitan
Kecil. Sehingga saya telpon dia ‘’Bapak Chaerul kondisi Ambon semakin tidak
kondusif ribuan massa Muslim dan Kristen dengan berbagai jenis senjata sudah
berhadapan di kawasan Amantelu-Batu Merah hanya beberapa meter saja dari lokasi
Kantor kami.
‘’Pak Muhammad Jusuf kan
muslim, teriak saja Allahu Akbar, agar bisa lewat dikawasan Batu Merah. ‘’Pak
Chaerul dalam posisi tegang begini kadang sulit membedakan apakah kita Muslim
atau Kristen, jadi belum sampai saya ke kawasan batu Merah kami sudah tewas
dipanah para pemuda Muslim itu, apalagi kita akan mengungsi dari kawasan Kristen’’.
Akhirnya Buce, manager
administrasi Kantor yang memang selain Kristen juga warga Amantelu yang tahu
seluk beluk kota Ambon, berinisiatif membawa kita mengungsi agar aman kita
setelah jalan tikus perbukitan kita sampai di pesisir pantai sekitar dua jam
dai kawasan Waihong, kami menyewa speed boat untuk membawa kita ke Bandar
Udara, setelah sebelumnya melalui telpon kita memean tiket pesawat Lion Air.
Bersama beberapa orang ibu
dan anak tim kami mengungsi melalui laut tapi satu jam berjalan speed boat
sempat mogok sehingga selama tiga jam sempat terbara arus kea rah laut Banda.
Setelah tiga jam terapung
di tengah laut berkat kerja keras crew Speed Boat mesin bisa hidup kembali,
sehingga sekitar pukul 05. Sore waktu setempat kita sampai di Bandar Udara
Ambon,
Tapi: ‘’baru lima menit
lalu pesawat terakhir Lion Air terbang, jadi kita ketinggalan pesawat, sehingga
kami memtuskan tingal di Mess Milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI)
kita bisa tidur nyenyak di Mess ini karena 24 jam dijaga tentara AURI di se
keliling Mess. (Penginapan dinas),
Dari Mess AURI Nampak kobaran
api dan asap melanda kota Ambon, Banyak rumah, gedung dan hotel yang terbakar,
Sehingga kami kuatir apa yang telah diupayakan Muhammad Jusuf Kalla yang telah
berhasil mendamaikan konflik Ambon bisa buyar kembali.
Setelah dua bulan
mengungsi ke Jakarta, setelah dirasa aman kami pun bertugas kembali ke Ambon
meneruskan proyek Perdamaian New Zealand Aid alhamdulilah Konflik ambon yang
telah menewaskan lebih 100 ribu jiwa, terbesar seteelah Perang Dunia II tidak
terjadi lagi (Amin)
(Bersambung)
Liputan6.com, Ambon: Kota Ambon, Maluku, kembali bergolak. Sedikitnya 12 orang
tewas dan 91 lainnya luka-luka menyusul kerusuhan massa di Kota Ambon, Ahad
(25/4). Selain korban jiwa, beberapa gedung serta rumah di sana hangus
terbakar.
Namun,
berdasarkan data Kepolisian Daerah Maluku, korban tewas berjumlah 10 orang. Sejauh
ini kerusuhan massa diduga dipicu kekecewaan kelompok Islam menyusul sikap
kepolisian yang mengawal para simpatisan Republik Maluku Selatan seusai
menggelar perayaan hari ulang tahun.
Sementara, hingga saat ini, korban luka-luka
masih dirawat di beberapa rumah sakit, seperti RS Al-Fatah, RS Bhakti Rahayu,
dan RS dr Haulussy.
Peta Konflik |
Sebenarnya ketegangan dimulai sejak Ahad pagi. Saat itu, sebanyak 51 bendera RMS kembali berkibar di Maluku terkait peringatan hari ulang tahun ke-54 kelompok separatis tersebut. Melihat kondisi ini, Polda Maluku segera menerjunkan personelnya untuk menurunkan bendera yang sebagian besar dipasang di atas pohon dan gunung. Sedikitnya dua pengibar bendera RMS di Saparua juga ditahan polisi.
