Perjalanan yang belum selesai (324)
(Bagian ke tiga
ratus dua puluh empat), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 27 juli 2015, 19.58 WIB)
Bertaubatlah sebelum kiamat kecil menimpa kita.
Kiamat kecil adalah kiamat awal (meninggal) yang menimpa
ummat manusia berdasarkan ajal yang telah ditetapkan Allah dalam kitab:
"Lauh Mahfuzh" .
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima puluh
ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no. 2653).
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
Dalam surah Al Hijr ayat 4 Allah berfirman bawa Allah
tidak menunda atau memajukan ajal suatu kaum (seseorang).
Jadi saudaraku bertaubatlah (minta ampun (Taubat Nasuha)
kepada Allah selagi nafas belum sampai di kerongkongan (tenggorokan), karena
Allah di dalam surah At Taha ayat 82 berfirman, bahwa Allah adalah maha
penganpun bagi orang yang bertaubat.
Surah Taha ayat 80-82: Mengingatkan Bani Israil terhadap
nikmat-nikmat Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada mereka.
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ قَدْ أَنْجَيْنَاكُمْ مِنْ عَدُوِّكُمْ
وَوَاعَدْنَاكُمْ جَانِبَ الطُّورِ الأيْمَنَ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى
(٨٠)كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ
غَضَبِي وَمَنْ يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى (٨١) وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ
تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى (٨٢
Terjemah Surat Thaha Ayat 80-82
80. [4]Wahai bani Israil[5]! Sungguh, Kami telah
menyelamatkan kamu dari musuhmu[6], dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan
kamu (untuk bermunajat) di sebelah kanan gunung itu (gunung Sinai)[7] dan Kami
telah menurunkan kepada kamu manna dan salwa.
81. Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami
berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas[8], yang menyebabkan
kemurkaan-Ku menimpamu. Barang siapa ditimpa kemurkaan-Ku, maka sungguh,
binasalah dia[9].
82. [10]Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi orang yang
bertobat[11], beriman[12] dan beramal saleh, kemudian tetap dalam petunjuk[13].
Dalam beberapa surah Al Quran dan Hadist (sunnah Nabi
Muhammad SAW), Allah berfirman bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa setiap
orang walau sepenuh bumi dan setinggi langit, asal dia bertaubat, kecuali dosa
berbuat syirik (menyekutukan Tuhan/menduakan Tuhan, menganggap Tuhan itu ada
Tiga,ada Tuhan Bapak, Tuhan Ibu dan Anak Tuhan), atau menganggap Tuhan itu
lebih dari satu.
Namun bagi orang yang berbuat syirik ini, bila dia
bertaubat sebelum ajal merengutnya, bila Taubatnya sepenuh hati (Taubat
Nasuha), maka dia termasuk orang yang selamat.
Cara taubatnya orang yang berbuat syirik itu adalah dia
pertama kali mengucapkan dua kalimah syahadat: mengucapkan
Assaduallaillahaillah Assaduanna Muhammad Rasullah:
Syahadat Menurut Etimologi
Syahadat (الشهادة asy-syahādah) berasal dari bahasa Arab
berstatus sebagai kata benda masdar شَهَادَة , hasil perobahan dari kata kerja
lampau (fi`il Madhi): syahida (شَهِدَ) yang artinya ia telah memberikan
persaksian (he give witness); dengan dikasrahkan huruf Ha` (شَهِدَ بكسرالهاء).
Arti harfiah syahadat adalah memberikan persaksian (witness, bear witness);
memberikan ikrar setia, memberikan pengakuan (giving testimony).
Secara terminologi, syahadat diartikan sebagai pernyataan
diri segenap jiwa dan raga atas persaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah (Rasul-Nya).
Dua Kalimat Syahadat
Syahadat terdiri 2 kalimat persaksian yang disebut dengan
syahadatain, yaitu:
Asyhadu an-laa ilaaha illallaah (ا شهد أن لا إله إلا الله)
yg artinya: Saya bersaksi tiada Tuhan Selain Allah
Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah (و اشهد أن محمد ر
سو ل الله) yg artinya: dan saya bersaksi bahwanya Nabi Muhammad adalah utusan
Allah.
