Perjalanan yang belum selesai (183)
(Bagian ke seratus delapan puluh tiga, Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 15 Januari 2015, 02.51 WIB)
Masuk surga tanpa dihisab: jangan minta di ruqiah
Menurut Hadist Nabi Muhammd SAW diantara Umat Islam ada 70.000
orang yang masuk surge tanpa dihisab.
Salah satu syarat adalah kita tidak minta di ruqiah oleh
orang lain, kecuali meruqiah diri sendiri.
Selain itu konsisten dan ikhlas sholat lima waktu, selain
banyak berzikir dan beristigfar setiap waktu.
Naik Haji dan Umroh ke Mekah dan Madinah bila mampu
secara fisik (sehat) dan materi (memiliki cukup dana) juga salah satu penghapus
dosa.
Bagi Orang miskin bila ingin memperoleh pahala sama
seperti naik haji dan Umroh, konsisten sholat lima waktu , puasa bulan ramadhan
dan banyak berzikir, istigfar, setiap saat.
Hadits Tentang 70.000 Orang Yang Masuk Surga Tanpa Hisab
Di dalam Shahih Bukhari disebutkan hadits bahwa 700.000
orang akan masuk surga, sedangkan generasi awal saja mungkin jumlah mereka
sudah mencapi 700.000. Apakah ada tafsir lain tentang hadits ini?
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.
Barangkali maksud anda wahai penanya adalah hadits
tentang 70.000 orang yang akan masuk surga tanpa hisab yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim dan Ahmad serta yang lainnya dari Nabi Shalallahu 'Alaihi
Wassalam.
Kalau anda memperhatikan hadits ini, akan hilanglah
-insya Allah- ketidakjelasan yang tercermin dalam pertanyaan anda.
Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya telah meriwayatkan
sebuah hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi
Wassalam bahwa beliau berkata:
"Ditampakkan beberapa umat kepadaku, maka ada
seorang nabi atau dua orang nabi yang berjalan dengan diikuti oleh antara 3-9
orang. Ada pula seorang nabi yang tidak punya pengikut seorangpun, sampai
ditampakkan kepadaku sejumlah besar. Aku pun bertanya apakah ini? Apakah ini
ummatku? Maka ada yang menjawab: 'Ini adalah Musa dan kaumnya,' lalu dikatakan,
'Perhatikanlah ke ufuk.' Maka tiba-tiba ada sejumlah besar manusia memenuhi
ufuk kemudian dikatakan kepadaku, 'Lihatlah ke sana dan ke sana di ufuk
langit.' Maka tiba-tiba ada sejumlah orang telah memenuhi ufuk. Ada yang
berkata, 'Inilah ummatmu, di antara mereka akan ada yang akan masuk surga tanpa
hisab sejumlah 70.000 orang. Kemudian Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam masuk
tanpa menjelaskan hal itu kepada para shahabat. Maka para shahabat pun
membicarakan tentang 70.000 orang itu. Mereka berkata, 'Kita orang-orang yang
beriman kepada Allah dan mengikuti rasul-Nya maka kitalah mereka itu atau
anak-anak kita yang dilahirkan dalam Islam, sedangkan kita dilahirkan di masa
jahiliyah.' Maka sampailah hal itu kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam,
lalu beliau keluar dan berkata, 'mereka adalah orang yang tidak minta diruqyah
(dimanterai), tidak meramal nasib dan tidak mita di-kai, dan hanya kepada
Allahlah mereka bertawakkal." [HR. Bukhari 8270]
Maksud hadits ini menjelaskan bahwa ada satu kelompok
dari ummat ini akan masuk surga tanpa dihisab, bukan berarti bahwa jumlah ahli
surga dari ummat ini hanya 70.000 orang. Maka mereka yang 70.000 orang yang
diterangkan dalam hadits ini adalah mereka yang memiliki kedudukan yang tinggi
dari kalangan ummat ini karena mereka memiliki keistimewaan khusus yang
disebutkan oleh hadits ini, yaitu mereka adalah orang-orang yang tidak minta
diruqyah, tidak meramal nasib, dan tidak minta di-kai, serta hanya kepada Allah
mereka bertawakkal.