Situasi kian panas ketika kelompok RMS menggelar acara peringatan HUT ke-54 RMS oleh massa Forum Kedaulatan Maluku (FKM) di kediaman pemimpinan eksekutifnya, Dr Alex Manuputty di kawasan Kudamati [baca:Lagi, Bendera RMS Berkibar di Ambon]. Saat itu, upacara dipimpin Sekretaris Jenderal RMS Moses Tuanakota dan diikuti sekitar 1.000 orang. Dalam acara ini, mereka juga sempat mengibarkan bendera RMS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tak berlangsung lama, polisi yang datang ke lokasi segera menurunkan bendera RMS. Dalam kesempatan ini, polisi juga membawa Moses ke Markas Polda Maluku dengan diikuti massa sambil berpawai membawa bendera RMS. Sesampai di Mapolda, polisi akhirnya menahan 24 orang lainnya yang mengaku turut bertanggung jawab.
Sementara sebagian massa RMS yang tak ditahan akhirnya kembali pulang. Tapi, di tengah perjalanan, pendukung RMS yang kembali dari Mapolda Maluku justru dihadang massa yang menamakan diri Pembela Negara Kesatuan Republik Indonesia di sekitar Tugu Trikora. Awalnya, kedua massa hanya saling lempar. Tapi, aksi kian panas hingga terdengar letusan tembakan. Massa kian beringas. Kerusuhan pun tak terelakan dan kembali pecah.
Tak hanya di kawasan Tugu Trikora, kerusuhan juga terjadi di beberapa kawasan lain seperti Mardika dan Pokka yang menjadi lokasi konsentrasi massa. Di lokasi ini, massa terprovokasi untuk melakukan pembakaran. Tak jelas kelompok mana yang mulai membakar. Tapi, gedung perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di sana menjadi bangunan pertama yang dibakar. Sebuah hotel serta sejumlah rumah dan sebuah tempat ibadah pun turut dibakar.
Menurut Kepala Polda Maluku Brigadir Jenderal Polisi Bambang Sutrisno, sebenarnya pihak Polda bekerja sama dengan instansi TNI dan pemerintah daerah setempat telah mengantisipasi perayaan itu dengan melancarkan Operasi Merah Putih. Bahkan, Polda Maluku juga telah mengantisipasi sikap tokoh RMS Moses Tuanakota yang memprovokasi masyarakat dengan menyebarkan selebaran agar tak takut merayakan peringatan ultah kelompok separatis tersebut. Diketahui, Moses juga melayangkan surat kepada Presiden Megawati Sukarnoputri yang berisi rencana peringatan itu. "Sejak 24 April malam kami telah menyita puluhan bendera RMS yang dinaikkan di tempat-tempat terpencil, sampai dengan Minggu pagi, " ujar Bambang saat telewicara dengan reporter SCTV Bayu Sutiyono, Ahad petang.
Mengenai situasi terakhir di Ambon, Bambang mengungkapkan, sudah dapat dikendalikan dalam arti kata belum terjadi konflik baru antarkelompok. Pihaknya juga telah berkoordinasi dengan para tokoh masyarakat dan berupaya meluruskan informasi yang belum jelas. Polda Maluku juga telah menyekat wilayah-wilayah yang kemungkinan akan menyebabkan bentrokan. Misalnya, jalur lalu lintas masyarakat, dari bandar udara ke Ambon dihidupkan lagi melalui jalur laut. Selain itu, Polda Maluku juga telah melaporkan kerusuhan ini dan meminta penambahan pasukan pada Kapolri Jenderal Da`i Bachtiar. Begitu juga dengan pihak TNI juga sudah melaporkan kepada Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto.
Sekadar menyegarkan ingatan, Kota Ambon dilanda konflik horizontal pada 19 Januari 1999. Konflik yang bernuansa suku agama ras dan antargolongan (SARA) itu kemudian meluas di hampir wilayah Maluku. Pemerintah saat itu akhirnya menerapkan Darurat Sipil bagi Maluku dan Maluku Utara. Dan, berbagai upaya mendamaikan kedua kelompok yang bertikai akhirnya membuahkan hasil. Pada pertengahan Februari 2002, Pertemuan Malino II menghasilkan sebelas kesepakatan damai [baca: Sebelas Kesepakatan Mengakhiri Pertemuan Malino]. Perdamaian pun mulai tampak meski sehari pascapenandatangan Malino II, Kota Ambon diguncang tiga ledakan [baca: Tiga Ledakan Mengguncang Ambon].