Pengertian Syahadat menurut istilah
Menurut para ulama tauhid ushul al-din (pokok-pokok ilmu
agama), berdasarkan 2 kalimat yang terdapat dalam syahadatain, menunjukkan
tentang 2 makna, yaitu:
Pengakuan ketauhidan (Syahadat Tauhid).
Artinya, seorang muslim hanya boleh mengakui dan
menyembah satu Tuhan, yaitu Allah (Makna Keesaan Tuhan: mengesakan Allah).
Bukti Persaksian Syahadat Tauhid yaitu dengan tidak menyekutukan Allah dalam
setiap perbuatan, amal ibadah, niat (i`tikad), dll (Poleteisme, berbuat syirik)
Pengakuan Kerasulan (Syahadat Rasul).
Artinya, seorang muslim wajib mempercayai semua hal yg
disampaikan / datang dari Rasulullah. Bukti Persaksian Syahadat Rasul seperti:
mengikuti sunnah Rasulullah, menerima hadis Nabi Muhammad sebagai panduan wajib
umat Islam.
Syahadat Menurut Islam
Menurut pejelasan mayoritas Ulama, syahadat termasuk di
dalam 5 rukun Islam (arkān-al-Islām أركان الإسلام) atau rukun agama (arkān
ad-dīn أركان الدين) dan ditampilkan pada rukun pertama. Melaksanakan syahadat
hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah.
Penggunaan Kalimat Syahadat
Kalimat syahadat dapat ditemukan pada beberapa ritual
ibadah keislaman berikut ini:
Ketika seseorang pertama kali masuk Islam menjadi
Muallaf, orang tersebut diwajibkan membaca ikrar 2 kalimat syahadat.
Di dalam bacaan sholat pada bagian gerakan duduk tahiyyat
sholat.
Saat ritual membaca Ijab Kabul ikrar pernikahan dalam
Islam
Dalam hal-hal lainnya yg berhubungan dengan Islam
Kata Allah dalam firman dan Sunnah: setiap anak adam
pasti pernah berbuat dosa (pasti berdosa, kecuali Nabi dan Rasul, karena Nabi
dan Rasul adalah Maksum (dijaga Allah dari berbuat dosa), kecuali Manusia
pertama Nabi Adam yang sudah diperingatkan Allah bahwa musuh nyata manusia
adalah Iblis, sehingga Iblis berhasil menggoda Adam dan Hawa untuk makan buah
quldi, sehingga menyebabkan Adam dipindahkan dari Surga ke bumi, namun Nabi
Adam adalah manusia pertama di bumi yang bertaubat kepada Allah atas kekeliruannya
telah berbuat dosa.
Peristiwa Nabi Adam ini memang sudah takdir Allah, yang
memang telah menetapkan manusia menjadi khalifah di bumi dan sudah ditetapkan
Allah di dalam kitab : "Lauh Mahfuzh" .
Pengetahuan tentang hari kiamat
Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
Pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara ghaib yang
hanya diketahui oleh Allah Ta’ala, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh banyak
ayat di dalam al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
karena pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara yang hanya diketahui oleh
Allah Azza wa Jalla. Dia tidak menampakkannya kepada seorang Malaikat yang
didekatkan tidak juga kepada seorang Nabi yang diutus[1]. Tidak ada seorang pun
yang mengetahui kapan terjadinya Kiamat kecuali Allah Ta’ala.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sering sekali
membicarakan keadaan Kiamat dan kedahsyatannya, sehingga orang-orang waktu itu
bertanya kepada beliau kapan terjadinya Kiamat. Beliau mengabarkan bahwa itu
adalah masalah ghaib yang hanya diketahui oleh Allah, demikian pula ayat
al-Qur-an menjelaskan bahwa pengetahuan tentang kapan terjadinya Kiamat adalah
sesuatu yang dikhususkan Allah untuk diri-Nya.
Di antaranya adalah firman-Nya:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا
عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِي
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ
حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يَعْلَمُونَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat, ‘Kapankah
terjadinya?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah
pada sisi Rabb-ku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya
selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit
dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’
Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya.
Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi
Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” [Al-A’raaf: 187]
Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam agar mengabarkan kepada manusia bahwa pengetahuan tentang
terjadinya Kiamat hanya ada di sisi Allah semata, hanya Dia-lah yang mengetahui
masalahnya dengan jelas dan kapan terjadinya, tidak seorang pun dari penduduk
langit dan bumi mengetahuinya.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah:
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا
عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا
“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit.
Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi
Allah.’ Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah
dekat waktunya.” [Al-Ahzaab: 63]
Juga sebagaimana difirmankan oleh Allah:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا فِيمَ أَنْتَ
مِنْ ذِكْرَاهَا إِلَىٰ رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا
“(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
hari berbangkit, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat
menyebutkan (waktunya)? Kepada Rabb-mulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan
waktunya).” [An-Naazi’aat: 42-44]
Maka puncak dari pengetahuan tentang hari Kiamat kembali
kepada Allah semata.
Karena itulah, ketika Jibril Alaihissallam bertanya
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hari Kiamat
-sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jibril yang panjang- Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
مَا الْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.
“Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada
orang yang bertanya.”[2]
Jibril tidak mengetahui kapan hari Kiamat itu terjadi,
begitu pun Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikian pula Nabi ‘Isa Alaihissallam, beliau tidak
mengetahui kapan Kiamat itu terjadi, padahal beliau akan turun ketika Kiamat
sudah dekat. Bahkan (turunnya Nabi ‘Isa) termasuk tanda-tanda besar Kiamat,
sebagaimana akan dijelaskan.
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, demikian pula
Ibnu Majah dan al-Hakim dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَقِيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَـى وَعِيْسَى،
قَالَ: فَتَذَاكَرُوا أَمْرَ السَّاعَةِ، فَرَدُّوا أَمْرَهُمْ إِلَى إِبْرَاهِيمَ
فَقَالَ: لاَ عِلْمَ لِي بِهَا، فَرَدُّوا اْلأَمْرَ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: لاَ عِلْمَ
لِي بِهَا، فَرَدُّوا اْلأَمْرَ إِلَى عِيْسَـى فَقَالَ: أَمَّا وَجْبَتُهَا؛ فَلاَ
يَعْلَمُهَا أَحَدٌ إِلاَّ اللهُ ذَلِكَ، وَفِيمَـا عَهِدَ إِلَيَّ رَبِّـي عَزَوَجَلَّ
أَنَّ الدَّجَّالَ خَارِجٌ، قَالَ وَمَعِي قَضِيبَانِ، فَإِذَا رَآنِـي، ذَابَ كَمَا
يَذُوبُ الرَّصَاصُ. قَالَ: فَيُهْلِكُهُ اللهُ.
“Pada malam aku di-Isra'kan ke langit, aku bertemu dengan
Ibrahim, Musa, dan ‘Isa.” Beliau bersabda, “Lalu mereka saling menyebutkan
tentang perkara Kiamat, selanjutnya mereka mengembalikan perkara mereka kepada
Ibrahim, maka beliau berkata, ‘Aku tidak memiliki ilmu tentangnya,
kembalikanlah perkaranya kepada Musa.’ Lalu beliau berkata, ‘Aku tidak memiliki
ilmu tentangnya, kembalikanlah perkaranya kepada ‘Isa.’ Akhirnya beliau
berkata, ‘Adapun kapan terjadinya, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui
kecuali Allah. Di antara wahyu yang diberikan oleh Rabb-ku Azza wa Jalla
kepadaku, ‘Sesungguhnya Dajjal akan keluar.’ Beliau berkata, ‘Dan aku membawa
dua pedang. Jika dia melihatku, maka dia akan meleleh sebagaimana timah yang
meleleh.’ Beliau berkata, ‘Lalu Allah membinasakannya.’” [3]
Mereka adalah para Ulul Azmi dari kalangan para Rasul,
dan mereka tidak mengetahui kapan terjadinya Kiamat.
Dan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir bin
‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda sebulan sebelum beliau wafat:
تَسْأَلُونِي عَنِ السَّاعَةِ؟ وَإِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ
اللهِ وَأُقْسِمُ بِاللهِ مَا عَلَى اْلأَرْضِ مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ تَأْتِي عَلَيْهَا
مِائَةُ سَنَةٍ.
‘Kalian bertanya kepadaku tentang hari Kiamat? Sedangkan
ilmunya hanyalah ada di sisi Allah, dan aku bersumpah dengan Nama Allah, tidak
ada satu makhluk hidup pun yang lahir di atas bumi ini yang berumur seratus
tahun.’” [4][5]
Hadits ini menafikan kemungkinan bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam mengetahuinya setelah pertanyaan Jibril kepadanya.
Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan, “Nabi yang ummi ini
adalah pemimpin para Rasul, dan penutup mereka -shalawat dan salam dari Allah
semoga dilimpahkan kepadanya- Nabi pembawa rahmat, penyeru taubat, pemimpin
perang, pemberi keputusan, yang menghormati tamu, penghimpun, di mana semua
manusia berkumpul padanya (untuk memperoleh syafa’at), di mana beliau pun
bersabda dalam hadits yang shahih dari hadits Anas dan Sahl bin Sa’ad
Radhiyallahu anhuma:
بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ.
‘Diutusnya aku dan hari Kiamat bagaikan dua (jari) ini.’
[6]
Beliau mendekatkan jari telunjuk dan yang ada setelahnya
(jari tengah). Walaupun demikian keadaan beliau, Allah telah memerintahkannya
agar mengembalikan ilmu tentang Kiamat kepada-Nya jika ditanya tentangnya,
Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“... Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat
itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
[Al-A’raaf: 187][7]
Siapa saja yang beranggapan bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya Kiamat, maka dia adalah orang
bodoh, karena ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi yang telah disebutkan
menolak anggapan tersebut.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan orang yang
mengaku-aku sebagai ahli ilmu pada zaman kita ini telah menampakkan kebohongan.
Dia berpura-pura kenyang (dengan ilmu) padahal ilmu itu tidak diberikan
kepadanya bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kapan
terjadinya hari Kiamat.” (Sangat pantas jika) dikatakan kepadanya, “Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salla pernah bersabda di dalam hadits Jibril:
مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.
‘Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada
orang yang bertanya.’
Lalu mereka menyelewengkan makna yang sebenarnya, seraya
berkata, “Maknanya adalah, ‘Aku dan engkau mengetahuinya.’”
Ini merupakan kebodohan yang paling besar, dan
penyelewengan makna yang paling buruk. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih
mengenal Allah, (maka tidak pantas) dia mengatakan kepada seseorang yang
dianggapnya sebagai seorang badui, “Aku dan engkau mengetahui kapan Kiamat itu
terjadi,” hanya saja orang bodoh itu berkata, “Sebelumnya beliau tahu bahwa dia
adalah Jibril,” padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jujur dalam
perkataannya, beliau bersabda:
مَا جَائَنِيْ فِي صُورَةٍ إِلاَّ عَرَفْتُهُ غَيْرَ هَذِهِ
الصُّورَةِ.
“Tidaklah dia datang dengan satu rupa kecuali aku
mengenalnya selain rupa yang ini.” [8]
Dalam lafazh yang lain:
مَا شُبِّهَ عَلَيَّ غَيْرَ هَذِهِ الْمَرَّةِ.
“Dia (Jibril) tidak pernah disamarkan kepadaku selain
pada kesempatan ini.”
Sementara dalam lafazh yang lain:
رُدُّوْا عَلَيَّ اْلأَعْرَابِيَّ...
“Bawa kepadaku orang badui itu...”
Lalu mereka pergi untuk mencarinya, akan tetapi mereka
tidak mendapatkannya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa dia
adalah Jibril setelah beberapa saat, sebagaimana dikatakan oleh ‘Umar
Radhiyallahu anhuma, “Lalu aku terdiam dalam waktu yang lama, kemudian beliau
bersabda, ‘Wahai ‘Umar! Tahukah engkau siapa yang bertanya?’” [9]
Orang yang menyelewengkan makna tersebut berkata, “Beliau
mengetahui bahwa dia adalah Jibril sejak dia bertanya kepada beliau, sementara
beliau tidak memberitakan Sahabat akan hal itu kecuali setelah selang waktu
berlalu!”
Kemudian ungkapan dalam hadits: (مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا
بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ) mencakup setiap orang yang bertanya dan ditanya,
maka setiap orang yang bertanya dan ditanya tentang Kiamat ini keadaannya
adalah seperti itu (sama-sama tidak tahu). [10]
Demikian pula, tidak ada gunanya menyebutkan tanda-tanda
dan mengabarkannya kepada penanya yang sudah mengetahuinya, lebih-lebih ketika
ia tidak bertanya tentang tanda-tandanya.
