Perjalanan yang belum selesai (317)
(Bagian ke tiga ratus tujuh belas), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 20 juli
2015, 03.22.00 WIB)
Allah memerintahkan kepada manusia agar kita makan makanan yang halal, baik
makanan yang kita beli seara halal,artinya dari uang yang kita peroleh dari
cara yang halal dan bukan uang hasil riba (bunga bank).
Selain itu selain kita membeli makanan dari uang hasil kerja kita yang
halal , bukan uang hasil korupsi, mencopet, merampok atau kita ambil hak orang
lain atau hak anak yatim , Allah seperti di terangkan dalam Surah An Nahl ayat
115 mengharamkan kita makan daging babi, darah , bangkai binatang (kecuali
ikan), dan dalam surah lain dan dalil lain di Al Quran dan Hadist kita juga
diharamkan minum arak (minuman yang memabukkan (mengandung alkohol), merokok
(smoking cigaret) berdasarkan Fatwa Muhammadiyah Indonesia dan Majelis Ulama
Arab Saudi).
Allah berfirman dalam Al Quran surah An Nahl , Ayat ke 115:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (115)
Artinya:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah,
daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, tetapi
barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula
melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(16: 115)
Al-Quran dalam ayat ini mengajak manusia untuk menjaga keseimbangannya
dalam memakan makanan. Tidak ekstrim kiri dan kanan. Oleh karenanya Allah
menyebut makanan apa saja yang dapat dimakan. Al-Quran berdasarkan kebutuhan
manusia mengatakan, "Kalian diperkenankan memakan daging, namun tidak
setiap daging. Jauhkan diri kalian dari memakan daging yang dicekik, mati
(bangkai) dan daging hewan yang tidak disembelih. Begitu juga kalian haram
memakan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah."
Dalam surat lain ada ayat yang isinya sama dengan ayat yang baru saja kita
baca ini dan menjelaskan secara terperinci hewan yang halal dan haram dimakan.
Lanjutan ayat 115 surat an-Nahl ini berbunyi, "Bila kalian berada
dalam kondisi sulit dan untuk mempertahankan hidup yang membuat kalian terpaksa
memakan daging hewan yang diharamkan, Allah akan mengampuni kalian. Namun
syaratnya kalian tidak memakannya melebihi batas darurat.”
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Filsafat pengharaman sebagian makanan tidak terbatas pada masalah
kesehatan, tapi menjauhkan diri dari kekotoran seperti syirik dan ini menjadi
tolok ukur utama pengharaman ilahi. Artinya, seorang muslim dalam hal makan
juga harus dalam jalur tauhid.
2. Islam tidak pernah menemui jalan buntu. Dalam kondisi darurat, perbuatan
dosa mendapat pengampunan.
Pada tahun 1980an di negara-negara mayoritas non-Muslim seperti di Amerika
Serikat, daging halal sulit ditemui. Saya yang tinggal di kota Fresno, California,
ketika itu harus membeli daging halal di kota Sacramento, dari Sacramento saya
biasanya membeli ayam halal yang cukup, dan saya distribusikan pada Muslimin
dan para mahasiswa muslim melalui Masjid Fresno.
Dewasa ini supermarket atau mini market yang menjual makanan halal cukup
banyak tersebar di kota-kota di Amerika, termasuk di San Diego, di mana saya
kerap berkunjung ke adik perempuan saya yang bersuamikan warga Amerika Serikat
yang tinggal di kota ini.
Hal ini disebabkan jumlah dan pertumbuhan ummat Islam cukup pesat dan
tersebar di kota kecil dan kota besar di AS.
Begitu juga di negara yang mayoritas non-Muslim seperti di Jerman, Inggris
dan Prancis, dulu tahun 1980’an ketika saya berkunjung ke Jerman, Austria,
Hongaria, Belanda dan Spanyol saya
selalu makan dan mencari restauran milik Muslim asal Turki yang bertebaran di
negara-negara di Eropa.