Ada lagi hadits yang menjelaskan penyebab mereka masuk
surga tanpa hisab dan tanpa adzab di dalam riwayat lain bagi Imam Bukhari
rahimahullah, dari Abbas radhiallahu 'anhu, dia berkata bahwa Nabi Shalallahu
'Alaihi Wassalam bersabda:
"Ditampakkan kepadaku beberapa ummat. Maka ada
seorang nabi yang berjalan dengan diikuti oleh satu ummat, ada pula seorang
nabi yang diikuti oleh beberapa orang, ada juga nabi yang diikuti oleh sepuluh
orang. Ada juga nabi yang diikuti lima orang, bahkan ada seorang nabi yang
berjalan sendiri. Aku pun memperhatikan maka tiba-tiba ada sejumlah besar
orang, aku berkata, 'Wahai Jibril, apakah mereka itu ummatku? Jibril menjawab,
'Bukan, tapi lihatlah ke ufuk!' Maka aku pun melihat ternyata ada sejumlah
besar manusia. Jibril berkata, 'Mereka adalah ummatmu, dan mereka yang di
depan, 70.000 orang tidak akan dihisab dan tidak akan diadzab.' Aku berkata,
'Kenapa?' Dia menjawab, 'Mereka tidak minta di-kai, tidak minta diruqyah, dan
tidak meramal nasib serta hanya kepada Allah mereka bertawakal.'Maka berdirilah
Ukasyah bin Mihshan, lalu berkata, 'Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan
salah satu seorang di antara mereka.' Nabi pun berdoa, 'Ya Allah, jadikanlah
dia salah seorang di antara mereka.'Lalu ada orang lain yang berdiri dan
berkata, 'Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku salah seorang di
antara mereka.' Nabi Shalalahu 'alaihi wasslam menjawab, 'Kamu telah didahului
oleh Ukasyah'." [HR. Bukhari 6059]
Tentang sifat mereka pun dijelaskan di dalam hadits Sahl
bin Sa'd radhiallahu 'anhu, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, dia berkata,
"Pasti ada 70.000 orang dari ummatku atau 700.000
orang (salah seorang periwayat hadits ini ragu) akan masuk surga orang pertama
di antara mereka, tidak memasukinya sebelum masuk pula orang terakhir dari
mereka. Wajah-wajah mereka seperti bulan pada bulan purnama." [HR.
Bukhari]
Dan dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, dia berkata: aku
mendengar Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda,
"Akan masuk surga sekelompok dari ummatku sejumlah
70.000 orang. Wajah-wajah mereka bercahaya seperti cahaya bulan." [HR.
Bukhari]
Tentang sifat mereka diterangkan pula di dalam riwayat
Muslim dalam shahihnya dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu 'anhu,
"…, kemudian selamatlah orang-orang mukmin, selamat
pulalah kelompok pertama dari mereka yang wajah-wajah mereka seperti bulan pada
malam purnama sejumlah 70.000 orang. Mereka tidak dihisab kemudian orang-orang
setelah seperti cahaya bintang di langit, kemudian yang seperti mereka."
Bagi kita semua kaum muslimin ada kabar gembira dari Nabi
Shalallahu 'Alaihi Wassalam di dalam hadits ini dan hadits-hadits lainnya.
Adapun kabar gembira dalam hadits ini karena ada riwayat yang lain dalam Musnad
Imam Ahmad, Sunan Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah dari hadits Abu Umamah dari
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, dia berkata,
"Rabbku 'Azza wa Jalla telah menjanjikan kepadaku
bahwa ada dari ummatku yang akan masuk surga sebanyak 70.000 orang tanpa hisab
ataupun adzab beserta setiap ribu orang ada 70.000 orang lagi dan tiga hatsiyah
dari hatsiyah-hatsiyah Allah 'Azza wa Jalla."
Kita memohon kepada Allah Subhana wa Ta'ala agar Dia
menjadikan kita termasuk golongan mereka. Bila anda hitung 70.000 orang
menyertai setiap seribu orang dari yang 70.000 itu, berapakah jumlah seluruhnya
bagi orang yang masuk surga tanpa hisab?!?
Dan berapa jumlah seluruh hatsiyah dari hatsiyah Allah
yang Agung dan Mulia, Yang Penyayang dan Pengasih?
