Perjalanan yang belum selesai (189)
(Bagian ke seratus delapan puluh Sembilan , Depok, Jawa
Barat, Indonesia, 22 Januari 2015, 08.24 WIB)
Ajal (Kematian):
Tidak mengenal usia, kaya, miskin.
Sekitar tahun 1987 lalu di depan rumah Pak Sabran, di
Asrama Kobekdam V Jaya Cililitan Kecil, Jakarta Timur sekitar pukul 19.00 WIB
kami berbincang dengan sekitar lima orang teman sebaya saya (rata-rata berusia
17 tahun).
Salah satu rekan saya , yang tepat tinggal di belakang
rumah saya nomer 52, berseloroh (berkata): ‘’Aku tidak ingin meninggal kalau
belum kawin (nikah),’’
Besoknya, satu hari kemudian sekitar pukul 22.00 WIB,
saya dengar kabar, kalau yang pernah berkata di atas bahwa yang bersangkutan
telah tewas akibat di serempet (ditabrak) bis Pelita Mas Jaya (tahun 1970’an
sebelum ada busway, di jalan Jakarta bis penumpang umum didominasi bis swasta,
selain bis Damri (BUMN), juga ada bis Pelita Mas Jaya, Arion dan yang masih
exis sampai sekarang adalah Bis Mayasari Bhakti) di sekitar Cawang, Jakarta Timur. Rekannya,
yang dia bonceng di belakang sepeda motor, juga tetangga saya yang tinggal di
samping kiri rumah saya selamat, tanpa luka sedikit pun.
Pada tahun 1970’an ketika saya masih kelas 5 Sekolah
Dasar di Sekolah Dasar Negeri 1 Balikpapan, saya tinggal di Kampung Baru
Tengah, tetangga saya, persis di depan rumah saya , ada seorang pemuda berusia
sekitar 25 tahun, dia dikenal sebagai pria yang baik, rajin sholat, penyabar,
tidak pernah kelihatan berkelahi dengan teman sebaya.
Pada suatu hari dia, tanpa pernah kedengaram pernah sakit, dia dikabarkan meninggal.
Ini menunjukan bahwa semua mahluk hidup , termasuk
manusia akan merasakan mati (meninggal), apakah dia belum kawin, atau baik budi
pekertinya.
Hanya Allah maha pencipta lah yang tahu perkara gaib ini,
baik urusan meninggal, jodoh dan rezeki kita, Allah di dalam kitab "Lauh
Mahfuzh" seperrti tertuang di dalam
Sabda Nabi Muhammad, maupun di dalam firman Allah hanya memberi tahu kita,
bahwa setiap kejadian termasuk daun yang jatuh dari dahan pun telah ditulis Allah
di dalam kitab ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima
puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no.
2653).
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
Kita masih ingat peristiwa jatuhnya pesawat Air Asia
jurusan Surabaya-Singapura belum lama ini, Pesawat Sulhoi yang menabrak gunung
Salak, Jawa Barat ,ada sebuah pesawat kecil jatuh di Amerika Serikat, yang
menewaskan pilot dan anggota keluarga lainnya kecuali ada seorang bocah perempuan
berusia enam tahun yang selamat, ada pesawat jet pribadi yang membawa raja
minyak, dan salah satu orang terkaya di Timur Tengah, jatuh ketika terbang
untuk berwisata ke Maroko, menewaskan semua penumpang kecuali seorang pilotnya
yang selamat. Kita masih ingat salah satu konglomerat Amerika Serikat pemilik
jaringan supermarket Wall-Mart juga tewas akibat suatu kecelakaan pesawat.
Ini membuktikan, bahwa sehebat dan secanggih apa pun
teknologi yang dimiliki pesawat itu, tidak bisa melawan takdir Allah. Baik dia
orang kaya, orang miskin, maih muda, sudah tua, dan tidak mengenal jenis
kelamin atau latar belakang Agama apapun.