Dan lebih aneh lagi dari pendapat ini adalah apa yang
diungkapkan oleh as-Suyuthi dalam al-Haawi setelah mengungkapkan jawaban atas
pertanyaan tentang hadits yang masyhur di kalangan manusia, “Sesungguhnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan berdiam di dalam kuburnya selama
seribu tahun?” Dia (as-Suyuthi) berkata, “Saya jawab bahwa hal ini adalah
bathil tidak ada landasannya sama sekali.”
Lalu diungkapkan bahwa beliau menulis sebuah buku dalam
masalah ini dengan judul al-Kasyfu ‘an Mujaawazati Haadzihil Ummah al-Alf, di
dalamnya beliau berkata:
Pertama, hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwasanya
masa umat ini lebih dari seribu tahun dan tambahannya tidak mencapai lima ratus
tahun; karena diriwayatkan dari berbagai jalan bahwa umur dunia adalah tujuh
ribu tahun, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus di akhir tahun keenam
ribuan.[11]
Kemudian beliau menyebutkan beberapa perhitungan yang
kesimpulannya sama sekali tidak mungkin jika masanya itu seribu lima ratus
tahun. Kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang dijadikan
landasan oleh beliau:
Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani
dalam al-Kabiir dari adh-Dhahhak bin Zummal az-Zuhani, dia berkata, “Aku
bermimpi, kemudian aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam,” selanjutnya beliau menuturkan hadits yang di dalamnya diungkapkan:
إِذَا أَنَا بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلَى مِنْبَرٍ فِيْهِ
سَبْعُ دَرَجَاتٍ، وَأَنْتَ فِي أَعْلاَهَا دَرَجَةً. فَقَالَ: أَمَا الْمِنْبَرُ الَّذِيْ
رَأَيْتَ فِيْهِ سَبْعُ دَرَجَاتٍ وَأَنَا فِي أَعْلاَهَا دَرَجَةً، فَالدُّنْيَا سَبْعَةُ
آلاَفِ سَنَةٍ، وَأَنَا فِي آخِرِهَا أَلْفًا.
“Tiba-tiba saja aku di (dekat)mu wahai Rasulullah, di
atas mimbar yang memiliki tujuh tangga, dan engkau berada di tangga yang paling
tinggi,” kemudian beliau bersabda, “Adapun mimbar yang engkau lihat memiliki
tujuh tangga dan aku berada di tangga paling tinggi, itu berarti bahwa (umur)
dunia tujuh ribu tahun, dan aku berada di ribuan tahun yang terakhir.” [12]
Beliau (as-Suyuthi) mengatakan bahwa hadits tersebut
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dalaa-il, dan as-Suhail mengatakan bahwa
hadits ini dha’if sanadnya, akan tetapi hadits tersebut diriwayatkan secara
mauquf kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma melalui jalan-jalan yang shahih,
dan ath-Thabrani [13] menshahihkan landasan ini dan menguatkannya dengan
beberapa atsar.
Kemudian as-Suyuthi menjelaskan bahwa makna sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam: “... dan aku berada di ribuan tahun yang
terakhir.” Maksudnya adalah kebanyakan umat Islam berada pada tahun ketujuh
ribu, agar sesuai dengan riwayat se-lanjutnya bahwa beliau diutus di akhir
tahun keenam ribu. Seandainya beliau diutus di awal tahun ketujuh ribu, niscaya
tanda-tanda Kiamat besar seperti Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa, dan terbitnya
matahari dari barat telah di jumpai lebih dari seratus tahun sebelum masa kita
ini, karena Kiamat terjadi tepat pada tahun ketujuh ribu, sementara tidak
terjadi apa pun pada saat itu, maka hal ini menunjukkan bahwa sisa dari tahun
ketujuh ribu lebih dari tiga ratus tahun. [14]
Ini adalah ringkasan perkataan as-Suyuthi rahimahullah,
dan (perkataannya ini) berbenturan dengan ungkapan yang jelas di dalam
al-Qur-an juga hadits-hadits yang shahih; bahwasanya umur dunia tidak diketahui
oleh seorang pun kecuali Allah Ta’ala. Karena jika kita mengetahui umur dunia,
niscaya kita akan tahu kapan terjadinya Kiamat. Anda telah mengetahui
sebelumnya dari ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabawi bahwa Kiamat tidak
diketahui kapan terjadinya kecuali oleh Allah Ta’ala.
