!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Friday, August 2, 2013

Mari kita tingkatkan i beribadah dalam 10 hari terakhir bulan Ramadhan agar kita memperoleh manfaat malam Lailatul Qadar agar dosa kita diampuni selama 83 tahun (1000 bulan). seperti ber Umroh ke Mekah, Arab Saudi.


Mari kita tingkatkan i beribadah dalam 10 hari terakhir bulan Ramadhan agar kita memperoleh manfaat malam Lailatul Qadar agar dosa kita diampuni selama 83 tahun (1000 bulan). seperti ber Umroh ke Mekah, Arab Saudi.



Rasulullah selalu menganjurkan untuk beritikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Umrah itikaf atau berumrah pada 10 hari terakhir Ramadhan diyakini membawa berkah ibadah bagi setiap umat Muslim yang melaksanakannya.

Karena memiliki sejumlah kelebihan berumrah di kala itu, para jamaah pun berduyun-duyun melaksankan ibadah tersebut.
"Jumlah peminat umrah di bulan Ramadhan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hampir semua biro perjalanan haji mempunyai program umrah itikaf karena merasa ada keistimewaan bila beribadah di malam-malam Lailatul Qadar di Tanah Suci," ujar Wakil Sekretaris Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh) Muharom Ahmad.

Para peminat umrah jenis ini, kata dia, sebagian besar pernah menjalani beberapa kali ritual ibadah yang sama (repeating jamaah).

Sayangnya, kata Direktur Utama Cordova Abila Travel ini, minat masyarakat untuk melaksanakan umrah itikaf tidak dibarengi dengan kebijakan yang mendukung dari Pemerintah Arab Saudi.
Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan aturan baru mengenai kuota umrah itikaf untuk Indonesia yang hanya memperbolehkan sebanyak 17 ribu jamaah. Tidak ada kuota tambahan dengan alasan adanya aktivitas pembangunan hotel-hotel di sekeliling Masjidil Haram.

Mengingat tidak adanya kuota tambahan tersebut, Himpuh, kata dia, telah menginstruksikan anggotanya untuk mengantisipasi lonjakan permintaan umrah itikaf.

Rasulullah selalu menganjurkan untuk beritikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Jangan sampai, pelayanan terhadap para jamaah mengecewakan, mengingat membeludaknya peminat untuk berjiaran ke Tanah Haram.

Muharom mengingatkan, berumrah di bulan suci Ramadhan jangan hanya terjebak pada keutamaan semata, tapi kualitas ibadah juga harus tetap terpelihara dan ditingkatkan.

"Meski dikatakan umrah Ramadhan ganjarannya setara ibadah haji, tapi hal itu sangat bergantung dari niat jamaah saat mengikuti semua rukunnya."

Salah satu peminat umrah itikaf adalah Endang Dwijati. Sudah dua kali berturut-turut perempuan ini merasakan kenikmatan beribadah umrah pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Dia merasakan ada sebuah ketenangan menyusup di relung jiwanya saat malam-malam terakhir Ramadhan di Tanah Suci.
"Pengalaman batin yang luar biasa beritikaf di Masjidil Haram. Saat bertarawih pun imamnya membaca ayat-ayat panjang sekaligus mengkhatamkan Alquran. Rasanya, Ramadhan di sana memang dirindukan. saya tidak ingin ibadah Ramadhan berakhir," ujar pemilik usaha percetakan Alquran ini.
Kerinduan batin itu makin membekas di hati Endang. Ia pun selalu berdoa agar raganya bisa kembali ke Tanah Suci pada Ramadhan-Ramadhan berikutnya.

Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia Prof Ahmad Satori Ismail menjelaskan, itikaf berarti tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

SYARIAT IBADAH HAJI

Oleh
Syaikh Khalil Harras rahimahullah



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Barangsiapa berhaji karena Allah, lantas dia tidak berbuat keji dan melakukan kefasikan, maka dia pulang bagaikan hari dimana dia dilahirkan ibunya. [HR al-Bukhâri no. 1424]

Kaum Muslimin keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan telah memiliki bekal berupa kekuatan yang besar dalam kehidupan rohani yang suci; jiwa-jiwa mereka menjadi kuat dan tidak bergantung kepada kebendaan; keinginan-kenginan mereka telah terlatih untuk mengalahkan hawa nafsu syahwat; serta mampu menanggung kepayahan-kepayahan dan melawan hal-hal yang dibenci. Karenanya, mereka memasuki bulan-bulan haji dalam keadaan telah siap sempurna rohani dan jasmaninya. Mereka telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan beban-beban yang terdapat pada kewajiban yang suci itu (Haji), yang menjadi rukun kelima dari rukun-rukun Islam.

Haji itu seperti puasa, hukumnya wajib sejak dahulu; Allah Azza wa Jalla telah mewajibkannya kepada para hamba-Nya semenjak Dia memerintahkan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar membangun Baitul Harâm di Mekah, kemudian menyuruhnya supaya memaklumkan haji kepada manusia agar mendatanginya.

يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“… niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah Azza wa Jalla pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka berupa binatang ternak…” [al-Hajj/22:27-28]

Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan manasik-manasik haji dan syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm Alaihissallam dan putranya, yaitu Ismâ’îl Alaihissallam. Maka manasik-manasik itu akan tetap ada sepeninggal keduanya kepada anak keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah dan melakukan thawâf di situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah, serta melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwa.

Hanya saja anak keturunan mereka telah mengadakan bid’ah-bid’ah di dalamnya lantaran lamanya masa, dikuasai hawa nafsu, dan setan menghiasi penyimpangan mereka.

Mereka mengadakan peribadatan kepada patung-patung, lalu menaruhnya di sekitar Ka’bah dan bagian dalamnya. Mereka memulai beribadah untuk berhala dan menyembelih di dekatnya sebagai bentuk taqarrub kepadanya, dan dahulu mereka mengucapkan dalam talbiahnya;

اللَّهُمَّ لاَ شَرِيْكَ لَكَ, إِلاَّ شَرِيْكًا هُوَ لَكَ, تَمْلِكُهُ مِمَّا مَلَكَ

“Wahai Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu, melainkan sekutu yang Engkau punya, Engkau memiliki apa yang dia punya”

Dahulu, mereka thawâf di Ka’bah dengan bertelanjang, karena merasa tidak nyaman melaksanakan thawâf dengan pakaian-pakaian yang dikenakan pada saat mereka datang, sampai-sampai kaum wanita pun thawâf di Ka’bah dengan tidak berpakaian. Para wanita itu menutupi farjinya dengan sehelai kain, lalu mengatakan:

“Pada hari ini tampaklah sebagian atau seluruhnya (tubuh); namun apa saja yang terlihat, maka aku tidak membolehkan (dijamah) ”

Tatkala Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi-Nya, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembaharu agama Nabi Ibrâhîm q , sudah sewajarnya jika pembaharuan itu mencakup kewajiban haji. Maka, haji diwajibkan pada tahun ke enam dari hijrah, dan dalil fardunya dari al-Qur’an adalah firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.” [al-Baqarah/2:196]

Hingga firman Allah:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” [al-Baqarah/2:197]

Juga firman-Nya yang lain :

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrâhîm. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu), dia menjadi aman. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”[Ali ‘Imrân/3:97]

Adapun dalil dari Sunnah, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji, maka hajilah kalian!” [HR. Muslim]

Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu :

(بنُِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامُ الصَّلاَةِ, وَإِيْتاَءُ الزَّكَاةِ, وَصَوْمُ رَمَضَانَ, وَحَُّج اْلبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً)

“Islam dibangun di atas lima rukun; persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, serta haji ke baitullah bagi siapa yang sanggup mengadakan perjalan kepadanya.” [Muttafaq ‘alaih]

Sungguh, Nabi telah menafsirkan makna as-sabîl dengan bekal dan kendaraan, maka siapa yang memiliki nafkah bagi diri dan keluarganya hingga kembali dari haji serta mendapatkan kendaraan yang menghantarkannya ke Mekah (yakni biaya safar pulang pergi), maka wajib baginya segera berhaji; karena dia tidak akan tahu apa yang akan menghalanginya sesudah itu, sebab sakit atau berkurang hartanya.

Haji termasuk ibadah yang mempunyai pengaruh besar dalam mendidik jiwa, berupa lepas diri dari gemerlap dunia, kembali kepada fitrah aslinya, mengatasi kesulitan-kesulitan dan kepayahan-kepayahan, mengagungkan kehormatan-kehormatan Allah Azza wa Jalla dengan menahan diri dari setiap gangguan dan tindakan bermusuhan. Oleh karenanya, seorang yang berihrâm tidak boleh membunuh binatang buruan, tidak boleh memotong kuku, tidak boleh mencukur rambut, bahkan semua kegiatan ibadah haji itu adalah keselamatan untuk diri dan orang lain.

Pelaksanaan ibadah haji adalah bentuk pemenuhan terhadap panggilan Allah Azza wa Jalla melalui lisan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar berkunjung ke Baitul Harâm. Oleh karenanya, orang yang berhaji mengucapkan niatnya berhaji atau ‘umrah;

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Ku penuhi panggilan-Mu wahai Allah, ku penuhi seruan-Mu. Ku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, ku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujian dan nikmat hanya untuk-Mu, juga kerajaan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”.
Makna لَبَّيْكَ : Bersegera menuju ketaatan kepada-Mu, dan memenuhi panggilan-Mu tanpa lama-lama dan lambat.

Selain itu, ibadah haji merupakan ajang perkumpulan kaum Muslimin yang berulang setiap tahunnya, di mana mereka datang dari berbagai belahan bumi, hingga mereka dapat mengingat persatuan agama yang menaungi mereka semua. Meski mereka berbeda jenis dan warna kulit, serta berlainan lisan dan dialek, maka dikenalkan persaudaraan, saling berganti memberikan manfaat di antara mereka, serta saling memahami keadaan masing-masing. Di dalamnya ada perbaikan terhadap keadaan dan kemuliaan mereka; juga memperkuat tali persaudaraan sesama mereka. Sungguh al-Qur’ân telah mengisyaratkan akan hal itu dalam firman-Nya:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

“…Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka …” [al-Hajj/22:28]

Dalam hadits di atas (HR al-Bukhâri 1424) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa barangsiapa melaksanakan kewajiban haji dengan cara yang benar, yakni; mengikhlaskan niat kepada Allah Azza wa Jalla di dalamnya, dia tidak keluar karena riyâ` atau sum’ah, bahkan karena iman kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharapkan pahala dari sisi-Nya, patuh atas perintah-Nya; dia menunaikan kewajiban menjauhi perkara yang tidak pantas dilakukan orang yang berihrâm berupa rafats, yakni jima` dan pendahulu-pendahulunya dan setiap yang terkait dengannya; juga tidak berbuat fasik, yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , yakni bermaksiat terhadap-Nya; maka sungguh dia pulang dari ibadah haji dalam keadaan bersih dari dosa seperti saat dia dilahirkan. Kecuali jika dosa itu menyangkut hak-hak orang lain, maka sungguh dosa ini tidak terhapus dengan ibadah haji dan yang selainnya, bahkan harus mengembalikannya kepada yang berhak, atau meminta kepada mereka agar menghalalkannya.

Tidak heran jika ibadah haji dengan kedudukan seperti ini bisa mensucikan dari dosa-dosa, karena ia sebenarnya rihlah (pergi) menuju Allah Azza wa Jalla . Saat berhaji, seorang Muslim menanggung banyak kesusahan, terancam berbagai malapetaka dan marabahaya, mengorbankan tenaga dan hartanya, lalu melaksanakan manasik haji. Ia melangkah menuju pintu Rabb-nya, datang kepada-Nya dari tempat yang amat jauh untuk memohon maaf dan ampunan dari-Nya, meluapkan keluhannya kepada-Nya atas dosa-dosanya yang bisa menyebabkan kehancuran dan kebinasaannya, jika dosa –dosa itu masih ada dan tidak diampuni Allah Azza wa Jalla.

Maka apa persangkaanmu terhadap Rabb yang Maha Pemurah, yang hamba-Nya meminta perlindungan kepada-Nya, mencurahkan ke hadapan-Nya keluh kesahnya, mengakui kedzaliman dan kejahilannya di sisi-Nya, juga terhadap sikap melampaui batasnya terhadap hak-Nya; kemudian dia bertaubat, menyesal dan menyadari bahwa tidak ada tempat berlindung baginya dari Allah Azza wa Jalla kecuali hanya pada-Nya. Juga bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari Allah Azza wa Jalla , serta bahwasanya jikalau dia tidak mendapatkan rahmat dan keutamaan dari Allah Azza wa Jalla , maka akan menjadi orang yang sengsara dengan kesengsaraan seluruhnya.

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla paling pengasih daripada Dia mengembalikan hamba-Nya dengan kondisi kecewa setelah Dia mengetahui kejujuran darinya dalam berlindung kepada-Nya dan ikhlas dalam taubatnya dari dosanya. Dan sungguh telah datang di dalam hadits shahîh:

اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Ibadah haji mabrur (maka) tidak ada baginya balasan melainkan surga [HR. Muslim]

Kami memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar mengkaruniai kami dan saudara-saudara kami dengan kebagusan dalam menjalankan kewajiban tersebut, dan menerimanya dengan anugerah dan kemurahan-Nya.

Referensi
Majalah al-Ashâlah, hlm 31-34, bulan Safar Th.1424 volume ke-41, tahun ke-6.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/Dzulqa'adah 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

FIQIH HAJI : TATA CARA IHRAM

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


PENGERTIAN IHRAM
Kata ihram diambil dari bahasa arab, dari kata "Al-haram" yang bermakna terlarang atau tercegah. Dinamakan ihram karena seseorang yang masuk kepada kehormatan ibadah haji dengan niatnya, dia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu, seperti jima', menikah, berucap ucapan kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini dapat diambil satu definisi syar'i bahwa ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan [1].

Berdasarkan ini, jelaslah kesalahan pemahaman sebagian kaum muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah niat masuk ke dalam haji atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram.

TATA CARA IHRAM
Telah diketahui bersama bahwa seorang yang berniat melakukan haji atau umrah, diharuskan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam melaksanakan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits yang shohih, sebagai pengamalan darihadits Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam.

خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ

"Ambillah dariku manasik kalian".

1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu 'anhu.

فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَاالْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ وَاسْتَثْفِرِِيْ بِثَوْبٍ وَ احْرِمِيْ

"Lalu kami keluar bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu tatkala sampai di Dzul Hulaifah, Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, lalu ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan? Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Mandilah dan beristitsfarlah [2] kemudian ihram." [Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Daud no.1905, 1909 dan Ibnu Majah no.3074]

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak perlu bertayammum, karena Allah Subhanahu wa Ta'alal menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadats sebagaimana firmanNya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); " [Al Maidah :6]

Maka hal ini tidak bisa dianalogikan (dikiaskan) kepada yang lainnya, juga tidak ada contoh atau perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertayammum, apalagi kalau mandi ihram tersebut bertujuan untuk kebersihan. Memang perintah mandi tersebut adalah untuk kebersihan, dengan dalil perintah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Asma bintu Umais yang sedang haidh untuk mandi sebagaimana dalam hadits diatas.

2. Disunnahkan memakai minyak wangi ketika ihram, sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah.

كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ لإِحْرَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ.

"Aku memakaikan wangi-wangian kepada nabi untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka'bah" [HR. Bukhary no.1539 dan Muslim no. 1189].

Dan hal itu hanya diperbolehkan pada anggota badan, bukan pada pakaian ihram, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَلْبِسُوْا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَ لاَ الْوَرْسُ

"Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za'faran dan wars." [Muttafaqun alaih].

Kalau kita meninjau permasalahan memakai minyak wangi pada ihrom maka terdapat dua keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan berihram, ini diperbolehkan.
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum ihram, dan minyak wangi tersebut tidak hilang sampai setelah melakukan ihram. Ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.

Dalil dibolehkannya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha.

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيْصَ الدَّهْنِ فِيْ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ رواه مسلم

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya setelah itu".[HR.Muslim no.2830 ].

Dan Aisyah berkata pula:

كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ اْلمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ وَ هُوَ مُحْرِمٌ

"Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan beliau dalam keadaan ihram ". [HR. Muslim no. 2831 dan Bukhari no. 5923].

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya tentang dua permasalahan seputar pemakaian minyak wangi dalam ihram yaitu:

1. Apabila seseorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini berpengaruh atau tidak?

Jawab.
Tidak berpengaruh, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan.[3]

2. Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia lakukan maka akan menempellah minyak tersebut pada kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?

Jawab.
Tidak perlu, bahkan hal itu berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya, demikian juga tidak perlu mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termasuk yang dimaafkan. [4]

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِىْ إِزَارٍ وَ رِدَاءٍ وَ نَعْلَيْنِ

"Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal." [HR. Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Ahmad Syakir]

Diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

خَيْرُ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضِ فَالْبَسُوْهَا وَكَفِّنُوْا فِبْهَا مَوْتَكُمْ

"Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dan kafanilah mayat kalian padanya" [HR. Ahmad, lihat Syarah Ahmad Syakir 4/2219, dia berkata: isnadnya shahih]

Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21): "Disunnahkan berihram dengan dua kain yang bersih, jika keduanya berwarna putih maka itu lebih utama. Dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang di mubahkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Juga dibolehkan berihram dengan kain warna putih dan warna-warna yang diperbolehkan yang tidak putih, walaupun berwarna-warni". [5]

Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar dalam shahih Bukhary bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِيْ الَّليْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّيْ فَقَالَ : صَلِّ فَىْ هَذَا الْوَادِىْ الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِىْ حَجَّةٍ

"Tadi malam utusan dari Rabbku telah datang lalu berkata: "Shalatlah di Wadi (lembah) yang diberkahi ini dan katakan: “Umrotan fi hajjatin."

Dan hadits Jabir :

فَصَلَّىْ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ الْمَسْجِدِ ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتَهُ عَلَىْ الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ

"Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al-Qaswa' (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida' , beliau berihram untuk haji". [HR.Muslim].

Maka yang sesuai dengan Sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah shalat fardhu, akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:

Pendapat Pertama : Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Umar.

صَلِّ فَىْ هَذَا الْوَادِىْ

(shalatlah di Wadi ini)

Pendapat Kedua : Tidak disyariatkan shalat dua rakaat, ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu' Fatawa 26/108: "Disunnahkan berihram setelah shalat, baik fardhu maupun tathawu' (sunnah) kalau ia berada pada waktu (shalat) tathawu' (sunnah) menurut salah satu dari dua pendapat. Pada pendapat yang lain: kalau dia shalat fardhu maka berihram setelahnya, dan jika tidak maka tidak ada shalat yang khusus bagi ihram dan ini yang rajih."

Dan beliau berkata di dalam Ikhtiyarat hal. 116: “Dan berihram setelah shalat fardhu, kalau ada, atau (setelah shalat) sunnah (nafilah), karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus.”

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu dari tiga manasik, dan niat tersebut disunnahkan untuk diucapkan. Yaitu dengan memilih salah satu dari bentuk ibadah haji: ifrad, qiran dan tamatu' sebagaimana yang dikatakan Aisyah Radhiyallahu 'anha.

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ عُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ أَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِحَجٍّ فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ فَحَلَّ عَنْهُ بَعْدَ قُدُوْمِهِ وَ أَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ أَوْ جَمَعََ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَلَمْ يَحِلُّوْا حَتَّى كَانَ يَوْمَ النَّحَرِ (متفق عليه)

"Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun haji wada' maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya [6] dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar [7]. [Mutafaq alaih]

Seorang yang manasik ifrad mengatakan:
لَبَيْكَ حَجًَّا atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
dan seorang yang manasik tamatu' mengatakan:
لَبَيْكَ عُمْرَةً atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ عُمْرَةً
dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:
لَبَيْكَ حَجًّا atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
dan sunnah yang manasik Qiran menyatakan:
لَبَيْكَ عُمْرَةً و حَجًّا

6. Talbiyah yaitu membaca:

لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Labbaika Allahumma labbaik labbaika laa syariika laka labbaik Innal hamda wani'mata laka wal mulk laa syariikaa laka dan yang sejenisnya.

6.1. Waktu Talbiyah
Waktu talbiyah dimulai setelah berihram ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hajinya, berkata Jabir Radhiyallahu 'anhu.

حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتَهُ عَلَىْ الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ لَبَّيْكَ اللهم لَبَّيْكَ ……

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik ……" [HR Muslim]

6.2. Bacaan Talbiyah
Adapun bacaan talbiyah yang ma'tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:
a.
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ ,لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
b.
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَ سَعْدَيْكَ وَ الْخَيْرُ بِيَدِكَ وَ الرُّغَبَاءُ إِلَيْكَ وَ الْعَمَلُ (متفق عليه من تلبية ابن عمر
c.
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ , لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ (عن عائشة رواه البخارى

d. Talbiyah yang nomor "a" ditambah kalimat:

لَبَّيْكَ ذَا الْمَعَارِجِ لَبَّيْكَ ذَا اْلفَوَاضِلِ (حديث جابر رواه مسلم)

6.3. Sebab dan maknanya
Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab panggilan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana dalam al-Qur'an surah al-Hajj ayat 27.

وَأِذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh." [al-Hajj 22:27]

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata dalam menafsirkan : "Ketika Allah Azza wa Jalla memerintahkan Ibrahim Alaihissallam untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji, dia berkata:

يَا أَيُّهَا النَّاِس إِنَّ رَبَّكُمْ اتَّخَذَ بَيْتًا وَ أَمَرَكُمْ أَنْ تَحُجُّوْهُ فَاسْتَجَابَ لَهُ مَا سَمِعَهُ مِنْ حَجَرٍ أَوْ شَجَرٍ أَوْ أَكْمَةٍ أَوْ تُرَابٍ أَوْ شَيْئٍ قَالَوْا لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ (رواه ابن جرير 17\106)

"Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (ka'bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu apa saja yang mendengarnya, baik batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit, debu atau apa saja yang ada, menerima panggilan beliau ini lalu mereka berkata لَبَيْكَ الَّلهُمَّ لَبَيْكَ …… [H.R Ibnu Jarir 17/106]

Ibnu Hajar berkata: " Ibnu Abdil Barr berkata bahwa sejumlah dari Ulama menyatakan: "Makna Talbiyah adalah jawaban terhadap panggilan Ibrahim Alaihissallam ketika memberitahukan manusia untuk berhaji". [9]

Adapun makna dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah :
(اللهم) : Wahai Allah

(لَبَيْكَ) : Adalah penegas yang memiliki ma'na baru (lebih‎‎), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta'atan kepada-Nya

(لاَ شَرِيْكَ لَكَ) : Tidak ada satupun yang menyamai Engkau (Allah) dalam segala sesuatu

(لَبَيْكَ) : Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut karena Engkau saja.

(ِإنَّ الْحَمْدَ وَ الِّنعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ): Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik-Mu demikian juga kekuasaan

(لاَ شَرِيْكَ لَكَ) :Yang semua itu tidak ada sekutu bagiMu

Kalau kita melihat makna kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut, didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-jenisnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir (أَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ) (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid"). Hal ini tampak kalau kita mentelaah dan memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam kata-kata
(لَبَيْكَ اللهم لَبَيْكَ لَبَيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ) terdapat peniadaan kesyirikan dalam peribadatan, kemudian (لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ) terdapat tauhid rububiyyah karena kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata, dan hal itupun mengharuskan seorang hamba untuk mengakui terhadap tauhid uluhiyyah, karena iman kepada tauhid rububiyyah mengharuskan iman kepada tauhid uluhiyyah.

Dan dalam kata (إنَّ الْحَمْدَ وَ الِّنعْمَةَ لَكَ) terdapat penetapan sifat-sifat terpuji pada Dzat, dan bahwa perbuatan Allah Azza wa Jalla adalah hak, hal ini merupakan tauhid asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla.

Kalau demikian keharusan orang yang talbiyah maka dia akan selalu merasakan keagungan Allah dan akan selalu menyerahkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata bukan hanya sekedar mengucapkan tanpa dapat merasakan hakikat dari talbiyah tersebut.

6.4. Pelaksanaan Talbiyah
Talbiyah ini diucapkan dengan mengangkat suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ فَأَمَرَنِيْ أَنْ آمُرَ أَصْحَابِيْ أَنْ يَرْفَعُوْا أَصْوَاتَهِمْ بِالتَّلْبِيَّةِ

"Jibril telah datang kepadaku dan dia memerintaahkanku agar aku memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara mereka dalam bertalbiyah".

Dan tidak disyari'atkan bertalbiyah dengan berjama’ah, akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin maka hal itu tidak mengapa. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu, padahal jumlah mereka sangat banyak, maka hal tersebut sangat memungkinan terjadinya talbiyah dengan suara yang berbarengan. Akan tetapi mengangkat suara dalam talbiyah ini jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.

Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengeraskan suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah.

6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumroh atau berhaji dengan tamatu' menjadi beberapa pendapat:

Pendapat Pertama: Ketika masuk Haram (kota Makkah), dan ini pendapat Ibnu Umar, Urwah dan Al Hasan serta mazdhab Maliki. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasa’ai yang lafadznya;

كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا دَخَلَ أَدْنَىْ الْحَرَمِ أَمْسَكَ عَنْ التَّلْبِيَّةِ ثُمَّ يَبِيْتُ بِذِيْ طَيْ وَيُصَلِّى بِهِش الصُّبْحَ وَيَغْتَسِلُ وَيُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيْ  كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ

"Ibnu Umar ketika masuk pinggiran Haram menghentikan talbiyah, kemudian menginap di Dzi thuwa. Beliau sholat shubuh di sana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian"

Pendapat Kedua: Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al-Musayyib

Pendapat Ketiga: Ketika sampai ke Ka'bah dan memulai thawaf dengan menyentuh (istilam) hajar aswad, ini pendapat Ibnu Abbas, Atha', Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha'i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi'i, Ahmad dan Ishaq serta mazdhab Hanafi. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu':

كَانَ يُمْسِكُ عَنِ التَّلْبِيَّةِ فِيْ اْلعُمْرَةِ إِذَا اسْتَلَمَ الْحَجَرَ

"Dia menghentikan talbiyah dalam umoh setelah menyentuh (istilam) hajar aswad" [HR Abu Daud,At Tirmidzy dan Al Baihaqy, tetapi dilemahkan oleh Al-Albany dalam Irwa' 4/297]

Dan juga hadits Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh:

اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ ثلاثَا عُمَرَ كُلَّهَا فِيْ ذِيْ اْلقَعْدَةِ فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّيْ حَتَّى اسْتَلَمَ الْحَجَرَ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan umrah tiga kali, seluruhnya di bulan dzul qa'dah dan beliau terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) hajar aswad" [HR Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh Al-Albanny dala Irwa' 4/297]

Mereka juga berkata: “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah, yaitu thawaf.” Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam [10] dan Ibnu Qudamah [11] akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama. Berdasarkan penjelasan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah juga melakukan hal itu, ini menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasululloh telah melakukan. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah. [12]

Demikian juga waktu haji terdapat beberapa pendapat ulama.
Pertama : Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari dan ini pendapat Aisyah, Sa'ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza'i, Al-Hasan Al-Bashry dan madzhab Malikiyah. Berdalil dengan hadits:

الحَجُّ عَرَفَةُ

"Haji itu adalah wuquf di Arafah”

Maka kalau telah sampai Arafah, habislah pemenuhan panggilan, karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. Akan tetapi dalil ini lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Rasululloh masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah tersebut.

Kedua : Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan ini pendapat jumhur, akan tetapi mereka berselisih menjadi dua pendapat.

a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh aqobah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al-Fadl bin Al Abbas

كُنْتُ رَدِيْفَ النَبَيِ مِنْ جَمْعِ إِلَى مِنَى فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّيْ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ (رواه الحماعة)

"Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan terus menerus bertalbiyah sampi melempar jumroh Aqobah". [HR Jama'ah]

dan hadits Ibnu Mas'ud dengan lafadz:

خَرَجْتُ مَعَ رسول الله فَمَا تَرَكَ التَّلْبِيَّةَ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ إِلاَّ أَنْ يُخلِطَهَا بِتَكْبِيْرِ أَوْ تَهْلِيْلٍ.

"Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak meninggalkan talbiyah sampai beliau melempar jumrah Aqobah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir" [HR Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al-Albani dalam Irwa', /2966].

Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: Dan secara ma'na, maka seorang yang telah sampai Arafah- walaupun telah sampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah, dan kalau telah memulai dalam melempar jumrah maka telah selesai panggilannya [Majmu' Fatawa 26/173]

b. Menghentikannya di akhir lemparan dalam Jumrah Aqabah, ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi'i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl.

أَفَضْتُ مَعَ النَّبِي n مِنْ عَرَفَةَ فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّي حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حِصَاةٍ ثُمَّ قَطَعَ التَّلْبِيَّةَ مَعَ آخِرِ حِصَاةٍ (رواه ابو خزيمة)

"Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus bertalbiyah ampai melempar jumroh Aqobah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar" [HR Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya dan beliau berkata :" ini hadits shahih yang menjelaskan apa yang belum jelas dalam riwayat- riwayat yang lain].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


FIQIH HAJI : MIQAT DAN JENIS MANASIK

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Sungguh Allah Azza wa Jalla tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ اْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". [Adz dzariyat:56]

Kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla, maka dengan hikmah-Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan petunjuk yang jelas dan hujjah atas para hamba-Nya. Dan diantara kesempurnaan Islam, Allah yang Mahabijaksana menetapkan ibadah Haji ke Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari'atnya telah menetapkan suatu tatacara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim yang baik tentunya akan berusaha dan bersemangat untuk mempelajarinya kemudian mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan, kemudahan dan kemampuan baginya untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.

1. DEFINISI HAJI
a. Secara Etimologi
Kata Hajji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj [1]
b. Secara terminologi Syariat
Haji menurut istilah syar'i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [2] dan ada yang berkata: "Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula [3] akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan disini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.

2. DALIL PENSYARIATANNYA
Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan dalam Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma'.

Dalil Al-Qur'an:

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". [Ali Imran: 97]

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةُُ مِّنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدِْي فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَارَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah dia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya". [Al-Baqarah 2:196]

Dalil As-Sunnah
Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu.

خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ فَقَالَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا

"Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kami dan berkata: "Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah kalian." [HR Muslim]

Dan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجُّ اْلبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ

"Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan". [HR Bukhari dan Muslim]

Ijma' Ulama'
Telah bersepakat para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib. [4]

3. SYARAT-SYARAT HAJI
Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan
5. Merdeka

4. MIQAT-MIQAT HAJI
Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari'at untuk suatu ibadah baik tempat atau waktu. [5] Dan haji memiliki dua Miqat yaitu Miqat zamani dan makani. Adapun Miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini terbagi menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:

a. Syawal, Dzul Qa'dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair dan ini yang dipilih madzhab hanbali.
b. Syawal, Dzul Qa'dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi'i.
c. Syawal, Dzul Qa'dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah
Dan yang rajih -والله أعلم- bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk bulan haji dengan dalil firman Allah Azza wa Jalla.

الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji". [Al-Baqarah: 197]

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَأَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الحَجِّ اْلأَكْبَرِ أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ

"Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin". [At-Taubah: 3]

Dalam surat Al-Baqarah ini Allah berfirman (أشهر) dan bukan dua bulan sepuluh hari atau dua bulan sembilan hari. padahal (أشهر) jamak dari (شهر) dan hal itu menunjukkan paling sedikit tiga bulan dan pada asalnya kata (شهر) masuk padanya satu bulan penuh dan tidak dirubah asal ini kecuali dengan dalil syar'i [6] maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan tidak boleh mengakhirkan suatu amalan haji setelah bulan Dzulhijjah.

Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya tersebut tidak dianggap sah untuk haji akan tetapi berubah menjadi ihram untuk Umrah.

Adapun Miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan negeri dan kota yang akan menjadi tempat awal para haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasullulah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.

وَقَّتَ رَسُوْلُ اللهِ لأَهْلِ اْلمَدِيْنَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ وَلأِهْلِ النَّجْدِ القَرْنَ وَلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ قَالََ هُنَّ لَهُنَّ لِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ مِمَّنْ كَانَ يُرِيْدُ اْلحَجَّ وَ الْعُمْرَةَ فَمَنْ كَانَ دُوْنَهُنَّ مَهَلُّهُ مِنْ أَهْلِهِ وَكَذَلِكَ أَهْلُ مَكَةََََ يُهِلُّوْنَ مِنْهَا

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menentukan Miqat bagi ahli Madinah Dzul Hulaifah [7] dan bagi ahli Syam Al-Juhfah dan bagi ahli Najd Qarn dan bagi ahli Yamam Yalamlam lalu bersabda: "mereka (Miqat-Miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum Miqat-Miqat tersebut, maka tempat mereka dari ahlinya, dan demikian pula dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah." [HR Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa'i 5/94,95,96]

Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas menerangkan bahwa:

a. Miqat ahli Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu sebuah tempat di wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 52/3 mil kurang seratus hasta [8] yang setara kurang lebih 11 Km. dari madinah. Dan dari Makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang lebih 430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km.

b. Miqat ahli Syam adalah al-Juhfah yaitu suatu tempat yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh (tempat yang sejajar dengannya) dengan Makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan berkata sebagian ulama sekitar 180 Km. Akan tetapi karena banyaknya wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari Syam mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga sebagai Miqat ahli Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui jalur laut atau darat dan berlabuh di Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melalui Yalamlam maka Miqat mereka adalah Miqat ahli Yaman yaitu Yalamlam. Yalamlam yang dikenal sekarang dengan daerah As Sa'diyah adalah bukit yang memisahkan Tuhamah dengan As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 Km dari Makkah, dan berkata sebagian ulama sekitar 92 Km.

c. Miqat ahli Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa'alib, yaitu sebuah bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari Makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. dan berkata sebagian ulama sekitar 75 Km [9] demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya. [10]

d. Miqat ahli Iraq yaitu Dzatu 'Irq yaitu tempat yang sejajar denagn Qarnul Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. Dan Miqat ini juga untuk ahli Iraq. Akan tetapi terjadi perselisihan dari para ulama tetang penetapan Dzatul 'Irq sebagai Miqat, apakah didasarkan dari perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau dari perintah Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu?

1. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits Abu Dawud dan An-Nasa'i dari 'Aisyah beliau berkata.

أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ وَقَّتَ لأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ الْعِرْقِ

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menentukan Miqat ahli 'Iraq adalah Dzatul 'irq" [HR Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa'i 2/6] [11]

2. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu yang menetapkannya. Sebagaimana dalam shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata Umar Radhiyallahu 'anhu.

فَانْظُرُوْا حَذْوَهَا مِنَْ طَرِيْقِكُمْ

"Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Manazil) dari jalan kalian." Lalu Umar menetapkan Dzatul 'Irq" [HR Bukhary 1/388] dan ini adalah pendapat Imam Syafi'i.

Yang rajih - والله أعلم - bahwa Miqat tersebut telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan penetapan Umar tersebut bersesuian dengan apa yang telah ditetapkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Qudamah.

Miqat-Miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan orang-orang yang lewat melaluinya dari selain ahlinya, sehingga setiap orang yang melewati Miqat yang bukan Miqatnya maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya : orang Indonesia yang melewati Madinah dan tinggal disana satu atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji maka wajib baginya untuk berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau ahli Yaman yang melewati Madinah tidak perlu pergi ke Qarnul Manazil atau Yalamlam akan tetapi diberi kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla untuk berihram dari Dzul Hulaifah, kecuali ahli Syam yang melewati Madinah dan Al-Juhfah, maka ada perselisihan para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya sampai ke Al-Juhfah.

1. pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan ihram mereka sampai Al-Juhfah, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka berdalil bahwa seorang yang melewati dua Miqat wajib baginya berihram dari salah satu dari keduanya. Satu dari keduanya adalah cabang, yaitu Dzul Hulaifah, dan yang kedua adalah asal, yaitu Al-Juhfah ,maka boleh mendahulukan asal dari cabangnya. dan pendapat ini yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukilkan Al-Ba'ly dalam Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman 117.

2. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib berihram dari Dzul Hulaifah karena zhahir hadits dari Ibnu Abbas diatas, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah pendapat yang lebih hati-hati kerena keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَلِمَنْ أَتَىعَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ

"Dan bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya" [Hadits Ibnu Abbas].

Adapun mereka yang berada di antara Miqat dengan Makkah maka wajib berihram dari tempat dia tetapkan niatnya untuk berhaji atau berumrah. Maka hal ini menguatkan penduduk yang berada di antara Dzul Hulaifah dan Al-Juhfah seperti ahli ar-Rauha', ahli Badr dan Abyar al-Maasy untuk berihram dari tempat mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk madinah kemudian bepergian ke Jeddah dan tinggal di sana satu atau dua hari kemudian ingin berumrah atau berhaji maka Miqatnya adalah Jeddah kecuali kalau asal tujuan bepergiannya adalah umrah atau haji maka hajatnya tersebut ikut asal tujuannya sehingga dia ihram dari Miqatnya yaitu Dzul Hulaifah. contohnya: Seorang mengatakan saya ingin pergi umrah dan saya akan turun dulu di Jeddah sebelum umrah untuk membeli barang-barang yang saya butuhkan, maka disini kepergiannya ke Jeddah adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan tetapi kalau asal tujuannya adalah pergi ke Jeddah dikarenakan ada kebutuhan yang sangat penting kemudian berkata: "Kalau dikendaki Alah dan saya mempunyai kesempatan, saya akan berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal tujuan yaitu ke Jeddah. Maka dia beihram di Jeddah dan jika dia memilliki dua tujuan yang sama kuat maka diambil tujuan melaksanakan umrah sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah, mereka berihram dari Makkah untuk berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka mereka harus keluar tanah haram Makkah yang paling dekat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas yang terdahulu dan hadits Aisyah ketika beliau berumrah setelah haji maka Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar untuk mengantarnya ke Tan'im, sebagaimana dalam hadits Abdurrahman, beliau berkata:

أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ n أَنْ أُرْدِفَ عَائِشَةَ وَأَعْمَرُهَا مِنَّ التَّنْعِمِ (متفق عليه)

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkanku untuk menemani Aisyah dan (Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan'im " [Mutafaq 'alaih]

Demikianlah Miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang berihram dari rumah-rumah mereka jika akan berhaji dan keluar ke tempat yang halal (di luar tanah haram Makkah) yang terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi mereka yang tidak melewati Miqat-Miqat tersebut, maka wajib bagi mereka untuk berihrom dari tempat yang sejajar dengan Miqat yang terdekat dari jalan yang dilewati tersebut.

Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa manusia itu tidak lepas dari 3 keadaan:

1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Haramy atau al-Makky maka dia berihram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram dan berihram darinya.

2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari tempatnya untuk berhaji dan berumrah.

3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:
a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari Miqat
b. Tidak melewati Miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang sejajar atau memilih Miqat yang terdekat dengannya.

Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:

1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka tidak boleh dia masuk Makkah kecuali dalam keadaan berihram.
2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua:

a. Orang yang melewati Miqat dan ingin masuk Makkah wajib berihram baik ingin haji dan umrah ataupun yang lainnya, ini merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.

Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.

إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ إِلاَّ مَنْ كَانَ مُحْرِمًا

"Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram Makkah) kecuali dalam keadaan berihram".

Mereka berkata: "Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati Miqat dengan niat masuk Makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah telah mengharamkan Makkah dan keharaman tersebut mengharuskan masuknya dengan cara yang khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya."

b. Boleh bagi yang melewati Miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan ini adalah madzhab Syafi'i.

Mereka berdalil sebagai berikut:
1.Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لِمَنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ (متفق عليه)

"Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah" [Mutafaqun 'alaih]

Disini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membatasi perintah berihram kepada orang yang berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak berihram jika ingin masuk Makkah.

2. Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Makkah pada fathul Makkah dalam keadaan memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar).

Dan yang rajih - والله أعلم - adalah pendapat kedua yang membolehkan karena asalnya adalah tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy.

Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari Miqat-Miqat yang telah ditentukan oleh syar'i, lalu bagi mereka yang melewat Miqat dan dia berniat haji atau umrah dan belum berihram maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:

1. Melewati Miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui Miqat beberapa jauh, kemudian kembali ke Miqat untuk berihram darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-apa, karena dia telah berihram dari tempat yang Allah perintahkan untuk berhram.

2. Melewati Miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke Miqat, masalah ini ada dua gambaran:
a. Dia memiliki udzur syar'i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut kehilangan haji kalau kembali dan lain sebagainya.
b. Tidak memiliki udzur syar'i.
maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia telah kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari Miqat.

3. Melewati Miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui Miqat, lalu kembali dan berihram lagi untuk kedua kali dari Miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat ulama:
a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan hanabillah.
b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab Syafi'iyah
c. Kalau kembali ke Miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam (sembelihan) dan kalau kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.
d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari Miqat, ini pendapat Sa'id bin Jubair.
e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza'i, dan ats-Tsaury.

Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh 'Umdah hal. 23.

5. JENIS-JENIS MANASIK HAJI.
Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:
1. Ifrod
Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihrom untuk haji tanpa dibarengi dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji saja, kemudian pergi ke Makkah dan berthowaf qudum, apabila telah berthowaf maka dia tetap berpakaian ihrom dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 dzul hijah dan tidak dibebani hadyu (sembelihan),serta tidak ber sa'i kecuali sekali dan umrohnya dapat dilakukan pada perjalanan yang lainnya.

Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:
a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap diMakkah sampai haji.
b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji,kemudian pulang ketempat tinggalnya dan setelah itu kembali ke Mekkah untuk menunakann ibadah haji.

2. Tamatu'
Tamatu' adalah berihrom untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihrom untuk haji pada tahun itu juga. Dalam hal ini diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh karena i tu setelah thawaf dan sya'i dia mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul hijjah berihram untuk haji.

3. Qiran
Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu (sembelhan) sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan qiran ini memiliki tiga bentuk:
a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan "لَبَيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا " dengan dalil bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam didatangi Jibril Alaihissallam dan berkata:

صَلِّ فِيْ هَذَا اْلوَادِى الْمُبَارَكِ وَ قُلْ عُمَْرَةً فِى حَجَّةٍ

"Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan "'Umrah fi hajjatin". [HR Bukhari]

b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum memulai thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan 'Aisyah ketika beliau berihram untuk umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan beliau untuk berihlal (ihram) untuk haji dan perintah tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits tersebut:

سَعْيُكِ طَوَافُكِ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ

"Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu" [HR Muslim no. 2925/132]

c. Berihram untuk haji kemudian memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para ulama ada dua pendapat:

1.Boleh dengan dalil hadits 'Aisyah.

أَهَلَّ رَسُوْلُ الله بِالْحَجِّ

"Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji".

dan hadits Ibnu Umar.

صَلِّ فِيْ هَذَا اْلوَادِى الْمُبَارَكِ وَ قُلْ عُمَْرَةً فِى حَجَّةٍ

"Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan "'Umrah fi hajjatin" [HR Bukhari]

دَخَلَ اْلعُمْرَةُ فِىْ الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat".

Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.

2. Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanbali. Berkata Syaikhul Islam : Dan seandainya dia berihram dengan haji kemudian memasukkan umrah ke dalamnya, maka tidak boleh menurut pendapat yang rojih dan sebaliknya dengan kesepakatan para ulama. [12]

Kemudian berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita simpulkan menjadi tiga pendapat:

1. Tamattu' lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, 'Aisyah, Alhasan, 'Atha', Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad bin Hanbal, dan madzhab ahli zhahir serta merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab hanbali dan satu daru dua pendapat Imam Syafi'i.

2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:

a. Hadits Anas, beliau berkata:

سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله أَهَلَّ بِهَا جَمِيْعًا: لَبَيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا، لَبَيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا (متفق عليه)

"Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: labbaik Umrotan wa hajjan" [Mutafaqun Alaih]

b. Hadits Adh-Dhaby bin Ma'bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang umar lalu dia menanyakannya,maka beliau berkata: "Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu. [HR Abu Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih]

c. Pebuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya.

سَمِعْتُ النَّبِيَّ يُلَبِّي بِهَا جَمِيْعًا فَلَمْ أَكُنْ أَدَعَ قَوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِقَوْلِكَ (رواه البيهقي)

"Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka aku tidak akan meninggalkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu" [HR Baihaqi]

d. Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.

3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari Madzhab Syafi'i serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan 'Aisyah; dengan hujjah:

a. Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan haji ifrad
b. Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak membutuhkan lebih utama dari yang membutuhkan.
c. Amalan Khulafaur Rasyidin

Sedangkan yang rajih - والله أعلم adalah pendapat pertama dengan dalil:
a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan menginap disana , lalu setelah shalat subuh beliau berkata:

مَنْ شَاءَ أَنْ يَجَْلَهَاعُمْرَةً فَلْيَجْعَلْهَا عُمْرَةً

"Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah" [Mutafaqun alaihi]

b. Hadits Aisyah

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ الله n وَلاَ أُرِيْدُ إِلاَّ أَنَّهُ الْحَجَّ، فَلَما قَدِمْنَا مَكَةَ تَطَوَّفْنَا بِالْبَيْتِ فَأَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ مَنْ لَمْ يَكُنْ سَاقَ اْلهَدْيِ أَنْ يُحِلَّ، قَالَتْ فَحَلَّ مَنْ لَمْ يَكُنْ سَاقَ الْهَدْيِ وَ نِسَاؤُهُ لَمْ يَسُقْنَ الْهَدْيَ فَأَحْلَلْنَا

"Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami ingin kecuali untuk haji, ketika kami tiba di Makkah kami thawaf di ka'bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang tidak membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul, berkata Aisyah: maka bertahalullah orang yang tidak membawa hadyu dan istri-istri belia tidak membawa hadyu maka mereka bertahalul".[Mutafaqun alaih]

c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya ketika selesai thawaf di ka'bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.

Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu' menujukkan bahwa tamatu' lebih utama. Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.

d. Sabda Raslullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِيْ مَا اسْتَدَْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدَْيَ وَ لَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً

"Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka saya tidak akan membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah". [HR Muslim Ahmad no. 6/175]

e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabatnya yang masih bimbang dengan anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah sebagaimana hadits Aisyah.

فَدَخَلَ عَلِيَّ وَ هُوَ غَضْبَانٌ فَقُْلْتُ: مَنْ أَغْضَبَكَ يَا رَسُوْلَ الله أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ؟ قَالَ أَوَمَا شَعَرْتِ أَنِّيْ أَمَرْتُ النَّاسَ بِأَمْرٍ فَإِذَا هُمْ يَتَرَدَّدُوْنَ

"Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata: "Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah semoga Allah memasukkannya ke dalam neraka?" Beliau menjawab: "Apakah kamu tidak tahu, aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu dalam melaksanakannya)". [HR Muslim]

Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang lainnya - والله أعلم -

Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) maka qiran lebih utama, dan apabila dia telah berumrah sebelum bulan-bullan haji maka ifrad lebih utama dan selainnya tamatu' lebih utama. Beliau berkata: Dan yang rajih dalam hal ini adalah hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian dengan satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka dalam keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia mengerjakan apa yang telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan haji dalam satu kali perjalanan dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu maka, bertahalul dari ihram untuk umrah lebih utama.[13].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


BEBERAPA KESALAHAN SAAT MELAKSANAKAN IBADAH HAJI

Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro


Haji merupakan ibadah yang sangat mulia, yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, dalam melakukan haji, harus dikerjakan dengan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

"Sungguh telah ada pada Rasulullah suri tauladan yang terbaik bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi orang yang banyak berdzikir kepada Allah". [Al Ahzab : 21].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada waktu haji wada':

خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

"Ambillah manasik haji kalian, sesunguhnya aku tidak mengetahui barangkali aku tidak akan mengerjakan haji lagi setelah ini". [HR Ahmad].

Betapa banyak kaum Muslimin yang pergi menunaikan ibadah haji, namun mereka tidak memahami hukum-hukumnya, dan tidak mengetahui hal-hal yang bisa membatalkan ibadahnya, atau yang bisa mengurangi kesempurnaan hajinya. Hal ini terjadi, bisa jadi karena haji merupakan ibadah yang pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama, serta hukum-hukumnya lebih banyak jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Sehingga bisa menyebabkan seseorang yang melaksanakan haji melakukan penyimpangan dan kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Ilmu manasik haji adalah yang paling rumit di dalam ibadah".

Sebagian jama'ah haji, mereka mengerjakan hal-hal yang tidak ada asalnya dari Al Kitab dan As Sunnah. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Kedua, mereka taklid buta kepada pendapat seseorang tanpa adanya alasan yang dibenarkan.

Dalam tulisan ini kami akan menjelaskan beberapa kesalahan yang sering terjadi di kalangan jama'ah haji pada umumnya, supaya kita mampu menghindarinya dan bisa memperingatkan saudara-saudara kita agar tidak terjatuh dalam kesalahan ini.

1. KESALAHAN KETIKA IHRAM.
a. Sebagian jama'ah haji, ketika melewati miqat atau sejajar dengannya di atas pesawat, mereka menunda ihram sehingga turun di bandara Jeddah.
Dalam Al Bukhari dan Muslim, dan selainnya dari Ibnu Abbas, dia berkata:

وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ هُنَّ لَهُنَّ وَلِكُلِّ آتٍ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِمْ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ

"Nabi telah menentukan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, dan untuk penduduk Syam di Al Juhfah, dan untuk penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tempat-tempat itu untuk mereka dan untuk orang yang melewatinya, meskipun bukan dari mereka (penduduk-penduduk kota yang telah disebutkan), bagi orang yang ingin menunaikan haji dan umrah".

Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ

"Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan miqat untuk penduduk Irak di Dzatu 'Irq". [HR Abu Dawud dan An Nasa-i].

Tempat-tempat tersebut adalah miqat-miqat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai batasan syar'i. Maka tidaklah halal bagi seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah untuk merubahnya atau untuk melewatinya tanpa ihram.

Dalam Shahih Al Bukhari, dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Ketika dibuka dua kota ini, yakni Bashrah dan Kufah, mereka datang kepada Umar, lalu berkata: “Wahai, Amirul Mukminin. Sesungguhnya Nabi telah menetapkan miqat untuk penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan tempat itu menyimpang dari kita. Apabila kita hendak pergi ke Qarnul Manazil, maka akan memberatkan kita”. Umar berkata,”Lihatlah kepada tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Manazil, Pen) dari jalan kalian.”

Dalam atsar ini Umar bin Khaththab telah menentukan miqat bagi orang yang tidak lewat di tempat tersebut, namun mereka sejajar dengannya. Tidak ada bedanya orang yang melewati miqat lewat udara ataupun lewat darat.

b. Keyakinan sebagian jama'ah haji atau umrah, bahwa yang dimaksud ihram adalah sekedar mengenakan pakaian ihramnya setelah mengganti dari pakaian biasa; padahal, ihram adalah niat untuk masuk ke dalam ibadah umrah atau haji.

Yang benar, bahwa seseorang ketika mengenakan pakaian ihram, hal ini adalah persiapan untuk ihram. Karena ihram yang sebenarnya adalah niat untuk masuk ke dalam manasik. Hal inilah yang belum diketahui oleh kebanyakan orang, mereka mengira, hanya dengan mengenakan pakaian ihram, telah mulai menjauhi larangan ihram, padahal larangan-larangan ihram dijauhi ketika seseorang mulai niat masuk ke dalam manasik.

c. Ketika seorang wanita dalam keadaan haidh, dia tidak melakukan ihram karena adanya keyakinan bahwa ihram harus dalam keadaan suci, kemudian dia melewati miqat tersebut tanpa ihram.

Hal ini merupakan kesalahan yang nyata, karena haidh tidak menghalanginya untuk ihram. Seorang wanita yang haidh, ia tetap melakukan ihram dan mengerjakan semua yang harus dikerjakan oleh jama'ah haji, kecuali thawaf. Dia menunda thawaf sehingga suci dari haidhnya.

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata: “Nabi telah masuk ke tempatku, (dan) aku sedang menangis”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab: “Demi Allah, aku berkeinginan seandainya aku tidak haji pada tahun ini”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali engkau sedang haidh?” Aku menjawab: “Benar”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

"Itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk wanita keturunan Adam. Kerjakanlah semua yang dikerjakan oleh orang yang haji, kecuali engkau jangan thawaf di Ka'bah, sehingga engkau suci". [HR Al Bukhari].

d. Keyakinan sebagian jama'ah haji bahwa pakaian ihram bagi kaum wanita harus memiliki warna tertentu, seperti warna hijau atau warna lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Adapun sebagian orang awam yang mengkhususkan pakaian ihram bagi wanita dengan warna hijau atau hitam, dan tidak boleh dengan warna yang lain, maka hal ini tidak ada asalnya”.[1]

e. Keyakinan bahwa pakaian ihram yang dipakai oleh jama'ah haji tidak boleh diganti meskipun kotor.
Hal ini merupakan suatu kesalahan dari jama'ah haji. Sebenarnya boleh untuk mengganti pakaian ihram mereka dengan yang semisalnya, dan boleh juga untuk mengganti sandal. Tidak menjauhi kecuali larangan-larangan ketika ihram, sedangkan hal ini bukanlah termasuk larangan.

Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz: "Tidak mengapa untuk mencuci pakaian ihram dan tidak mengapa untuk menggantinya, atau menggunakan pakaian yang baru, atau yang sudah dicuci”.[2]

f. Talbiyah secara berjama'ah dengan satu suara.
Ibnu Al Haaj berkata : "Yakni, hendaknya mereka tidak mengerjakannya dengan satu suara, karena hal ini termasuk bid'ah, bahkan setiap orang bertalbiyah sendiri-sendiri tanpa bertalbiyah dengan suara orang lain, dan hendaknya terdapat ketenangan dan keheningan yang mengiringi talbiyah ini…".[3]

g. Ketika ihram, sebagian jama'ah membuka pundak-pundak mereka seperti dalam keadaan idh-thiba' (Membuka pundak sebelah kanan dan menutup sebelah kiri dengan kain ihram).
Idh-thiba' tidak disyari'atkan kecuali ketika thawaf qudum atau thawaf umrah. Selain itu, tidak disyari'atkan dan pundak tetap dalam keadaan tertutup dengan pakaian ihramnya.

Berkata Ibnu Abidin dalam Hasyiyah-nya: "Yang sunnah adalah melakukan idh-thiba' sebelum thawaf hingga selesai, tidak ada yang lain daripada itu".[4]

Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah : "Apabila telah selesai dari thawaf, maka dia mengembalikan rida'nya (pakaian atas dari ihramnya) seperti keadaan semula, karena idh-thiba' dikerjakan ketika thawaf saja".[5]

h. Keyakinan bahwa shalat dua raka'at setelah ihram hukumnya wajib.
Tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua raka’at setelah ihram. Bahwasanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ihram setelah melakukan shalat fardhu, maka dianjurkan ihram setelah shalat fardhu.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Disunnahkan untuk ihram setelah selesai shalat, baik fardhu atau sunnah, jika dikerjakan pada waktu sunnah. (Demikian) menurut satu di antara dua pendapat. Dan menurut pendapat yang lain, jika dia shalat fardhu, maka dia ihram sesudahnya, dan jika bukan waktu shalat fardhu, maka bagi ihram tidak ada shalat yang mengkhususkannya. Dan ini adalah pendapat yang paling kuat".[6]

2. KESALAHAN KETIKA THAWAF.
a. Memulai thawaf sebelum Hajar Aswad.
Hal ini termasuk perbuatan ghuluw dalam agama. Sebagian orang mempunyai keyakinan agar lebih berhati-hati. Akan tetapi, hal ini tidak bisa diterima, karena sikap hati-hati yang benar adalah apabila kita mengikuti syari'at dan tidak mendahului Allah dan RasulNya.

b. Sebagian jama'ah haji berpedoman dengan do'a-do'a khusus, terkadang mereka dipimpin oleh seseorang untuk mentalkin, kemudian mereka mengulang-ulanginya secara bersama-sama.
Hal ini tidak dibenarkan, karena dua hal. Pertama. Karena di dalam thawaf tidak ada do'a khusus. Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi n bahwa di dalam thawaf terdapat do'a khusus. Kedua. Bahwa do'a secara berjama'ah adalah perbuatan bid'ah. Perbuatan ini mengganggu bagi orang lain yang juga sedang thawaf. Yang disyari'atkan ialah, setiap orang berdo'a sendiri-sendiri tanpa mengeraskan suaranya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Didalam hal ini –yakni thawaf- tidak ada dzikir yang khusus dari Nabi, baik perintah atau ucapan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengajarkan hal itu. Bahkan setiap orang berdo'a dengan do'a-do'a yang masyru' (disyariatkan). Adapun yang disebut oleh kebanyakan orang bahwa terdapat do'a tertentu di bawah Mizab dan tempat lainnya, maka hal itu sama sekali tidak ada asalnya”.[7]

c. Sebagian jama'ah haji mencium Rukun Yamani.
Hal ini merupakan kesalahan, karena Rukun Yamani hanya disentuh dengan tangan saja, tidak dicium. Yang dicium hanyalah Hajar Aswad, apabila kita mampu untuk menciumnya. Jika tidak mampu, maka diusap. Jika tidak bisa (diusap) juga, maka kita cukup dengan memberi isyarat dari jarak jauh.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Adapun Rukun Yamani, menurut pendapat yang shahih, dia tidak boleh dicium". [8]

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : "Telah shahih dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyentuh Rukun Yamani. Dan tidak ada yang sah dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menciumnya, atau mencium tangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menyantuhnya".[9]

d. Sebagian jama'ah haji mengerjakan thawaf dari dalam Hijir Isma'il.
Dalam masalah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam Hijir Ismail ketika thawaf, karena sebagian besar hijir termasuk dalam area Ka'bah, padahal Allah memerintahkan untuk thawaf mengelilingi Ka'bah, bukan thawaf di dalam Ka'bah".[10]

e. Keyakinan sebagian orang yang thawaf, bahwa shalat dua raka'at setelah thawaf harus dikerjakan di dekat Maqam Ibrahim.
Yang benar, shalat dua raka'at setelah thawaf boleh dikerjakan dimana saja dari Masjidil Haram, dan tidak wajib untuk dikerjakan di dekat Maqam Ibrahim, sehingga tidak berdesak-desakan dan mengganggu jama'ah lainnya.[11]

f. Ketika thawaf, sebagian jama'ah haji mengusap-usap setiap yang mereka jumpai di dekat Ka'bah, seperti Maqam Ibrahim, dinding Hijir Isma'il dan kain Ka'bah, dan yang lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Adapun seluruh sudut Ka'bah dan Maqam Ibrahim, dan seluruh masjid dan dindingnya, dan kuburnya para nabi dan orang-orang yang shalih, seperti kamar Nabi kita, dan tempatnya Nabi Ibrahim dan tempat Nabi kita yang dahulu mereka gunakan untuk shalat, dan selainnya dari kuburnya para nabi serta orang yang shalih, atau batu yang di Baitul Maqdis, maka menurut kesepakatan ulama, semuanya itu tidak boleh untuk diusap dan tidak boleh juga untuk dicium".[12]

g. Sebagian jama'ah wanita berdesak-desakan ketika hendak mencium Hajar Aswad.
Padahal Allah telah berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

"Haji adalah pada bulan-bulan yang telah ditetapkan, barangsiapa yang mengerjakan haji, maka janganlah berbuat rafats dan berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam mengerjakan haji". [Al Baqarah : 197].

Berdesak-desakan ketika haji akan menghilangkan rasa khusyu' dan akan melupakan dalam mengingat Allah. Padahal, dua hal ini termasuk maksud yang utama ketika kita thawaf.[13]

h. Sebagian jama’ah haji tetap idh-thiba' setelah selesai thawaf dan shalat dua raka'at dalam keadaan idh-thiba'.
Dalam hal ini terdapat dua kesalahan. Pertama. Yang sunnah dalam idh-thiba', yaitu ketika thawaf qudum. Kedua. Mereka terjatuh ke dalam larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang shalat sedangkan pundak mereka terbuka. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ

"Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu baju yang tidak ada di atas kedua pundaknya sesuatu dari kain". [HR Al Bukhari].

i. Mengeraskan niat ketika memulai thawaf.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Nabi tidak mengatakan ‘aku niatkan thawafku tujuh putaran di Ka'bah begini dan begini’ -hingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata- bahkan hal ini termasuk bid'ah yang munkar".[14]

j. Raml (lari kecil) pada tujuh putaran seluruhnya.
Yang sunnah ialah, melakukan raml pada tiga putaran yang pertama. Adapun pada empat putaran yang terakhir berjalan seperti biasanya.

k. Keyakinan mereka bahwa Hajar Aswad bisa memberi manfaat.
Sebagian di antara jamaah haji, setelah menyentuh Hajar Aswad, mereka mengusapkan tangannya ke seluruh tubuhnya atau mengusapkan kepada anak-anak kecil yang bersama mereka. Hal ini merupakan kejahilan dan kesesatan, karena manfaat dan madharat datangnya dari Allah. Dahulu Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata:

وَإِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

"Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu, tidak memberi madharat dan tidak bermanfaat. Jika seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu".

l. Setelah selesai dari shalat dua raka'at, mereka berdiri dan berdo'a secara berjama'ah dan dikomando oleh seseorang.
Hal ini bisa mengganggu orang lain yang sedang shalat di dekat maqam. Mereka melampaui batas ketika berdo'a. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

"Berdo'alah kepada Rabb kalian dengan khusyu' dan perlahan, sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas". [Al A'raf : 55].

3. KESALAHAN DALAM SA'I.
a. Melakukan sa'i antara Shafa dan Marwa sebanyak empatbelas kali, dimulai dari Shafa dan berhenti di Shafa kembali.

Padahal yang sunnah ialah tujuh kali, bermula dari Shafa dan berakhir di Marwa.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Hal ini adalah salah terhadap sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak pernah dinukil oleh seorangpun dari beliau, dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun dari para imam yang telah dikenal pendapat mereka, meskipun hal ini dikatakan oleh sebagian orang belakangan yang menyandarkan kepada imam. Di antara hal yang menjelaskan kesalahan pendapat ini (sa'i empatbelas kali), bahwasanya beliau berbeda dalam hal ini. Beliau mengakhiri sa'i di Marwa. Jika seandainya berangkat dan kembali dihitung sekali, pasti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan mengakhiri sa'i di Marwa".[15]

b. Shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i, seperti ketika selesai dari thawaf.
Shalat dua raka'at setelah selesai thawaf telah ditetapkan oleh sunnah. Adapun shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i adalah bid'ah yang munkar dan menyelisihi petunjuk Nabi. Dalam masalah ini tidak bisa diqiyaskan, karena bertentangan dengan nash yang shahih dalam sa'i.

c. Terus melakukan thawaf dan sa'i meskipun shalat di Masjidil Haram telah dikumandangkan iqamat.
Dalam masalah ini, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: "Hendaknya (orang yang sedang sa'i atau thawaf) shalat bersama orang lain, kemudian baru menyempurnakan thawaf dan sa'inya yang telah dia kerjakan sebelum shalat".[16]

d. Sebagian jama'ah haji, mereka sa'i dalam keadaan idh-thiba'.
Seharusnya dia tidak idh-thiba', karena tidak ada dalilnya dalam hal ini. Imam Ahmad mengatakan: "Kami tidak mendengar sesuatu (tentang sunnahnya ketika sa'i) sedikitpun juga". [17]

e. Sebagian jamaah haji berlari-lari di seluruh putaran antara Shafa dan Marwa.
Hal ini menyelisihi sunnah, karena berlari hanya di antara dua tanda hijau saja. Yang lainnya adalah jalan seperti biasa.

f. Sebagian wanita berlari di antara dua tanda hijau seperti yang dilakukan oleh kaum lelaki.
Padahal wanita tidak dianjurkan untuk lari, namun berjalan biasa di antara dua tanda hijau. Ibnu Umar berkata: "Bagi kaum wanita tidak disunnahkan raml (berlari kecil) di sekitar Ka'bah, dan (tidak) juga antara Shafa dan Marwa".
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: "Adapun kaum wanita, (ia) tidak disyari'atkan untuk berjalan cepat di antara dua tanda hijau, karena wanita adalah aurat. Akan tetapi, disyari'atkan bagi mereka untuk berjalan di seluruh putaran".[18]

g. Sebagian orang yang sa'i, setiap kali menghadap Shafa dan Marwa selalu membaca:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللهِ .

Padahal yang sunnah ialah membaca ayat ini ketika pertama kali menghadap kepada Shafa saja.

4. KESALAHAN KETIKA WUKUF DI ARAFAH.
a. Sebagian jama'ah haji berdiam di luar batasan Arafah dan tinggal di tempat itu hingga terbenam matahari, kemudian mereka langsung menuju Muzdalifah.
Hal ini merupakan kesalahan besar. Karena wukuf di Arafah hukumnya rukun, dan tidak akan sah hajinya tanpa rukun ini, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

الْحَجُّ عَرَفَةُ مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ

"Haji adalah Arafah, barangsiapa yang datang pada malam harinya sebelum terbit fajar (hari kesepuluh), maka dia telah mendapatkan wukuf". [HR At Tirmidzi]

b. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari.
Dalam masalah ini Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah mengatakan, hal ini adalah haram, menyelisihi sunnah Nabi. Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wukuf hingga matahari terbenam dan hilang cahayanya. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari merupakan hajinya orang jahiliyah.

c. Mereka menghadap ke arah bukit Arafah, sedangkan kiblat berada di belakang atau di arah kanan dan kirinya. Sebagian mereka mempunyai keyakinan, bahwa ketika wukuf harus memandang bukit Arafah atau pergi dan naik kesana.

Anggapan seperti ini menyelisihi sunnah, karena sunnah dalam hal ini ialah menghadap ke arah kiblat sebagaimana dikerjakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: "Menghadap ke arah bukit Arafah atau tempat lain tidaklah terdapat keutamaan atau anjuran. Bahkan, jika dia mengharuskan hal ini dan meyakini bahwa perbuatan ini afdhal, maka mengerjakannya merupakan bid'ah. Dan naik ke atas bukit dengan maksud beribadah disana merupakan bid'ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".[20]

d. Bercepat-cepat dan bersegera ketika meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah.
Sebagian orang sangat tergesa-gesa dengan kendaraan mereka dan dengan suara klakson yang mengganggu orang lain, sehingga terjadi hal-hal yang tidak terpuji, seperti saling mencela dan saling mendo'akan kejelekan di antara mereka.

Berkata Ibnu Al Haaj: "Apabila seseorang meninggalkan Arafah setelah matahari terbenam, maka hendaknya dia berjalan pelan-pelan, dan wajib baginya untuk tenang, perlahan dan khusyu". [21]

5. KESALAHAN KETIKA MELEMPAR JUMRAH
a. Keyakinan, bahwa mereka harus mengambil kerikil dari Muzdalifah.
Anggapan seperti ini tidak ada asalnya sama sekali. Dahulu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ialah memerintahkan Ibnu Abbas untuk mengambil kerikil, sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam naik di atas kendaraan. Yang nampak dari kisah ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di dekat jumrah.

Berkata Syaikh Ibnu Baz: "Apa yang dikerjakan oleh sebagian orang untuk mengambil kerikil ketika sampai di Muzdalifah sebelum mengerjakan shalat, kebanyakan mereka berkeyakinan bahwa hal itu masyru', maka hal ini merupakan kesalahan yang tidak ada asalnya. Nabi n tidak memerintahkan untuk diambilkan kerikil, kecuali ketika beliau n meninggalkan Masy'aril Haram menuju Mina. Kerikil yang diambil dari mana saja sah baginya, tidak harus dari Muzdalifah, akan tetapi boleh diambil di Mina". [22].

b. Keyakinan mereka bahwa ketika melempar jumrah, seakan-akan sedang melempar setan.
Maka dari itu, ketika melempar jumrah mereka berteriak dan memaki, yang mereka yakini sebagai setan. Semua hal ini tidak ada asalnya di dalam syari'at kita yang mulia.

c. Melempar dengan sandal atau sepatu dan batu yang besar.
Hal ini bertentangan dengan Sunnah Nabi, karena beliau n melempar dengan batu kerikil, dan beliau memerintahkan umatnya untuk melempar dengan semisalnya. Dalam hal ini, beliau memperingatkan dari ghuluw.

d. Mereka tidak berhenti untuk berdo'a setelah melempar jumrah yang pertama dan kedua pada hari tasyrik.
Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu berdiri setelah melempar jumrah ula dan wustha, dengan menghadap ke arah kiblat mengangkat kedua tangannya dan berdo'a dengan do'a yang panjang.

6. KESALAHAN KETIKA MENCUKUR RAMBUT.
Sebagian jama'ah haji mencukur sebagian dari rambutnya dan menyisakan sebagian lainnya.
Mengomentari hal ini Syaikh Ibnu Baz berkata: "Menurut pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama, tidak sah jika memendekkan sebagian rambut atau hanya mencukur sebagian rambutnya. Bahkan yang wajib adalah mencukur seluruh rambutnya atau memendekkan seluruhnya. Dan yang afdhal ialah memulai dengan bagian kanan terlebih dahulu sebelum yang kiri".[23]

7. KESALAHAN KETIKA ZAIARAH KE MASJID NABAWI.
a. Keyakinan bahwa ziarah ke Masjid Nabawi ada hubungannya dengan haji dan termasuk penyempurna bagi hajinya.

Anggapan seperti ini merupakan kesalahan yang nyata, karena ziarah ke Masjid Nabawi tidak ditetapkan dengan waktu tertentu, dan tidak ada hubungannya dengan haji. Barangsiapa yang pergi haji dan tidak ziarah ke Masjid Nabawi, hajinya sah dan sempurna.

b. Sebagian orang yang ziarah ke kubur Nabi, mereka mengeraskan suara di dekat kuburan. Mereka berkeyakinan, bahwa jika berdo'a di dekat kubur Nabi akan memiliki kekhususan tertentu.

Hal ini merupakan kesalahan yang besar, dan tidak disyari'atkan untuk berdo'a di dekat kuburan, meskipun orang yang berdo'a tidak menyeru kecuali kepada Allah. Hal ini meruapakan perbuatan bid'ah dan menjadi wasilah menuju kesyirikan. Dahulu, kaum salaf tidak pernah berdo'a di dekat kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mereka mengucapkan salam kepada beliau.

Wallahu a'lam.

Maraji':
1. Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Jama' Abdur Rahman bin Qasim.
2. At Tahqiq wa Al Idhah, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baaz.
3. Hajjatu an Nabiyyi Kama Rawaaha anhu Jabir, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Al Maktab Al Islami, Tahun 1405H.
4. Manasiku al Hajji wa al Umrah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, Cet. Dar al Waki', Tahun 1414 H.
5. Min Mukhalafat al Hajji wa al Umrah wa az Ziyarah, Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As Sadhan, Cet. Dar Syaqraa', Tahun 1416 H, dan Mukhtashar-nya.
6. Al Mindhar Fi Bayani Katsirin min al Akhtha' asy Syaai'ah, Ma'aali Syaikh Shalih Alu Syaikh, Cet. Dar al Ashimah, Tahun 1418 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

IHRAM DALAM HAJI DAN UMRAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". [adz- Dzariyat/51 : 56].

Untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla. Sehingga dengan hikmah-Nya yang agung, Dia mengutus para rasul untuk membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia.

Di antara kesempurnaan Islam adalah penetapan ibadah haji ke Baitullah, al-Haram sebagai salah satu syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima, dan menjadi salah satu sarana bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketakwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu, dengan kesempurnaan syari'atnya, Islam telah menetapkan suatu tata cara atau metode yang lengkap dan terperinci, sehingga tidak perlu lagi adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini.

Salah satu bagian ibadah haji adalah ihram, yang harus dilakukan setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Sebagai salah satu bagian tersebut, maka pelaksanaannya perlu dijelaskan, yakni menyangkut tata cara dan hukum seputar hal itu.

DEFINISI IHRAM
Kata ihram diambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-haram yang bermakna terlarang atau tercegah. Hal itu dinamakan dengan ihram, karena seseorang yang dengan niatnya masuk pada ibadah haji atau umrah, maka ia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima', menikah, ucapan kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini, para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah), atau kedua-duanya secara bersamaan.[1]

Dengan demikian, menjadi jelas kesalahan pemahaman sebagian kaum muslimin yang mengatakan ihram adalah berpakaian dengan kain ihram. Karena ihram merupakan niat masuk ke dalam haji atau umrah. Sedangkan berpakaian dengan kain ihram merupakan satu keharusan bagi seseorang yang telah berihram.

TEMPAT BERIHRAM
Ihram, sebagai bagian penting ibadah haji dan umrah dilakukan dari miqât. Seorang yang akan berhaji dan umrah, ia harus mengetahui miqat sebagai tempat berihram. Mereka yang tidak berihram dari miqât, berarti telah meninggalkan suatu kewajiban dalam haji, sehingga wajib atas mereka untuk menggantinya dengan dam (denda).

TATA CARA IHRAM
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu 'anhu Beliau berkata:

فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ وَاسْتَثْفِرِيْ بِثَوْبٍ وَاحْرِمِيْ (رواه مسلم)

"Lalu kami keluar bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tatkala sampai di Dzul Hulaifah, Asma binti 'Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr. Maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dan bertanya): 'Apa yang aku kerjakan?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: 'Mandilah dan beristitsfarlah [2], dan berihramlah'." [Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Dawud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu Majah no. 3074.]

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak bertayammum, karena bersuci yang disunnahkan apabila tidak dapat menggunakan air maka tidak bertayamum. Allah l menyebutkan tayammum dalam bersuci dari hadats sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)…". [al-Mâ`idah/5 : 6].

Oleh karena itu, tidak bisa dianalogikan (dikiaskan) kepada yang lainnya. Juga karena tidak ada contoh atau perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertayammum apalagi jika mandi ihram tersebut untuk kebersihan dengan dalil perintah beliau kepada Asma` bintu Umais yang sedang haidh untuk mandi tersebut.

2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram, sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah Radhiyallahu anha :

كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ n لإِحْرَامِهِ قَبْلَ اَنْ يُحْرِمَ وَ لِحِلَِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ.

"Aku memakaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram, dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka'bah".[HR Bukhâri no.1539, dan Muslim no. 1189].

Dalam pemakaian minyak wangi ini hanya diperbolehkan pada anggota badan, dan bukan pada pakaian ihramnya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَلْبَسُوْا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَ لاَ الْوَرَسُ

"Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za'faran dan wars". [Muttafaqun alaih].

Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:
a. Memakainya sebelum mandi dan berihram, dan ini disepakati tidak ada permasalahan.
b. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.

Dalil dibolehkannya pemakaian minyak wangi dalam ihram, yaitu hadits Aisyah, beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ اِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبَ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيْصَ الدُّهْنِ فِيْ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ (رواه مسلم)

"Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin berihram, (beliau) memakai wangi-wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan, kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya setelah itu". [HR Muslim no.2830].

'Aisyah Radhiyallahu anha berkata pula:

كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ الْمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ وَ هُوَ مُحْرِمٌ

"Seakan-akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan beliau dalam keadaan ihram". [HR Muslim no. 2831, dan Bukhâri no. 5923].

Ada satu permasalahan:
Apabila seseorang memakai wangi-wangian di badannya, yaitu di kepala dan jenggotnya, tetapi kemudian minyak wangi itu menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?

Jawabnya: Tidak mempengaruhi, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes, lantaran mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan [3].

Kemudian, jika seseorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu, dan dia telah memakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Jika ia lakukan, maka minyak tersebut akan menempel ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?

Syaikh Muhammad Shâlih al-'Utsaimîn pernah memberikan penjelasan tentang masalah ini. Syaikh berkata: "Tidak perlu, bahkan hal itu termasuk berlebih-lebihan dalam agama, dan tidak ada dalilnya. Demikian juga tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit. Dia cukup mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan" [4].

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِىْ إِزَارٍ وَ رِدَاءٍ وَ نَعْلَيْنِ

"Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal". [HR Ahmad 2/34, dan dishahîhkan sanadnya oleh Ahmad Syakir].

Dua helai kain itu diutamakan berwarna putih, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

خَيْرُ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضُ فَالْبَسُوْهَا َوكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَكُمْ

"Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian dengannya". [HR Ahmad. Lihat Syarah Ahmad Syakir, 4/2219, dan ia berkata: "Isnadnya shahîh"]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam kitab manasik (hlm. 21) berkata: "Disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih. Jika keduanya berwarna putih maka itu lebih utama, dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang dimubahkan dari katun shuf (bulu domba), dan lain sebagainya. Dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna yang diperbolehkan [5], walaupun berwarna-warni". Sedangkan bagi wanita, ia tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat. Disebutkan dalam hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma dalam Shahîh Bukhâri bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِيَ اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّيْ فَقَالَ : صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِيْ الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِيْ حَجَّةٍ

"Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: "Shalatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: 'Umratan fî hajjatin'."

Juga hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu

فَصَلَّى رَسُوْلُ اللهِ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتُهُ عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ

"Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid (Dzul Hulaifah), kemudian beliau menaiki al-Qaswa' (nama onta beliau). Sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida', beliau berihram untuk haji". [HR Muslim]

Sehingga sesuai dengan sunnah maka yang lebih utama dan sempurna, ialah berihram setelah shalat fardhu. Akan tetapi, apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:

a. Tetap disunnahkan shalat dua rakaat, dan demikian ini pendapat jumhur, yaitu berdalil dengan keumuman hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu.

صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِي

"Shalatlah di Wadi (lembah) ini".

b. Tidak disyariatkan shalat dua rakaat, dan demikian ini pendapat Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau mengatakan di dalam Majmu' Fatâwâ (26/108): "Disunnahkan berihram setelah shalat, baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu' -menurut salah satu dari dua pendapatnya- dan yang lain kalau dia shalat fardhu, maka berihram setelahnya; dan jika tidak maka tidak ada shalat yang khusus bagi ihram; dan inilah yang râjih".

Di dalam Ikhtiyarat (hlm. 116) beliau menyatakan: "Berihram setelah shalat fardhu kalau ada, atau sunnah (nafilah); karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya".

Demikianlah, tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik, dan disunnahkan untuk diucapkan. Dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk, yaitu ifrad, qiran dan tamattu', sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah Radhiyallahu 'anha.

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ عُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ أَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِالْحَجِ فأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِعَمْرَةٍ فَحَلَّ عَنْهُ قُدُوْمُهُ وَ أَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ أَوْ جَمَعَ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَلَمْ يُحِلُّوْا حَتَّى كَانَ يَوْمَ النَّحْرِ (متفق عليه)

"Kami telah keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun haji Wada' maka ada di antara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah, dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berihram dengan haji saja. Adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya [6], dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada di hari nahar [7]." [Mutafaq 'alaih].

Oleh karena itu, seseorang yang bermanasik ifrad, ia mengatakan:

لَبَّيْكَ حَجًّا atau لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا

dan seseorang yang bermanasik tamattu', ia mengatakan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً atau لَبَّيْكَ الَّلهُمّ عُمْرَةً

dan ketika hari Tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:

لَبَّيْكَ حَجًّا atau لَبَّيْكَ الَّلهُمّ حَجًّا

Adapun sunnah yang bermanasik qiran, ia menyatakan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا

Setelah itu disunnahkan memperbanyak talbiyah hingga sampai ke Ka’bah untuk melaksanakan thawaf.

Demikian penjelasan secara ringkas tentang ihram saat haji dan umrah. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta'ala a'lam bish-Shawab.

Mari kita tingkatkan i beribadah dalam 10 hari terakhir bulan Ramadhan agar kita memperoleh manfaat malam Lailatul Qadar agar dosa kita diampuni selama 83 tahun (1000 bulan). seperti ber Umroh ke Mekah, Arab Saudi.



Rasulullah selalu menganjurkan untuk beritikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Umrah itikaf atau berumrah pada 10 hari terakhir Ramadhan diyakini membawa berkah ibadah bagi setiap umat Muslim yang melaksanakannya.

Karena memiliki sejumlah kelebihan berumrah di kala itu, para jamaah pun berduyun-duyun melaksankan ibadah tersebut.
"Jumlah peminat umrah di bulan Ramadhan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hampir semua biro perjalanan haji mempunyai program umrah itikaf karena merasa ada keistimewaan bila beribadah di malam-malam Lailatul Qadar di Tanah Suci," ujar Wakil Sekretaris Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh) Muharom Ahmad.

Para peminat umrah jenis ini, kata dia, sebagian besar pernah menjalani beberapa kali ritual ibadah yang sama (repeating jamaah).

Sayangnya, kata Direktur Utama Cordova Abila Travel ini, minat masyarakat untuk melaksanakan umrah itikaf tidak dibarengi dengan kebijakan yang mendukung dari Pemerintah Arab Saudi.
Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan aturan baru mengenai kuota umrah itikaf untuk Indonesia yang hanya memperbolehkan sebanyak 17 ribu jamaah. Tidak ada kuota tambahan dengan alasan adanya aktivitas pembangunan hotel-hotel di sekeliling Masjidil Haram.

Mengingat tidak adanya kuota tambahan tersebut, Himpuh, kata dia, telah menginstruksikan anggotanya untuk mengantisipasi lonjakan permintaan umrah itikaf.

Rasulullah selalu menganjurkan untuk beritikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Jangan sampai, pelayanan terhadap para jamaah mengecewakan, mengingat membeludaknya peminat untuk berjiaran ke Tanah Haram.

Muharom mengingatkan, berumrah di bulan suci Ramadhan jangan hanya terjebak pada keutamaan semata, tapi kualitas ibadah juga harus tetap terpelihara dan ditingkatkan.

"Meski dikatakan umrah Ramadhan ganjarannya setara ibadah haji, tapi hal itu sangat bergantung dari niat jamaah saat mengikuti semua rukunnya."

Salah satu peminat umrah itikaf adalah Endang Dwijati. Sudah dua kali berturut-turut perempuan ini merasakan kenikmatan beribadah umrah pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Dia merasakan ada sebuah ketenangan menyusup di relung jiwanya saat malam-malam terakhir Ramadhan di Tanah Suci.
"Pengalaman batin yang luar biasa beritikaf di Masjidil Haram. Saat bertarawih pun imamnya membaca ayat-ayat panjang sekaligus mengkhatamkan Alquran. Rasanya, Ramadhan di sana memang dirindukan. saya tidak ingin ibadah Ramadhan berakhir," ujar pemilik usaha percetakan Alquran ini.
Kerinduan batin itu makin membekas di hati Endang. Ia pun selalu berdoa agar raganya bisa kembali ke Tanah Suci pada Ramadhan-Ramadhan berikutnya.

Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia Prof Ahmad Satori Ismail menjelaskan, itikaf berarti tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

SYARIAT IBADAH HAJI

Oleh
Syaikh Khalil Harras rahimahullah



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Barangsiapa berhaji karena Allah, lantas dia tidak berbuat keji dan melakukan kefasikan, maka dia pulang bagaikan hari dimana dia dilahirkan ibunya. [HR al-Bukhâri no. 1424]

Kaum Muslimin keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan telah memiliki bekal berupa kekuatan yang besar dalam kehidupan rohani yang suci; jiwa-jiwa mereka menjadi kuat dan tidak bergantung kepada kebendaan; keinginan-kenginan mereka telah terlatih untuk mengalahkan hawa nafsu syahwat; serta mampu menanggung kepayahan-kepayahan dan melawan hal-hal yang dibenci. Karenanya, mereka memasuki bulan-bulan haji dalam keadaan telah siap sempurna rohani dan jasmaninya. Mereka telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan beban-beban yang terdapat pada kewajiban yang suci itu (Haji), yang menjadi rukun kelima dari rukun-rukun Islam.

Haji itu seperti puasa, hukumnya wajib sejak dahulu; Allah Azza wa Jalla telah mewajibkannya kepada para hamba-Nya semenjak Dia memerintahkan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar membangun Baitul Harâm di Mekah, kemudian menyuruhnya supaya memaklumkan haji kepada manusia agar mendatanginya.

يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“… niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah Azza wa Jalla pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka berupa binatang ternak…” [al-Hajj/22:27-28]

Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan manasik-manasik haji dan syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm Alaihissallam dan putranya, yaitu Ismâ’îl Alaihissallam. Maka manasik-manasik itu akan tetap ada sepeninggal keduanya kepada anak keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah dan melakukan thawâf di situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah, serta melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwa.

Hanya saja anak keturunan mereka telah mengadakan bid’ah-bid’ah di dalamnya lantaran lamanya masa, dikuasai hawa nafsu, dan setan menghiasi penyimpangan mereka.

Mereka mengadakan peribadatan kepada patung-patung, lalu menaruhnya di sekitar Ka’bah dan bagian dalamnya. Mereka memulai beribadah untuk berhala dan menyembelih di dekatnya sebagai bentuk taqarrub kepadanya, dan dahulu mereka mengucapkan dalam talbiahnya;

اللَّهُمَّ لاَ شَرِيْكَ لَكَ, إِلاَّ شَرِيْكًا هُوَ لَكَ, تَمْلِكُهُ مِمَّا مَلَكَ

“Wahai Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu, melainkan sekutu yang Engkau punya, Engkau memiliki apa yang dia punya”

Dahulu, mereka thawâf di Ka’bah dengan bertelanjang, karena merasa tidak nyaman melaksanakan thawâf dengan pakaian-pakaian yang dikenakan pada saat mereka datang, sampai-sampai kaum wanita pun thawâf di Ka’bah dengan tidak berpakaian. Para wanita itu menutupi farjinya dengan sehelai kain, lalu mengatakan:

“Pada hari ini tampaklah sebagian atau seluruhnya (tubuh); namun apa saja yang terlihat, maka aku tidak membolehkan (dijamah) ”

Tatkala Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi-Nya, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembaharu agama Nabi Ibrâhîm q , sudah sewajarnya jika pembaharuan itu mencakup kewajiban haji. Maka, haji diwajibkan pada tahun ke enam dari hijrah, dan dalil fardunya dari al-Qur’an adalah firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.” [al-Baqarah/2:196]

Hingga firman Allah:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” [al-Baqarah/2:197]

Juga firman-Nya yang lain :

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrâhîm. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu), dia menjadi aman. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”[Ali ‘Imrân/3:97]

Adapun dalil dari Sunnah, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji, maka hajilah kalian!” [HR. Muslim]

Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu :

(بنُِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامُ الصَّلاَةِ, وَإِيْتاَءُ الزَّكَاةِ, وَصَوْمُ رَمَضَانَ, وَحَُّج اْلبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً)

“Islam dibangun di atas lima rukun; persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, serta haji ke baitullah bagi siapa yang sanggup mengadakan perjalan kepadanya.” [Muttafaq ‘alaih]

Sungguh, Nabi telah menafsirkan makna as-sabîl dengan bekal dan kendaraan, maka siapa yang memiliki nafkah bagi diri dan keluarganya hingga kembali dari haji serta mendapatkan kendaraan yang menghantarkannya ke Mekah (yakni biaya safar pulang pergi), maka wajib baginya segera berhaji; karena dia tidak akan tahu apa yang akan menghalanginya sesudah itu, sebab sakit atau berkurang hartanya.

Haji termasuk ibadah yang mempunyai pengaruh besar dalam mendidik jiwa, berupa lepas diri dari gemerlap dunia, kembali kepada fitrah aslinya, mengatasi kesulitan-kesulitan dan kepayahan-kepayahan, mengagungkan kehormatan-kehormatan Allah Azza wa Jalla dengan menahan diri dari setiap gangguan dan tindakan bermusuhan. Oleh karenanya, seorang yang berihrâm tidak boleh membunuh binatang buruan, tidak boleh memotong kuku, tidak boleh mencukur rambut, bahkan semua kegiatan ibadah haji itu adalah keselamatan untuk diri dan orang lain.

Pelaksanaan ibadah haji adalah bentuk pemenuhan terhadap panggilan Allah Azza wa Jalla melalui lisan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar berkunjung ke Baitul Harâm. Oleh karenanya, orang yang berhaji mengucapkan niatnya berhaji atau ‘umrah;

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Ku penuhi panggilan-Mu wahai Allah, ku penuhi seruan-Mu. Ku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, ku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujian dan nikmat hanya untuk-Mu, juga kerajaan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”.
Makna لَبَّيْكَ : Bersegera menuju ketaatan kepada-Mu, dan memenuhi panggilan-Mu tanpa lama-lama dan lambat.

Selain itu, ibadah haji merupakan ajang perkumpulan kaum Muslimin yang berulang setiap tahunnya, di mana mereka datang dari berbagai belahan bumi, hingga mereka dapat mengingat persatuan agama yang menaungi mereka semua. Meski mereka berbeda jenis dan warna kulit, serta berlainan lisan dan dialek, maka dikenalkan persaudaraan, saling berganti memberikan manfaat di antara mereka, serta saling memahami keadaan masing-masing. Di dalamnya ada perbaikan terhadap keadaan dan kemuliaan mereka; juga memperkuat tali persaudaraan sesama mereka. Sungguh al-Qur’ân telah mengisyaratkan akan hal itu dalam firman-Nya:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

“…Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka …” [al-Hajj/22:28]

Dalam hadits di atas (HR al-Bukhâri 1424) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa barangsiapa melaksanakan kewajiban haji dengan cara yang benar, yakni; mengikhlaskan niat kepada Allah Azza wa Jalla di dalamnya, dia tidak keluar karena riyâ` atau sum’ah, bahkan karena iman kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharapkan pahala dari sisi-Nya, patuh atas perintah-Nya; dia menunaikan kewajiban menjauhi perkara yang tidak pantas dilakukan orang yang berihrâm berupa rafats, yakni jima` dan pendahulu-pendahulunya dan setiap yang terkait dengannya; juga tidak berbuat fasik, yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , yakni bermaksiat terhadap-Nya; maka sungguh dia pulang dari ibadah haji dalam keadaan bersih dari dosa seperti saat dia dilahirkan. Kecuali jika dosa itu menyangkut hak-hak orang lain, maka sungguh dosa ini tidak terhapus dengan ibadah haji dan yang selainnya, bahkan harus mengembalikannya kepada yang berhak, atau meminta kepada mereka agar menghalalkannya.

Tidak heran jika ibadah haji dengan kedudukan seperti ini bisa mensucikan dari dosa-dosa, karena ia sebenarnya rihlah (pergi) menuju Allah Azza wa Jalla . Saat berhaji, seorang Muslim menanggung banyak kesusahan, terancam berbagai malapetaka dan marabahaya, mengorbankan tenaga dan hartanya, lalu melaksanakan manasik haji. Ia melangkah menuju pintu Rabb-nya, datang kepada-Nya dari tempat yang amat jauh untuk memohon maaf dan ampunan dari-Nya, meluapkan keluhannya kepada-Nya atas dosa-dosanya yang bisa menyebabkan kehancuran dan kebinasaannya, jika dosa –dosa itu masih ada dan tidak diampuni Allah Azza wa Jalla.

Maka apa persangkaanmu terhadap Rabb yang Maha Pemurah, yang hamba-Nya meminta perlindungan kepada-Nya, mencurahkan ke hadapan-Nya keluh kesahnya, mengakui kedzaliman dan kejahilannya di sisi-Nya, juga terhadap sikap melampaui batasnya terhadap hak-Nya; kemudian dia bertaubat, menyesal dan menyadari bahwa tidak ada tempat berlindung baginya dari Allah Azza wa Jalla kecuali hanya pada-Nya. Juga bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari Allah Azza wa Jalla , serta bahwasanya jikalau dia tidak mendapatkan rahmat dan keutamaan dari Allah Azza wa Jalla , maka akan menjadi orang yang sengsara dengan kesengsaraan seluruhnya.

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla paling pengasih daripada Dia mengembalikan hamba-Nya dengan kondisi kecewa setelah Dia mengetahui kejujuran darinya dalam berlindung kepada-Nya dan ikhlas dalam taubatnya dari dosanya. Dan sungguh telah datang di dalam hadits shahîh:

اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Ibadah haji mabrur (maka) tidak ada baginya balasan melainkan surga [HR. Muslim]

Kami memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar mengkaruniai kami dan saudara-saudara kami dengan kebagusan dalam menjalankan kewajiban tersebut, dan menerimanya dengan anugerah dan kemurahan-Nya.

Referensi
Majalah al-Ashâlah, hlm 31-34, bulan Safar Th.1424 volume ke-41, tahun ke-6.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/Dzulqa'adah 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

FIQIH HAJI : TATA CARA IHRAM

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


PENGERTIAN IHRAM
Kata ihram diambil dari bahasa arab, dari kata "Al-haram" yang bermakna terlarang atau tercegah. Dinamakan ihram karena seseorang yang masuk kepada kehormatan ibadah haji dengan niatnya, dia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu, seperti jima', menikah, berucap ucapan kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini dapat diambil satu definisi syar'i bahwa ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan [1].

Berdasarkan ini, jelaslah kesalahan pemahaman sebagian kaum muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah niat masuk ke dalam haji atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram.

TATA CARA IHRAM
Telah diketahui bersama bahwa seorang yang berniat melakukan haji atau umrah, diharuskan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam melaksanakan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits yang shohih, sebagai pengamalan darihadits Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam.

خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ

"Ambillah dariku manasik kalian".

1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu 'anhu.

فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَاالْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ وَاسْتَثْفِرِِيْ بِثَوْبٍ وَ احْرِمِيْ

"Lalu kami keluar bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu tatkala sampai di Dzul Hulaifah, Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, lalu ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan? Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Mandilah dan beristitsfarlah [2] kemudian ihram." [Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Daud no.1905, 1909 dan Ibnu Majah no.3074]

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak perlu bertayammum, karena Allah Subhanahu wa Ta'alal menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadats sebagaimana firmanNya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); " [Al Maidah :6]

Maka hal ini tidak bisa dianalogikan (dikiaskan) kepada yang lainnya, juga tidak ada contoh atau perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertayammum, apalagi kalau mandi ihram tersebut bertujuan untuk kebersihan. Memang perintah mandi tersebut adalah untuk kebersihan, dengan dalil perintah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Asma bintu Umais yang sedang haidh untuk mandi sebagaimana dalam hadits diatas.

2. Disunnahkan memakai minyak wangi ketika ihram, sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah.

كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ لإِحْرَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ.

"Aku memakaikan wangi-wangian kepada nabi untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka'bah" [HR. Bukhary no.1539 dan Muslim no. 1189].

Dan hal itu hanya diperbolehkan pada anggota badan, bukan pada pakaian ihram, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَلْبِسُوْا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَ لاَ الْوَرْسُ

"Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za'faran dan wars." [Muttafaqun alaih].

Kalau kita meninjau permasalahan memakai minyak wangi pada ihrom maka terdapat dua keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan berihram, ini diperbolehkan.
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum ihram, dan minyak wangi tersebut tidak hilang sampai setelah melakukan ihram. Ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.

Dalil dibolehkannya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha.

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيْصَ الدَّهْنِ فِيْ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ رواه مسلم

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya setelah itu".[HR.Muslim no.2830 ].

Dan Aisyah berkata pula:

كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ اْلمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ وَ هُوَ مُحْرِمٌ

"Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan beliau dalam keadaan ihram ". [HR. Muslim no. 2831 dan Bukhari no. 5923].

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya tentang dua permasalahan seputar pemakaian minyak wangi dalam ihram yaitu:

1. Apabila seseorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini berpengaruh atau tidak?

Jawab.
Tidak berpengaruh, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan.[3]

2. Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia lakukan maka akan menempellah minyak tersebut pada kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?

Jawab.
Tidak perlu, bahkan hal itu berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya, demikian juga tidak perlu mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termasuk yang dimaafkan. [4]

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِىْ إِزَارٍ وَ رِدَاءٍ وَ نَعْلَيْنِ

"Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal." [HR. Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Ahmad Syakir]

Diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

خَيْرُ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضِ فَالْبَسُوْهَا وَكَفِّنُوْا فِبْهَا مَوْتَكُمْ

"Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dan kafanilah mayat kalian padanya" [HR. Ahmad, lihat Syarah Ahmad Syakir 4/2219, dia berkata: isnadnya shahih]

Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21): "Disunnahkan berihram dengan dua kain yang bersih, jika keduanya berwarna putih maka itu lebih utama. Dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang di mubahkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Juga dibolehkan berihram dengan kain warna putih dan warna-warna yang diperbolehkan yang tidak putih, walaupun berwarna-warni". [5]

Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar dalam shahih Bukhary bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِيْ الَّليْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّيْ فَقَالَ : صَلِّ فَىْ هَذَا الْوَادِىْ الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِىْ حَجَّةٍ

"Tadi malam utusan dari Rabbku telah datang lalu berkata: "Shalatlah di Wadi (lembah) yang diberkahi ini dan katakan: “Umrotan fi hajjatin."

Dan hadits Jabir :

فَصَلَّىْ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ الْمَسْجِدِ ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتَهُ عَلَىْ الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ

"Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al-Qaswa' (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida' , beliau berihram untuk haji". [HR.Muslim].

Maka yang sesuai dengan Sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah shalat fardhu, akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:

Pendapat Pertama : Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Umar.

صَلِّ فَىْ هَذَا الْوَادِىْ

(shalatlah di Wadi ini)

Pendapat Kedua : Tidak disyariatkan shalat dua rakaat, ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu' Fatawa 26/108: "Disunnahkan berihram setelah shalat, baik fardhu maupun tathawu' (sunnah) kalau ia berada pada waktu (shalat) tathawu' (sunnah) menurut salah satu dari dua pendapat. Pada pendapat yang lain: kalau dia shalat fardhu maka berihram setelahnya, dan jika tidak maka tidak ada shalat yang khusus bagi ihram dan ini yang rajih."

Dan beliau berkata di dalam Ikhtiyarat hal. 116: “Dan berihram setelah shalat fardhu, kalau ada, atau (setelah shalat) sunnah (nafilah), karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus.”

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu dari tiga manasik, dan niat tersebut disunnahkan untuk diucapkan. Yaitu dengan memilih salah satu dari bentuk ibadah haji: ifrad, qiran dan tamatu' sebagaimana yang dikatakan Aisyah Radhiyallahu 'anha.

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ عُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ أَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِحَجٍّ فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ فَحَلَّ عَنْهُ بَعْدَ قُدُوْمِهِ وَ أَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ أَوْ جَمَعََ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَلَمْ يَحِلُّوْا حَتَّى كَانَ يَوْمَ النَّحَرِ (متفق عليه)

"Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun haji wada' maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya [6] dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar [7]. [Mutafaq alaih]

Seorang yang manasik ifrad mengatakan:
لَبَيْكَ حَجًَّا atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
dan seorang yang manasik tamatu' mengatakan:
لَبَيْكَ عُمْرَةً atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ عُمْرَةً
dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:
لَبَيْكَ حَجًّا atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
dan sunnah yang manasik Qiran menyatakan:
لَبَيْكَ عُمْرَةً و حَجًّا

6. Talbiyah yaitu membaca:

لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Labbaika Allahumma labbaik labbaika laa syariika laka labbaik Innal hamda wani'mata laka wal mulk laa syariikaa laka dan yang sejenisnya.

6.1. Waktu Talbiyah
Waktu talbiyah dimulai setelah berihram ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hajinya, berkata Jabir Radhiyallahu 'anhu.

حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتَهُ عَلَىْ الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ لَبَّيْكَ اللهم لَبَّيْكَ ……

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik ……" [HR Muslim]

6.2. Bacaan Talbiyah
Adapun bacaan talbiyah yang ma'tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:
a.
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ ,لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
b.
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَ سَعْدَيْكَ وَ الْخَيْرُ بِيَدِكَ وَ الرُّغَبَاءُ إِلَيْكَ وَ الْعَمَلُ (متفق عليه من تلبية ابن عمر
c.
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ , لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ (عن عائشة رواه البخارى

d. Talbiyah yang nomor "a" ditambah kalimat:

لَبَّيْكَ ذَا الْمَعَارِجِ لَبَّيْكَ ذَا اْلفَوَاضِلِ (حديث جابر رواه مسلم)

6.3. Sebab dan maknanya
Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab panggilan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana dalam al-Qur'an surah al-Hajj ayat 27.

وَأِذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh." [al-Hajj 22:27]

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata dalam menafsirkan : "Ketika Allah Azza wa Jalla memerintahkan Ibrahim Alaihissallam untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji, dia berkata:

يَا أَيُّهَا النَّاِس إِنَّ رَبَّكُمْ اتَّخَذَ بَيْتًا وَ أَمَرَكُمْ أَنْ تَحُجُّوْهُ فَاسْتَجَابَ لَهُ مَا سَمِعَهُ مِنْ حَجَرٍ أَوْ شَجَرٍ أَوْ أَكْمَةٍ أَوْ تُرَابٍ أَوْ شَيْئٍ قَالَوْا لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ (رواه ابن جرير 17\106)

"Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (ka'bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu apa saja yang mendengarnya, baik batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit, debu atau apa saja yang ada, menerima panggilan beliau ini lalu mereka berkata لَبَيْكَ الَّلهُمَّ لَبَيْكَ …… [H.R Ibnu Jarir 17/106]

Ibnu Hajar berkata: " Ibnu Abdil Barr berkata bahwa sejumlah dari Ulama menyatakan: "Makna Talbiyah adalah jawaban terhadap panggilan Ibrahim Alaihissallam ketika memberitahukan manusia untuk berhaji". [9]

Adapun makna dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah :
(اللهم) : Wahai Allah

(لَبَيْكَ) : Adalah penegas yang memiliki ma'na baru (lebih‎‎), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta'atan kepada-Nya

(لاَ شَرِيْكَ لَكَ) : Tidak ada satupun yang menyamai Engkau (Allah) dalam segala sesuatu

(لَبَيْكَ) : Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut karena Engkau saja.

(ِإنَّ الْحَمْدَ وَ الِّنعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ): Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik-Mu demikian juga kekuasaan

(لاَ شَرِيْكَ لَكَ) :Yang semua itu tidak ada sekutu bagiMu

Kalau kita melihat makna kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut, didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-jenisnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir (أَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ) (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid"). Hal ini tampak kalau kita mentelaah dan memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam kata-kata
(لَبَيْكَ اللهم لَبَيْكَ لَبَيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ) terdapat peniadaan kesyirikan dalam peribadatan, kemudian (لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ) terdapat tauhid rububiyyah karena kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata, dan hal itupun mengharuskan seorang hamba untuk mengakui terhadap tauhid uluhiyyah, karena iman kepada tauhid rububiyyah mengharuskan iman kepada tauhid uluhiyyah.

Dan dalam kata (إنَّ الْحَمْدَ وَ الِّنعْمَةَ لَكَ) terdapat penetapan sifat-sifat terpuji pada Dzat, dan bahwa perbuatan Allah Azza wa Jalla adalah hak, hal ini merupakan tauhid asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla.

Kalau demikian keharusan orang yang talbiyah maka dia akan selalu merasakan keagungan Allah dan akan selalu menyerahkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata bukan hanya sekedar mengucapkan tanpa dapat merasakan hakikat dari talbiyah tersebut.

6.4. Pelaksanaan Talbiyah
Talbiyah ini diucapkan dengan mengangkat suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ فَأَمَرَنِيْ أَنْ آمُرَ أَصْحَابِيْ أَنْ يَرْفَعُوْا أَصْوَاتَهِمْ بِالتَّلْبِيَّةِ

"Jibril telah datang kepadaku dan dia memerintaahkanku agar aku memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara mereka dalam bertalbiyah".

Dan tidak disyari'atkan bertalbiyah dengan berjama’ah, akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin maka hal itu tidak mengapa. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu, padahal jumlah mereka sangat banyak, maka hal tersebut sangat memungkinan terjadinya talbiyah dengan suara yang berbarengan. Akan tetapi mengangkat suara dalam talbiyah ini jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.

Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengeraskan suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah.

6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumroh atau berhaji dengan tamatu' menjadi beberapa pendapat:

Pendapat Pertama: Ketika masuk Haram (kota Makkah), dan ini pendapat Ibnu Umar, Urwah dan Al Hasan serta mazdhab Maliki. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasa’ai yang lafadznya;

كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا دَخَلَ أَدْنَىْ الْحَرَمِ أَمْسَكَ عَنْ التَّلْبِيَّةِ ثُمَّ يَبِيْتُ بِذِيْ طَيْ وَيُصَلِّى بِهِش الصُّبْحَ وَيَغْتَسِلُ وَيُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيْ  كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ

"Ibnu Umar ketika masuk pinggiran Haram menghentikan talbiyah, kemudian menginap di Dzi thuwa. Beliau sholat shubuh di sana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian"

Pendapat Kedua: Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al-Musayyib

Pendapat Ketiga: Ketika sampai ke Ka'bah dan memulai thawaf dengan menyentuh (istilam) hajar aswad, ini pendapat Ibnu Abbas, Atha', Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha'i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi'i, Ahmad dan Ishaq serta mazdhab Hanafi. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu':

كَانَ يُمْسِكُ عَنِ التَّلْبِيَّةِ فِيْ اْلعُمْرَةِ إِذَا اسْتَلَمَ الْحَجَرَ

"Dia menghentikan talbiyah dalam umoh setelah menyentuh (istilam) hajar aswad" [HR Abu Daud,At Tirmidzy dan Al Baihaqy, tetapi dilemahkan oleh Al-Albany dalam Irwa' 4/297]

Dan juga hadits Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh:

اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ ثلاثَا عُمَرَ كُلَّهَا فِيْ ذِيْ اْلقَعْدَةِ فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّيْ حَتَّى اسْتَلَمَ الْحَجَرَ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan umrah tiga kali, seluruhnya di bulan dzul qa'dah dan beliau terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) hajar aswad" [HR Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh Al-Albanny dala Irwa' 4/297]

Mereka juga berkata: “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah, yaitu thawaf.” Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam [10] dan Ibnu Qudamah [11] akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama. Berdasarkan penjelasan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah juga melakukan hal itu, ini menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasululloh telah melakukan. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah. [12]

Demikian juga waktu haji terdapat beberapa pendapat ulama.
Pertama : Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari dan ini pendapat Aisyah, Sa'ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza'i, Al-Hasan Al-Bashry dan madzhab Malikiyah. Berdalil dengan hadits:

الحَجُّ عَرَفَةُ

"Haji itu adalah wuquf di Arafah”

Maka kalau telah sampai Arafah, habislah pemenuhan panggilan, karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. Akan tetapi dalil ini lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Rasululloh masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah tersebut.

Kedua : Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan ini pendapat jumhur, akan tetapi mereka berselisih menjadi dua pendapat.

a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh aqobah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al-Fadl bin Al Abbas

كُنْتُ رَدِيْفَ النَبَيِ مِنْ جَمْعِ إِلَى مِنَى فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّيْ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ (رواه الحماعة)

"Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan terus menerus bertalbiyah sampi melempar jumroh Aqobah". [HR Jama'ah]

dan hadits Ibnu Mas'ud dengan lafadz:

خَرَجْتُ مَعَ رسول الله فَمَا تَرَكَ التَّلْبِيَّةَ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ إِلاَّ أَنْ يُخلِطَهَا بِتَكْبِيْرِ أَوْ تَهْلِيْلٍ.

"Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak meninggalkan talbiyah sampai beliau melempar jumrah Aqobah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir" [HR Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al-Albani dalam Irwa', /2966].

Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: Dan secara ma'na, maka seorang yang telah sampai Arafah- walaupun telah sampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah, dan kalau telah memulai dalam melempar jumrah maka telah selesai panggilannya [Majmu' Fatawa 26/173]

b. Menghentikannya di akhir lemparan dalam Jumrah Aqabah, ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi'i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl.

أَفَضْتُ مَعَ النَّبِي n مِنْ عَرَفَةَ فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّي حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حِصَاةٍ ثُمَّ قَطَعَ التَّلْبِيَّةَ مَعَ آخِرِ حِصَاةٍ (رواه ابو خزيمة)

"Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus bertalbiyah ampai melempar jumroh Aqobah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar" [HR Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya dan beliau berkata :" ini hadits shahih yang menjelaskan apa yang belum jelas dalam riwayat- riwayat yang lain].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


FIQIH HAJI : MIQAT DAN JENIS MANASIK

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Sungguh Allah Azza wa Jalla tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ اْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". [Adz dzariyat:56]

Kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla, maka dengan hikmah-Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan petunjuk yang jelas dan hujjah atas para hamba-Nya. Dan diantara kesempurnaan Islam, Allah yang Mahabijaksana menetapkan ibadah Haji ke Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari'atnya telah menetapkan suatu tatacara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim yang baik tentunya akan berusaha dan bersemangat untuk mempelajarinya kemudian mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan, kemudahan dan kemampuan baginya untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.

1. DEFINISI HAJI
a. Secara Etimologi
Kata Hajji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj [1]
b. Secara terminologi Syariat
Haji menurut istilah syar'i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [2] dan ada yang berkata: "Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula [3] akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan disini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.

2. DALIL PENSYARIATANNYA
Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan dalam Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma'.

Dalil Al-Qur'an:

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". [Ali Imran: 97]

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةُُ مِّنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدِْي فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَارَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah dia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya". [Al-Baqarah 2:196]

Dalil As-Sunnah
Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu.

خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ فَقَالَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا

"Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kami dan berkata: "Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah kalian." [HR Muslim]

Dan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجُّ اْلبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ

"Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan". [HR Bukhari dan Muslim]

Ijma' Ulama'
Telah bersepakat para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib. [4]

3. SYARAT-SYARAT HAJI
Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan
5. Merdeka

4. MIQAT-MIQAT HAJI
Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari'at untuk suatu ibadah baik tempat atau waktu. [5] Dan haji memiliki dua Miqat yaitu Miqat zamani dan makani. Adapun Miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini terbagi menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:

a. Syawal, Dzul Qa'dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair dan ini yang dipilih madzhab hanbali.
b. Syawal, Dzul Qa'dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi'i.
c. Syawal, Dzul Qa'dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah
Dan yang rajih -والله أعلم- bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk bulan haji dengan dalil firman Allah Azza wa Jalla.

الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji". [Al-Baqarah: 197]

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَأَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الحَجِّ اْلأَكْبَرِ أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ

"Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin". [At-Taubah: 3]

Dalam surat Al-Baqarah ini Allah berfirman (أشهر) dan bukan dua bulan sepuluh hari atau dua bulan sembilan hari. padahal (أشهر) jamak dari (شهر) dan hal itu menunjukkan paling sedikit tiga bulan dan pada asalnya kata (شهر) masuk padanya satu bulan penuh dan tidak dirubah asal ini kecuali dengan dalil syar'i [6] maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan tidak boleh mengakhirkan suatu amalan haji setelah bulan Dzulhijjah.

Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya tersebut tidak dianggap sah untuk haji akan tetapi berubah menjadi ihram untuk Umrah.

Adapun Miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan negeri dan kota yang akan menjadi tempat awal para haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasullulah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.

وَقَّتَ رَسُوْلُ اللهِ لأَهْلِ اْلمَدِيْنَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ وَلأِهْلِ النَّجْدِ القَرْنَ وَلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ قَالََ هُنَّ لَهُنَّ لِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ مِمَّنْ كَانَ يُرِيْدُ اْلحَجَّ وَ الْعُمْرَةَ فَمَنْ كَانَ دُوْنَهُنَّ مَهَلُّهُ مِنْ أَهْلِهِ وَكَذَلِكَ أَهْلُ مَكَةََََ يُهِلُّوْنَ مِنْهَا

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menentukan Miqat bagi ahli Madinah Dzul Hulaifah [7] dan bagi ahli Syam Al-Juhfah dan bagi ahli Najd Qarn dan bagi ahli Yamam Yalamlam lalu bersabda: "mereka (Miqat-Miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum Miqat-Miqat tersebut, maka tempat mereka dari ahlinya, dan demikian pula dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah." [HR Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa'i 5/94,95,96]

Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas menerangkan bahwa:

a. Miqat ahli Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu sebuah tempat di wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 52/3 mil kurang seratus hasta [8] yang setara kurang lebih 11 Km. dari madinah. Dan dari Makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang lebih 430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km.

b. Miqat ahli Syam adalah al-Juhfah yaitu suatu tempat yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh (tempat yang sejajar dengannya) dengan Makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan berkata sebagian ulama sekitar 180 Km. Akan tetapi karena banyaknya wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari Syam mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga sebagai Miqat ahli Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui jalur laut atau darat dan berlabuh di Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melalui Yalamlam maka Miqat mereka adalah Miqat ahli Yaman yaitu Yalamlam. Yalamlam yang dikenal sekarang dengan daerah As Sa'diyah adalah bukit yang memisahkan Tuhamah dengan As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 Km dari Makkah, dan berkata sebagian ulama sekitar 92 Km.

c. Miqat ahli Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa'alib, yaitu sebuah bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari Makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. dan berkata sebagian ulama sekitar 75 Km [9] demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya. [10]

d. Miqat ahli Iraq yaitu Dzatu 'Irq yaitu tempat yang sejajar denagn Qarnul Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. Dan Miqat ini juga untuk ahli Iraq. Akan tetapi terjadi perselisihan dari para ulama tetang penetapan Dzatul 'Irq sebagai Miqat, apakah didasarkan dari perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau dari perintah Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu?

1. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits Abu Dawud dan An-Nasa'i dari 'Aisyah beliau berkata.

أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ وَقَّتَ لأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ الْعِرْقِ

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menentukan Miqat ahli 'Iraq adalah Dzatul 'irq" [HR Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa'i 2/6] [11]

2. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu yang menetapkannya. Sebagaimana dalam shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata Umar Radhiyallahu 'anhu.

فَانْظُرُوْا حَذْوَهَا مِنَْ طَرِيْقِكُمْ

"Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Manazil) dari jalan kalian." Lalu Umar menetapkan Dzatul 'Irq" [HR Bukhary 1/388] dan ini adalah pendapat Imam Syafi'i.

Yang rajih - والله أعلم - bahwa Miqat tersebut telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan penetapan Umar tersebut bersesuian dengan apa yang telah ditetapkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Qudamah.

Miqat-Miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan orang-orang yang lewat melaluinya dari selain ahlinya, sehingga setiap orang yang melewati Miqat yang bukan Miqatnya maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya : orang Indonesia yang melewati Madinah dan tinggal disana satu atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji maka wajib baginya untuk berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau ahli Yaman yang melewati Madinah tidak perlu pergi ke Qarnul Manazil atau Yalamlam akan tetapi diberi kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla untuk berihram dari Dzul Hulaifah, kecuali ahli Syam yang melewati Madinah dan Al-Juhfah, maka ada perselisihan para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya sampai ke Al-Juhfah.

1. pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan ihram mereka sampai Al-Juhfah, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka berdalil bahwa seorang yang melewati dua Miqat wajib baginya berihram dari salah satu dari keduanya. Satu dari keduanya adalah cabang, yaitu Dzul Hulaifah, dan yang kedua adalah asal, yaitu Al-Juhfah ,maka boleh mendahulukan asal dari cabangnya. dan pendapat ini yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukilkan Al-Ba'ly dalam Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman 117.

2. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib berihram dari Dzul Hulaifah karena zhahir hadits dari Ibnu Abbas diatas, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah pendapat yang lebih hati-hati kerena keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَلِمَنْ أَتَىعَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ

"Dan bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya" [Hadits Ibnu Abbas].

Adapun mereka yang berada di antara Miqat dengan Makkah maka wajib berihram dari tempat dia tetapkan niatnya untuk berhaji atau berumrah. Maka hal ini menguatkan penduduk yang berada di antara Dzul Hulaifah dan Al-Juhfah seperti ahli ar-Rauha', ahli Badr dan Abyar al-Maasy untuk berihram dari tempat mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk madinah kemudian bepergian ke Jeddah dan tinggal di sana satu atau dua hari kemudian ingin berumrah atau berhaji maka Miqatnya adalah Jeddah kecuali kalau asal tujuan bepergiannya adalah umrah atau haji maka hajatnya tersebut ikut asal tujuannya sehingga dia ihram dari Miqatnya yaitu Dzul Hulaifah. contohnya: Seorang mengatakan saya ingin pergi umrah dan saya akan turun dulu di Jeddah sebelum umrah untuk membeli barang-barang yang saya butuhkan, maka disini kepergiannya ke Jeddah adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan tetapi kalau asal tujuannya adalah pergi ke Jeddah dikarenakan ada kebutuhan yang sangat penting kemudian berkata: "Kalau dikendaki Alah dan saya mempunyai kesempatan, saya akan berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal tujuan yaitu ke Jeddah. Maka dia beihram di Jeddah dan jika dia memilliki dua tujuan yang sama kuat maka diambil tujuan melaksanakan umrah sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah, mereka berihram dari Makkah untuk berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka mereka harus keluar tanah haram Makkah yang paling dekat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas yang terdahulu dan hadits Aisyah ketika beliau berumrah setelah haji maka Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar untuk mengantarnya ke Tan'im, sebagaimana dalam hadits Abdurrahman, beliau berkata:

أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ n أَنْ أُرْدِفَ عَائِشَةَ وَأَعْمَرُهَا مِنَّ التَّنْعِمِ (متفق عليه)

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkanku untuk menemani Aisyah dan (Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan'im " [Mutafaq 'alaih]

Demikianlah Miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang berihram dari rumah-rumah mereka jika akan berhaji dan keluar ke tempat yang halal (di luar tanah haram Makkah) yang terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi mereka yang tidak melewati Miqat-Miqat tersebut, maka wajib bagi mereka untuk berihrom dari tempat yang sejajar dengan Miqat yang terdekat dari jalan yang dilewati tersebut.

Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa manusia itu tidak lepas dari 3 keadaan:

1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Haramy atau al-Makky maka dia berihram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram dan berihram darinya.

2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari tempatnya untuk berhaji dan berumrah.

3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:
a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari Miqat
b. Tidak melewati Miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang sejajar atau memilih Miqat yang terdekat dengannya.

Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:

1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka tidak boleh dia masuk Makkah kecuali dalam keadaan berihram.
2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua:

a. Orang yang melewati Miqat dan ingin masuk Makkah wajib berihram baik ingin haji dan umrah ataupun yang lainnya, ini merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.

Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.

إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ إِلاَّ مَنْ كَانَ مُحْرِمًا

"Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram Makkah) kecuali dalam keadaan berihram".

Mereka berkata: "Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati Miqat dengan niat masuk Makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah telah mengharamkan Makkah dan keharaman tersebut mengharuskan masuknya dengan cara yang khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya."

b. Boleh bagi yang melewati Miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan ini adalah madzhab Syafi'i.

Mereka berdalil sebagai berikut:
1.Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لِمَنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ (متفق عليه)

"Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah" [Mutafaqun 'alaih]

Disini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membatasi perintah berihram kepada orang yang berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak berihram jika ingin masuk Makkah.

2. Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Makkah pada fathul Makkah dalam keadaan memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar).

Dan yang rajih - والله أعلم - adalah pendapat kedua yang membolehkan karena asalnya adalah tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy.

Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari Miqat-Miqat yang telah ditentukan oleh syar'i, lalu bagi mereka yang melewat Miqat dan dia berniat haji atau umrah dan belum berihram maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:

1. Melewati Miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui Miqat beberapa jauh, kemudian kembali ke Miqat untuk berihram darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-apa, karena dia telah berihram dari tempat yang Allah perintahkan untuk berhram.

2. Melewati Miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke Miqat, masalah ini ada dua gambaran:
a. Dia memiliki udzur syar'i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut kehilangan haji kalau kembali dan lain sebagainya.
b. Tidak memiliki udzur syar'i.
maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia telah kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari Miqat.

3. Melewati Miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui Miqat, lalu kembali dan berihram lagi untuk kedua kali dari Miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat ulama:
a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan hanabillah.
b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab Syafi'iyah
c. Kalau kembali ke Miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam (sembelihan) dan kalau kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.
d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari Miqat, ini pendapat Sa'id bin Jubair.
e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza'i, dan ats-Tsaury.

Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh 'Umdah hal. 23.

5. JENIS-JENIS MANASIK HAJI.
Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:
1. Ifrod
Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihrom untuk haji tanpa dibarengi dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji saja, kemudian pergi ke Makkah dan berthowaf qudum, apabila telah berthowaf maka dia tetap berpakaian ihrom dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 dzul hijah dan tidak dibebani hadyu (sembelihan),serta tidak ber sa'i kecuali sekali dan umrohnya dapat dilakukan pada perjalanan yang lainnya.

Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:
a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap diMakkah sampai haji.
b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji,kemudian pulang ketempat tinggalnya dan setelah itu kembali ke Mekkah untuk menunakann ibadah haji.

2. Tamatu'
Tamatu' adalah berihrom untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihrom untuk haji pada tahun itu juga. Dalam hal ini diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh karena i tu setelah thawaf dan sya'i dia mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul hijjah berihram untuk haji.

3. Qiran
Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu (sembelhan) sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan qiran ini memiliki tiga bentuk:
a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan "لَبَيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا " dengan dalil bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam didatangi Jibril Alaihissallam dan berkata:

صَلِّ فِيْ هَذَا اْلوَادِى الْمُبَارَكِ وَ قُلْ عُمَْرَةً فِى حَجَّةٍ

"Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan "'Umrah fi hajjatin". [HR Bukhari]

b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum memulai thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan 'Aisyah ketika beliau berihram untuk umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan beliau untuk berihlal (ihram) untuk haji dan perintah tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits tersebut:

سَعْيُكِ طَوَافُكِ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ

"Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu" [HR Muslim no. 2925/132]

c. Berihram untuk haji kemudian memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para ulama ada dua pendapat:

1.Boleh dengan dalil hadits 'Aisyah.

أَهَلَّ رَسُوْلُ الله بِالْحَجِّ

"Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji".

dan hadits Ibnu Umar.

صَلِّ فِيْ هَذَا اْلوَادِى الْمُبَارَكِ وَ قُلْ عُمَْرَةً فِى حَجَّةٍ

"Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan "'Umrah fi hajjatin" [HR Bukhari]

دَخَلَ اْلعُمْرَةُ فِىْ الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat".

Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.

2. Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanbali. Berkata Syaikhul Islam : Dan seandainya dia berihram dengan haji kemudian memasukkan umrah ke dalamnya, maka tidak boleh menurut pendapat yang rojih dan sebaliknya dengan kesepakatan para ulama. [12]

Kemudian berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita simpulkan menjadi tiga pendapat:

1. Tamattu' lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, 'Aisyah, Alhasan, 'Atha', Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad bin Hanbal, dan madzhab ahli zhahir serta merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab hanbali dan satu daru dua pendapat Imam Syafi'i.

2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:

a. Hadits Anas, beliau berkata:

سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله أَهَلَّ بِهَا جَمِيْعًا: لَبَيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا، لَبَيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا (متفق عليه)

"Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: labbaik Umrotan wa hajjan" [Mutafaqun Alaih]

b. Hadits Adh-Dhaby bin Ma'bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang umar lalu dia menanyakannya,maka beliau berkata: "Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu. [HR Abu Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih]

c. Pebuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya.

سَمِعْتُ النَّبِيَّ يُلَبِّي بِهَا جَمِيْعًا فَلَمْ أَكُنْ أَدَعَ قَوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِقَوْلِكَ (رواه البيهقي)

"Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka aku tidak akan meninggalkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu" [HR Baihaqi]

d. Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.

3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari Madzhab Syafi'i serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan 'Aisyah; dengan hujjah:

a. Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan haji ifrad
b. Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak membutuhkan lebih utama dari yang membutuhkan.
c. Amalan Khulafaur Rasyidin

Sedangkan yang rajih - والله أعلم adalah pendapat pertama dengan dalil:
a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan menginap disana , lalu setelah shalat subuh beliau berkata:

مَنْ شَاءَ أَنْ يَجَْلَهَاعُمْرَةً فَلْيَجْعَلْهَا عُمْرَةً

"Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah" [Mutafaqun alaihi]

b. Hadits Aisyah

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ الله n وَلاَ أُرِيْدُ إِلاَّ أَنَّهُ الْحَجَّ، فَلَما قَدِمْنَا مَكَةَ تَطَوَّفْنَا بِالْبَيْتِ فَأَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ مَنْ لَمْ يَكُنْ سَاقَ اْلهَدْيِ أَنْ يُحِلَّ، قَالَتْ فَحَلَّ مَنْ لَمْ يَكُنْ سَاقَ الْهَدْيِ وَ نِسَاؤُهُ لَمْ يَسُقْنَ الْهَدْيَ فَأَحْلَلْنَا

"Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami ingin kecuali untuk haji, ketika kami tiba di Makkah kami thawaf di ka'bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang tidak membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul, berkata Aisyah: maka bertahalullah orang yang tidak membawa hadyu dan istri-istri belia tidak membawa hadyu maka mereka bertahalul".[Mutafaqun alaih]

c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya ketika selesai thawaf di ka'bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.

Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu' menujukkan bahwa tamatu' lebih utama. Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.

d. Sabda Raslullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِيْ مَا اسْتَدَْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدَْيَ وَ لَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً

"Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka saya tidak akan membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah". [HR Muslim Ahmad no. 6/175]

e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabatnya yang masih bimbang dengan anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah sebagaimana hadits Aisyah.

فَدَخَلَ عَلِيَّ وَ هُوَ غَضْبَانٌ فَقُْلْتُ: مَنْ أَغْضَبَكَ يَا رَسُوْلَ الله أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ؟ قَالَ أَوَمَا شَعَرْتِ أَنِّيْ أَمَرْتُ النَّاسَ بِأَمْرٍ فَإِذَا هُمْ يَتَرَدَّدُوْنَ

"Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata: "Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah semoga Allah memasukkannya ke dalam neraka?" Beliau menjawab: "Apakah kamu tidak tahu, aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu dalam melaksanakannya)". [HR Muslim]

Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang lainnya - والله أعلم -

Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) maka qiran lebih utama, dan apabila dia telah berumrah sebelum bulan-bullan haji maka ifrad lebih utama dan selainnya tamatu' lebih utama. Beliau berkata: Dan yang rajih dalam hal ini adalah hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian dengan satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka dalam keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia mengerjakan apa yang telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan haji dalam satu kali perjalanan dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu maka, bertahalul dari ihram untuk umrah lebih utama.[13].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


BEBERAPA KESALAHAN SAAT MELAKSANAKAN IBADAH HAJI

Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro


Haji merupakan ibadah yang sangat mulia, yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, dalam melakukan haji, harus dikerjakan dengan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

"Sungguh telah ada pada Rasulullah suri tauladan yang terbaik bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi orang yang banyak berdzikir kepada Allah". [Al Ahzab : 21].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada waktu haji wada':

خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

"Ambillah manasik haji kalian, sesunguhnya aku tidak mengetahui barangkali aku tidak akan mengerjakan haji lagi setelah ini". [HR Ahmad].

Betapa banyak kaum Muslimin yang pergi menunaikan ibadah haji, namun mereka tidak memahami hukum-hukumnya, dan tidak mengetahui hal-hal yang bisa membatalkan ibadahnya, atau yang bisa mengurangi kesempurnaan hajinya. Hal ini terjadi, bisa jadi karena haji merupakan ibadah yang pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama, serta hukum-hukumnya lebih banyak jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Sehingga bisa menyebabkan seseorang yang melaksanakan haji melakukan penyimpangan dan kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Ilmu manasik haji adalah yang paling rumit di dalam ibadah".

Sebagian jama'ah haji, mereka mengerjakan hal-hal yang tidak ada asalnya dari Al Kitab dan As Sunnah. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Kedua, mereka taklid buta kepada pendapat seseorang tanpa adanya alasan yang dibenarkan.

Dalam tulisan ini kami akan menjelaskan beberapa kesalahan yang sering terjadi di kalangan jama'ah haji pada umumnya, supaya kita mampu menghindarinya dan bisa memperingatkan saudara-saudara kita agar tidak terjatuh dalam kesalahan ini.

1. KESALAHAN KETIKA IHRAM.
a. Sebagian jama'ah haji, ketika melewati miqat atau sejajar dengannya di atas pesawat, mereka menunda ihram sehingga turun di bandara Jeddah.
Dalam Al Bukhari dan Muslim, dan selainnya dari Ibnu Abbas, dia berkata:

وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ هُنَّ لَهُنَّ وَلِكُلِّ آتٍ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِمْ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ

"Nabi telah menentukan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, dan untuk penduduk Syam di Al Juhfah, dan untuk penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tempat-tempat itu untuk mereka dan untuk orang yang melewatinya, meskipun bukan dari mereka (penduduk-penduduk kota yang telah disebutkan), bagi orang yang ingin menunaikan haji dan umrah".

Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ

"Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan miqat untuk penduduk Irak di Dzatu 'Irq". [HR Abu Dawud dan An Nasa-i].

Tempat-tempat tersebut adalah miqat-miqat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai batasan syar'i. Maka tidaklah halal bagi seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah untuk merubahnya atau untuk melewatinya tanpa ihram.

Dalam Shahih Al Bukhari, dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Ketika dibuka dua kota ini, yakni Bashrah dan Kufah, mereka datang kepada Umar, lalu berkata: “Wahai, Amirul Mukminin. Sesungguhnya Nabi telah menetapkan miqat untuk penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan tempat itu menyimpang dari kita. Apabila kita hendak pergi ke Qarnul Manazil, maka akan memberatkan kita”. Umar berkata,”Lihatlah kepada tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Manazil, Pen) dari jalan kalian.”

Dalam atsar ini Umar bin Khaththab telah menentukan miqat bagi orang yang tidak lewat di tempat tersebut, namun mereka sejajar dengannya. Tidak ada bedanya orang yang melewati miqat lewat udara ataupun lewat darat.

b. Keyakinan sebagian jama'ah haji atau umrah, bahwa yang dimaksud ihram adalah sekedar mengenakan pakaian ihramnya setelah mengganti dari pakaian biasa; padahal, ihram adalah niat untuk masuk ke dalam ibadah umrah atau haji.

Yang benar, bahwa seseorang ketika mengenakan pakaian ihram, hal ini adalah persiapan untuk ihram. Karena ihram yang sebenarnya adalah niat untuk masuk ke dalam manasik. Hal inilah yang belum diketahui oleh kebanyakan orang, mereka mengira, hanya dengan mengenakan pakaian ihram, telah mulai menjauhi larangan ihram, padahal larangan-larangan ihram dijauhi ketika seseorang mulai niat masuk ke dalam manasik.

c. Ketika seorang wanita dalam keadaan haidh, dia tidak melakukan ihram karena adanya keyakinan bahwa ihram harus dalam keadaan suci, kemudian dia melewati miqat tersebut tanpa ihram.

Hal ini merupakan kesalahan yang nyata, karena haidh tidak menghalanginya untuk ihram. Seorang wanita yang haidh, ia tetap melakukan ihram dan mengerjakan semua yang harus dikerjakan oleh jama'ah haji, kecuali thawaf. Dia menunda thawaf sehingga suci dari haidhnya.

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata: “Nabi telah masuk ke tempatku, (dan) aku sedang menangis”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab: “Demi Allah, aku berkeinginan seandainya aku tidak haji pada tahun ini”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali engkau sedang haidh?” Aku menjawab: “Benar”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

"Itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk wanita keturunan Adam. Kerjakanlah semua yang dikerjakan oleh orang yang haji, kecuali engkau jangan thawaf di Ka'bah, sehingga engkau suci". [HR Al Bukhari].

d. Keyakinan sebagian jama'ah haji bahwa pakaian ihram bagi kaum wanita harus memiliki warna tertentu, seperti warna hijau atau warna lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Adapun sebagian orang awam yang mengkhususkan pakaian ihram bagi wanita dengan warna hijau atau hitam, dan tidak boleh dengan warna yang lain, maka hal ini tidak ada asalnya”.[1]

e. Keyakinan bahwa pakaian ihram yang dipakai oleh jama'ah haji tidak boleh diganti meskipun kotor.
Hal ini merupakan suatu kesalahan dari jama'ah haji. Sebenarnya boleh untuk mengganti pakaian ihram mereka dengan yang semisalnya, dan boleh juga untuk mengganti sandal. Tidak menjauhi kecuali larangan-larangan ketika ihram, sedangkan hal ini bukanlah termasuk larangan.

Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz: "Tidak mengapa untuk mencuci pakaian ihram dan tidak mengapa untuk menggantinya, atau menggunakan pakaian yang baru, atau yang sudah dicuci”.[2]

f. Talbiyah secara berjama'ah dengan satu suara.
Ibnu Al Haaj berkata : "Yakni, hendaknya mereka tidak mengerjakannya dengan satu suara, karena hal ini termasuk bid'ah, bahkan setiap orang bertalbiyah sendiri-sendiri tanpa bertalbiyah dengan suara orang lain, dan hendaknya terdapat ketenangan dan keheningan yang mengiringi talbiyah ini…".[3]

g. Ketika ihram, sebagian jama'ah membuka pundak-pundak mereka seperti dalam keadaan idh-thiba' (Membuka pundak sebelah kanan dan menutup sebelah kiri dengan kain ihram).
Idh-thiba' tidak disyari'atkan kecuali ketika thawaf qudum atau thawaf umrah. Selain itu, tidak disyari'atkan dan pundak tetap dalam keadaan tertutup dengan pakaian ihramnya.

Berkata Ibnu Abidin dalam Hasyiyah-nya: "Yang sunnah adalah melakukan idh-thiba' sebelum thawaf hingga selesai, tidak ada yang lain daripada itu".[4]

Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah : "Apabila telah selesai dari thawaf, maka dia mengembalikan rida'nya (pakaian atas dari ihramnya) seperti keadaan semula, karena idh-thiba' dikerjakan ketika thawaf saja".[5]

h. Keyakinan bahwa shalat dua raka'at setelah ihram hukumnya wajib.
Tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua raka’at setelah ihram. Bahwasanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ihram setelah melakukan shalat fardhu, maka dianjurkan ihram setelah shalat fardhu.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Disunnahkan untuk ihram setelah selesai shalat, baik fardhu atau sunnah, jika dikerjakan pada waktu sunnah. (Demikian) menurut satu di antara dua pendapat. Dan menurut pendapat yang lain, jika dia shalat fardhu, maka dia ihram sesudahnya, dan jika bukan waktu shalat fardhu, maka bagi ihram tidak ada shalat yang mengkhususkannya. Dan ini adalah pendapat yang paling kuat".[6]

2. KESALAHAN KETIKA THAWAF.
a. Memulai thawaf sebelum Hajar Aswad.
Hal ini termasuk perbuatan ghuluw dalam agama. Sebagian orang mempunyai keyakinan agar lebih berhati-hati. Akan tetapi, hal ini tidak bisa diterima, karena sikap hati-hati yang benar adalah apabila kita mengikuti syari'at dan tidak mendahului Allah dan RasulNya.

b. Sebagian jama'ah haji berpedoman dengan do'a-do'a khusus, terkadang mereka dipimpin oleh seseorang untuk mentalkin, kemudian mereka mengulang-ulanginya secara bersama-sama.
Hal ini tidak dibenarkan, karena dua hal. Pertama. Karena di dalam thawaf tidak ada do'a khusus. Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi n bahwa di dalam thawaf terdapat do'a khusus. Kedua. Bahwa do'a secara berjama'ah adalah perbuatan bid'ah. Perbuatan ini mengganggu bagi orang lain yang juga sedang thawaf. Yang disyari'atkan ialah, setiap orang berdo'a sendiri-sendiri tanpa mengeraskan suaranya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Didalam hal ini –yakni thawaf- tidak ada dzikir yang khusus dari Nabi, baik perintah atau ucapan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengajarkan hal itu. Bahkan setiap orang berdo'a dengan do'a-do'a yang masyru' (disyariatkan). Adapun yang disebut oleh kebanyakan orang bahwa terdapat do'a tertentu di bawah Mizab dan tempat lainnya, maka hal itu sama sekali tidak ada asalnya”.[7]

c. Sebagian jama'ah haji mencium Rukun Yamani.
Hal ini merupakan kesalahan, karena Rukun Yamani hanya disentuh dengan tangan saja, tidak dicium. Yang dicium hanyalah Hajar Aswad, apabila kita mampu untuk menciumnya. Jika tidak mampu, maka diusap. Jika tidak bisa (diusap) juga, maka kita cukup dengan memberi isyarat dari jarak jauh.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Adapun Rukun Yamani, menurut pendapat yang shahih, dia tidak boleh dicium". [8]

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : "Telah shahih dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyentuh Rukun Yamani. Dan tidak ada yang sah dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menciumnya, atau mencium tangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menyantuhnya".[9]

d. Sebagian jama'ah haji mengerjakan thawaf dari dalam Hijir Isma'il.
Dalam masalah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam Hijir Ismail ketika thawaf, karena sebagian besar hijir termasuk dalam area Ka'bah, padahal Allah memerintahkan untuk thawaf mengelilingi Ka'bah, bukan thawaf di dalam Ka'bah".[10]

e. Keyakinan sebagian orang yang thawaf, bahwa shalat dua raka'at setelah thawaf harus dikerjakan di dekat Maqam Ibrahim.
Yang benar, shalat dua raka'at setelah thawaf boleh dikerjakan dimana saja dari Masjidil Haram, dan tidak wajib untuk dikerjakan di dekat Maqam Ibrahim, sehingga tidak berdesak-desakan dan mengganggu jama'ah lainnya.[11]

f. Ketika thawaf, sebagian jama'ah haji mengusap-usap setiap yang mereka jumpai di dekat Ka'bah, seperti Maqam Ibrahim, dinding Hijir Isma'il dan kain Ka'bah, dan yang lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Adapun seluruh sudut Ka'bah dan Maqam Ibrahim, dan seluruh masjid dan dindingnya, dan kuburnya para nabi dan orang-orang yang shalih, seperti kamar Nabi kita, dan tempatnya Nabi Ibrahim dan tempat Nabi kita yang dahulu mereka gunakan untuk shalat, dan selainnya dari kuburnya para nabi serta orang yang shalih, atau batu yang di Baitul Maqdis, maka menurut kesepakatan ulama, semuanya itu tidak boleh untuk diusap dan tidak boleh juga untuk dicium".[12]

g. Sebagian jama'ah wanita berdesak-desakan ketika hendak mencium Hajar Aswad.
Padahal Allah telah berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

"Haji adalah pada bulan-bulan yang telah ditetapkan, barangsiapa yang mengerjakan haji, maka janganlah berbuat rafats dan berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam mengerjakan haji". [Al Baqarah : 197].

Berdesak-desakan ketika haji akan menghilangkan rasa khusyu' dan akan melupakan dalam mengingat Allah. Padahal, dua hal ini termasuk maksud yang utama ketika kita thawaf.[13]

h. Sebagian jama’ah haji tetap idh-thiba' setelah selesai thawaf dan shalat dua raka'at dalam keadaan idh-thiba'.
Dalam hal ini terdapat dua kesalahan. Pertama. Yang sunnah dalam idh-thiba', yaitu ketika thawaf qudum. Kedua. Mereka terjatuh ke dalam larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang shalat sedangkan pundak mereka terbuka. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ

"Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu baju yang tidak ada di atas kedua pundaknya sesuatu dari kain". [HR Al Bukhari].

i. Mengeraskan niat ketika memulai thawaf.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Nabi tidak mengatakan ‘aku niatkan thawafku tujuh putaran di Ka'bah begini dan begini’ -hingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata- bahkan hal ini termasuk bid'ah yang munkar".[14]

j. Raml (lari kecil) pada tujuh putaran seluruhnya.
Yang sunnah ialah, melakukan raml pada tiga putaran yang pertama. Adapun pada empat putaran yang terakhir berjalan seperti biasanya.

k. Keyakinan mereka bahwa Hajar Aswad bisa memberi manfaat.
Sebagian di antara jamaah haji, setelah menyentuh Hajar Aswad, mereka mengusapkan tangannya ke seluruh tubuhnya atau mengusapkan kepada anak-anak kecil yang bersama mereka. Hal ini merupakan kejahilan dan kesesatan, karena manfaat dan madharat datangnya dari Allah. Dahulu Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata:

وَإِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

"Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu, tidak memberi madharat dan tidak bermanfaat. Jika seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu".

l. Setelah selesai dari shalat dua raka'at, mereka berdiri dan berdo'a secara berjama'ah dan dikomando oleh seseorang.
Hal ini bisa mengganggu orang lain yang sedang shalat di dekat maqam. Mereka melampaui batas ketika berdo'a. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

"Berdo'alah kepada Rabb kalian dengan khusyu' dan perlahan, sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas". [Al A'raf : 55].

3. KESALAHAN DALAM SA'I.
a. Melakukan sa'i antara Shafa dan Marwa sebanyak empatbelas kali, dimulai dari Shafa dan berhenti di Shafa kembali.

Padahal yang sunnah ialah tujuh kali, bermula dari Shafa dan berakhir di Marwa.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Hal ini adalah salah terhadap sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak pernah dinukil oleh seorangpun dari beliau, dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun dari para imam yang telah dikenal pendapat mereka, meskipun hal ini dikatakan oleh sebagian orang belakangan yang menyandarkan kepada imam. Di antara hal yang menjelaskan kesalahan pendapat ini (sa'i empatbelas kali), bahwasanya beliau berbeda dalam hal ini. Beliau mengakhiri sa'i di Marwa. Jika seandainya berangkat dan kembali dihitung sekali, pasti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan mengakhiri sa'i di Marwa".[15]

b. Shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i, seperti ketika selesai dari thawaf.
Shalat dua raka'at setelah selesai thawaf telah ditetapkan oleh sunnah. Adapun shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i adalah bid'ah yang munkar dan menyelisihi petunjuk Nabi. Dalam masalah ini tidak bisa diqiyaskan, karena bertentangan dengan nash yang shahih dalam sa'i.

c. Terus melakukan thawaf dan sa'i meskipun shalat di Masjidil Haram telah dikumandangkan iqamat.
Dalam masalah ini, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: "Hendaknya (orang yang sedang sa'i atau thawaf) shalat bersama orang lain, kemudian baru menyempurnakan thawaf dan sa'inya yang telah dia kerjakan sebelum shalat".[16]

d. Sebagian jama'ah haji, mereka sa'i dalam keadaan idh-thiba'.
Seharusnya dia tidak idh-thiba', karena tidak ada dalilnya dalam hal ini. Imam Ahmad mengatakan: "Kami tidak mendengar sesuatu (tentang sunnahnya ketika sa'i) sedikitpun juga". [17]

e. Sebagian jamaah haji berlari-lari di seluruh putaran antara Shafa dan Marwa.
Hal ini menyelisihi sunnah, karena berlari hanya di antara dua tanda hijau saja. Yang lainnya adalah jalan seperti biasa.

f. Sebagian wanita berlari di antara dua tanda hijau seperti yang dilakukan oleh kaum lelaki.
Padahal wanita tidak dianjurkan untuk lari, namun berjalan biasa di antara dua tanda hijau. Ibnu Umar berkata: "Bagi kaum wanita tidak disunnahkan raml (berlari kecil) di sekitar Ka'bah, dan (tidak) juga antara Shafa dan Marwa".
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: "Adapun kaum wanita, (ia) tidak disyari'atkan untuk berjalan cepat di antara dua tanda hijau, karena wanita adalah aurat. Akan tetapi, disyari'atkan bagi mereka untuk berjalan di seluruh putaran".[18]

g. Sebagian orang yang sa'i, setiap kali menghadap Shafa dan Marwa selalu membaca:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللهِ .

Padahal yang sunnah ialah membaca ayat ini ketika pertama kali menghadap kepada Shafa saja.

4. KESALAHAN KETIKA WUKUF DI ARAFAH.
a. Sebagian jama'ah haji berdiam di luar batasan Arafah dan tinggal di tempat itu hingga terbenam matahari, kemudian mereka langsung menuju Muzdalifah.
Hal ini merupakan kesalahan besar. Karena wukuf di Arafah hukumnya rukun, dan tidak akan sah hajinya tanpa rukun ini, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

الْحَجُّ عَرَفَةُ مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ

"Haji adalah Arafah, barangsiapa yang datang pada malam harinya sebelum terbit fajar (hari kesepuluh), maka dia telah mendapatkan wukuf". [HR At Tirmidzi]

b. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari.
Dalam masalah ini Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah mengatakan, hal ini adalah haram, menyelisihi sunnah Nabi. Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wukuf hingga matahari terbenam dan hilang cahayanya. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari merupakan hajinya orang jahiliyah.

c. Mereka menghadap ke arah bukit Arafah, sedangkan kiblat berada di belakang atau di arah kanan dan kirinya. Sebagian mereka mempunyai keyakinan, bahwa ketika wukuf harus memandang bukit Arafah atau pergi dan naik kesana.

Anggapan seperti ini menyelisihi sunnah, karena sunnah dalam hal ini ialah menghadap ke arah kiblat sebagaimana dikerjakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: "Menghadap ke arah bukit Arafah atau tempat lain tidaklah terdapat keutamaan atau anjuran. Bahkan, jika dia mengharuskan hal ini dan meyakini bahwa perbuatan ini afdhal, maka mengerjakannya merupakan bid'ah. Dan naik ke atas bukit dengan maksud beribadah disana merupakan bid'ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".[20]

d. Bercepat-cepat dan bersegera ketika meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah.
Sebagian orang sangat tergesa-gesa dengan kendaraan mereka dan dengan suara klakson yang mengganggu orang lain, sehingga terjadi hal-hal yang tidak terpuji, seperti saling mencela dan saling mendo'akan kejelekan di antara mereka.

Berkata Ibnu Al Haaj: "Apabila seseorang meninggalkan Arafah setelah matahari terbenam, maka hendaknya dia berjalan pelan-pelan, dan wajib baginya untuk tenang, perlahan dan khusyu". [21]

5. KESALAHAN KETIKA MELEMPAR JUMRAH
a. Keyakinan, bahwa mereka harus mengambil kerikil dari Muzdalifah.
Anggapan seperti ini tidak ada asalnya sama sekali. Dahulu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ialah memerintahkan Ibnu Abbas untuk mengambil kerikil, sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam naik di atas kendaraan. Yang nampak dari kisah ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di dekat jumrah.

Berkata Syaikh Ibnu Baz: "Apa yang dikerjakan oleh sebagian orang untuk mengambil kerikil ketika sampai di Muzdalifah sebelum mengerjakan shalat, kebanyakan mereka berkeyakinan bahwa hal itu masyru', maka hal ini merupakan kesalahan yang tidak ada asalnya. Nabi n tidak memerintahkan untuk diambilkan kerikil, kecuali ketika beliau n meninggalkan Masy'aril Haram menuju Mina. Kerikil yang diambil dari mana saja sah baginya, tidak harus dari Muzdalifah, akan tetapi boleh diambil di Mina". [22].

b. Keyakinan mereka bahwa ketika melempar jumrah, seakan-akan sedang melempar setan.
Maka dari itu, ketika melempar jumrah mereka berteriak dan memaki, yang mereka yakini sebagai setan. Semua hal ini tidak ada asalnya di dalam syari'at kita yang mulia.

c. Melempar dengan sandal atau sepatu dan batu yang besar.
Hal ini bertentangan dengan Sunnah Nabi, karena beliau n melempar dengan batu kerikil, dan beliau memerintahkan umatnya untuk melempar dengan semisalnya. Dalam hal ini, beliau memperingatkan dari ghuluw.

d. Mereka tidak berhenti untuk berdo'a setelah melempar jumrah yang pertama dan kedua pada hari tasyrik.
Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu berdiri setelah melempar jumrah ula dan wustha, dengan menghadap ke arah kiblat mengangkat kedua tangannya dan berdo'a dengan do'a yang panjang.

6. KESALAHAN KETIKA MENCUKUR RAMBUT.
Sebagian jama'ah haji mencukur sebagian dari rambutnya dan menyisakan sebagian lainnya.
Mengomentari hal ini Syaikh Ibnu Baz berkata: "Menurut pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama, tidak sah jika memendekkan sebagian rambut atau hanya mencukur sebagian rambutnya. Bahkan yang wajib adalah mencukur seluruh rambutnya atau memendekkan seluruhnya. Dan yang afdhal ialah memulai dengan bagian kanan terlebih dahulu sebelum yang kiri".[23]

7. KESALAHAN KETIKA ZAIARAH KE MASJID NABAWI.
a. Keyakinan bahwa ziarah ke Masjid Nabawi ada hubungannya dengan haji dan termasuk penyempurna bagi hajinya.

Anggapan seperti ini merupakan kesalahan yang nyata, karena ziarah ke Masjid Nabawi tidak ditetapkan dengan waktu tertentu, dan tidak ada hubungannya dengan haji. Barangsiapa yang pergi haji dan tidak ziarah ke Masjid Nabawi, hajinya sah dan sempurna.

b. Sebagian orang yang ziarah ke kubur Nabi, mereka mengeraskan suara di dekat kuburan. Mereka berkeyakinan, bahwa jika berdo'a di dekat kubur Nabi akan memiliki kekhususan tertentu.

Hal ini merupakan kesalahan yang besar, dan tidak disyari'atkan untuk berdo'a di dekat kuburan, meskipun orang yang berdo'a tidak menyeru kecuali kepada Allah. Hal ini meruapakan perbuatan bid'ah dan menjadi wasilah menuju kesyirikan. Dahulu, kaum salaf tidak pernah berdo'a di dekat kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mereka mengucapkan salam kepada beliau.

Wallahu a'lam.

Maraji':
1. Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Jama' Abdur Rahman bin Qasim.
2. At Tahqiq wa Al Idhah, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baaz.
3. Hajjatu an Nabiyyi Kama Rawaaha anhu Jabir, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Al Maktab Al Islami, Tahun 1405H.
4. Manasiku al Hajji wa al Umrah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, Cet. Dar al Waki', Tahun 1414 H.
5. Min Mukhalafat al Hajji wa al Umrah wa az Ziyarah, Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As Sadhan, Cet. Dar Syaqraa', Tahun 1416 H, dan Mukhtashar-nya.
6. Al Mindhar Fi Bayani Katsirin min al Akhtha' asy Syaai'ah, Ma'aali Syaikh Shalih Alu Syaikh, Cet. Dar al Ashimah, Tahun 1418 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

IHRAM DALAM HAJI DAN UMRAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". [adz- Dzariyat/51 : 56].

Untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla. Sehingga dengan hikmah-Nya yang agung, Dia mengutus para rasul untuk membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia.

Di antara kesempurnaan Islam adalah penetapan ibadah haji ke Baitullah, al-Haram sebagai salah satu syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima, dan menjadi salah satu sarana bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketakwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu, dengan kesempurnaan syari'atnya, Islam telah menetapkan suatu tata cara atau metode yang lengkap dan terperinci, sehingga tidak perlu lagi adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini.

Salah satu bagian ibadah haji adalah ihram, yang harus dilakukan setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Sebagai salah satu bagian tersebut, maka pelaksanaannya perlu dijelaskan, yakni menyangkut tata cara dan hukum seputar hal itu.

DEFINISI IHRAM
Kata ihram diambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-haram yang bermakna terlarang atau tercegah. Hal itu dinamakan dengan ihram, karena seseorang yang dengan niatnya masuk pada ibadah haji atau umrah, maka ia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima', menikah, ucapan kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini, para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah), atau kedua-duanya secara bersamaan.[1]

Dengan demikian, menjadi jelas kesalahan pemahaman sebagian kaum muslimin yang mengatakan ihram adalah berpakaian dengan kain ihram. Karena ihram merupakan niat masuk ke dalam haji atau umrah. Sedangkan berpakaian dengan kain ihram merupakan satu keharusan bagi seseorang yang telah berihram.

TEMPAT BERIHRAM
Ihram, sebagai bagian penting ibadah haji dan umrah dilakukan dari miqât. Seorang yang akan berhaji dan umrah, ia harus mengetahui miqat sebagai tempat berihram. Mereka yang tidak berihram dari miqât, berarti telah meninggalkan suatu kewajiban dalam haji, sehingga wajib atas mereka untuk menggantinya dengan dam (denda).

TATA CARA IHRAM
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu 'anhu Beliau berkata:

فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ وَاسْتَثْفِرِيْ بِثَوْبٍ وَاحْرِمِيْ (رواه مسلم)

"Lalu kami keluar bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tatkala sampai di Dzul Hulaifah, Asma binti 'Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr. Maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dan bertanya): 'Apa yang aku kerjakan?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: 'Mandilah dan beristitsfarlah [2], dan berihramlah'." [Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Dawud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu Majah no. 3074.]

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak bertayammum, karena bersuci yang disunnahkan apabila tidak dapat menggunakan air maka tidak bertayamum. Allah l menyebutkan tayammum dalam bersuci dari hadats sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)…". [al-Mâ`idah/5 : 6].

Oleh karena itu, tidak bisa dianalogikan (dikiaskan) kepada yang lainnya. Juga karena tidak ada contoh atau perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertayammum apalagi jika mandi ihram tersebut untuk kebersihan dengan dalil perintah beliau kepada Asma` bintu Umais yang sedang haidh untuk mandi tersebut.

2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram, sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah Radhiyallahu anha :

كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ n لإِحْرَامِهِ قَبْلَ اَنْ يُحْرِمَ وَ لِحِلَِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ.

"Aku memakaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram, dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka'bah".[HR Bukhâri no.1539, dan Muslim no. 1189].

Dalam pemakaian minyak wangi ini hanya diperbolehkan pada anggota badan, dan bukan pada pakaian ihramnya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَلْبَسُوْا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَ لاَ الْوَرَسُ

"Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za'faran dan wars". [Muttafaqun alaih].

Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:
a. Memakainya sebelum mandi dan berihram, dan ini disepakati tidak ada permasalahan.
b. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.

Dalil dibolehkannya pemakaian minyak wangi dalam ihram, yaitu hadits Aisyah, beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ اِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبَ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيْصَ الدُّهْنِ فِيْ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ (رواه مسلم)

"Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin berihram, (beliau) memakai wangi-wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan, kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya setelah itu". [HR Muslim no.2830].

'Aisyah Radhiyallahu anha berkata pula:

كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ الْمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ وَ هُوَ مُحْرِمٌ

"Seakan-akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan beliau dalam keadaan ihram". [HR Muslim no. 2831, dan Bukhâri no. 5923].

Ada satu permasalahan:
Apabila seseorang memakai wangi-wangian di badannya, yaitu di kepala dan jenggotnya, tetapi kemudian minyak wangi itu menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?

Jawabnya: Tidak mempengaruhi, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes, lantaran mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan [3].

Kemudian, jika seseorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu, dan dia telah memakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Jika ia lakukan, maka minyak tersebut akan menempel ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?

Syaikh Muhammad Shâlih al-'Utsaimîn pernah memberikan penjelasan tentang masalah ini. Syaikh berkata: "Tidak perlu, bahkan hal itu termasuk berlebih-lebihan dalam agama, dan tidak ada dalilnya. Demikian juga tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit. Dia cukup mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan" [4].

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِىْ إِزَارٍ وَ رِدَاءٍ وَ نَعْلَيْنِ

"Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal". [HR Ahmad 2/34, dan dishahîhkan sanadnya oleh Ahmad Syakir].

Dua helai kain itu diutamakan berwarna putih, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

خَيْرُ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضُ فَالْبَسُوْهَا َوكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَكُمْ

"Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian dengannya". [HR Ahmad. Lihat Syarah Ahmad Syakir, 4/2219, dan ia berkata: "Isnadnya shahîh"]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam kitab manasik (hlm. 21) berkata: "Disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih. Jika keduanya berwarna putih maka itu lebih utama, dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang dimubahkan dari katun shuf (bulu domba), dan lain sebagainya. Dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna yang diperbolehkan [5], walaupun berwarna-warni". Sedangkan bagi wanita, ia tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat. Disebutkan dalam hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma dalam Shahîh Bukhâri bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِيَ اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّيْ فَقَالَ : صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِيْ الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِيْ حَجَّةٍ

"Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: "Shalatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: 'Umratan fî hajjatin'."

Juga hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu

فَصَلَّى رَسُوْلُ اللهِ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتُهُ عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ

"Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid (Dzul Hulaifah), kemudian beliau menaiki al-Qaswa' (nama onta beliau). Sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida', beliau berihram untuk haji". [HR Muslim]

Sehingga sesuai dengan sunnah maka yang lebih utama dan sempurna, ialah berihram setelah shalat fardhu. Akan tetapi, apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:

a. Tetap disunnahkan shalat dua rakaat, dan demikian ini pendapat jumhur, yaitu berdalil dengan keumuman hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu.

صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِي

"Shalatlah di Wadi (lembah) ini".

b. Tidak disyariatkan shalat dua rakaat, dan demikian ini pendapat Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau mengatakan di dalam Majmu' Fatâwâ (26/108): "Disunnahkan berihram setelah shalat, baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu' -menurut salah satu dari dua pendapatnya- dan yang lain kalau dia shalat fardhu, maka berihram setelahnya; dan jika tidak maka tidak ada shalat yang khusus bagi ihram; dan inilah yang râjih".

Di dalam Ikhtiyarat (hlm. 116) beliau menyatakan: "Berihram setelah shalat fardhu kalau ada, atau sunnah (nafilah); karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya".

Demikianlah, tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik, dan disunnahkan untuk diucapkan. Dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk, yaitu ifrad, qiran dan tamattu', sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah Radhiyallahu 'anha.

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ عُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ أَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِالْحَجِ فأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِعَمْرَةٍ فَحَلَّ عَنْهُ قُدُوْمُهُ وَ أَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ أَوْ جَمَعَ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَلَمْ يُحِلُّوْا حَتَّى كَانَ يَوْمَ النَّحْرِ (متفق عليه)

"Kami telah keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun haji Wada' maka ada di antara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah, dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berihram dengan haji saja. Adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya [6], dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada di hari nahar [7]." [Mutafaq 'alaih].

Oleh karena itu, seseorang yang bermanasik ifrad, ia mengatakan:

لَبَّيْكَ حَجًّا atau لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا

dan seseorang yang bermanasik tamattu', ia mengatakan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً atau لَبَّيْكَ الَّلهُمّ عُمْرَةً

dan ketika hari Tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:

لَبَّيْكَ حَجًّا atau لَبَّيْكَ الَّلهُمّ حَجًّا

Adapun sunnah yang bermanasik qiran, ia menyatakan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا

Setelah itu disunnahkan memperbanyak talbiyah hingga sampai ke Ka’bah untuk melaksanakan thawaf.

Demikian penjelasan secara ringkas tentang ihram saat haji dan umrah. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta'ala a'lam bish-Shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

No comments:

Post a Comment