Restauran milik imigran asal Turki ini kalau kita sebut di Indonesia
sebagai Warteg (warung tegal/rumah makan kecil), namun halal dan menunya tidak
jauh dengan menu yang ada di negara-negara Arab Timur Tengah.
Kalau saya ke Singapura, saya selalu menyempatkan diri makan di luar hotel
untuk mencari restauran Muslim milik Etnis Melayu dan Muslim India dan
Pakistan. Karena saya ragu apakah ayam dan daging di hotel di Singapura itu
halal.
Dulu ketika saya jalan-jalan ke beberapa negara bagian di Amerika Serikat,
saya selalu kalau mampir ke restaurant McDonald, saya selalu memesan Mc Fish
(roti isi ikan).
Di Beograd, Ibukota Serbia, ada restauran milik pemuda Muslim asal Jawa
yang menikah dengan gadis serbia yang kemudian istrinya itu menjadi Muallaf
(masuk Islam) dan memiliki satu putri. Walaupun restaurannya tidak ditulis
label Halal di depan restaurannya, namun pemiliknya mengaku semua daging dan
semua menu Restaurannya halal yang seluruh bahan-bahannya dia beli di Mini
Market makanan Halal yang dijual oleh Muslim Serbia.
KITAB MAKANAN
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Al-Ath’imah ( اْلأَطْعِمَةُ ) adalah bentuk jamak dari tha’aam ( طَعَامٌ )
(makanan), yaitu segala sesuatu yang dimakan dan disantap oleh manusia baik
berupa makanan pokok atau selainnya.
Hukum asal makanan adalah halal, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi...” [Al-Baqarah: 168]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ قُلْ
مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“... Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah, ‘Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik...’”
[Al-A’raaf: 31-32]
Tidak boleh mengharamkan sesuatu dari makanan kecuali makanan yang telah
Allah haramkan dalam Kitab-Nya atau yang diharamkan melalui lisan Rasul-Nya.
Mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah termasuk mengada-ada kedustaan
terhadap Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ
حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
وَمَا ظَنُّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah
kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’
Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau
kamu mengada-ada saja terhadap Allah? Apakah dugaan orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari Kiamat...” [Yunus: 59-60]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا
حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى
اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu
secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka
adzab yang pedih.” [An-Nahl: 116-117]
Macam-Macam Makanan Yang Diharamkan
Allah berfirman:
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ
لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut
Nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan
kepadamu apa yang di-haramkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
mema-kannya...” [Al-An’aam: 119]
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyebutkan secara terperinci apa-apa yang
diharamkan bagi kita, dengan perincian yang jelas serta menjelaskannya secara
gamblang.
Allah Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ
لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ
وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن
تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang
jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
sembelih, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan.” [Al-Maa-idah: 3]
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut Nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu
kefasikan…” [Al-An’aam: 121]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ
رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena
sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah...” [Al-An’aam: 145]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا
“...Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu
dalam ihram...” [Al-Maa-idah: 96]
Hal-Hal Yang Hukumnya Disamakan Dengan Bangkai
Sesuatu dari anggota tubuh yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup,
hukumnya disamakan dengan bangkai. Berdasarkan hadits Abu Waqid al-Laitsi, ia
berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَهُوَ مَيْتَةٌ.
‘Apa yang dipotong dari hewan yang masih hidup adalah bangkai.’” [1]
Bangkai Dan Darah Yang Dikecualikan
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ،
وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ.