Namun warga Maluku, khususnya di Ambon, tetap mengupayakan perdamaian. Seiring dengan mereda konflik di sana, pemerintah pada 15 September 2003 akhirnya mencabut Darurat Sipil yang diterapkan sesuai Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2000 tentang Darurat Sipil di Provinsi Maluku dan Maluku Utara--yang kemudian diubah menjadi Keppres Nomor 40 Tahun 2002. Sedangkan status Darurat Sipil di Maluku Utara sudah dicabut melalui Keppres Nomor 27 Tahun 2003 tentang Penghapusan Darurat Sipil di Provinsi Maluku Utara [baca: Status Darurat Sipil di Maluku Dicabut].(ORS/Sahlan Heluth)
Konflik Ambon Diduga Dibiarkan Terjadi
Jum'at, 30 April 2004 | 16:51 WIB
Jum'at, 30 April 2004 | 16:51 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Titian Perdamaian (ITP), dan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melihat adanya kecenderungan kuat konflik di
Ambon dibiarkan. Kesimpulan ini diambil setelah sebelumnya ITP melihat ada
dialog antara masyarakat dan Pangdam dan Wakil Polres Ambon beberapa jam
sebelum terjadi kerusuhan tanggal 25 April.
Menurut Ichsan Malik, Direktur ITP yang kebetulan membuat rekaman film tentang Ambon (24/4), pada diskusi hari ini (30/4), awalnya kerusuhan terjadi di satu kantong (empat titik) di Kota Ambon. Tetapi secara tiba-tiba konflik meluas ke beberapa titik setelah munculnya jargon atau kata-kata yang bernuasa sangat nasionalis, seperti NKRI harga mati.
Konflik menjadi meluas setelah tidak ada penanganan yang efektif dan koordinasi yang baik antara TNI, Polri, dan gubernur. "Awalnya kerusuhan hanya berupa lemparan batu, tetapi situasi kemudian menegang dengan adanya statementseperti tembak di tempat yang dilanjutkan dengan kebakaran," ujar Ichsan saat penayangan rekaman video Ambon di gedung LIPI.
Selain adanya pembiaran, baik dari pemerintah, TNI, maupun Polri, kata Ichsan, konflik muncul karena pemerintah tidak becus menangani situasi Ambon pascakonflik. Seperti penegakan hukum masih tumpul, komunikasi politik antar masyarakat tidak jalan dan sejumlah agenda penanganan massa konflik terbengkalai. Padahal pascakonflik sangat penting, tetapi pemerintah lebih mengutamakan mengamankan pelaksanaan pemilu.
Ketiga institusi menyesalkan adanya pengaitan antara Font Kedaulatan Maluku (FKM)/ Republik Maluku Selatan (RMS) dan NKRI terhadap terjadi konflik di Maluku. Menurut mereka sebaiknya FKM/RMS jangan dikaitkan dengan kelompok Kristen yang berhadapan dengan NKRI yang dikaitkan sebagai kelompok muslim.
Mereka meminta pemerintah maupun aparat yang berwenang segera menjelaskan siapa yang disebut kelompok pendukung FKM/RMS dan NKRI di Ambon yang dianggap sebagai pemicu munculnya konflik. "Dua tahun situasi sudah kondusif setelah pascakonflik, tetapi justru meledak pada 25 April yang dibarengi dengan munculnya istilah-istilah NKRI dan lain-lain yang bersifat nasionalis," ujar Ichsan.
Ketiga Institusi ini juga menyesalkan sikap media massa lokal Ambon yang ikut memperpanas suasana. Media lokal dianggap sebagai salah satu penyulut konflik karena sering mengangkat isu-isu sensitif yang menggugah rasa nasionalisme masyarakat setempat. Tetapi bagaimanapun ketiga institusi ini berpendapat bahwa munculnya konflik di Ambon karena didalangi pihak tertentu di Jakarta serta adanya agenda besar yang akan berlangsung (pemilu presiden). "Patut diduga agenda pemilihan presiden membawa pengaruh," kata Ichsan.
Dengan munculnya konflik ini, ketiga institusi meminta pencegahan masuknya kelompok-kelompok bersenjata/milisi dari luar Maluku terutama yang mengatasnamakan simbol-simbol agama atau alasan untuk mencegah separatisme. Pemerintah pusat diminta untuk lebih bersikap profesional dan lebih mengutamakan perbaikan pascakonflik.
Menurutnya, perbaikan pascakonflik jauh lebih rumit dan kompleks disebabkan hancurnya sistem yang ada. Pemerintah juga harus belajar menangani kejadian yang luar biasa dan yang lebih penting munculnya pernyataan-pernyataan seperti NKRI dan RMS jangan dikaitkan dengan agama, seperti NKRI kelompok Islam dan RMS sebagai kelompok Kristen.
Pemerintah benar-benar ingin menyelesaikan konflik di Ambon sebaiknya tidak hanya mementingkan keamanan tetapi juga menjalankan birokrasi dan kemanusiaan secara serentak.
