Presiden Joko widodo tolak permohonan grasi warga Australia
Permohonan grasi terpidana mati Myuran Sukumaran (kiri)
dan Andrew Chan ditolak presiden. Kini mereka menunggu eksekusi.
Presiden Joko Widodo telah menolak permohonan grasi
terpidana mati asal Australia, Andrew Chan. Penolakan itu diumumkan pihak
Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (22/01) siang waktu setempat.
Kepada kontributor BBC di Bali, pejabat humas Pengadilan
Negeri Denpasar, Hasoloan Sianturi, mengatakan pihaknya menerima Surat
Keputusan Presiden nomor 9/10 Tahun 2015, pukul 13.20 WITA.
“Isinya, permohonan grasi Andrew Chan melalui kuasa
hukumnya ditolak oleh Bapak Presiden,” kata Sianturi.
Presiden Jokowi, lanjut Sianturi yang mengutip surat
tersebut, menyatakan tidak mendapat cukup alasan untuk memberikan grasi kepada
Chan.
Andrew Chan merupakan bagian dari kelompok Bali Sembilan
yang terdiri dari delapan lelaki dan seorang perempuan. Mereka ditangkap 17
April 2005, di Denpasar, Bali, Indonesia, saat berusaha menyelundupkan 8,3 kg
heroin yang ditaksir seharga sekitar Rp40 miliar ke Australia.
Setelah melalui serangkaian peradilan banding, tujuh yang
lain menjalani hukuman penjara antara 20 tahun hingga seumur hidup. Sedangkan
Chan dan rekannya, Myuran Sukumaran, mendapat vonis mati. Permohonan grasi
Sukumaran telah ditolak presiden.
Belum diketahui kapan mereka akan dieksekusi. Juru bicara
Kejaksaan Agung, Tony Spontana, mengatakan Jaksa Agung HM Prasetyo masih
melakukan tinjauan atas rangkaian eksekusi sebelumnya.
Menteri Luar Negeri Julie Bishop mengaku pada Desember
2014 lalu ia telah menyurati Menlu RI Retno Marsudi tentang pengampunan
terhadap kedua warganya.
Namun dalam jawaban yang diterima Bishop belum lama ini, Menlu
Indonesia menyampaikan penolakan, "dengan dasar bahwa Indonesia mengaku
sedang menghadapi krisis soal narkoba, dan mereka percaya bahwa hukuman mati
mesti diterapkan."
Enam terpidana mati telah dieksekusi di Nusakambangan dan
Boyolali, Jawa Tengah, Minggu dini hari (18/01).
Juru bicara Kejaksaan Agung, lembaga yang melakukan
eksekusi hukuman mati, Tony Spontana, menjelaskan lima terpidana menjalani
eksekusi di Pulau Nusakambangan, Cilacap, pada pukul 00.30 WIB dan dinyatakan
meninggal dunia pada 00.40 WIB.
Satu terpidana dieksekusi di Boyolali pada pukul 00.45
WIB dan dinyatakan meninggal dunia pada 01.20 WIB.
Jaksa Agung HM Prasetyo juga membenarkan kepada para
wartawan di Jakarta bahwa eksekusi hukuman mati sudah selesai dilaksanakan.
Kontributor BBC di Cilacap, Liliek Dharmawan, mengatakan
eksekusi di Nusakambangan dilaksanakan di lapangan tembak Limusbuntu.
Mereka yang menjalani hukuman mati adalah terpidana
kasus-kasus narkoba.
Kelimanya adalah Marco Archer Cardoso Mareira (53 tahun,
warga negara Brasil), Daniel Enemua (38 tahun, warga negara Nigeria), Ang Kim
Soe (62 tahun, warga negara Belanda), Namaona Dennis (48 tahun, warga negara
Malawi), dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia, warga negara Indonesia.
Sementara yang menjalani hukuman mati di Boyolali adalah
Tran Thi Hanh, warga negara Vietnam berusia 37 tahun.
Sejumlah pegiat HAM sebelumnya mengecam pelaksanaan
hukuman mati ini dengan menyebutnya sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia.
Beberapa organisasi HAM sudah mendesak pemerintah Indonesia
untuk menghapus hukuman mati.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengeksekusi
terpidana narkoba dari berbagai negara dinilai tidak berkontribusi pada
pembentukan citra Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin yang tangguh di luar
negeri, kata seorang analis asal Australia.
Dave McRae, peneliti senior Institut Asia di Universitas
Melbourne, menilai pemerintah Indonesia—melalui aksi eksekusi terhadap enam
terpidana mati kasus narkoba—ingin menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo ialah
figur yang tegas dan langsung mengambil tindakan.
Namun, menurutnya, citra itu khusus berlaku di dalam
Indonesia saja. Sedangkan di luar negeri langkah eksekusi tersebut justru
dikecam karena dinilai tidak efektif sekaligus melanggar hak asasi manusia.
“Saya kira eksekusi ini sama sekali tidak berkontribusi
pada sebuah citra pemimpin yang tangguh di luar negeri,” kata McRae kepada
wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop
mengaku telah menyurati Menlu RI Retno Marsudi untuk meminta pengampunan
warganya yang masuk daftar terpidana mati kasus narkoba, semisal Myuran
Sukumaran dan Andrew Chan.
Namun dalam jawaban yang diterima Bishop belum lama ini,
Menlu Indonesia menyampaikan penolakan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Armantha
Nasir, mengatakan eksekusi hukuman mati itu sudah melalui semua tahapan proses
hukum yang berlaku di Indonesia.
Lima dari enam terpidana mati kasus narkoba dieksekusi di
Nusakambangan, pada akhir pekan lalu.
Ketidakkonsistenan
McRae juga melihat adanya ketidakkonsistenan antara
kebijakan Indonesia—di mana Indonesia giat mengadvokasi bagi warga negaranya
yang menghadapi hukuman mati di luar negeri, termasuk dalam kasus
narkoba—dengan tindakan eksekusi terhadap terpidana narkoba.
Namun, pandangan itu ditepis guru besar hukum
internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Menurutnya, kedua hal
itu terpisah.
“Ketika ada orang yang harus menjalani hukuman mati di
Indonesia, itu konteksnya adalah kita ingin menegakkan hukum di wilayah
kedaulatan Indonesia. Sementara ketika kita meminta supaya warga kita yang
terkena hukuman mati untuk tidak dikenai hukuman mati, itu dalam rangka
kewajiban negara melindungi warganya,” kata Hikmahanto.
Terganggu
Soal apakah hubungan Indonesia-Australia akan terganggu
apabila pemerintah Indonesia mengeksekusi warga Australia yang terpidana kasus
narkoba, McRae menilai hal itu tergantung dari reaksi publik.
Dia mencontohkan bagaimana pemerintah Indonesia jauh
lebih aktif dalam mengadvokasi warga negaranya sendiri di luar negeri yang
menghadapi hukuman mati setelah mendapat reaksi keras masyarakat Indonesia yang
geram karena tenaga kerja wanita bernama Ruyati binti Supubi dihukum pancung di
Arab Saudi pada 2011 lalu.
“Saya rasa hal yang sama bisa terjadi di Australia—bahwa
apapun niat pemerintah Australia untuk menjaga hubungan baik, namun mereka juga
harus menjawab reaksi masyarakat Australia jika mereka protes keras atas
tindakan yang diambil pemerintah Indonesia,” kata McRae.
Menlu Australia Julie Bishop menolak menjawab apakah ia
akan menarik Dubes Australia seandainya eksekusi terhadap dua warganya
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.
Brasil dan Belanda telah menarik duta besar mereka dari
Jakarta setelah Marco Archer Cardoso Moreira, 53 tahun, dan Ang Kiem Soe, 52
tahun, dieksekusi di Nusakambangan.
Indonesia mengharapkan eksekusi hukuman mati terhadap dua
orang warga negara Brasil dan Belanda dalam kasus narkoba, tidak menganggu
hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut.
Hal itu ditegaskan Kementerian luar negeri Indonesia
menanggapi sikap Brasil dan Belanda yang dilaporkan telah menarik duta besarnya
dari Jakarta sebagai bentuk "protes" atas eksekusi hukuman mati
tersebut.
Warga negara Brasil, Marco Archer Cardoso Moreira, 53
tahun, dan warga negara Belanda, Ang Kiem Soe, 52 tahun, merupakan dua dari
empat warga negara asing yang telah dieksekusi mati pada Minggu (18/01) dini
hari di LP Nusa Kambangan, karena kasus narkoba.
Brasil dan Belanda menganggap hukuman mati itu merupakan
bentuk 'kekejaman' dan 'pengingkaran terhadap martabat dan integritas
kemanusiaan'.
Juru bicara Kementerian luar negeri Indonesia, Armantha
Nasir mengatakan, eksekusi hukuman mati itu sudah melalui semua tahapan proses
hukum yang berlaku di Indonesia.
"Dan, yang kita lakukan tidak menentang
prinsip-prinsip hukum internasional yang ada," kata Armantha Nasir kepada
wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Minggu (18/01) siang.
'Berharap tidak mencederai'
Armantha juga mengatakan, dia meminta eksekusi hukuman
mati tidak dilihat dari konteks sempit, tetapi dalam konteks yang lebih luas.
"Ini terkait dengan kejahatan narkoba dan dampaknya
terhadap masyarakat Indonesia secara khusus dan masyarakat dunia,"
katanya.
Karena itulah, Indonesia mengharapkan penarikan duta
besar Brasil dan Belanda dari Jakarta tidak akan "mencederai"
hubungan diplomatik Indonesia dengan kedua negara.
"Kita berharap tidak (mencederai)," kata
Armantha.
Kedutaan besar Indonesia di Brasil, ungkapnya, telah
menerima surat pemberitahuan resmi dari Pemerintah Brasil tentang penarikan
duta besarnya di Jakarta pada Minggu (18/01) pagi.
Penjagaan aparat kepolisian dilakukan di dermaga menuju
Nusa Kambangan menjelang eksekusi mati, Sabtu (17/01).
Namun demikian, Armantha menambahkan, pihaknya belum
menerima pemberitahuan resmi dari Pemerintah Belanda tentang pemberitaan yang
menyebut Belanda telah menarik duta besarnya dari Jakarta.
Sebelumnya, kritik terhadap eksekusi hukuman mati juga
disampaikan organisasi Amnesty International dan pegiat HAM di Indonesia.
Empat warga negara asing yaitu Brasil, Belanda Malawi,
Nigeria dan satu Indonesia telah dieksekusi pada Minggu(18/01) dini hari di LP
Nusa Kambangan.
Sementara eksekusi terhadap warga Vietnam dilakukan di
Boyolali Jawa Tengah pada waktu yang sama. (BBC)
No comments:
Post a Comment