‘Telah dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah, adapun
kedua jenis bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan kedua jenis
darah itu adalah hati dan limpa.’” [2]
Pengharaman Keledai Piaraan
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu ia menerangkan bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah didatangi oleh seseorang seraya berkata,
“Keledai piaraan telah dimakan.” Kemudian beliau didatangi lagi oleh seseorang
dan berkata, “Keledai piaraan telah dimakan.” Kemudian beliau didatangi lagi
oleh seseorang dan berkata, “Keledai piaraan telah punah.” Akhirnya beliau
memerintahkan seseorang untuk mengumumkan pada manusia (orang itu berkata),
‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai
piaraan, sesungguhnya daging keledai piaraan itu najis.’ Aku pun menumpahkan
panci yang berisi daging keledai yang sedang mendidih.” [3]
Haramnya Memakan Setiap Binatang Yang Memiliki Taring Dari Binatang Buas
Dan Setiap Binatang Yang Memiliki Cakar Dari Jenis Burung
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu a'nhuma, ia berkata:
نَهَىٰ رَسُولُ اللهِ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَعَنْ كُلِّ ذِي
مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita memakan setiap
binatang yang memiliki taring dari binatang buas dan setiap binatang yang
memiliki cakar dari jenis burung.” [4]
Pengharaman Jallalah (Hewan Yang Memakan Kotoran)
Jallalah adalah hewan yang sebagian besar dari makanannya adalah hal-hal
yang najis (kotoran-pent).
Diharamkan memakannya, meminum susunya, dan menungganginya.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu a'nhuma, ia berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى اللَّه عليه وسلم عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita memakan jallalah
dan meminum susunya.” [5]
Dan darinya juga Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى اللَّه عليه وسل عَنِ الْجَلاَّلَةِ فِي اْلإِبِلِ أَنْ
يُرْكَبَ عَلَيْهَا، أَوْ يُشْرَبَ مِنْ أَلْبَانِهَا.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita menunggangi unta
jallalah atau meminum susunya.” [6]
Kapan Jallalah Bisa Menjadi Halal?
Apabila hewan tersebut dikurung selama tiga hari dan diberi makan dengan
makanan yang suci, maka boleh menyembelih dan memakannya.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia menerangkan bahwasanya ia
mengurung ayam jallalah selama tiga hari.[7]
Dibolehkannya Sesuatu Yang Haram ketika Darurat
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Baqarah: 173]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“…. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Maa-idah: 3]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata (II/14), “Barangsiapa yang membutuhkan
untuk memakan makanan haram yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ini
karena keadaan darurat, maka ia boleh memakannya dan Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang terhadapnya. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui
kebutuhan hamba-Nya yang berada dalam kesulitan dan sangat membutuhkan makanan
tersebut, maka Allah pun membolehkan (memakan)nya dan mengampuninya. Disebutkan
dalam Musnad Imam Ahmad dan Shahiih Ibni Hibban dari Ibnu ‘Umar secara marfu’,
ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
...إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتِيَ رُخْصَتُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتِيَ
مَعْصِيَتُهُ.
‘Sesungguhnya Allah menyenangi apabila keringanan-Nya diambil sebagaimana
Dia membenci dilakukannya kemaksiatan terhadap-Nya.’’”[8]
Oleh karena itu, para ulama ahli fiqih mengatakan bahwa memakan bangkai
dalam keadaan tertentu (bisa menjadi) wajib, apabila ia takut akan (kebinasaan)
dirinya dan tidak menjumpai sesuatu pun (yang halal untuk dimakan). Terkadang
hukumnya menjadi sunnah dan terkadang hukumnya boleh sesuai dengan keadaan.
Sedangkan mereka berselisih pendapat apakah memakan bangkai itu hanya sekedarnya
saja untuk menopang sisa hidupnya atau ia boleh memakannya sampai kenyang atau
bahkan boleh menyimpannya untuk bekal? Perselisihan mereka menjadi beberapa
pendapat sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab Fiqih.
Mereka juga berpendapat bahwa tidak mendapatkan makanan selama tiga hari,
tidak menjadi syarat untuk dibolehkannya memakan bangkai. Sebagaimana yang
disangka oleh kebanyakan orang awam dan selain mereka, namun yang benar kapan
saja ia terpaksa memakannya, ia boleh memakannya.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis
Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih
Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
No comments:
Post a Comment