Menurut Ichsan Malik, Direktur ITP yang kebetulan membuat rekaman film tentang Ambon (24/4), pada diskusi hari ini (30/4), awalnya kerusuhan terjadi di satu kantong (empat titik) di Kota Ambon. Tetapi secara tiba-tiba konflik meluas ke beberapa titik setelah munculnya jargon atau kata-kata yang bernuasa sangat nasionalis, seperti NKRI harga mati.
Konflik menjadi meluas setelah tidak ada penanganan yang efektif dan koordinasi yang baik antara TNI, Polri, dan gubernur. "Awalnya kerusuhan hanya berupa lemparan batu, tetapi situasi kemudian menegang dengan adanya statementseperti tembak di tempat yang dilanjutkan dengan kebakaran," ujar Ichsan saat penayangan rekaman video Ambon di gedung LIPI.
Selain adanya pembiaran, baik dari pemerintah, TNI, maupun Polri, kata Ichsan, konflik muncul karena pemerintah tidak becus menangani situasi Ambon pascakonflik. Seperti penegakan hukum masih tumpul, komunikasi politik antar masyarakat tidak jalan dan sejumlah agenda penanganan massa konflik terbengkalai. Padahal pascakonflik sangat penting, tetapi pemerintah lebih mengutamakan mengamankan pelaksanaan pemilu.
Ketiga institusi menyesalkan adanya pengaitan antara Font Kedaulatan Maluku (FKM)/ Republik Maluku Selatan (RMS) dan NKRI terhadap terjadi konflik di Maluku. Menurut mereka sebaiknya FKM/RMS jangan dikaitkan dengan kelompok Kristen yang berhadapan dengan NKRI yang dikaitkan sebagai kelompok muslim.
Mereka meminta pemerintah maupun aparat yang berwenang segera menjelaskan siapa yang disebut kelompok pendukung FKM/RMS dan NKRI di Ambon yang dianggap sebagai pemicu munculnya konflik. "Dua tahun situasi sudah kondusif setelah pascakonflik, tetapi justru meledak pada 25 April yang dibarengi dengan munculnya istilah-istilah NKRI dan lain-lain yang bersifat nasionalis," ujar Ichsan.
Ketiga Institusi ini juga menyesalkan sikap media massa lokal Ambon yang ikut memperpanas suasana. Media lokal dianggap sebagai salah satu penyulut konflik karena sering mengangkat isu-isu sensitif yang menggugah rasa nasionalisme masyarakat setempat. Tetapi bagaimanapun ketiga institusi ini berpendapat bahwa munculnya konflik di Ambon karena didalangi pihak tertentu di Jakarta serta adanya agenda besar yang akan berlangsung (pemilu presiden). "Patut diduga agenda pemilihan presiden membawa pengaruh," kata Ichsan.
Dengan munculnya konflik ini, ketiga institusi meminta pencegahan masuknya kelompok-kelompok bersenjata/milisi dari luar Maluku terutama yang mengatasnamakan simbol-simbol agama atau alasan untuk mencegah separatisme. Pemerintah pusat diminta untuk lebih bersikap profesional dan lebih mengutamakan perbaikan pascakonflik.
Menurutnya, perbaikan pascakonflik jauh lebih rumit dan kompleks disebabkan hancurnya sistem yang ada. Pemerintah juga harus belajar menangani kejadian yang luar biasa dan yang lebih penting munculnya pernyataan-pernyataan seperti NKRI dan RMS jangan dikaitkan dengan agama, seperti NKRI kelompok Islam dan RMS sebagai kelompok Kristen.
Pemerintah benar-benar ingin menyelesaikan konflik di Ambon sebaiknya tidak hanya mementingkan keamanan tetapi juga menjalankan birokrasi dan kemanusiaan secara serentak.
Tahapan Konflik Ambon (1999-2004)
Menurut laporan http://earthy-moony.blogspot.com/
Konflik Ambon Terjadi pada kurun waktu masa peralihan
pemerintahan otoriter (Rejim Orde Baru) ke Demokratis (Reformasi) bulan
desember 1998 sampai dengan maret 1999. Konflik diawali dengan pertikaian
pertikaian yang terjadi antara indivdu yang berbeda etnis dan agama di beberapa
tempat di ambon dan Maluku. Akibat pertikaian-pertikaian tersebut muncul isu
anti BBM ( Suku Buton, Bugis, Makassar), sehingga Suku Buton, Bugis, dan ,
Makassar keluar dari Ambon dan Maluku. Pemuka adat, kepala desa, tokoh agama,
dan para camat di Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusa Laut menandatangani
kesepakatan damai di Markas Korem 174 Pattimura, Ambon. Satu Batalion TNI AD
asal Makassar ditarik, diganti satu batalyon marinir dari Surabaya, satu
batalion dari Purworejo, dan satu batalion dari Situbondo.