Demikian pula, bahwa kenyataan yang ada menolak hal itu
(pendapat as-Suyuthi). Karena kita berada di awal abad kelima belas Hijriyyah,
sementara Dajjal belum keluar, dan Nabi ‘Isa belum turun. As-Suyuthi menyatakan
bahwa ada riwayat yang menyebutkan Dajjal keluar di awal seratus tahunan dan
‘Isa Alaihissallam turun, lalu membunuhnya. Kemudian beliau berdiam di bumi
selama empat puluh tahun, manusia berdiam di bumi setelah matahari terbit dari
barat selama seratus dua puluh tahun, dan jarak di antara dua tiupan
(Sangkakala) adalah empat puluh tahun, ini semua mesti terjadi dalam masa dua
ratus tahun [15]. Lalu berdasarkan perkataannya, seandainya Dajjal keluar
sekarang maka mesti dua ratus tahun, sehingga terjadinya Kiamat setelah tahun
seribu enam ratus.
Dengan ini jelaslah kebathilah setiap hadits yang membatasi
umur dunia.
Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan dalam kitab
al-Manaarul Muniif beberapa hal yang diketahui dengannya kepalsuan sebuah
hadits. Beliau berkata, “Di antaranya adalah hadits yang menyelisihi nash
al-Qur-an yang jelas, seperti hadits batasan umur dunia, yang mengatakan bahwa
umur dunia hanya tujuh ribu tahun, sementara kita berada di masa ketujuh ribu
tahun. Ini merupakan kebohongan paling jelas, karena seandainya hadits ini
shahih, niscaya setiap orang tahu bahwa Kiamat akan terjadi dua ratus lima
puluh satu tahun dari waktu kita sekarang ini.” [16]
Ibnul Qayyim hidup di abad kedelapan Hijriyyah, maka dia
mengatakan perkataan seperti ini, dan telah berlalu dari perkataannya lebih
dari enam ratus lima puluh dua tahun, akan tetapi dunia belum juga berakhir.
Ibnu Katsir berkata, “Adapun yang terdapat dalam
kitab-kitab Israiliyyat (kisah-kisah yang bersumber dari bani
Israil/Yahudi-ed.) dan Ahlul Kitab berupa pembatasan masa yang telah lalu
dengan ribuan dan ratusan tahun, maka lebih dari satu orang ulama terang-terangan
menyalahkan mereka di dalam hal itu, dan memperlakukan mereka dengan keras
sementara mereka pantas untuk mendapatkannya, dan juga telah terdapat sebuah
hadits:
اَلدُّنْيَا جُمْعَةٌ مِنْ جُمَعِ اْلآخِرَةِ.
“Dunia itu adalah satu pekan dari beberapa pekan di
akhirat.”
Hadits ini sanadnya tidak shahih, demikian pula tidak
shahih sanad setiap hadits yang menentukan waktu terjadinya hari Kiamat secara
tepat.[17]
Sebagaimana tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan
terjadinya hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan
muncul-nya tanda-tanda Kiamat. Riwayat yang menjelaskan bahwa pada tahun ini
akan seperti ini, dan pada tahun ini akan terjadi hal ini, maka hal itu tidak
benar, karena penanggalan belum dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, akan tetapi ‘Umar bin al-Khaththablah yang menetapkannya sebagai sebuah
ijtihad dari beliau, dan awal perhitungannya dimulai dari peristiwa hijrahnya
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah.
Al-Qurthubi berkata, “Sesungguhnya apa yang dikabarkan
oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang fitnah dan peristiwa-peristiwa
yang akan terjadi, dengan penentuan waktunya pada tahun tertentu membutuhkan
cara yang benar (dalam menentukan keshahihan riwayat tersebut) yang bisa
mematahkan segala ar-gumentasi, hal itu sebagaimana (menentukan) waktu
terjadinya hari Kiamat, tidak seorang pun mengetahui pada tahun manakah ia akan
terjadi, tidak juga pada bulan apakah? (Yang diketahui) bahwa ia akan terjadi
pada hari Jum’at di akhir waktunya. Waktu di mana Allah menciptakan Adam
Alaihissallam, akan tetapi Jum’at yang mana? Tidak seorang pun mengetahui
tepatnya hari tersebut kecuali Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya,
demikian pula masalah tanda-tanda Kiamat, tidak seorang pun mengetahui waktunya
yang pasti, wallahu a’lam.[18]
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin
Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M,
Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir]
No comments:
Post a Comment