Kita masih ingat pada zaman Raja Namrud Firaun ribuan
tahun lalu yang telah diabadikan di Al Quran, saking berkuasa dia sebagai seorang
raja, sampai mengangkat dirinya sebagai Tuhan.
Namun, akhirnya Namrud dan pasukannya tewas di
tenggelamkan Allah di Laut Mati ketika mengejar Nabi Musa. Mayat Namrud
kemudian ditemukan penduduk lokal di tepi pantai, kemudian ada penduduk yang
mengenali jasad Namrud sebagai mantan Rajanya, kemudian setelah di Balsem
(mumi) dimakamkan dalam sebuah pyramid, para peneliti kemudian ketika memeriksa
(otopsi) jasad ini (lewat DNA) diketahui bahwa Namrud diduga tewas akibat
tenggelam di dalam air.
Manusia sehebat apa pun pasti akan merasakan mati (meninggal),
Nabi sendiri walaupun ada yang berusia ratusan tahun (nabi adam) tetap saja
meninggal, Nabi Muhammad SAW yang menjadi orang pilihan Allah sebagai
Rasulullah pun meninggal dalam usia
muda, 63 tahun, masih jauh di bandingkan Bob Sadino, pengusaha kaya
pemilik Kem Chick yang diberi kesempatan Allah hidup sampai usia 80’an tahun.
Lalu apa yang bisa kita sombongkan dalam diri kita ini,
orang kaya seperti Bob Sadino pemilik super market Kem Chick, pemilik Wall-Mart
di Amerika Seikat, raja minyak dari Timur Tengah, Presiden Suharto yang kata
majalah Time punya uang simpanan Rp triliunan rupiah pun tidak bisa menghindari
ajal (Kematian).
Lihat mantan orang paling berkuasa di dunia, Ronald
Reagan , mantan Presiden Amerika Serikat, Stalin, pemimpin Uni Soviet, Adolf
Hitler Kanselir Jerman, Mao Tse Tung pemimpin China, Presiden Soekarno, Joseph
Kennedy, dengan dokter paling pintar pun tidak bisa memperpanjang usia mereka.
Pernah saya punya sahabat, pada waktu miskin, dia rajin
sholat, puasa, ketika belakangan jadi kaya raya punya banyak apartemen banyak
mobil, ketika saya main di kantornya, pada bulan ramadhan, dia tidak lagi
terlihat tekun sholat dan puasa.
Karena banyak uang ia kerap berwisata ke luar negeri ,
pada suatu hari dia jatuh sakit, lalu berobat ke rumah sakit termahal di
Indonesia dan luar Negeri, tapi nyawanya tidak tertolong, tanpa dia pernah
merasakan naik Haji (Umroh) ke tanah suci Mekah dan Madinah, Arab Saudi,
padahal dari segi financial dan kesehatan dia sudah terkena kewajiban
menjalankan rukun Islam ini. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun (Semua mahluk
Allah akan kembali ke maha penciptanya).
Jangan sampai seperti Raja Namrud, nafas sampai di
kerongkongan , baru dia mengakui keesaan Allah. Sebelum ajal tiba, bertaubatlah
kita, dengan konsisten sholat lima waktu, dan banyak istighfar, berzikir dan bertasbih setaip saat.
Semoga seluruh dosa yang telah kita lakukan di dunia diampuni Allah yang maha
pengampun. Karena Allah dalam firmannya mengatakan, dia akan mengampuni dosa
sebesar apa pun , tanpa peduli , bagi manusia yang mau bertaubat, dan menjauhi
kesyirikan (menduakan Tuhan).
Kalau kita mati (meninggal), apa yang kita bawa, apa
kekayaan kita, anak dan istri kita, atau jabatan kita, kita hanya membawa kain
kafan yang dibalut di dalam tubuh (sehelai kain putih), selain amal perbuatan
kita selama hidup di dunia.
Seperti disebutkan di dalam Al Quran dan hadist, di hari
pembalasan (kiamat) nanti ketika manusia dibangkitkan, masalah hubungan manusia
dengan Allah yang pertama kali di Tanya Allah adalah tentang Sholat, apakah
kita konsisten sholat lima waktu dalam keadaan sehat maupun sakit.
Sedangkan, masalah kedua yang ditanya Allah adalah soal
darah (hubungan antar sesama manusia), bagaimana hubungan kita sama kedua orang
tua kandung, sauda-saudara kandung, sesama manusia baik dengan saudara sesama
Muslim atau non-muslim, hubungan baik kita dengan tetangga kita, masalah hutang
piutang, dan masalah bisnis lainnya, apa kita memperlakukan mereka dengan baik,
jangan sampai kita menyakiti (apalagi membunuh) mereka, ingat Allah di dalam
firmannya memperingatkan kita, bila kita membunuh satu anak Adam, dosanya
seperti kita membunuh seluruh umat manusia, dan bila kita menyelamatkan satu
nyawa manusia, pahalanya seakan kita menolong manusia sedunia.
Kalau kita mati (meninggal) hanya tinggal tiga amalan
yang masih bisa sampai ke kita yang sudah mati, pertama doa anak yang shaleh
(selalu menjaga sholatnya), kedua amal jariah (sedekah keluarga, seperti
memberi makan orang miskin, anak yatim, janda miskin) yang pahalanya untuk kita
yang sudah mati, dan ketiga ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia.
Inilah ketiga amalan yang tidak terputus. Allah dalam Firmannya mengatakan
setiap manusia selama hidupnya, pasti pernah berbuat dosa, besar atau pun
kecil, tapi Allah maha pencipta juga maha pengampun dan maha pengasih pada umat
manusia, dia pasti akan memberi pengampunan pada manusia yang bertaubat, tanpa
peduli sebesar apa pun dosa hambanya (kecuali Syirik). Karena dosa syirik
memerlukan taubat khusus, dia tidak boleh lagi menduakan Tuhan, atau mengangap
Tuhan punya Anak dan kesyirikan lainnya, sebelum akhir hayatnya dan banyak
istigfar, zikir, tasbih selain sholat lima waktu.
Pentingnya istighfar, zikir dan tasbih ini sampai diperingatkan
Allah dalam Al Quran dan Hadist, Allah
akan membinasakan semua manusia, dan akan menciptakan manusia baru, kalau tidak
ada lagi manusia yang mau istighfar (minta Ampun pada Allah), zikir, tasbih dan
Tahmid.
Istighfar yang dianjurkan, astaghfirullahalazim (Ya Allah
ampunilah segala dosa Hamba)
Zikir (Tasbih): Subhanallah (Maha suci Allah)
Wallamdulilah (Segala puji Bagi Allah)
Laillahailaulah (Tiada Tuhan yang patut diibadahi,
kecuali Allah)
Allahu Akbar (Allah Maha Besar).
Wallakhauwalakauwataillabillah.
Dianjurkan membaca surat Al-Ikhlas 10 kali paling tidak
seumur hidup sekali , atau tiap bulan, atau kalau kita ada waktu luang, karena
pahalanya sama dengan kita membaca 2/3 seluruh isi Al Quran (lihat Hadist Nabi
Muhammad).
Ajal (Kapan
kematian tiba)
Secara bahasa kata ajal berasal dari kata:
ajila–ya‘jalu–ajal[an]. Menurut al-Khalil al-Farahidi dalam Kitâb al-‘Ayn dan
ash-Shahib ibn ‘Abad di dalam Al-Muhîth fî al-Lughah, dikatakan ajila
asy-syay‘u ya‘jalu wahuwa âjilun artinya naqîdu al-‘âjil (lawan dari segera).
Dengan demikian, al-ajal (bentuk pluralnya al-âjalu) secara bahasa artinya
terlambat atau tertunda.
Selain itu, secara bahasa, kata ajal juga memiliki
beberapa makna sebagai berikut:
● Ghâyah al-waqti fî al-mawti wa mahalu ad-dayn wa
nahwuhu (akhir waktu pada kematian dan jatuh tempo utang dan semacamnya)
(Al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah).
● Muddah asy-syay‘i (jangka waktu sesuatu) (Ibn Manzhur,
Lisân al-‘Arab; al-Jauhari, Ash-Shihah fî al-Lughah).
● Muddatuhu wa waqtuhu al-ladzî yahillu fîhi (jangka
waktunya dan waktu saat sesuatu itu berlalu) (Al-Fayumi, Mishbâh al-Munîr).
● Jangka waktu yang ditetapkan untuk sesuatu atau
perbuatan (Rawas Qal’ahji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’).
● Waktu yang ditetapkan untuk habisnya sesuatu (Abu Hilal
al-‘Askari, al-Furûq al-Lughawiyah).
Dari sini ajal al-insân (ajal manusia) adalah akhir
kehidupan seseorang atau habisnya umur seseorang. Artinya, saat ajal seseorang
itu tiba, saat itu pulalah kematian datang menjemputnya.
Di dalam al-Quran kata ajal dan bentukannya disebutkan
sekitar 55 kali. Di antaranya dalam arti jangka waktu (misal: QS al-Baqarah
[2]: 231, 232, 234, 235; al-A’raf [7]: 135); umur (misal; QS al-A’raf [7]: 34;
Yunus [10]: 11, 49); akhir umur/akhir kehidupan (misal: QS an-Nahl [16]: 61;
Fathir [35]: 45).
Sebab Kematian: Berakhirnya Ajal
Ayat-ayat al-Quran yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah
menyatakan secara pasti bahwa Allah SWT sajalah Zat Yang menghidupkan dan
mematikan. Allah SWT berfirman:
وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ
Allah menghidupkan dan mematikan (QS Ali Imran [3]: 156).
Al-Quran juga menegaskan hal ini pada banyak ayat lainnya
(lihat: QS al-Baqarah [2]: 73, at-Tawbah [9]: 116, Yunus [10]: 56, al-Hajj
[22]: 6, al-Mu’minun [23]: 80, al-Hadid [57]: 2).
Allah SWT telah menetapkan ajal bagi tiap-tiap umat
maupun individu. Kematian, yaitu datangnya ajal, telah ditentukan waktunya
sebagai suatu ketetapan dari Allah yang tidak bisa dimajukan maupun
dimundurkan. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا
مُؤَجَّلا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan
izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (QS Ali Imran [3]:
145).
مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya
dan tidak pula dapat memundurkannya (QS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)
Pernyataan senada antara lain terdapat dalam: QS Yunus
[10]: 49; an-Nahl [16]: 61 dan QS al-Munafiqun [63]: 11. Jadi, habisnya ajal
atau datangnya kematian adalah sesuatu yang pasti (QS al-‘Ankabut [29]: 5).
Karena kematian adalah pasti datangnya maka manusia tidak akan bisa lari
menghindar darinya. Allah SWT menegaskan:
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاقِيكُمْ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kalian lari
darinya tetp akan menemui kalian.” (QS al-Jumu’ah [62]: 8).
Allah SWT juga menegaskan:
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ
فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
Di mana saja kalian berada, kematian akan menjumpai
kalian kendati kalian berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh (QS
an-Nisa’[4]: 78).
Ayat ini menegaskan, jika orang berupaya menghindar dari
kematian—dengan jalan membentengi diri dari apa saja yang dia sangka menjadi
sebab datangnya kematian seakan dia berlindung dalam benteng yang tinggi lagi
sangat kokoh sekalipun—maka hal itu tidak akan bisa menghindarkannya dari
kematian. Sebab, semua yang disangka sebagai sebab maut itu baik berupa sakit,
perang, dsb, sejatinya bukanlah sebab maut. Semua itu hanyalah kondisi yang
didalamnya kadang terjadi kematian, namun kadang juga tidak.
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa satu-satunya sebab
kematian adalah habisnya ajal, yaitu habisnya jangka waktu yang ditetapkan
untuk manusia; atau datangnya ajal, yaitu datangnya batas akhir umur manusia.
Ketika itulah, Allah SWT mematikannya dengan mengutus Malaikat Maut untuk
mencabut ruh dari jasad (QS as-Sajdah [32]: 11).
Masalah ajal ini persis seperti masalah rezeki. Ajal dan
umur tiap orang telah ditetapkan oleh Allah. Allah SWT juga menegaskan tidak
akan memajukan atau menangguhkan ajal seseorang. Allah tidak akan menambah atau
mengurangi jatah umur seseorang. Dalam QS al-Munafiqun [63]: 11, Allah
mengungkapkan dengan kata lan yang merupakan penafian selama-lamanya (Lihat
pula: QS Fathir [35]: 11).
Datangnya ajal adalah pasti, tidak bisa dimajukan ataupun
dimundurkan. Berjihad, berdakwah, amar makruf nahi mungkar, mengoreksi
penguasa, dsb, tidak akan menyegerakan ajal atau mengurangi umur. Begitu pula
berdiam diri, tidak berjihad, tidak berdakwah, tidak mengoreksi penguasa, tidak
beramar makruf nahi mungkar, dan tidak melakukan perbuatan yang disangka
berisiko mendatangkan kematian, sesungguhnya tidak akan bisa memundurkan
kematian dan tidak akan memperpanjang umur. Semua itu jelas dan tegas
dinyatakan oleh ayat-ayat al-Quran seperti di atas.
Memang, ada sabda Nabi saw. sebagai berikut:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ
فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan ditambah
umurnya hendaklah ia bersilaturahmi (HR al-Bukhari, Muslim, Abu dan Ahmad).
Juga ada beberapa hadis semisalnya. Dalam hal ini, yang
dimaksud dengan pertambahan umur bukanlah penundaan ajal. Yang bertambah tidak
lain adalah keberkahan umurnya dalam ketaatan kepada Allah. Bisa juga maknanya
adalah bukan pertambahan umur biologis, tetapi umur sosiologis, yakni
peninggalan, jejak atau atsar al-‘umri-nya yang terus mendatangkan manfaat dan
pahala setelah kematian biologisnya. Abu Darda menuturkan bahwa Rasul saw.
pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يُؤَخِرُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا، وَإِنَّمَا
زِيَادَةُ الْعُمْرِ بِالذُّرِيَّةِ الصَّالِحَةِ يَرْزُقُهَا الْعَبْدَ، فَيَدْعُوْنَ
لَهُ مِنْ بَعْدِهِ، فَيَلْحِقَهُ دُعَاؤُهُمْ فِيْ قَبْرِهِ، فَذَلِكَ زِيَادَةُ الْعُمْرِ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengakhirkan (kematian)
seseorang jika telah datang ajalnya. Sesungguhnya bertambahnya umur itu dengan
keturunan salih yang Allah karuniakan kepada seorang hamba, lalu mereka
mendoakannya sesudah kematiannya sehingga doa mereka menyusulinya di kuburnya.
Itulah pertambahan umur (HR Ibn Abi Hatim dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir di
dalam tafsirnya QS Fathir: 11).
Selain anak salih, hadis lain menyatakan bahwa ilmu yang
bermanfaat, sedekah jariah dan sunnah hasanah juga akan memperpanjang umur
sosiologis seseorang. Pelakunya, meski telah mati secara biologis, seakan ia
tetap hidup dan beramal dengan semua itu serta mendapat pahala karenanya.
Dengan demikian, tidak ada gunanya lari dari maut. Maut
juga tidak selayaknya ditakuti karena pasti datangnya. Sikap takut akan mati
dan berupaya lari dari maut yang pasti datang bisa dikatakan sebagai sikap
bodoh dan upaya yang sia-sia. Yang harus dilakukan adalah mempersiapkan diri
menyongsong datangnya maut dan memelihara diri supaya maut itu datang dalam
kondisi kita sedang menunaikan ketaatan sehingga kita mendapatkan husnul
khatimah. Inilah sikap cerdas dan upaya yang berdaya guna. Orang yang paling
cerdas adalah orang yang paling banyak dan paling baik persiapannya dalam
menyongsong datangnya maut. Ibn Umar meriwayatkan, Rasul saw. pernah ditanya,
siapakah Mukmin yang paling cerdas? Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لَهُ اِسْتِعْدَادًا
قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ بِهِمْ أُوْلَئِكَ مِنْ اْلأَكْيَاسِ
Mereka yang paling banyak mengingat maut dan paling baik
persiapannya untuk menghadapi maut itu sebelum turun kepada mereka. Mereka
itulah yang termasuk Mukmin yang paling cerdas (HR Ibn Majah, al-Hakim,
al-Baihaqi, Abu Nu’aim dan ath-Thabrani).
Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh. [Yahya Abdurrahman]
YANG PERTAMA KALI DIHISAB PADA HARI KIAMAT ADALAH SHALAT
Dari Huraits bin Qabishah, ia berkata : Saya sampai di
Madinah. Ia berkata : “Wahai Allah mudahkanlah bagiku (mendapat) teman duduk
yang baik. Lalu saya duduk kepada Abu Hurairah ra. Ia berkata : Saya berkata :
“Saya berdo’a kepada Tuhan (Allah) Yang Maha Mulia dan Maha Besar -untuk
memudahkan bagiku teman duduk yang baik, maka sampaikanlah kepadaKu hadits yang
kamu dengar dari Rasulullah saw.- Semoga Allah memberi manfaat kepadaku dengan
itu”. Ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya
sesuatu yang paling dulu dihisab pada hamba adalah shalatnya. Jika shalat itu
baik maka ia telah menang dan sukses. Jika shalatnya rusak maka ia telah
merugi”. Hammam berkata : Saya tidak tahu, ini dari perkataan Qatadah atau
riwavat. Jika dari fardhunya ada kekurangan-kekurangan, Allah berfirman :
“Lihatlah, apakah hambaKu mempunyai shalat sunnat, maka fardhu yang kurang itu
dapat disempurnakan. Kemudian demikian itu caranya dalam menghisab seluruh
amalnya”. (Hadits ditakhrij oleh An Nasa’i).
Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw., beliau
bersabda : “Sesuatu yang pertama kali diperhitungkan pada hamba adalah
shalatnya, jika ia menyempurnakannya. Jika tidak (sempurna) maka Allah Yang
Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : “Lihatlah apakah hambaKu mempunyai
(shalat) sunat ?”. Jika kedapatan padanya (shalat) sunat, maka Allah berfirman
: “Sempurnakanlah fardhu itu dengannya”. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).
Dari Tamim ad Dari ra. dari Nabi saw, beliau bersabda :
“Sesuatu yang pertama diperhitungkan pada hamba di hari Qiyamat adalah
shalatnya. Jika ia menyempurnakannya maka dicatat baginya shalat sunatnya. Jika
ia tidak menyempurnakannya maka Allah Yang Maha Suci berfirman kepada para malaikatNya
: “Lihatlah apakah kamu menjumpai shalat sunat bagi hambaKu ? maka
sempurnakanlah dengannya fardhu yang disia-siakannya. Kemudian amal-amalnya
diambil menurut perhitungan itu”. (Hadits ditakhrij oleh Abu Daud).
Dari Anas bin Hakim Adh Dhabi -ia samar dari Ziyad atau
Ibnu Ziyad dia datang di Madinah dan bertemu dengan AburHurairah berkata: Ia
minta dijelaskan keturunanku, maka saya menunjukkan nasabku : Abu Hurairah
berkata : “Hai pemuda, maukah saya ceritakan hadits kepadamu ?”. Saya menjawab
: “Baiklah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu”. Yunus berkata : “Sava
mendengar ia menuturkannya dari Nabi saw. bersabda : “Sesunguhnva amal-amal
hamba yang pertama kali diperhitungkan pada hari Qiyamat adalah shalat”. Beliau
bersabda: Tuhan kami Yang Maha Besar dan Maha Mulia berfirman kepada para
malaikatNya -padahal Dia lebih mengetahui : “Lihatlah shalat hambaKu, ia
menyempurnakan atau mengurangi. Jika shalat itu sempurna maka dicatatlah
kesempurnaan baginya. Jika ia mempunyai shalat sunat maka Allah berfirman :
“Sempurnakanlah bagi hambaKu akan fardhunya dari sunatnva”. Kemudian amal-amal
itu diambil seperti itu. (Hadits ditakhrij oleh Abu Dawud).
Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata : Rasululah saw. bersabda
: “Tuhanku datang kepadaku dalam sebagus-bagus bentuk”. Ia berkata : “Saya
menduga beliau sedang tidur”. Ia berkata : “Demikianlah dalam hadits”. Tuhanku
berfirman : “Hai Muhammad, tahukah kamu dalam hal apakah Al Malaul a’la
(kelompok yang sempurna) itu bertengkar?”.
Beliau bersabda : “Saya katakan “tidak”. Beliau bersabda
: “Maka Dia meletakkan tanganNya diatas kedua belikatku, sehingga Aku dapati
kesejukannya sampai kedua susuku”. Atau beliau bersabda : “Pada leherku, maka
aku mengetahui apa yang dilangit dan di bumi”.
Dia berfirman : “Hai Muhammad, tahukah kamu dalam hal
apakah Al Malaul a’la (kelompok yang sempurna) itu bertengkar ?” Saya menjawab:
“Ya”. Dia berfirman : “Dalam penghapus, dalam penghapus yaitu diam di Masjid
setelah shalat, berjalan kaki untuk jama’ah, menyempurnakan wudhu atas hal-hal
yang tidak disenangi. Barangsiapa yang melakukan hal itu maka ia hidup dengan
baik, dan mati dengan baik, dan dalam kesalahan seperti hari dilahirkan oleh
ibunya. Dia berfirman : “Hai Muhammad, apabila kamu telah shalat maka
ucapkanlah :
‘ALLAAHUMMA AS ALUKA FI’LAL KHAIRATI WATARAL MUNKARAATI
WAHUBBUL MASAAKIINI WA IDZA ARADTA BI’IBAADIKA FITNATAN FAQBIDLNII ILAIKA
GHAIRA MAFTUNIN”
(Wahai Allah, saya mohon kepadaMu perbuatan yang baik,
meninggalkan kemungkaran, dan cinta pada orang-orang miskin. Apabila Engkau
menghendaki fitnah pada hambaMu maka matikanlah saya olehMu tanpa-terfitnah”.
Beliau bersabda : “Untuk derajat itu adalah menyiarkan
salam, memberi makanan, shalat malam di kala manusia sedang tidur. (Hadits
ditakhirij oleh Tirmidzi).
Dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi saw., beliau bersabda :
“Tuhanku datang kepadaku dalam, sebaik-baik bentuk dengan berfirman : “Wahai
Muhammad”, Aku menjawab : “Kami perkenankan Engkau wahai Tuhanku,’ dan
kebahagiaanMu”.
Dia berfirman : “Dalam hal apakah Al Malaul a’la
(kelompok yang tinggi) itu bertengkar ? Aku menjawab : “Wahai Tuhanku, aku
tidak tahu”. Lalu Dia meletakkan tanganNya di antara kedua tulang belikatku dan
aku mendapatkan kesejukan di antara kedua susuku, lalu aku mengetahui apa yang
di antara timur dan barat. Dia berfirman : “Hai Muhammad !”. Aku menjawab :
“Aku perkenankan panggilanMu, wahai Tuhanku dan kebahagiaanMu”. Dia berfirman :
“Dalam hal apakah kelompok vang tinggi itu bertengkar ?”. Aku menjawab : “Dalam
derajat dan penghapus, yaitu melangkah kaki untuk jama’ah, menyempurnakan wudhu
atas hal-hal yang tidak disenangi dan menanti shalat setelah melakukan shalat.
Barangsiapa vang menjaga hal itu maka ia hidup dengan baik dan mati dengan
baik, dan dosanya seperti hari dilahirkan oleh ibunya”. (Hadits ditakhrij oleh
Tirmidzi).
Dari Abdullah bin Amr yaitu Ibnu Ash ra., ia berkata :
Kami shalat Maghrib bersama Rasulullah saw, orang yang pulang telah pulang dan
masih duduklah orang yang berdo’a atau bermohon. Rasulullah saw. datang dengan
segera dan nafas terengah-engah dan terbuka kedua lutut beliau seraya bersabda
: “Bergembiralah, ini Tuhanmu telah membuka salah satu pintu langit, Dia
bermegah-megahdengan kamu terhadap malaikat, seraya berfirman : “Lihatlah
kepada menanti fardhu yang lain”. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Shalat wajib ada lima: Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya',
dan Shubuh.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada
malam Isra' (ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dinaikkan ke langit)
diwajibkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat lima puluh waktu.
Lalu dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian beliau diseru, 'Hai
Muhammad, sesungguhnya keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah. Dan
sesungguhnya bagimu (pahala) lima ini seperti (pahala) lima puluh'.”[1]
Dari Thalhah bin 'Ubaidillah Radhiyallahu anhu, ia
menceritakan bahwa pernah seorang Arab Badui berambut acak-acakan mendatangi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah,
beritahukanlah kepadaku shalat apa yang diwajibkan Allah atasku." Beliau
menjawab:
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا.
"Shalat lima waktu, kecuali jika engkau ingin
menambah sesuatu (dari shalat sunnah)." [2]
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhu, dia
mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْـلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ
الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
"Islam dibangun atas lima (perkara): kesaksian bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa
Ramadhan." [3]
A. Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari
wajibnya shalat, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Tetapi mereka berselisih
tentang orang yang meninggalkan shalat dengan tetap meyakini kewajiban hukumnya.
Sebab perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam yang menamakan orang yang meninggalkan shalat sebagai orang
kafir, tanpa membedakan antara orang yang mengingkari dan yang bermalas-malasan
mengerjakannya.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ
الصَّلاَةِ.
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan
dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [4]
Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَتُ، فَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
‘Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Barangsiapa
meninggalkannya, maka ia telah kafir.’” [5]
Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama',
bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak
mengeluarkan dari agama. Ini adalah hasil kompromi antara hadits-hadits tersebut
dengan beberapa hadits lain, di antaranya:
Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَـادِ، مَنْ
أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضِيْعَ مِنْهُنَّ شَيْئًا اِسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَـانَ
لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ
فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.
‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba.
Barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena
menganggap enteng, maka dia memiliki perjanjian de-ngan Allah untuk
memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak
memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia mengadzabnya.
Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya.’”[6]
Kita menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih
di bawah derajat kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyerahkan perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada
kehendak Allah.
Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا
دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا
عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang
pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat adalah
shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka ia selamat). Jika
tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki shalat sunnah? Jika dia
memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah
tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya dihisab seperti halnya shalat tadi.’”
[7]
Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Islam akan lenyap
sebagaimana lenyapnya warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi diketahui
apa itu puasa, shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah akan diangkat dalam
satu malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah
segolongan manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, 'Kami
dapati bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun
mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha
illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat,
puasa, qurban, dan shadaqah?”
Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi
pertanyaannya tiga kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada
kali yang ketiga, Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah
yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya tiga kali.” [8]
B. Kepada Siapa Diwajibkan?
Shalat itu diwajibkan kepada setiap muslim yang telah
baligh dan berakal
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ،
وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.
“Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang: dari
orang yang tidur hingga terbangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang
gila hingga kembali sadar.” [9]
Wajib atas orang tua untuk menyuruh anaknya mengerjakan
shalat meskipun shalat tadi belum diwajibkan atasnya, agar ia terbiasa untuk
mengerjakan shalat.
Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَـاءُ سَبْعَ
سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia
tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh
tahun. Serta pisahkanlah ranjang mereka.” [10]
No comments:
Post a Comment