Konfrontasi
Terjadi selama kurun waktu Maret 1999 sampai dengan April 2000.
Usaha-usaha perdamaian yang dilakukan dengan pembentukan tim khusus dan
penandatanganan ikrar perdamaian pemimpin MUI Maluku, Gereja Katolik, dan
gereja Protestan Ambon di Lapangan Merdeka, Ambon tidak berhasil menghentikan
kerusuhan, sehingga kerusuhan terus berlanjut. Bahkan usaha-usaha dari tokoh
pemerintah untuk membantu upaya rekonsiliasi dan pemulihan masyarakat Maluku
juga tidak berhasil, soalnya kelompok RMS disebut-sebut terlibat. Menjelang
tahun baru Maluku Utara menjadi ladang pembantaian. Penyerbuan beruturut-turut
terjadi di Kecamatan Tobelo, dan Galela di Halmahera, Maluku Utara. Tablig
akbar, latihan jihad dan seruan untuk berjihad ke Maluku dan Ambon mulai
diserukan di daerah sekitar ibukota oleh tokoh-tokoh Islam.
Krisis
Terjadi dari bulan Juni 2000 sampai dengan Agustus 2001. Terjadi
serangan balikdari kelompok putih (kelompok jihad) terhadap kelompok merah
(masyarakat asli beragama Kristen). Gereja, asrama Brimob diserang dan dibakar
serta gudang senjata dibakar, yang mengakibatkan ratusan jiwa melayang. Karena
kejadian tersebut maka diberlakukan darurat sipil oleh Pemerintah di seluruh
kepulauan Maluku seperti pemeberlakuan jam malam. Di mana-mana aparat keamanan
masih terus patroli, dan berjaga di setiap perbatasan wilayah yang dianggap
masih rawan konflik. Terjadi kontak senjata antara Batalyon Gabungan (Yon Gab)
dan Marinir dengan sekelompok warga di kawasan perbatasan Batumerah-Mardika
sehingga mengakibatkan 10 warga sipil tewas dan belasan lainnya menderita
luka-luka berat dan ringan. Terjadi aksi penyusupan di rumah-rumah warga.
Modusnya, orang-orang tak dikenal itu mendatangi rumah pada malam hari, lalu
mengetuk pintu. Para penyusup itu akan membacok siapa saja yang membukakan
pintu, tujuh warga meninggal dibacok dan 17 lainnya luka-luka, di samping dua
penyusup tanpa identitas juga tewas. Sebuah bom meledak di sebuah warung makan
di Ambon.
Outcome
Terjadi dari bulan April 2002 hingga September 2003. Jam malam
dan darurat sipil masih diberlakukan. Kapolri Jendral Polisi Dai Bachtiar, di
Ambon, mengatakan, status Darurat Sipil mungkin dicabut kalau daerah ini sudah
memiliki Gubernur definitif. Karel Albert Ralahalu dan Mohammad Abdullah
Latuconsina terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku periode
2003-2009. Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dalam jumpa persnya
mengatakan, Pemerintah segera mencabut status darurat sipil di Maluku menjadi
tertib sipil.
Post Konflik
Terjadi mulai September 2003 sampai dengan April 2004. Maluku
dinyatakan sebagai wilayah berstatus tertib sipil, setelah tiga tahun berstatus
darurat sipil. Sejak peralihan status darurat sipil menjadi tertib sipil pada
September 2003 di Provinsi Maluku, masyarakat menyerahkan 94 bom rakitan dan 77
unit senjata api rakitan kepada polisi dan TNI. Juru bicara Direktorat Jenderal
Imigrasi Departemen Kehakiman dan HAM Ade Endang Dachlan mengatakan, Ketua
Front Kedaulatan Maluku (FKM) Alex Manupputy melarikan diri dari Indonesia ke
AS melewati jalur-jalur tidak resmi. Manuputty divonis empat tahun penjara
terkait kasus makar. Pemilihan Umum Legislatif di Maluku berjalan aman dan
tertib. Situasi serupa juga terjadi saat kampanye pemilihan, namun kerusuhan
pecah kembali setelah polisi membubarkan massa yang sedang memperingati HUT
RMS. (BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment