!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Friday, August 2, 2013

Anda ingin dosa-dosa diampuni selama 83 tahun beribadahlah di malam Lailatul Qadar. Kapan datangnya malam itu simak tulisan ini.


Anda ingin dosa-dosa diampuni selama 83 tahun beribadahlah di malam Lailatul Qadar. Kapan datangnya malam itu simak tulisan ini.


Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar
Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, rabb semesta alam. Shalawat dan salam terlimpah dan tercurah kepada manusia pilihan, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Lailatul Qadar adalah malam yang agung. Malam penuh kemuliaan. Ibadah di dalamnya lebih baik daripada ibadah selama seribu bulan. Siapa yang mendapatkan kemuliaannya sungguh ia manusia beruntung dan dirahmati. Sebaliknya, siapa yang luput dari kebaikan di dalamnya, sungguh ia termasuk manusia buntung dan merugi.

Kemuliaan Lailatul Qadar yang penuh keberkahan dapat dilihat dari pilihan Allah terhadapnya untuk menurunkan kitab terbaik-Nya dan syariat agama-Nya yang paling mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ


"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadar: 1-5)

Sesungguhnya Lailatul Qadar tidak seperti malam-malam selainnya. Pahala amal shalih di dalamnya sangat besar. Maka siapa yang diharamkan mendapatkan pahalanya, sungguh  ia tidak mendapatkan kebaikan malam itu. Oleh karenanya, sudah sewajarnya seorang muslim menghidupkan malam tersebut dengan bersungguh-sungguh melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah secara maksimal. Dan menghidupkannya harus didasarkan kepada iman dan berharap pahala kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Disebutkan dalam hadits shahih:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di bulan Ramadan imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam redaksi lain,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


"Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di Lailatul Qadar imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan tentang waktu turunnya Lailatul Qadar tersebut. Beliau bersabda,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَان

"Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (Muttafaq 'alaih)

Lalu beliau menjelaskan lebih rinci lagi tentang waktunya dalam sabdanya,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (HR. Al-Bukhari)

Yaitu malam-malam ganjil dari bulan Ramadhan secara hakiki. Yakni malam 21, 23, 25, 27, dan 29. Lalu sebagian ulama merajihkan (menguatkan), Lailatul Qadar berpiindah-pindah dari dari satu malam ke malam ganjil lainnya pada setiap tahunnya. Lailatul Qadar tidak melulu pada satu malam tertentu pada setiap tahunnya.

Imam al-Nawawi rahimahullah berkata: "Ini adalah yang zahir dan terpilih karena bertentangan di antara hadits-hadits shahih dalam masalah itu. tidak ada jalan untuk menjama' (mengompromikan) di antara dalil-dalil tersebut kecuali dengan intiqal (berpindah-pindah)-nya."

Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah memberikan catatan terhadap pendapat-pendapat tentang Lailatul Qadar di atas, "Yang jelas, menurutku, Lailatul Qadar terdapat pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan berpindah-pindah di malam-malam tersebut. Ia tidak khusus hanya pada malam ke 27 saja. Adapun yang disebutkan oleh Ubay, Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27, ini terjadi dalam suatu tahun dan bukan berarti terjadi pada semua tahun. Buktinya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah mendapatinya pada malam ke 21, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Sa'id Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkhutbah kepada mereka seraya mengatakan:

إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نَسِيتُهَا أَوْ أُنْسِيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ كُلِّ وِتْرٍ وَإِنِّي أُرِيتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ

"Sungguh aku telah diperlihatkan Lailatul Qadar, kemudian terlupakan olehku. Oleh sebab itu, carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir pada setiap malam ganjilnya. Pada saat itu aku merasa bersujud di air dan lumpur."

Abu Sa'id berkata: "Hujan turun pada malam ke 21, hingga air mengalir menerpa tempat shalat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Seusai shalat aku melihat wajah beliau basah terkena lumpur. (HR. Al- Bukhari dan Muslim)

Demikian kumpulan hadits yang menyinggung tentang masalah Lailatul Qadar. Wallahu A'lam." (Selesai ulasan dari Shahih Fiqih Sunnah: III/202-203)

Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ithaf al-Kiram (Ta'liq atas Bulughul Maram) hal 197, mengatakan, "Pendapat yang paling rajih dan paling kuat dalilnya adalah ia berada pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Ia bisa berpindah-pindah, terkadang di malam ke 21, terkadang pada malam ke 23, terkadang pada malam ke 25, terkadang pada malam ke 27, dan terkadang pada malam ke 29. Adapun penetapan terhadap beberapa malam secara pasti, sebagaimana yang terdapat dalam hadits ini (hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan), ia di malam ke 27, dan sebagaimana dalam beberapa hadits lain, ia berada di malam 21 dan 23, maka itu pada tahun tertentu, tidak pada setiap tahun. Tetapi perkiraan orang yang meyakininya itu berlaku selamanya, maka itu pendapat mereka sesuai dengan perkiraan mereka. Dan terjadi perbedaan pendapat yang banyak dalam penetapannya."

Tanda-tanda Lailatul Qadar

Disebutkan juga oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah bahwa Lailatul Qadar memiliki beberapa tanda-tanda yang mengiringinya dan tanda-tanda yang datang kemudian.

Tanda-tanda yang megiringi Lailatul Qadar:

Kuatnya cahaya dan sinar pada malam itu, tanda ini ketika hadir tidak dirasakan kecuali oleh orang yang berada di daratan dan jauh dari cahaya.
Thama'ninah (tenang), maksudnya ketenangan hati dan lapangnya dada seorang mukmin. Dia mendapatkan ketenanangan dan ketentraman serta lega dada pada malam itu lebih banyak dari yang didapatkannya pada malam-malam selainnya.
Angin bertiup tenang, maksudnya tidak bertiup kencang dan gemuruh, bahkan udara pada malam itu terasa sejuk.
Terkadang manusia bisa bermimpi melihat Allah pada malam itu sebagaimana yang dialami sebagian sahabat radliyallah 'anhum.
Orang yang shalat mendapatkan kenikmatan yang lebih dalam shalatnya dibandingkan malam-malam selainnya.
Tanda-tanda yang mengikutinya:

Matahari akan terbit pada pagi harinya tidak membuat silau, sinarnya bersih tidak seperti hari-hari biasa. Hal itu ditunjukkan oleh hadits Ubai bin Ka'b radliyallah 'anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengabarkan kepada kami: "Matahari terbit pada hari itu tidak membuat silau." (HR. Muslim)        

Penutup

Siapa yang merindukan Lailatul Qadar hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam sisa hari Ramadhan ini, khususnya di sepuluh hari terakhirnya. Semoga satu dari sepuluh malam terakhir yang kita hidupkan tersebut adalah Lailatul Qadar. Sehingga kita mendapatkan pahala dan ganjaran yang besar. Selain itu, esungguhan ini adalah bentuk iqtida' (mengikuti dan mencontoh) Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. kita juga memperbanyak doa dan pengharapan kepada-Nya untuk kebaikan diri kita, keluarga, dan kaum muslimin secara keseluruhan. Amiin!

TAFSIR SURAT AL QADR

Oleh
Ustadz Arief Budiman bin Usman Rozali

بسم الله الرحمن الرحيم

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3} تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ {4} سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ {5}‏

1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur`an) pada malam kemuliaan.
2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan.
5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

Pada edisi sebelumnya, telah kami sampaikan tentang Lailatul Qadr. Pada malam itu penuh dengan kebaikan dan keberkahan seluruhnya, selamat dari segala kejahatan dan keburukan apapun, setan-setan tidak mampu berbuat kerusakan dan kejahatan sampai terbit fajar di pagi harinya. Hal-hal apa saja yang berkaitan dengan Lailatul Qadr?

KAPANKAH LAILATUL QADR?
Sudah dijelaskan di atas bahwa Lailatul Qadr terjadi pada satu malam saja dari bulan Ramadhan pada setiap tahun, akan tetapi tidak dapat dipastikan kapan terjadinya [1]. Sehingga banyak hadits-hadits dan atsar-atsar yang menerangkan waktu-waktu malam, yang mungkin terjadi padanya Lailatul Qadr[2]. Di antara waktu-waktu yang di terangkan hadits-hadits dan atsar-atsar tersebut ialah sebagai berikut:

1. Pada Malam Pertama Pada Bulan Ramadhan.
Ibnu Katsir berkata: "Ini diriwayatkan dari Abu Razin Al ‘Uqaili (seorang sahabat)" [3].

2. Pada Malam Ke Tujuh Belas Pada Bulan Ramadhan.
Ibnu Katsir berkata [4]: “Dalam hal ini Abu Dawud telah meriwayatkan hadits marfu’ [5] dari Ibnu Mas’ud. Juga diriwayatkan dengan mauquf [6] darinya, Zaid bin Arqam dan Utsman bin Abi Al ‘Ash [7]. Dan ini adalah salah satu perkataan Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. Juga diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri. Mereka semua beralasan, karena (malam ke tujuh belas Ramadhan adalah) malam (terjadinya) perang Badr, yang terjadi pada malam Jum’at, malam ke tujuh belas dari bulan Ramadhan, dan di pagi harinya (terjadilah) perang Badr. Itulah hari yang Allah katakan dalam firmanNya:

يَوْمَ الْفُرْقَانِ

(Di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan) [8].

3. Pada Malam Ke Sembilan Belas Pada Bulan Ramadhan.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum [9].

4. Pada Malam Ke Dua Puluh Satu Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata:

اِعْتَكَفَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ الأَوَّلِ مِنْ رَمَضَانَ, وَاعْتَكَفْنَا مَعَهُ, فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ, فَقَالَ: (إِنَّ الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ), فَاعْتَكَفَ العَشْرَ الأَوْسَطَ فَاعْتَكَفْنَا مَعَهُ, فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ, فَقَالَ: (إِنَّ الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ), قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطِيْباً صَبِيْحَةَ عِشْرِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ, فَقَالَ: ((مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْيَرْجِعْ, فَإِنِّيْ أُرِيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, وَإِنِّيْ نُسِّيْتُهَا, وَإِنَّهَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِيْ وِتْرٍ, وَإِنِّيْ رَأَيْتُ كَأَنِّيْ أَسْجُدُ فِيْ طِيْنٍ وَمَاءٍ)), وَكَانَ سَقْفُ الْمَسْجِدِ جَرِيْدَ النَّخْلِ, وَمَا نَرَى فِيْ السَّمَاءِ شَيْئاً فَجَاءَتْ قَزَعَةٌ فَأُمْطِرْنَا, فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّيْنِ وَالْمَاءِ عَلَى جَبْهَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَرْنَبَتِهِ تَصْدِيْقَ رُؤْيَاهُ.

"Rasulullah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Ramadhan, dan kamipun beri’tikaf bersamanya. Lalu Jibril datang dan berkata: “Sesungguhnya apa yang kamu minta (ada) di depanmu,” lalu Rasulullah berkhutbah pada pagi hari yang ke dua puluh di bulan Ramadhan dan bersabda: “Barangsiapa yang i’tikaf bersama Nabi, pulanglah. Karena sesungguhnya aku telah diperlihatkan Lailatul Qadr, dan aku sudah lupa. Lailatul Qadr akan terjadi pada sepuluh hari terakhir pada (malam) ganjilnya, dan aku sudah bermimpi bahwa aku bersujud di atas tanah dan air”. Saat itu atap masjid (terbuat dari) pelepah daun pohon kurma, dan kami tidak melihat sesuatupun di langit. Lalu tiba-tiba muncul awan, dan kamipun dihujani. Lalu Rasulullah shalat bersama kami, sampai-sampai aku melihat bekas tanah dan air yang melekat di dahi dan ujung hidungnya sebagai pembenaran mimpinya".[10]

Asy Syafi’i berkata: “Hadits ini adalah riwayat paling shahih”.[11]

5. Pada Malam Ke Dua Puluh Tiga Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Abdullah bin Unais, beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((أُرِيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيْتُهَا, وَأَرَانِيْ صُبْحَهَا أَسْجُدُ فِيْ مَاءٍ وَطِيْنٍ)), قَالَ: فَمُطِرْنَا لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ, فَصَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْصَرَفَ, وَإِنَّ أَثَرَ الْمَاءِ وَالطِّيْنِ عَلَى جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ, قَالَ: وَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ يَقُوْلُ: ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ.

"Sesungguhnya Rasulullah bersabda: ((Aku telah diperlihatkan Lailatul Qadr kemudian aku dibuat lupa, dan aku bermimpi bahwa aku bersujud di atas tanah dan air)). Maka kami dihujani pada malam yang ke dua puluh tiga, Rasulullah shalat bersama kami, kemudian beliau pergi sedangkan bekas air dan tanah (masih melekat) di dahi dan hidungnya”.

Dan Abdullah bin Unais berkata: Dua puluh tiga [12].

6. Pada Malam Ke Dua Puluh Empat Di Bulan Ramadhan
Sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudri, berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِيْنَ)).

"Rasulullah bersabda: ((Lailatul Qadr malam yang ke dua puluh empat))" [13].

Ibnu Katsir berkata: "Sanadnya para perawi tsiqat (kuat)" [14].

Demikian juga lafazh hadits yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari Bilal.[15]

Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan perkataannya (untuk mengomentari hadits Bilal tersebut): “(Pada sanadnya ada) Ibnu Lahi’ah (dan dia) dha’if, dan (hadits ini) tidak sesuai dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ashbagh, dari Ibnu Wahb, dari ‘Amr bin Al Harits, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abu Al Khair, dari Abu Abdillah Ash Shunaabihi berkata: “Bilal -Mu’adzin Rasulullah- telah memberitahu kepadaku bahwa Lailatul Qadr dimulai malam ke tujuh dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan). [16]” Maka hadits yang mauquf ini lebih sah, wallahu a’lam.

Demikian halnya telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir, Al Hasan, Qatadah, Abdullah bin Wahb (yang semuanya mengatakan) bahwa Lailatul Qadr adalah pada malam yang ke dua puluh empat. [17]

7. Pada Malam Ke Dua Puluh Lima Di Bulan Ramadhan
Sebagaimana hadits Abdullah bin Abbas, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِلْتَمِسُوْهَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, فِيْ تَاسِعَةٍ تَبْقَى, فِيْ سَابِعَةٍ تَبْقَى, فِيْ خَامِسَةٍ تَبْقَى.

"Nabi bersabda: Carilah Lailatul Qadr di bulan Ramadhan, pada sembilan malam yang tersisa, tujuh malam yang tersisa, lima malam yang tersisa" [18].

8. Pada Malam Ke Dua Puluh Tujuh Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits yang di keluarkan oleh Imam Muslim dari Ubay bin Ka’b:

عَنْ عَبْدَةَ وَعَاصِمِ بْنِ أَبِيْ النُّجُوْدِ سَمِعَا زِرَّ بْنَ حُبَيْشٍ يَقُوْلُ: سَأَلْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, فَقُلْتُ: إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُوْدٍ يَقُوْلُ: مَنْ يُقِمْ الحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ القَدْرِ, فَقَالَ: رَحِمَهُ اللهُ, أَرَادَ أَنْ لاَ يَتَّكِلَ النَّاسُ, أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِيْ رَمَضَانَ, وَأَنَّهَا فَيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ, وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ. ثُمَّ حَلَفَ لاَ يَسْتَثْنِيْ أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ, فَقُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُوْلُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ؟ قَالَ: بِالْعَلاَمَةِ أَوْ بِالآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا.

"Dari Abdah dan Ashim bin Abi An Nujud, mereka mendengar Zirr bin Hubaisy berkata: Aku pernah bertanya Ubai bin Ka’b, maka aku berkata: “Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata, barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) selama setahun, pasti akan mendapatkan Lailatul Qadr.” Ubay bin Ka’b berkata: “Semoga Allah merahmatinya, beliau bermaksud agar orang-orang tidak bersandar (pada malam tertentu untuk mendapatkan Lailatul Qadr, Pen), walaupun beliau sudah tahu bahwa malam (Lailatul Qadr) itu di bulan Ramadhan, dan ada pada sepuluh malam terakhir, dan pada malam yang ke dua puluh tujuh”. Kemudian Ubay bin Ka’b bersumpah tanpa istitsna’ [19], dan yakin bahwa malam itu adalah malam yang ke dua puluh tujuh. Aku (Zirr) berkata: “Dengan apa (sehingga) engkau berkata demikian, wahai Abu Al Mundzir? [20]” Beliau berkata: “Dengan tanda yang pernah Rasulullah kabarkan kepada kami, yaitu (matahari) terbit (pada pagi harinya) tanpa sinar (yang terik)”.[21]

Juga hadits Abdullah bin Umar:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رِجَالاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْمَنَامِ فِيْ السَّبْعِ الأَوَاخِرِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِيْ السَّبْعِ الأَوَاخِرِ, فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِيْ السَّبْعِ الأَوَاخِرِ)).

"Dari Ibnu Umar, bahwa beberapa orang sahabat Nabi diperlihatkan (mimpi) Lailatul Qadr pada tujuh malam terakhir, lalu Rasulullah bersabda: “Aku kira mimpi kalian telah bersesuaian pada tujuh malam terakhir. Maka barangsiapa yang ingin mendapatkannya, carilah pada tujuh malam terakhir" [22].

Demikian pula hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِيْ سُفْيَانَ, عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ قَالَ: ((لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ)).

"Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dari Nabi dalam (masalah) Lailatul Qadr bersabda: “Lailatul Qadr pada malam ke dua puluh tujuh" [23]

Ibnu Katsir berkata: “Dan ini (Lailatul Qadr adalah malam ke dua puluh tujuh) adalah pendapat sebagian ulama salaf, pendapat madzhab Ahmad bin Hanbal, dan riwayat dari Abi Hanifah. Juga telah diriwayatkan dari sebagian Salaf, mereka berusaha mencocokkan malam Lailatul Qadr dengan malam yang ke dua puluh tujuh dengan firman Allah ( هِيَ) . Karena, kata ini adalah kata yang ke dua puluh tujuh dari surat Al Qadr. Wallahu a’lam”. [24]

9. Pada Malam Ke Dua Puluh Sembilan Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Abu Hurairah, berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ: إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِيْنَ, إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِيْ الأَرْضِ أَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى.

"Sesungguhnya Rasulullah bersabda tentang Lailatul Qadr: “Sesungguhnya malam itu malam yang ke (dua puluh) tujuh atau ke dua puluh sembilan. Sesungguhnya, malaikat pada malam itu, lebih banyak dari jumlah butiran kerikil (pasir)" [25].

Juga hadits ‘Ubadah bin Shamit:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ, أَنَّهُ سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((فِيْ رَمَضَانَ, فَالْتَمِسُوْهَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ, فإِنَّهَا فَيْ وِتْرٍ, فِيْ إِحْدَى وَعِشْرِيْنَ, أَوْ ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ, أَوْ خَمْسٍ وَعِشْرِيْنِ, أَوْ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ, أَوْ تِسْعٍ وَعِشْرِيْنَ, أَوْ فِيْ آخِرِ لَيْلَةٍ, فَمَنْ قَامَهَا ابْتِغَاءَهَا إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً ثُمَّ وُفِّقَتْ لَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ)).

"Dari Ubadah bin Ash Shamit, beliau bertanya kepada Rasulullah tentang Lailatul Qadr, maka Rasulullah bersabda: “Di bulan Ramadhan. Maka carilah ia pada sepuluh malam terakhir. Karena malam (Lailatul Qadr) itu (terjadi) pada malam-malam ganjil, pada malam ke dua puluh satu, atau dua puluh tiga, atau dua puluh lima, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh sembilan, atau pada akhir malam (bulan Ramadhan). Barangsiapa yang menghidupkan malam itu untuk mendapatkannya dengan penuh harapan (pada Allah) kemudian dia mendapatkannya, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang" [26].

10. Pada Malam Terakhir Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Ubadah bin Ash Shamit [27] di atas, dan hadits Abu Bakrah:

عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: حَدَّثَنيِ أبِيْ قَالَ: ذَكَرْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ أَبِيْ بَكْرَةَ فَقَالَ: مَا أناَ مُلْتَمِسُهَا لِشَيْءٍ سَمِعْتهُ مِنْ رَسُوْلِ الله صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: ((اِلْتَمِسُوْهَا فَيْ تِسْعٍ يَبْقَيْنَ, أَوْ فِيْ سَبْعٍ يَبْقَيْنَ, أَوْ فِيْ خَمْسٍ يَبْقَيْنَ, أَوْ فِيْ ثَلاَثٍ, أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ)), قَالَ: وَكَانَ أَبُوْ بَكْرَةَ يُصَلِّيْ فِيْ الْعِشْرِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ كَصَلاَتِهِ فِيْ سَائِرِ السَّنَةِ, فَإذا دَخَلَ الْعَشْرَ اِجْتَهَدَ.

"Dari Uyainah bin Abdurrahman, ia berkata: “Ayahku telah mengkhabarkan kepadaku, (ia) berkata, aku menyebutkan tentang Lailatul Qadr kepada Abu Bakrah, maka beliau berkata, tidaklah aku mencari malam Lailatul Qadr dengan suatu apapun yang aku dengarkan dari Rasulullah, melainkan pada sepuluh malam terakhir; karena sesungguhnya aku mendengarkan beliau berkata: ‘Carilah malam itu pada sembilan malam yang tersisa (di bulan Ramadhan), atau tujuh malam yang tersisa, atau lima malam yang tersisa, atau tiga malam yang tersisa, atau pada malam terakhir’,” berkata Abdurrahman: “Dan Abu Bakrah shalat pada dua puluh hari pertama di bulan Ramadhan seperti shalat-shalat beliau pada waktu-waktu lain dalam setahun, tapi apabila masuk pada sepuluh malam terakhir, beliau bersungguh-sungguh" [28].

Hadits yang serupa telah diriwayatkan dari Mu’awiyah [29].

Inilah waktu-waktu yang diterangkan di berbagai kitab-kitab tafsir maupun hadits. Jika kita perhatikan, banyak hadits-hadits shahih yang menerangkan, bahwa kemungkinan terbesar terjadinya Lailatul Qadr ialah malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, terutama pada malam ke dua puluh satu dan dua puluh tujuh.

Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata: "Tidak pernah ada ketentuan (pembatasan) yang memastikan waktu terjadinya malam itu (Lailatul Qadr) pada bulan Ramadhan. Para ulama telah banyak membawakan pendapat (perkataan) dan nash-nash. Di antara perkataan (para ulama) tersebut ada yang sangat umum. (Bahwa Lailatul Qadr) mungkin terjadi pada setahun penuh, akan tetapi ini tidak mengandung hal yang baru. Perkataan ini dinisbatkan kepada Ibnu Mas’ud, tetapi (sebetulnya) maksudnya ialah (agar manusia) bersungguh-sungguh (dalam mencarinya). Ada yang mengatakan bahwa malam itu (mungkin) terjadi pada bulan Ramadhan seluruhnya. (Mereka) berdalil dengan keumuman nash-nash Al Qur`an. Ada pula yang berkata, Lailatul Qadr mungkin terjadi pada sepuluh malam terakhir. Pendapat ini lebih khusus dari sebelumnya. Dan ada yang berpendapat, malam itu terjadi pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir tersebut. Maka dari sini, ada yang berpendapat pada malam ke dua puluh satu, ke dua puluh tiga, ke dua puluh lima, ke dua puluh tujuh, ke dua puluh sembilan, dan malam terakhir, sesuai dengan masing-masing nash yang menunjukkan terjadinya Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil tersebut. Akan tetapi, yang paling mashur dan shahih (dari nash-nash tersebut) adalah pada malam ke dua puluh tujuh dan dua puluh satu… (Dengan demikian), apabila seluruh nash yang menerangkan Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil tersebut semuanya shahih, maka besar kemungkinan Lailatul Qadr terjadi pada malam-malam ganjil tersebut. Dan bukan berarti malam Lailatul Qadr tersebut tidak berpindah-pindah, akan tetapi (ada kemungkinan), dalam tahun ini terjadi pada malam ke dua puluh satu, dan pada tahun berikutnya pada malam ke dua puluh lima atau dua puluh tujuh, dan pada tahun yang lainnya lagi terjadi pada malam ke dua puluh tiga atau dua puluh sembilan, dan begitulah seterusnya. Wallahu a’lam"[30]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]



LAILATUL QADAR, MALAM SERIBU BULAN

Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i


Sebab Penamaan Malam Mulia Ini Dengan Nama Lailatul Qadr
Para ulama رحمهم الله berselisih pendapat me-ngenai persoalan ini, sebagai berikut:

Pertama, sesungguhnya pada malam lailatul Qadar ini, Allah menetapkan (at-taqdiir) semua rizki, ajal kematian dan semua peristiwa untuk setahun ke depan, dan para Malaikat mencatat semua hal itu.

Kedua, pendapat kedua menyatakan bahwa kemulian (al-Qadr), kehormatan dan suasana malam ini disebabkan oleh diturunkannya (permulaan) al-Qur-an, atau pada malam ini para Malaikat turun atau turunnya keberkahan, rahmat dan maghfirah pada malam kemuliaan ini.

Ketiga, pendapat berikutnya, bahwa orang yang menghidupkan malam ini akan mendapatkan al-Qadr (kemuliaan) yang besar, yang belum pernah dia miliki sebelumnya. Malam ini akan menambah kemuliaannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan masih terdapat pendapat lainnya. [1]

Keberkahan Lailatul Qadar Dan Keutamaannya
Lailatul Qadar ini merupakan malam yang paling utama. Malam ini dimuliakan oleh Allah daripada malam-malam lainnya. Maka, ia merupakan malam yang penuh keberkahan sebagaimana yang difirmankan Allah Jalla wa ‘Alaa:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” [Ad-Du-khaan: 3]

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Allah mensifati malam ini dengan keberkahan, karena Dia menurunkan kepada hamba-hamba-Nya berbagai berkah, kebaikan dan pahala pada malam yang mulia ini.” [2]

Maka, lailatul Qadr yang penuh barakah ini mengandung berbagai keutamaan yang agung dan kebaikan-kebaikan yang banyak. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama : Pada malam mulia ini dijelaskan semua perkara yang penuh hikmah. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan persoalan ini lewat firman-Nya:

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-Dukhaan: 4]

Makna kata yufraqu adalah yufashshal (dijelaskan, dirinci). Dan makna kata hakiim adalah al-muhkam (yang tepat, teliti dan sempurna).

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma menyatakan bahwa dicatat dari Ummul Kitab pada lailatul Qadr segala hal yang terjadi pada setahun ke depan berupa kebaikan, keburukan, rizki, ajal hingga keberangkatan menuju ibadah Haji. [3]

Kedua : Amal-amal yang dikerjakan pada malam mulia ini akan dilipatgandakan dan pengampunan dosa-dosa orang yang menghidupkan lailatul Qadr ini. Allah Tabaaraka wa Ta’aalaa berfirman dalam surat al-Qadr:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْر ِلَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seri-bu bulan.” [Al-Qadr: 2-3]

Para mufassir (ahli Tafsir) menyatakan, “Maknanya adalah amal shalih (yang dilakukan pada) lailatul Qadr lebih baik dari amal shalih selama seribu bulan (yang dilakukan) di luar lailatul Qadr. Dan ini merupakan karunia yang agung, rahmat dari Allah pada hamba-hamba-Nya, serta barakah yang besar lagi nyata yang dimiliki oleh malam yang mulia ini.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang mendirikan lailatul Qadr karena iman dan mengharapkan pahala (dari Allah), niscaya diampuni dosa-dosanya yang lalu.” [4]

Kata qaama (mendirikan) pada hadits di atas dapat diwujudkan dalam bentuk shalat, berdzikir, berdo’a, membaca al-Qur-an dan berbagai bentuk kebaikan lainnya.

Ketiga : Turunnya al-Qur-an pada lailatul Qadr.
Di antara keutamaan dan keberkahan lailatul Qadr, bahwa al-Qur-an al-Karim -yang di dalamnya terdapat petunjuk bagi manusia dan bagi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat- telah diturunkan pada malam ini.

Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:

حم وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Haa Miim. Demi Kitab (al-Qur-an) yang men-jelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi...” [Ad-Dukhaan: 1-3]

Dan Dia berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan.” [Al-Qadr: 1]

Disebutkan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah turunnya al-Qur-an secara sekaligus (dari Lauh Mahfuzh ke langit pertama (Baitul ‘Izzah-pent) pada lailatul Qadr, selanjutnya diturunkan secara bertahap kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa maksud ayat di atas adalah permulaan turunnya al-Qur-an terjadi pada lailatul Qadr. [5] Wallaahu a’lam.

Keempat : Keberkahan lain dari lailatul Qadr ini, yaitu turunnya para Malaikat pada malam yang mulia ini.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Qadr:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ

“Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan.” [Al-Qadr: 4]

Mengomentari ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya menyatakan, “Banyak Malaikat yang turun pada malam ini, karena banyaknya barakah lailatul Qadr ini. Para Malaikat turun bersamaan dengan turunnya barakah dan rahmat, sebagaimana halnya ketika mereka hadir di waktu-waktu seperti ketika al-Qur-an dibacakan, mereka mengelilingi majelis-majelis dzikir, dan bahkan pada waktu yang lain mereka meletakkan sayap-sayap mereka kepada penuntut ilmu sebagai sikap penghormatan mereka terhadap sang penuntut ilmu tersebut. [6] Menurut jumhur ahli tafsir maksud kata “war-ruuh” adalah Jibril Alaihissallam. Artinya para Malaikat turun bersama Jibril. Dan Jibril dikhususkan penyebutannya sebagai penghormatan dan pemuliaan terhadap dirinya. [7]

Kelima : Lailatul Qadr adalah suatu malam yang penuh kesejahteraan. Seluruhnya berisi kebaikan, tidak ada keburukan di dalamnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai ter-bit fajar.” [Al-Qadr 5]

Disebutkan berkenaan dengan makna salaamun yaitu, bahwa pada malam ini tidak terjadi munculnya sebuah penyakit, dan tidak ada satu syaitan pun yang dilepas. Pendapat yang lain menyatakan makna salaamun adalah kebaikan dan keberkahan. [8] Maka pada sepanjang malam ini yang terdapat hanya kebaikan, tidak ada kejelekan, hingga terbit fajar. Dan pendapat yang lain lagi menyebutkan, bahwa maksudnya adalah para Malaikat mendo’akan keselamatan buat mereka yang menghidupkan masjid (ahlul masjid) pada sepanjang lailatul Qadr ini.

Wallaahu A’lam.

Inilah beberapa keberkahan dan keutamaan yang sangat nyata dan fenomenal dari malam yang mulia ini.

Kapan Terjadinya Lailatul Qadr ?
Jumhur ulama bersepakat bahwa lailatul Qadr ini hanya ada pada bulan Ramadhan.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an...” [Al-Baqarah: 185]

Dan firman-Nya:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan.” [Al-Qadr: 1]

Namun mereka berbeda pendapat dalam penentuan malam keberapakah dari bulan Ramadhan ini. Pendapat yang kuat (ar-raajih) adalah yang dipegang oleh Jumhur (mayoritas) ulama, yaitu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, dan lebih khusus lagi pada malam-malam yang ganjil.

Dan dalil atas pendapat tersebut adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum untuk lebih giat beramal pada masa tersebut.

Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.

“Carilah lailatul Qadr pada (bilangan) ganjil dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.” [9]

Begitu perhatiannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau beri’tikaf, dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.

Dan mengenai ketentuan waktu jatuhnya lailatul Qadr ini terdapat banyak pendapat di kalangan ulama. Namun mengenai indikasi-indikasi terkuat mengenai saat terjadinya lailatul Qadr ini bahwa matahari terbit pada pagi harinya dengan cerah.

Hikmah dari disembunyikannya lailatul Qadr ini dari pengetahuan manusia, -wallaahu a’lam- menunjukkan keagungan seluruh malam di bulan Ramadhan, dan agar manusia bersungguh-sungguh dalam berharap untuk mendapatkannya sehingga ganjaran yang diperolehnya semakin besar pula.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Adapun hikmah dirahasiakannya lailatul Qadr ini, agar kesungguhan para hamba dalam upaya meraih keutama-annya benar-benar terwujud secara optimal, sebagaimana (hikmah) disembunyikannya waktu-waktu yang dikabulkan pada hari Jum‘at... [10] dan seterusnya.

Maka, sudah menjadi keharusan bagi kaum muslimin untuk mencari waktu (pada sepuluh malam terakhir-pen) sehingga benar-benar tepat pada lailatul Qadar, kemudian memuliakannya dan menghidupkannya dengan ibadah dan merendahkan diri kepada Allah dengan do’a, dzikir dan istighfar serta memperbanyak ibadah-ibadah Sunnah kepada Allah sehingga mereka mendapatkan ridha dari Allah Yang Mahatinggi dan Maha Pemurah serta memberikan ganjaran dan pahala yang sangat banyak.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

RAMADHAN, BULAN PENUH BERKAH

Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i

KEWAJIBAN BERPUASA RAMADHAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [Al-Baqarah: 183]

Allah berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendak-lah ia berpuasa pada bulan itu.” [Al-Baqarah: 185]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسِيْنَ...

“Islam dibangun di atas lima (sendi).”

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di antaranya, berpuasa di bulan Ramadhan. Kaum muslimin juga telah sepakat atas wajibnya berpuasa di bulan Ramadhan.

Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) mengenai (dasar) penamaan bulan ini dengan nama Ramadhan. Ada pendapat yang menyatakan (dari perspektif maknawi -pent) bahwa dinamakan Ramadhan karena turmadhu (تُرمَضُ) fiihidz Dzunuub (pada bulan ini dosa-dosa manu-sia dibakar) dan الرَّمْضَاءُ شِدَّةُ الْحُرِّ (ar-ramdhaa’ maknanya panas membara).[1] Pendapat yang lainnya menyatakan bahwa dinamakan Ramadhan karena orang-orang Arab ketika mentransfer nama-nama bulan dari bahasa kuno, mereka menamakan bulan-bulan itu berdasarkan realita dan kondisi yang terjadi ketika zaman itu. Lalu secara kebetulan bulan ini jatuh tepat pada cuaca yang panas membakar, maka dinamakan bulan ini dengan nama Ramadhan. [2]

KEBERKAHAN BULAN RAMADHAN DAN KEUTAMAANNYA
Bulan Ramadhan memiliki banyak keberkahan, keutamaan dan berbagai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya.

Keberkahan pertama, adalah bahwa puasa Ramadhan merupakan penyebab terampuninya dosa-dosa dan terhapusnya berbagai kesalahan.

Sebagaimana hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [3]

Dan dalam Shahiih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرَ.

“Shalat fardhu lima waktu, shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antara masa tersebut seandainya dosa-dosa besar dijauhkannya.”[4]

Keberkahan kedua, pada bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu malam lailatul Qadar. Namun mengenai hal ini akan dibahas secara khusus dan tersendiri pada bab selanjutnya.

Keberkahan ketiga, terdapat banyak hadits lain yang menjelaskan keutamaan dan keistimeaan bulan yang sangat barakah ini, di antaranya hadits yang termaktub dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ.

“Apabila Ramadhan datang maka pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu.” [5]

Sedangkan dalam riwayat an-Nasa-i dan Imam Ahmad terdapat tambahan: “Telah datang kepadamu Ramadhan, bulan yang penuh barakah.” [6]

Keberkahan keempat, di antara keberkahan bulan ini adalah kaum Muslimin dapat meraih banyak keutamaan dan manfaat puasa yang bersifat ukhrawi maupun duniawi, di antaranya yaitu:

1. Keutamaan-Keutamaan Duniawi
Pertama : Ketakwaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [Al-Baqarah: 183]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahiihain:

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ.

“Puasa itu adalah perisai, jika suatu hari salah seorang di antara kalian dalam keadaan berpuasa, maka hendaknya dia tidak berkata kotor dan berteriak-teriak. Jika seseorang mencela dan mencacinya, hendaknya ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” [7]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Puasa adalah perisai,” maknanya bahwa puasa memelihara pelakunya dari adzab Neraka pada hari Kiamat, puasa memeliharanya dari hawa nafsu dan kemungkaran dalam kehidupan dunianya. [8] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah membimbing orang yang berpuasa untuk meninggalkan perkataan kotor dan keji, perbuatan-perbuatan yang buruk serta meninggalkan emosi kemarahan. Dan akhlak pelaku puasa yang mulia ini akan membantunya meraih derajat takwa. Itulah perangai yang terpuji.

Kedua : Pelipatgandaan Pahala.
Berdasarkan hadits yang tertera dalam kitab ash-Shahiihain dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhhu:

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ...

“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku. Akulah yang akan mengganjarnya...’”

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي.

“Setiap amal yang dilakukan anak Adam akan dilipatgandakan. Satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Lalu Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang memberi ganjarannya. Orang yang berpuasa meninggalkan syahwat dan makannya demi Aku semata.” [9]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Firman Allah Ta’ala yang menyatakan, ‘Dan Aku-lah yang memberi ganjarannya,’ merupakan penjelasan yang nyata tentang kebesaran karunia Allah dan melimpahnya balasan pahala-Nya karena sesungguhnya orang yang mulia dan dermawan jika mengabarkan bahwa dia sendiri yang akan menanggung balasannya, ini menunjukkan betapa besar kadar balasan yang dia persembahkan dan betapa luas pemberian yang Dia berikan.” [10]

Ketiga : Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih baik di sisi Allah Ta’ala daripada wangi minyak kesturi.

Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ.

“Demi Rabb yang jiwa Muhammad (berada) di tangan-Nya, sungguh bau mulut seorang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi minyak kesturi.”

Al-khaluuf artinya perubahan bau mulut sebagai akibat dari puasa. Namun hal ini ternyata baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahkan disukai-Nya. Hal ini menunjukkan betapa agung perkara pu-asa di sisi Allah Ta’ala. Sampai-sampai sesuatu yang menurut manusia dibenci dan dianggap jijik, ternyata di sisi Allah merupakan sesuatu yang disukai. Karena hal tersebut dibangun di atas sendi puasa yang merupakan implementasi dari ketaatan kepada Allah.

Keempat : Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa itu mendapatkan dua kebahagiaan
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ.

“Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan, berbahagia pada saat dia berbuka, berbahagia dengan puasanya itu dan pada saat ia berjumpa Rabb-nya.” [11]

Kelima : Pengistimewaan terhadap orang-orang yang berpuasa dengan masuknya mereka ke dalam Surga lewat pintu khusus yang bernama ar-Rayyaan.

Dalilnya adalah hadits Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ."

“Sesungguhnya di Surga itu ada sebuah pintu yang disebut ar-Rayyaan. Pada hari Kiamat nanti orang-orang yang suka berpuasa akan masuk Surga lewat pintu itu. Tidak ada seorang pun selain mereka yang diperkenankan (untuk masuk Surga) lewat pintu itu.” [12]

2. Manfaat Puasa Yang Bersifat Mendidik Dan Sosial
Pertama : Membiasakan diri untuk bersabar dan untuk menghadapi berbagai kesulitan dan musibah.
Oleh karena itu, bulan ini disebut bulan kesabaran (syahru ash-shabri). Makna asal ash-shabru (kesabaran) adalah al-habsu (mengekang, menahan diri). Maka, di dalam puasa terdapat pengekangan atau penahanan diri dari (syahwat) makan dan sebagian (nafsu) kelezatan. [13] Hal ini akan menguatkan keinginan orang yang berpuasa.

Kedua : Pembinaan akhlak.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِلهِg حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh (terhadap puasanya) walaupun ia meninggalkan makan dan minumnya.” [14]

Hakekat puasa adalah berpuasanya kedua mata dari memandang sesuatu yang haram, beruasanya pendengaran dari mendengar sesuatu yang diharamkan, puasanya lisan dari perkataan dusta, keji dan sejenisnya dan berpuasanya seluruh anggota tubuh dari melakukan sesuatu yang haram. Dalam ritual puasa terdapat pendidikan bagi setiap individu mengenai persamaan antara yang fakir dan yang kaya, berbuat baik kepada kaum fakir dan miskin.

3. Manfaat Kesehatan
Pertama : Membebaskan tubuh dari lemak-lemak yang bertumpuk -apalagi pada orang-orang yang hidup mewah- yang seringkali menjadi sumber penyakit ketika lemak-lemak itu terus bertambah.

Sakit dari jenis ini merupakan penyakit kegemukan. Maka, lapar merupakan cara terbaik untuk mengatasi kegemukan tersebut.

Kedua : Membuang kotoran-kotoran tubuh, racun-racun tubuh yang bertumpuk dan cairan-cairan tubuh yang merusak. Meringankan aliran darah pada urat nadi dan menjaganya dari tertutupnya pembuluh darah.

Ketiga : Puasa memiliki pengaruh positif terhadap banyak penyakit, di antaranya untuk sakit maag, tekanan darah tinggi, stress maupun depresi. [15] Karena itu puasa mempunyai dampak positif yang mengagumkan dalam menjaga kesehatan. Apalagi puasa itu dijalani secara benar dan terarah pada waktu-waktu yang paling utama (afdhal) menurut syari’at. Secara pasti tubuh membutuhkan proses seperti puasa, sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya, at-Thibbun Nabawi. [16] Para dokter di dunia barat telah memperhatikan puasa sebagai salah satu cara yang efektif dari berbagai model terapi medis. Sebagian mereka mengatakan, “Sesungguhnya faedah lapar dalam terapi medis memiliki keunggulan yang berlipat kali dari penggunaan obat-obatan. [17] Dokter yang lainnya mengatakan, “Sesungguhnya puasa sebulan penuh dapat menghilangkan berbagai sisa-sisa kotoran badan selama setahun. [18] Inilah hal paling nyata dari manfaat puasa dan barakahnya di dunia dan akhirat, puasa yang telah diwajibkan Allah kepada kaum Muslimin sebulan penuh dalam setahun. Dia-lah puasa Ramadhan yang penuh barakah itu.

Keberkahan kelima, yaitu besarnya keutamaan amal shalih yang dilakukan dalam bulan ini, dan besarnya motivasi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memacu kaum Muslimin beramal shalih pada bulan ini. Di antara amal shalih yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama : Qiyaamul lail
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi motivasi (kepada para Sahabat) untuk mendirikan qiyaam Ramadhaan (shalat malam Ramadhan) tanpa menyuruh mereka dengan paksaan. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

‘Barangsiapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala (dari Allah), niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.’”

Lalu setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal sekalipun, ibadah ini terus berlanjut. Dan terus berlanjut pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq dan permulaan masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. [19] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Tarawih bersama Sahabat-Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, kemudian beliau meninggalkannya lantaran khawatir kaum Muslimin menganggap wajib hukumnya shalat tersebut. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab berinisiatif untuk mengumpulkan orang-orang di masjid menunaikan shalat Tarawih. [20] Dan alhamdulillaah, ritual (syi’ar) seperti ini masih terus berlangsung hingga hari ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sungguh-sungguh dan giat dalam beribadah serta berdo’a pada sepuluh malam terakhir (al-‘asyrul awaakhir) dari bulan Ramadhan.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.

“Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila memasuki sepuluh hari (yang terakhir di bulan Ramadhan), beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan mengencangkan kainnya .’” [21][22]

Kedua : Ash-Shadaqah.
Imam al-Bukhari dan Muslim mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu nahuma, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيْلُ كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dalam kebaikan. Dan beliau lebih dermawan lagi ketika di bulan Ramadhan pada saat Jibril menemuinya. Maka pada saat Jibril menemuinya, ketika itulah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dalam kebaikan dari pada angin yang berhembus.”

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah anjuran untuk memperbanyak berderma dan bersedekah, lebih-lebih lagi dalam bulan Ramadhan yang penuh barakah ini.

Ketiga : Tilaawah al-Qur-aanil Kariim.
Disunnahkan untuk memperbanyak tilaawah al-Qur-an (membaca al-Qur-an) pada bulan Ramadhan. Pada bulan inilah al-Qur-an diturunkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengulang-ulang hapalannya bacaan al-Qur-annya bersama Jibril, satu kali di setiap Ramadhan. Sebagaimana yang tertera dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Dalam hadits itu disebutkan:

وَكَانَ جِبْرِيْلُ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِيْ رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ.

“Jibril menemuinya setiap malam pada bulan Ramadhan hingga terbaring. Saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan hapalan bacaan al-Qur-annya pada Jibril.” [23]

Para Salafush Shalih Radhiyallahu anhum memperbanyak bacaan al-Qur-annya di dalam shalat maupun pada kesempatan lainnya. [24]

Keempat : Al-I’tikaaf.
I’tikaaf yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahua anhuma disebutkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, (amalan ini terus dilakukannya-pent) hingga Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istri beliau meneruskan amal ber-i’tikaf sepeninggalnya.” [25]

Tidak diragukan lagi bahwa i’tikaf akan membantu pelakunya berkonsentrasi untuk melakukan ibadah dan bertaqarrub kepada Allah Jalla wa ‘Alaa. Lebih lagi pada saat-saat yang dimulia-kan, seperti bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.

Kelima : Al-‘Umrah
Dalil yang menunjukkan keutamaan melaksanakan ‘Umrah pada bulan Ramadhan adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang wanita Anshar yang tidak sempat melaksanakan haji bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً.

“Apabila datang bulan Ramadhan, maka laksanakanlah ‘umrah kamu, sesungguhnya ‘umrah pada bulan Ramadhan nilainya setara dengan Haji.”

Dalam riwayat lain disebutkan: “(‘Umrah pada Ramadhan itu) dapat menggantikan Haji atau menggantikan Haji bersamaku.” [26] Maksudnya, nilai pahala ‘umrahnya wanita Anshar menyamai nilai pahala ber-Haji, bukannya ‘umrah tersebut dapat menggantikan kedudukan hukum wajibnya Haji, sehingga dapat menggugurkan hukum wajibnya haji tersebut, bukanlah demikian. [27]

Keberkahan keenam, bahwasanya keberkahan-keberkahan Ramadhan adalah banyak peristiwa-peristiwa besar nan mulia yang terjadi di bulan ini. Dan sesungguhnya dari sekian banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan yang penuh berkah ini, maka peristiwa yang paling fenomenal dan sangat bermanfaat untuk ummat manusia adalah peristiwa turunnya al-Qur-an al-Karim.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...” [Al-Baqarah: 185]

Sedangkan di antara peristiwa fenomenal lainnya yang sarat manfaat, adalah sebagai berikut:

Pertama, Perang Badar Kubra, yang dinamakan sebagai yaumul Furqaan (hari Pembeda).

Pada hari itu Allah memisahkan dan membedakan antara kebenaran dan kebathilan. Maka, ketika itu, kelompok minoritas yang beriman meraih kemenangan atas kelompok besar yang kafir yang jauh lebih unggul dalam hal kuantitas pasukan dan perbekalan. Peristiwa ini terjadi pada tahun kedua Hijriyyah.

Kedua, Futuh Makkah
Sesungguhnya Allah telah memberi nikmat besar pada kaum mukminin dengan futuh (penaklukan) yang penuh barakah ini. Orang-orang secara berbondong-bondong masuk ke dalam Islam, lalu jadilah Makkah sebagai Daarul Islam (negeri Islam), setelah sebelumnya menjadi pusat kesyirikan orang-orang musyrik. Peristiwa ini terjadi pada tahun kedelapan Hijriyah.

Ketiga, Perang Hiththin pada tahun 584 H.
Dalam peperangan ini kaum Salibis mengalami kekalahan yang telak. Dan Shalahuddin al-Ayubi meraih kemenangan-kemenangan besar, lalu mengembalikan hak-hak kaum muslimin dan merebut kembali Baitul Maqdis.

Keempat, Peperangan ‘Ain Jaluut
Inilah peperangan sengit yang diakhiri dengan kemenangan bagi kaum muslimin atas pasukan Tartar. Peperangan ini terjadi pada tahun 658 Hijriyyah.

Setelah kami memaparkan secara global berbagai keutamaan yang menjadi keistimewaan bulan Ramadhan, dan sekian banyak keberkahan yang terkandung di dalam bulan mulia ini, maka tidak ada upaya kecuali aku berdo’a untuk saudara-saudaraku sesama muslim agar mereka terus meneguk berbagai keutamaan itu, dan bisa meraih berkah-berkah itu sebagai implementasi dari perintah Allah Ta’ala dan mengikuti Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum yang mulia, dan para pendahulu dari ummat yang terpilih ini, serta sebagai upaya mendulang berbagai manfaat yang bersifat ukhrawi maupun duniawi, juga dari berbagai kebaikan yang luas.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

http://almanhaj.or.id

No comments:

Post a Comment