Adapun berita gembira yang kedua adalah bahwa jumlah ahli
surga dari ummat ini dua pertiga (2/3) dari seluruh jumlah ahli surga, maka
jumlah ummat Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam yang masuk surga lebih banyak
dibanding jumlah seluruh ummat yang lalu. Berita gembira ini datang dari Nabi
Shalallahu 'Alaihi Wassalam dalam sebuah hadits ketika beliau bersabada kepada
para sahabatnya pada suatu hari,
"Ridhakah kalian, kalau kalian menjadi seperempat
(1/4) dari penduduk surga?"Kami menjawab, "Ya."Beliau berkata
lagi, 'Ridhakah kalian menjadi sepertiga (1/3) dari penduduk surga?"Kami
menjawab, "Ya."Beliau berkata lagi, 'Ridhakah kalian menjadi setengah
(1/2) dari penduduk surga?"Kami menjawab, "Ya."Beliau berkata
lagi, "Demi Allah yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sesungguhnya aku
berharap kalian menjadi setengah (1/2) dari penduduk surga karena surga tidak
akan dimasuki kecuali oleh jiwa yang muslim dan tidaklah jumlah kalian
dibanding ahli syirik kecuali seperti jumlah bulu putih pada kulit sapi hitam
atau seperti bulu hitam pada kulit sapi merah." [HR. Bukhari 6047]
Kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam
menyempurnakan berita gembiranya kepada kita dalam hadits shahih yang lain.
Beliau berkata,
"…, Ahli surga 120 shaf, 80 shaf di antaranya dari
ummatku, dan 40 shaf lagi dari ummat lainnya." [HR. Tirmidzi 3469,lalu
Tirmidzi berkata, "Ini hadits hasan."]
Maka kita memuji Allah atas nikmatnya dan kita memohon
karunia dan rahmat-Nya, dan semoga Dia menempatkan kita di surga dengan upaya
dan anugrah-Nya, dan semoga Allah melimpahkan shalawat kepada Nabi kita
Muhammad.
Islam Tanya & Jawab
Syeikh Muhammad Sholih A
Masuk Surga Tanpa Hisab
Dari Husain bin Abdurrahman berkata: “Ketika saya berada
di dekat Sa’id bin Jubair, dia berkata: “Siapakah diantara kalian yang melihat
bintang jatuh semalam?” Saya menjawab : “Saya.”
Kemudian saya berkata: “Adapun saya ketika itu tidak
dalam keadaan sholat, tetapi terkena sengatan kalajengking.”
Lalu ia bertanya: “Lalu apa yang anda kerjakan? Saya
menjawab: “Saya minta diruqyah”. Ia bertanya lagi: “Apa yang mendorong anda
melakukan hal tersebut?” Jawabku: “Sebuah hadits yang dituturkan Asy-Sya’bi
kepada kami.” Ia bertanya lagi: “Apakah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya’bi
kepada anda?” Saya katakan: “Dia menuturkan hadits dari Buraidah bin Hushaib:
‘Tidak ada ruqyah kecuali karena ‘ain atau terkena sengatan.’.”
Sa’id pun berkata: “Alangkah baiknya orang yang beramal
sesuai dengan nash yang telah didengarnya, akan tetapi Ibnu Abbas
radhiyallâhu’anhu menuturkan kepada kami hadits dari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi
Wasallam, Beliau bersabda:
‘Saya telah diperlihatkan beberapa umat oleh Allâh, lalu
saya melihat seorang Nabi bersama beberapa orang, seorang Nabi bersama seorang
dan dua orang dan seorang Nabi sendiri, tidak seorangpun menyertainya.
Tiba-tiba ditampakkan kepada saya sekelompok orang yang sangat banyak. Lalu
saya mengira mereka itu umatku, tetapi disampaikan kepada saya: “Itu adalah
Musa dan kaumnya”.
Lalu tiba-tiba saya melihat lagi sejumlah besar orang,
dan disampaikan kepada saya: “Ini adalah umatmu, bersama mereka ada tujuh puluh
ribu orang, mereka akan masuk surga tanpa hisab dan adzab.”.’
Kemudian Beliau bangkit dan masuk rumah. Orang-orang pun
saling berbicara satu dengan yang lainnya, ‘Siapakah gerangan mereka itu?’
(yang masuk Surga tanpa hisab dan adzab)
Ada diantara mereka yang mengatakan: ‘Mungkin saja mereka
itu sahabat Rasulullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam.’
Ada lagi yang mengatakan: ‘Mungkin saja mereka
orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam dan tidak pernah berbuat
syirik terhadap Allâh.’
dan menyebutkan yang lainnya.
Ketika Rasulullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam keluar,
mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda:
‘Mereka itu adalah orang yang tidak pernah minta
diruqyah, tidak meminta di kay dan tidak pernah melakukan tathayyur serta
mereka bertawakkal kepada Rabb mereka.’
Lalu Ukasyah bin Mihshon berdiri dan berkata:
‘Mohonkanlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’
Beliau menjawab: ‘Engkau termasuk mereka’
Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata:
‘Mohonlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’
Beliau menjawab: ‘Kamu sudah didahului Ukasyah.’.”
Keterangan Hadits
1. Beramal dengan dalil.
Hushain bin Abdurrahman terkena sengatan kalajengking,
lalu meminta ruqyah dalam pengobatannya. Beliau lakukan hal itu bukan tanpa
dalil. Beliau berdalil dengan hadits dari Buraidah bin al-Husaib “Tidak ada ruqyah kecuali karena ain atau
sengatan kalajengking”.
2. Jumlah pengikut Nabi.
Sa’id mendengar hadits dari Ibnu Abbas radhiyallâhu’anhu,
berisi keterangan diperlihatkan kepada Nabi beberapa umat. Beliau melihat
seorang nabi beserta pengikutnya yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh.
Seorang nabi beserta satu atau dua orang pengikutnya, dan seorang nabi yang
tidak memiliki pengikut. Kemudian diperlihatkan kepada beliau sekelompok
manusia yang banyak dan ternyata adalah umat Nabi Musa ‘alaihissalam. Kemudian
baru diperlihatkan umat Beliau sebanyak 70 ribu orang yang masuk surga tanpa
hisab dan adzab.
Hal ini menunjukkan kebenaran itu tidak dilihat dari
banyaknya pengikut.
3. Golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.
Mereka adalah umat Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi
Wasallam yang merealisasikan tauhid. Sebagaimana dalam riwayat Ibnu
Fudhail: “Dan akan masuk surga diantara
mereka 70 ribu orang.”
Demikian juga dalam hadits Abu Hurairah dalam
shahihain: “Wajah-wajah mereka bersinar
seperti sinar bulan pada malam purnama”.
Dalam hal yang sama Imam Ahmad rahimahullâh dan Baihaqi
rahimahullâh meriwayatkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu’anhu dengan
lafadz: “Maka saya minta tambah (kepada
Rabbku), kemudian Allâh memberi saya tambahan setiap seribu orang itu membawa
70 ribu orang lagi”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mengomentari sanad hadits
ini: “Sanadnya jayyid (bagus)”.
Mereka (yang masuk
surga tanpa hisab dan adzab) itu adalah orang-orang yang:
A. Tidak minta diruqyah.
Demikianlah yang ada dalam shahihain. Juga pada hadits
Ibnu Mas’ud radhiyallâhu’anhu dalam musnad Imam Ahmad rahimahullâh. Sedangkan
dalam riwayat Imam Muslim (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) artinya yang tidak meruqyah.
Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang
ruqyah, lalu beliau menjawab: “Barangsiapa diantara kalian mampu memberi
manfaat kepada saudaranya, maka berilah padanya manfaat” , dan bersabda: “Boleh
menggunakan ruqyah selama tidak terjadi kesyirikan padanya.”
Ditambah lagi dengan amalan Jibril ‘alaihissalam yang
meruqyah Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan Nabi Saw, meruqyah shahabat-shahabatnya. Beliaupun
menjelaskan perbedaan antara orang yang meruqyah dengan orang yang meminta
diruqyah.
“Mustarqi (orang yang meminta diruqyah) adalah orang yang
minta diobati, dan hatinya sedikit berpaling kepada selain Allâh. Hal ini akan
mengurangi nilai tawakkalnya kepada Allâh. Sedangkan arrâqi (orang yang
meruqyah) adalah orang yang berbuat baik.
Beliau berkata pula: “Dan yang dimaksud sifat golongan
yang termasuk 70 ribu itu adalah tidak meruqyah karena kesempurnaan tawakkal
mereka kepada Allâh dan tidak meminta kepada selain mereka untuk meruqyahnya
serta tidak pula minta di kay.” Demikian pula hal ini disampaikan Ibnul Qayyim.
B. Tidak Minta di Kay ( Mengobati dengan Besi Panas)
Mereka tidak minta kepada orang lain untuk meng ‘kay’
sebagaimana mereka tidak minta diruqyah. Mereka menerima qadha’ dan menikmati
musibah yang menimpa mereka.
Sedangkan hukum ‘Kay’ sendiri dalam Islam tidak dilarang,
sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Jabir bin Abdullah: Bahwa Nabi
Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka’ab, lalu
dia memotong uratnya dan meng-kay-nya.
Demikan juga di jelaskan dalam shahih Bukhari dari Anas
radhiyallâhu’anhu : Anas berkata, “Bahwasanya aku mengkay bisul yang ke arah
dalam sedangkan Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam masih hidup.”
C. Tidak Melakukan Tathayyur
Mereka tidak merasa pesimis, tidak merasa bernasib sial
atau buruk karena melihat burung atau binatang yang lainnya.
4. Mereka Bertawakal Kepada Allâh
Disebutkan dalam hadits ini, perbuatan dan kebiasaan itu
bercabang dari rasa tawakkal dan berlindung serta bersandar hanya kepada Allâh.
Hal tersebut merupakan puncak realisasi tauhid yang
membuahkan kedudukan yang mulia berupa mahabbah (rasa cinta), raja’
(pengharapan), khauf (takut) dan ridha kepada Allâh sebagai Rabb dan Ilah serta
ridha dengan qadha’-Nya.
Ketahuilah makna hadits di atas tidak menunjukkan bahwa
mereka tidak mencari sebab sama sekali. Karena mencari sebab (supaya sakitnya
sembuh) termasuk fitrah dan sesuatu yang tidak terpisah darinya.
Allâh Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allâh, maka Allâh akan cukupi segala kebutuhannya.” (Ath-thalaq: 3)
Adapun mencari sebab yang bisa menyembuhkan penyakit
dengan cara yang tidak dimakruhkan, maka tidak membuat cacat dalam tawakkal.
Dijelaskan dalam shahihain dari Abu Hurairah ra, secara marfu’. ”Tidaklah Allâh
menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan obat untuknya, mengetahui obat itu
orang yang mengetahuinya dan tidak tahu obat itu bagi orang yang tidak
mengetahuinya.”
Para ulama berselisih dalam masalah berobat, apakah
termasuk mubah, lebih baik ditinggalkan atau mustahab atau wajib dilakukan?
Yang masyhur menurut Imam Ahmad adalah pendapat pertama, yaitu mubah dengan
dasar hadits ini dan yang semakna dengannya.
Sedangkan pendapat yang menyatakan lebih utama dilakukan
adalah madzhab Syafi’i dan jumhur salaf dan khalaf serta al-Wazir Abul Midhfar,
Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim. Sedangkan Madzhab Abu
Hanifah menguatkan sampai mendekati wajib untuk berobat dan Madzhab Imam Malik
menyatakan sama saja antara berobat dan meninggalkannya, sebagaimana
disampaikan oleh Imam Malik: “Boleh berobat dan boleh juga meninggalkannya.”
5. Kisah ‘Ukasyah bin Mihshan ‘Ukasyah
‘Ukasyah bin Mihshan ‘Ukasyah meminta kepada Rasûlullâh
Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam supaya mendo’akannya masuk dalam golongan orang
yang masuk surga tanpa hisab dan adzab. Lalu Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi
Wasallam menjawab: “Engkau termasuk dari mereka.” Sebagaimana dalam riwayat Bukhari
beliau berdo’a: “Ya Allâh jadikanlah dia termasuk mereka.”
Dari sini diambil sebagai dalil dibolehkan minta do’a
kepada orang yang lebih utama. Kemudian temannya yang tidak disebutkan namanya
meminta Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam mendo’akannya pula, tapi
Rasullullah SalAllâhu ‘Alaihi Wassalam menjawab: “Engkau telah didahului
‘Ukasyah.”
Berkata Al-Qurthubi: “Bagi orang yang kedua keadaanya
tidak seperti ‘Ukasyah, oleh karena itu permintaannya tidak dikabulkan, jika
dikabulkan tentu akan membuka pintu orang lain yang hadir untuk minta dido’akan
dan perkara itu akan terus berlanjut. Dengan itu beliau menutup pintu tersebut
dengan jawabannya yang singkat. Berkata Syaikh Abdirrahman bin Hasan Alu
Syaikh: “Didalamnya terdapat penggunaan ungkapan sindiran oleh Rasûlullâh
Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan keelokkan budi pekerti Rasûlullâh Shallallâhu
‘Alaihi Wasallam.”
(msa dari sumber : Majalah As-Sunnah Edisi 03
Apa itu RUQYAH : Bagaimana Syarat-syarat RUQYAH yang
sesuai SYARI’AT ?
DEFINISI RUQYAH SECARA BAHASA DAN ISTILAH
Ditulis oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam
Berkata Al Fairuz Abadi dalam kamus Al Muhith bahwaا لر قية
dengan didhammah artinya berlindung diri. Bentuk jamaknya adalah ر قى . Berkata
Al Fayumi dalam “Al Mishbah Al Munir” ر قى رقيا dari bab ر مى yang artinya
berlindung diri kepada Allah Subhaanahu wata’ala.
Berkata Ibnul Atsir dalam ” An Nihayah fii Ghariibi Al
Hadits ” (2/254) bahwa Ruqyah artinya berlindung diri dimana orang yang
memiliki penyakit itu diruqyah seperti demam dan kerasukan serta
penyakit-penyakit lainnya. Disebutkan dalam “Lisan Al Arabi” (5/293): ا لعوذة
(berlindung diri), bentuk jamaknya adalahر قي dan bentuk masdar (dasarnya)
adalah ر قيا و ر قية و ر قيا jika dia berlindung diri dengan cara meniupkan.
Sedangkan definisi ruqyah secara istilah (syar’i) adalah
berlindung diri dengan ayat-ayat Al Qur’an dan dzikir-dzikir serta doa-doa yang
diajarkan oleh Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam.
Ruqyah syar’i memiliki beberapa syarat yang disebutkan
oleh para ulama untuk membedakannya dengan ruqyah ruqyah yang bid’ah dan
syirik. Bahkan mereka (para ulama, pen) telah bersepakat tentang syarat-syarat
berikut ini : Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam “Fathul Bari”
(10/240) :
SYARAT-SYARAT RUQYAH SYAR’I
Para ulama telah bersepakat tentang bolehnya meruqyah
jika terkumpul 3 syarat, yaitu :
1. Ruqyah tersebut dilakukan dengan menggunakan
kalamullah Subhaanahu wata’ala, dengan nama-namaNya dan sifat-sifatNya.
2. Ruqyah dilakukan dengan menggunakan bahasa arab atau
dengan sesuatu yang diketahui maknanya dari selain bahasa arab.
3. Meyakini bahwa ruqyah itu tidak memberikan pengaruh
dengan sendirinya tetapi dengan izin Allah Subhaanahu wata’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah memiilki
perkataan yang sangat bagus tentang masalah ini. Beliau berkata sebagaimana
yang disebutkan dalam “Majmu Fatawa” (24/277-278) : “Adapun mengobati orang
yang kerasukan jin dengan menggunakan ruqyah dan berlindung diri kepada Allah
Subhaanahu wata’ala ini memiliki 2 sisi :
- Jika ruqyah dan permintaan perlindungan diri ini
dilakukan dengan sesuatu yang diketahui maknanya dan dengan sesuatu yang
dibolehkan dalam Islam dimana seseorang boleh mengucapkan kalimat tersebut,
berdoa kepada Allah Subhaanahu wata’ala serta dzikir kepada-Nya dan Allah
Subhaanahu wata’ala membolehkan untuk melakukannya. Jika demikian keadaannya,
maka boleh bagi dia untuk meruqyah orang yang kerasukan dengan menggunakan
cara-cara ini.
Telah tsabit dalam Ash Shahih dari Nabi Shallallohu
‘alaihi wasallam bahwa beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam membolehkan untuk
meruqyah selama tidak mengandung kesyirikan.” Beliau Shallallohu ‘alaihi
wasallam juga bersabda:
من استطاع منكم أن ينفع أخاه فليفعل
” Barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk memberikan
manfaat kepada saudaranya, maka lakukanlah.”.
- Jika dalam meruqyah itu terdapat kalimat-kalimat yang
diharamkan seperti kalimat yang mengandung kesyirikan atau kalimat tersebut
tidak diketahui maknanya dan kemungkinan mengandung kekufuran, maka tidak boleh
bagi seseorang untuk meruqyah, tidak boleh berkeinginan keras dan tidak boleh
pula bersumpah untuk menggunakan kalimat tersebut walaupun kadang-kadang jinnya
benar-benar keluar dari orang yang kerasukan. Karena sesungguhnya apa-apa yang
diharamkan oleh Allah Subhaanahu wata’ala dan RasulNya Shallallohu ‘alaihi
wasallam itu lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata sebagaimana
yang disebutkan dalam “Majmu Fatawa” (19/13): “Oleh karena itu, para ulama kaum
muslimin melarang meruqyah dengan sesuatu yang tidak diketahui maknanya karena
hal ini merupakan sebab terjatuhnya seseorang ke dalam kesyirikan walaupun
orang yang meruqyah itu tidak mengetahui bahwa itu kesyirikan.” Beliau juga
berkata dalam “Iqtidha Ash Shirat Al Mustaqiim” (1/519): “Jika makna sesuatu
itu tidak diketahui, maka kemungkinan itu adalah makna yang haram sehingga
seorang muslim tidak diperbolehkan untuk mengucapkan sesuatu yang tidak
diketahui maknanya. Oleh karena itu dibenci meruqyah dengan menggunakan bahasa
Ibrani atau Suryani dan selainnya karena dikhawatirkan di dalamnya mengandung
makna yang tidak diperbolehkan.”
Berkata An Nawawi dalam Shahih Muslim (14/141-142):
“Merupakan satu pujian jika seseorang meninggalkan untuk meruqyah dengan
menggunakan kalimat-kalimat kekufuran, meruqyah dengan kalimat-kalimat asing,
meruqyah dengan menggunakan selain bahasa arab atau menggunakan sesuatu yang
tidak diketahui maknanya. Semua ini tercela, karena ada kemungkinan maknanya
adalah kekufuran, mendekati kekufuran atau makruh. Adapun meruqyah dengan
ayat-ayat Al Qur’an dan dzikir-dzikir yang diketahui ini tidak dilarang, bahkan
sunnah. Sungguh telah dinukilkan ijma ulama tentang bolehnya meruqyah dengan
ayat-ayat Al Qur’an dan dzikir-dzikir kepada Allah Subhaanahu wata’ala.
Demikian pula telah disebutkan dalam ijma ulama bahwa
ruqyah itu tidak disyariatkan jika mengandung sesuatu yang menyelisihi syariat
yang suci. Oleh karena itu, hendaknya para peruqyah diberi peringatan dengan
peringatan yang keras untuk tidak meruqyah dengan ruqyah yang tidak disyariatkan
dan berhati-hati dari meminta untuk diruqyah dengan ruqyah yang tidak syar’i
seperti ruqyahnya pada tukang sihir, dajjal dan ahli bid’ah yang sesat.
Sumber Buku : HUKUM BERINTERAKSI DENGAN JIN
Pustaka : Ats Tsabat.
SUMBER URL :
http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=105:definisi-ruqyah-secara-bahasa-dan-istilah&catid=1:aqidah-islam&Itemid=28
http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=106:syarat-syarat-ruqyah-syari&catid=1:aqidah-islam&Itemid=28
* * *
Kekeliruan Praktik Ruqyah yang Perlu Diketahui
Oleh: Al-Ustadz Dzulqornain bin Muhammad Sunusi
al-Makassari
Bismillahir-rohmanir-rohiim.
Tanya: Tolong dijelaskan bagaimana cara ruqyah yang
syar’i, dikarenakan belakangan hari ini maraknya acara ruqyah diumumkan di TV,
seperti praktik pengobatan, dan mereka mengajak dialog jin yang berada di dalam
tubuh si pasien tersebut.
Jawab: Masak ini disiarkan di TV.
Siapa tahu ada kerjasama sama jin ini?
Nah, sebenarnya masalah ruqyah belakangan ini terlalu
luas diartikan, dan terlalu banyak cara-cara ruqyah yang tidak benar. Kemarin
seingat saya, saya berikan contoh orang yang menyembelih dengan Qur’an itu. Ini
termasuk hal yang salah, demikian pula memegang orang yang bukan mahrom-nya.
Walaupun pakai alas tangan, itu tidak dibolehkan. Demikian pula mengajak dialog
dengan jin, itu adalah hal yang tidak dibolehkan & kadang bisa mengganggu
aqidah, sebab jin penuh dengan makar. Kalau yang dibicarai kepada jin, satu
kalimat: Kamu keluar, atau: Kamu masuk Islam, lalu kamu pergi, setelah itu dia
baca, tidak usah peduli dia mau pergi, mau keluar, baca saja sampai selesai.
Kata Syaikh al-Albani dalam sebagian tulisan beliau dalam
Silsilah ash-Shohihah, beliau menganggap ini celaan dalam aqidah: Mengajak
dialog dengan jin. Dan Syaikh Muqbil rohimahullohu ta’ala, beliau termasuk yang
tidak pernah meruqyah orang. Sampai kadang beliau berpesan: Hati-hati jangan
sampai jin-nya telah bersepakat untuk melalaikan kalian dari menuntut ilmu.
Na’am.
Tapi bukan artinya seseorang dilarang untuk menolong
saudaranya yang lain. Orang yang butuh, dibantu. Itu adalah akhlaq yang bagus,
tapi ini peringatan jangan sampai dilalaikan dengan jin, apalagi kalau sampai
sibuk berdialog dengannya. Sampai -na’udzubillah- saya pernah dengar, ada siapa
begitu namanya, da’i-nya al-Sofwa juga. Dia keluarkan kaset dialog dia dengan
jin. Dan pembicaraannya melayani jin-nya, dan saya dengar dari sela-sela
pembicarannya tersebut, dia jatuh ke dalam beberapa kesalahan aqidah, dalam
pembicaraan tersebut. Ini karena dialog. Maka tidak pantas ada yang terjadi hal
seperti itu. Termasuk hal-hal yang munkar sekarang, klinik-klinik ruqyah. Laris
klinik ruqyah, dan ini sudah menunjukkan ketidak-ikhlashan, & jin-nya sudah
menang beberapa poin. Ya kan.
Kemudian klinik ruqyah itu sendiri tidak disyari’atkan.
Itu fatwa dari Syaikh Sholih al-Fauzan ketika ditanya tentang klinik ruqyah.
Kata beliau tidak pernah dilakukan oleh Nabi & para shohabatnya, dan hal
tersebut akan menyeret kepada berbagai kerusakan. Terbukti apa yang beliau
ucapkan.
Karena itu yang menekuni klinik-klinik ruqyah itu hanya
kelompok-kelompok yang biasanya hanya kumpul-kumpul dananya. Cari-cari duit.
Nah, sampai ada sebagian kelompok kerjanya bikin ruqyah sana-sini.
Sebentar-sebentar seminar masalah ruqyah, besoknya seminar lagi masalah ruqyah.
Sampai di Makassar ada kelompok namanya Yayasan Wahdah Islamiyyah, Sururi,
Quthbi, kakap. Mereka punya klinik ruqyah dan punya acara pekanan di radio, khusus
tentang masalah pengobatan jin. Jadi cara menarik massa seperti itu, dilakukan
oleh sebagian orang. Massa ini kan, untuk mengumpulkan massa gampang saja,
gila-gilaan saja, banyak orang yang datang. Cari hal-hal yang jarang dilakukan
manusia, hal-hal yang aneh, banyak yang ikuti. Kan gitu. Ini yang banyak
ditekuni oleh sebagian orang.
Wallohul-musta’an.
[Ditranskrip oleh Muhammad al-Maghlani].
No comments:
Post a Comment