!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Sunday, August 4, 2013

segeralah membayar zakat atau memberikan sedekah sebelum nyawa Anda sampai dikerongkongan. (nyawa Anda tengah diproses dicabut Malaikat Maut)


segeralah membayar zakat atau memberikan sedekah sebelum nyawa Anda sampai dikerongkongan. (nyawa Anda tengah diproses dicabut Malaikat Maut).

Ketika Isra Mirad Nabi Muhammad SAW selain mendapat perintah Allah SWT untuk Shalat (sembahyang), Nabi juga diperlihatkan kondisi Sorga dan Neraka.

Nabi melihat mayoritas penghuni Sorga adalah kaum fakir miskin yang beriman, sedangkan penghuni neraka adalah perempuan, Anda bisa melihat beberapa hadist yang menerangkan peristiwa Isra Mirad (perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Asqo (di kota Jerusalem) sampai ke langit ke tujuh untuk menerima perintah langsung dai Allah SWT agar seluruh Umat Manusia melakukan Sholat lima waktu dan beriman pada Allah SWT.

Kalau nyawa Anda sudah berada di tenggorokan, sudah tertutup pintu taubat Anda , termasuk pintu amal, sehinng kalau Anda Meninggal dunia, harta kekayaan anda sebanyak apapu tidak bisa menolong Anda di Hari Pembalasan, kecuali, amal jariah keluarga Anda yang pahalanya dinietkan untuk Anda, doa anak yang saleh, dan Ilmu yang bemanfaat.

SEGERA BERAMAL SEBELUM DATANG KEMATIAN
Janganlah seseorang selalu menunda dalam berbuat amal shalih karena kesibukan duniawinya. Karena, selama manusia masih hidup, ia tidak akan lepas dari kesibukan. Orang yang berakal akan mengutamakan urusan akhirat yang pasti datang, dan mengalahkan urusan dunia yang pasti ditinggalkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلآ أَوْلاَدُكُمْ عَن ذِكْرِ اللهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْ لآ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ وَلَن يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَآءَ أَجَلُهَا وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang melakukan demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya, Rabbku. Mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih”. Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan. [Al Munafiqun: 9-11].

Oleh karena itu, seseorang hendaklah memanfaatkan hidupnya dengan sebaik-baiknya, mengisinya dengan amal shalih sebelum datang kematian. Imam Bukhari meriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

Dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Rasululloh n memegang pundakku, lalu bersabda,”Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah seorang yang asing, atau seorang musafir.” Dan Ibnu Umar mengatakan: “Jika engkau masuk waktu Subuh, maka janganlah engkau menanti sore. Jika engkau masuk waktu sore, maka janganlah engkau menanti Subuh. Ambillah dari kesehatanmu untuk sakitmu. Dan ambillah dari hidupmu untuk matimu.” [HR Bukhari, no. 5.937].

Hendaklah setiap orang waspada terhadap angan-angan panjang umur, sehingga menangguhkan amal shalih. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ

Anak Adam semakin tua, dan dua perkara semakin besar juga bersamanya: cinta harta dan panjang umur. [HR Bukhari, no. 5.942, dari Anas bin Malik].

Sesungguhnya, masa 60 tahun bagi seseorang sudah merupakan waktu yang panjang hidup di dunia ini, cukup bagi seseorang merenungkan tujuan hidup, sehingga tidak ada udzur bagi orang yang telah mencapai umur tersebut.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً

Dari Abu Hurairah, dari Nabi n , Beliau bersabda: “Allah meniadakan alasan seseorang yang Dia telah menunda ajalnya sehingga mencapai 60 tahun. [HR Bukhari, no. 5.940].

PENUTUP
Mengakhiri tulisan ini, berikut kami bawakan pernyataan Hamid Al Qaishari, sebagai berikut: “Kita semua telah meyakini kematian, tetapi kita tidak melihat orang yang bersiap-siap menghadapinya! Kita semua telah meyakini adanya surga, tetapi kita tidak melihat orang yang beramal untuknya! Kita semua telah meyakini adanya neraka, tetapi kita tidak melihat orang yang takut terhadapnya! Maka terhadap apa kamu bergembira? Kemungkinan apakah yang kamu nantikan? Kematian! Itulah perkara pertama kali yang akan datang kepadamu dengan membawa kebaikan atau keburukan. Wahai, saudara-saudaraku! Berjalanlah menghadap Penguasamu (Allah) dengan perjalanan yang bagus”. [Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 483, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi].

Semoga tulisan ini mengingatkan kita, betapa penting mempersiapkan diri menghadapi kematian, yang merupakan masalah besar yang dihadapi setiap insan. Imam Ibnu Majah meriwayatkan:

عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةٍ فَجَلَسَ عَلَى شَفِيرِ الْقَبْرِ فَبَكَى حَتَّى بَلَّ الثَّرَى ثُمَّ قَالَ يَا إِخْوَانِي لِمِثْلِ هَذَا فَأَعِدُّوا

Dari Al Bara’, dia berkata: Kami bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu jenazah, lalu Beliau duduk di tepi kubur, kemudian Beliau menangis sehingga tanah menjadi basah, lalu Beliau bersabda: “Wahai, saudara-saudaraku! Maka persiapkanlah untuk yang seperti ini,!” [HR Ibnu Majah, no. 4.190, dihasankan oleh Syaikh Al Albani].

Demikian sedikit tentang dzikrul maut, semoga bermanfaat. Terakhir kami katakan: Wahai, saudara-saudaraku! Persiapkanlah dirimu menghadapi kematian!”
Wallahu Al Musta’an.

MENGINGAT MAUT

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari


Jika Anda pernah mendengar kisah mengenai orang-orang yang hidup kekal di dunia ini, sesungguhnya itu hanya dongeng yang batil. Sebagian orang beranggapan ada orang-orang yang hidup kekal di dunia ini, seperti Khidhir q , Dzulqarnain atau lainnya. Keyakinan seperti ini tidak dikenal dalam Islam. Karena, tidak ada manusia yang hidup kekal di dunia ini.

Kematian, sesungguhnya merupakan hakikat yang menakutkan, akan menghampiri semua manusia. Tidak ada yang mampu menolaknya. Dan tidak ada seorangpun kawan yang mampu menahannya.

Kematian datang berulang-ulang, menjemput setiap orang, orang tua maupun anak-anak, orang kaya maupun orang miskin, orang kuat maupun orang lemah. Semuanya menghadapi kematian dengan sikap yang sama, tidak ada kemampuan menghindarinya, tidak ada kekuatan, tidak ada pertolongan dari orang lain, tidak ada penolakan, dan tidak ada penundaan. Semua itu mengisyaratkan, bahwa kematian datang dari Pemilik kekuatan yang paling tinggi. Meski sedikit, tak seorang pun manusia memiliki wewenang atas kematian.

Hanya di tangan Allah semata pemberian kehidupan. Dan hanya di tanganNya, mengambil kembali yang telah Dia berikan pada ajal yang telah digariskan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [Ali Imran:185].

Maut merupakan ketetapan Allah. Seandainya ada seseorang yang selamat dari maut, niscaya manusia yang paling mulia pun akan selamat. Namun maut merupakan SunnahketetapanNya atas seluruh makhluk. Allah berfirman:

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ

Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). [Az Zumar:30].

Tidak ada manusia yang kekal di dunia ini.

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ }

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. [Al Anbiya:34-35].

MENGHINDAR DARI KEMATIAN?
Kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu. Dia telah menetapkan kematian atas diri manusia. Sehingga bagaimanapun manusia berupaya menghindar darinya, kematian itu tetap akan mengejarnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [An Nisa’:78].

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاَقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". [Al Jumu’ah:8].

وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ

Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya. [Qaaf:19].

Kematian sebagai bukti nyata kekuasaan Allah, dan siapapun tidak ada yang dapat mengalahkanNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ الْمَوْتَ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ

Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan [Al Waqi’ah:60].

Allah menantang kepada orang-orang yang menyangka bahwa mereka tidak dikuasai oleh Allah, dengan mengembalikan nyawa orang yang sekarat, jika memang mereka benar. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَلَوْ لآ إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ وَأَنتُمْ حِينَئِذٍ تَنظُرُونَ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَكِن لاَّ تُبْصِرُونَ فَلَوْ لآ إِن كُنتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ تَرْجِعُونَهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan. Padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu.Tapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah). Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar. [Al Waqi’ah:83-87].

Manusia tidak akan lepas dari ajal, bahkan ajal itu meliputinya. Imam Bukhari telah meriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ خَطَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا مُرَبَّعًا وَخَطَّ خَطًّا فِي الْوَسَطِ خَارِجًا مِنْهُ وَخَطَّ خُطَطًا صِغَارًا إِلَى هَذَا الَّذِي فِي الْوَسَطِ مِنْ جَانِبِهِ الَّذِي فِي الْوَسَطِ وَقَالَ هَذَا الْإِنْسَانُ وَهَذَا أَجَلُهُ مُحِيطٌ بِهِ أَوْ قَدْ أَحَاطَ بِهِ وَهَذَا الَّذِي هُوَ خَارِجٌ أَمَلُهُ وَهَذِهِ الْخُطَطُ الصِّغَارُ الْأَعْرَاضُ فَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا وَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا

Dari Abdullah, dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat garis segi empat, dan Beliau membuat garis di tengahnya keluar darinya. Beliau membuat garis-garis kecil kepada garis yang ada di tengah ini dari sampingnya yang berada di tengah. Beliau bersabda,”Ini manusia, dan ini ajal yang mengelilinginya, atau telah mengelilinginya. Yang keluar ini adalah angan-angannya. Dan garis-garis kecil ini adalah musibah-musibah. Jika ini luput darinya, ini pasti mengenainya. Jika ini luput darinya, ini pasti mengenainya.” [HR Bukhari, no. 5.938].

Jika demikian, maka bagaimana mungkin manusia dapat lari dan selamat dari kematian? Ketahuilah, sesungguhnya umur kita di dunia ini terbatas dan hanya sebentar. Orang yang berakal, sepantasnya tidak tertipu dengan gemerlapnya dunia, sehingga melupakan bekal menuju akhiratnya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ (جة 4236,ت 3550, الصحيحة 757, وهو حديث حسن)

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Umur umatku antara 60 sampai 70 tahun. Dan sangat sedikit di antara mereka yang melewati itu.” [HR Ibnu Majah, no. 4.236; Tirmidzi, no. 3.550. Lihat Ash Shahihah, no. 757].

ANJURAN MENGINGAT KEMATIAN
Banyak hadits-hadits yang mengingatkan tentang kematian, agar manusia selalu ingat bahwa hidup di dunia tidaklah kekal. Agar manusia bersiap siaga dengan perbekalan yang dibutuhkannya saat perjalanannya yang panjang nanti. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ

Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. [HR Ibnu Majah, no. 4.258; Tirmidzi; Nasai; Ahmad].

Dalam riwayat Ath Thabrani dan Al Hakim terdapat tambahan:

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ : الْمَوْتَ , فَإِنَّهُ لَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ فِيْ ضِيْقٍ مِنَ الْعَيْشِ إِلاَّ وَسَّعَهُ عَلَيْهِ , وَلاَ ذَكَرَهُ فِيْ سَعَةٍ إِلاَّ ضَيَّقَهَا عَلَيْهِ

Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya di waktu sempit kehidupannya, kecuali (mengingat kematian) itu melonggarkan kesempitan hidup atas orang itu. Dan tidaklah seseorang mengingatnya di waktu luas (kehidupannya), kecuali (mengingat kematian) itu menyempitkan keluasan hidup atas orang itu. [Shahih Al Jami’ush Shaghir, no. 1.222; Shahih At Targhib, no. 3.333].

Syumaith bin ‘Ajlan berkata:

مَنْ جَعَلَ الْمَوْتَ نُصْبَ عَيْنَيْهِ, لَمْ يُبَالِ بِضَيْقِ الدُّنْيَا وَلاَ بِسَعَتِهَا

Barangsiapa menjadikan maut di hadapan kedua matanya, dia tidak peduli dengan kesempitan dunia atau keluasannya. [Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 483, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi].

Orang yang banyak mengingat kematian dan mempersiapkannya dengan iman yang shahih (benar), tauhid yang khalish (murni), amal yang shalih (sesuai dengan tuntunan), dengan landasan niat yang ikhlas, itulah orang-orang yang paling berakal.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا قَالَ فَأَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ

Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku bersama Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu seorang laki-laki Anshar datang kepada Beliau, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu dia bertanya: “Wahai, Rasulullah. Manakah di antara kaum mukminin yang paling utama?” Beliau menjawab,”Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.” Dia bertanya lagi: “Manakah di antara kaum mukminin yang paling cerdik?” Beliau menjawab,”Yang paling banyak mengingat kematian di antara mereka, dan yang paling bagus persiapannya setelah kematian. Mereka itu orang-orang yang cerdik.” [HR Ibnu Majah, no. 4.259. Hadits hasan. Lihat Ash Shahihah, no. 1.384].

Marilah kita renungkan sabda Nabi yang mulia :

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ

Mayit akan diikuti oleh tiga perkara (menuju kuburnya), dua akan kembali, satu akan tetap. Mayit akan diikuti oleh keluarganya, hartanya, dan amalnya. Keluarganya dan hartanya akan kembali, sedangkan amalnya akan tetap. [HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa-i]

PENYESALAN ORANG KAFIR SAAT KEMATIAN
Janganlah seseorang menolak keimanan dan meremehkan amal shalih, karena suatu saat pasti akan menyesalinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

حَتَّى إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتَ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ {99} لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلآ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: "Ya, Rabbku. Kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan”. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitan. [Al Mukminun :99-100].

SEGERA BERAMAL SEBELUM DATANG KEMATIAN
Janganlah seseorang selalu menunda dalam berbuat amal shalih karena kesibukan duniawinya. Karena, selama manusia masih hidup, ia tidak akan lepas dari kesibukan. Orang yang berakal akan mengutamakan urusan akhirat yang pasti datang, dan mengalahkan urusan dunia yang pasti ditinggalkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلآ أَوْلاَدُكُمْ عَن ذِكْرِ اللهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْ لآ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ وَلَن يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَآءَ أَجَلُهَا وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang melakukan demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya, Rabbku. Mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih”. Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan. [Al Munafiqun: 9-11].

Oleh karena itu, seseorang hendaklah memanfaatkan hidupnya dengan sebaik-baiknya, mengisinya dengan amal shalih sebelum datang kematian. Imam Bukhari meriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

Dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Rasululloh n memegang pundakku, lalu bersabda,”Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah seorang yang asing, atau seorang musafir.” Dan Ibnu Umar mengatakan: “Jika engkau masuk waktu Subuh, maka janganlah engkau menanti sore. Jika engkau masuk waktu sore, maka janganlah engkau menanti Subuh. Ambillah dari kesehatanmu untuk sakitmu. Dan ambillah dari hidupmu untuk matimu.” [HR Bukhari, no. 5.937].

Hendaklah setiap orang waspada terhadap angan-angan panjang umur, sehingga menangguhkan amal shalih. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ

Anak Adam semakin tua, dan dua perkara semakin besar juga bersamanya: cinta harta dan panjang umur. [HR Bukhari, no. 5.942, dari Anas bin Malik].

Sesungguhnya, masa 60 tahun bagi seseorang sudah merupakan waktu yang panjang hidup di dunia ini, cukup bagi seseorang merenungkan tujuan hidup, sehingga tidak ada udzur bagi orang yang telah mencapai umur tersebut.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً

Dari Abu Hurairah, dari Nabi n , Beliau bersabda: “Allah meniadakan alasan seseorang yang Dia telah menunda ajalnya sehingga mencapai 60 tahun. [HR Bukhari, no. 5.940].

PENUTUP
Mengakhiri tulisan ini, berikut kami bawakan pernyataan Hamid Al Qaishari, sebagai berikut: “Kita semua telah meyakini kematian, tetapi kita tidak melihat orang yang bersiap-siap menghadapinya! Kita semua telah meyakini adanya surga, tetapi kita tidak melihat orang yang beramal untuknya! Kita semua telah meyakini adanya neraka, tetapi kita tidak melihat orang yang takut terhadapnya! Maka terhadap apa kamu bergembira? Kemungkinan apakah yang kamu nantikan? Kematian! Itulah perkara pertama kali yang akan datang kepadamu dengan membawa kebaikan atau keburukan. Wahai, saudara-saudaraku! Berjalanlah menghadap Penguasamu (Allah) dengan perjalanan yang bagus”. [Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 483, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi].

Semoga tulisan ini mengingatkan kita, betapa penting mempersiapkan diri menghadapi kematian, yang merupakan masalah besar yang dihadapi setiap insan. Imam Ibnu Majah meriwayatkan:

عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةٍ فَجَلَسَ عَلَى شَفِيرِ الْقَبْرِ فَبَكَى حَتَّى بَلَّ الثَّرَى ثُمَّ قَالَ يَا إِخْوَانِي لِمِثْلِ هَذَا فَأَعِدُّوا

Dari Al Bara’, dia berkata: Kami bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu jenazah, lalu Beliau duduk di tepi kubur, kemudian Beliau menangis sehingga tanah menjadi basah, lalu Beliau bersabda: “Wahai, saudara-saudaraku! Maka persiapkanlah untuk yang seperti ini,!” [HR Ibnu Majah, no. 4.190, dihasankan oleh Syaikh Al Albani].

Demikian sedikit tentang dzikrul maut, semoga bermanfaat. Terakhir kami katakan: Wahai, saudara-saudaraku! Persiapkanlah dirimu menghadapi kematian!”
Wallahu Al Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]


PANDUAN PRAKTIS ZAKAT BARANG PERDAGANGAN

Oleh
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Lc, MA


Zakat Perdagangan atau Perniagaan ialah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta apa saja selain emas dan perak berupa barang, properti, berbagai jenis hewan, tanaman, pakaian, perhiasan dan selainnya yang dipersiapkan untuk diperdagangkan, baik secara perorangan maupun perserikatan (seperti CV, PT, Koperasi dan sebagainya).

Sebagian Ulama mendefenisikannya sebagai segala sesuatu yang dipersiapkan untuk diperjualbelikan dengan tujuan memperoleh keuntungan.

HUKUM ZAKAT PERDAGANGAN
Para Ulama berselisih pendapat tentang hukum zakat barang perdagangan dalam dua pendapat:

Pendapat Pertama : Wajib mengeluarkan zakat barang-barang perdagangan. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama. Sebagian mereka mengatakan bahwa hal ini adalah ijma’ (konsensus) para sahabat dan tabi’in.

Mereka melandasi pendapatnya dengan dalil-dalil dari al-Qur’ân, as-Sunnah, atsar para sahabat, tabi’in serta qiyâs.

A. Dalil Dari Al-Qur’ân Yaitu Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh ) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” [al-Baqarah/2:267]

Imam al-Bukhâri telah membuat bab khusus tentang hal ini dalam kitab Zakat dalam Shahih-nya, yaitu: Bab Shadaqatu al-Kasbi wa at-Tijarati (bab zakat usaha dan perdagangan).

Firman Allâh Azza wa Jalla , “Dari hasil usahamu,” maknanya ialah perdagangan.[1]

B. Dalil Dari As-Sunnah yaitu hadits Samurah bin Jundab Radhiyallahu anhu , ia berkata: “Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kami persiapkan untuk diperjual-belikan.”[2]

Dan hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu secara marfu’:

فِى الإِبِلِ صَدَقَتُهَا ، وَفِى الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِى الْبَزِّ صَدَقَتُهُ

Pada onta ada zakatnya, dan pada kambing ada zakatnya, dan pada pakaian ada zakatnya. [3]

Kata al-Bazz (di dalam hadits di atas) artinya pakaian, termasuk didalamnya kain, permadani, bejana dan selainnya. Benda-benda ini jika dipergunakan untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada zakatnya tanpa ada perbedaan pendapat diantara para Ulama. Dari sini menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang dimaksud ialah jika benda-benda tersebut dijadikan obyek bisnis.

Hanya saja kedua hadits tersebut dha’if (lemah). Tetapi masih bisa berdalil tentang wajibnya zakat barang perdagangan dengan memasukkannya ke dalam keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ

Beritahukan kepada mereka, bahwa Allâh mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari (harta-harta) orang-orang kaya diantara mereka…”.[4]

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang penolakan Khâlid bin Walid Radhiyallahu anhu membayar zakat, dan orang-orang (yakni para sahabat) mengadukannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا ، قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

Adapun Khâlid, sesungguhnya kalian telah menzhaliminya. Dia menahan pakaian perangnya dan mempersiapkannya untuk perang fi sabilillah…”.[5]

Seolah-olah mereka menyangka bahwa barang-barang itu dipersiapkan untuk perdagangan, sehingga mereka bersikukuh untuk mengambil zakat dari hasil penjualannya. Lalu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada mereka bahwa tidak ada zakat pada harta yang ditahannya itu.[6]

C. Dalil Dari Atsar Para Sahabat
Diriwayatkan dari Ibnu Abidin al-Qari rahimahullah , ia berkata, “Dahulu aku bekerja di Baitul Mal pada masa (pemerintahan) Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu . Tatkala dia mengeluarkan pemberiannya, dia mengumpulkan harta-harta para pedagang dan menghitungnya, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, kemudian mengambil zakat dari pemilik harta yang hadir dan tidak hadir.”[7]

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Tidak ada zakat pada barang-barang kecuali jika dipersiapkan untuk diperdagangkan.”[8]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Tidak mengapa menahan barang hingga dijual, dan zakat wajib padanya.”[9]

Tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi perkataan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu , putranya dan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhum. Bahkan hal ini terus diamalkan dan difatwakan pada masa tabi’in dan pada zaman Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Demikian pula para Ulama fiqih di masa tabi’in dan orang-orang yang datang sesudah mereka telah bersepakat tentang wajibnya zakat pada barang-barang perdagangan.

Pendapat Kedua: Tidak Wajib zakat pada barang-barang perdagangan. Ini adalah madzhab Zhâhiriyah dan orang-orang yang mengikuti mereka seperti imam Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, dan syaikh al-Albâni. Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya, dalil dari hadits:

1. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ صَدَقَةٌ

Tidak ada zakat atas seorang Muslim pada budak dan kuda tunggangannya.[10]

Hadits yang dijadikan hujjah bagi pendapat kedua ini telah dijawab oleh mayoritas Ulama (penganut pendapat pertama), bahwa yang ditiadakan dalam hadits di atas yaitu kewajiban zakat dari budak yang biasa membantu dan kuda yang biasa ditungganginya. Keduanya merupakan kebutuhan yang tidak terkena beban zakat, menurut ijma’ para Ulama.

2. Hadits Qais bin Abu Gharzah Radhiyallahu anhu , ia berkata, "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami, ketika kami menjual budak yang kami namakan as-Samasirah, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ ْبَيْعَكم يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ

Wahai para pedagang, sesungguhnya penjualan kalian ini tercampur oleh perkara sia-sia dan sumpah, maka tutupilah dengan sedekah (zakat) atau dengan sesuatu dari sedekah. [11]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Ini adalah sedekah yang difardhukan tanpa ditentukan, tetapi yang mereka keluarkan dengan kerelaan hati dan menjadi kafarat (penghapus kesalahan) bagi semua yang mengotori jual-beli berupa hal-hal yang tidak sah seperti kata-kata kotor dan sumpah.” Dan berbagai dalil atau argument lainnya yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (V/233 dan sesudahnya).

Itulah dua pendapat tentang hukum zakat perniagaan ini. Setelah kita paparkan kedua pendapat di atas beserta dalilnya masing-masing, maka yang nampak rajih (kuat dan benar) adalah pendapat pertama, yakni pendapat mayoritas Ulama yang menetapkan wajibnya mengeluarkan zakat harta perdagangan.” wallahu a’lam bish-showab.

SYARAT-SYARAT DAN KETENTUAN ZAKAT PADA BARANG-BARANG PERDAGANGAN
1. Barang-barang yang jadi obyek bisnis ini tidak termasuk barang yang asalnya wajib dizakati, seperti binatang ternak, emas, perak, dan sejenisnya. Karena menurut ijma’ para Ulama, dua macam kewajiban zakat tidak bisa berkumpul pada satu barang. Tetapi ia wajib mengeluarkan zakat barang-barang perdagangan itu –berdasarkan pendapat yang rajih-, karena zakat benda lebih kuat dalilnya daripada zakat perdagangan, karena telah terjadi ijma’ (konsensus para ulama) atas hal itu. Barangsiapa memperdagangkan barang-barang di bawah nishob benda-benda tersebut , maka ia harus mengeluarkan zakat perniagaan.[12]

2. Mencapai nishab, yaitu seukuran nishab uang (atau sama dengan nilai 85 gram emas murni).

3. Barang-barang tersebut telah berputar selama satu tahun Hijriyyah.

4. Kewajiban zakat ini dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.

5. Pada badan usaha yang berbentuk serikat (kerjasama), maka jika semua anggota serikat tersebut beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang berserikat. Tetapi jika anggota serikat terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota serikat Muslim saja (apabila jumlahnya telah mencapai nishab).

KAPAN DIHITUNG NISHAB PADA HARTA PERDAGANGAN
Berkenaan dengan waktu perhitungan nishab harta perdagangan ada tiga pendapat :

Pertama : Nishab dihitung pada akhir haul (ini pendapat imam Mâlik dan imam asy-Syâfi’i).

Kedua : Nishab dihitung sepanjang haul (putaran satu tahun hijriyyah), dengan pertimbangan sekiranya harta berkurang dari nishabnya sesaat saja, maka terputus haul itu (ini madzhab mayoritas ulama).

Ketiga : Nishab dihitung pada awal haul dan di akhirnya, bukan di tengahnya (madzhab Abu Hanîfah).

BAGAIMANA MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT HARTA PERDAGANGAN ?
Jika telah tiba waktu mengeluarkan zakat, maka wajib bagi pedagang untuk mengumpulkan dan mengkalkulasi hartanya. Harta yang wajib dikalkulasi ini meliputi :

1. Modal usaha, keuntungan, tabungan (harta dan barang simpanan) dan harga barang-barang dagangannya.

2. Piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi.
Ia menghitung harga barang-barang dagangannya lalu ditambahkan dengan uang yang ada di tangannya dan piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi, lalu dikurangi dengan utang-utangnya. Kemudian dari nominal itu, ia mengeluarkan sebanyak dua setengah persen (2,5 %) berdasarkan harga penjualan ketika zakatnya hendak ditunaikan, bukan berdasarkan harga belinya.

Inilah pendapat mayoritas Ulama fiqih dan disepakati oleh imam Mâlik rahimahullah.

Berikut ini kami cantumkan rumus sederhana perhitungan zakat barang-barang perdagangan.

BESAR ZAKAT = [(Modal diputar + Keuntungan + Piutang yang dapat dicairkan) - (Hutang + Kerugian)] x 2.5%

Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 Dinar (setara dengan 85 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni (asumsi jika per-gram Rp. 550.000,- = Rp Rp.46.750.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %.

Contohnya : Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 2012 dengan keadaan sbb :
• Meubel dan kusen yang belum terjual seharga Rp. 250.000.000 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)
• Uang tunai Rp 50.000.000 (Lima puluh juta rupiah)
• Piutang Rp. 27.000.000 (Dua puluh tujuh juta rupiah)
• Jumlah Rp 327.000.000 (Tiga Ratus dua puluh tujuh juta rupiah)
• Utang Rp. 17.000.000 (Tujuh belas juta rupiah)
• Saldo Rp 310.000.000 (Tiga ratus sepuluh juta rupiah)
• Besar zakat = 2,5 % x Rp 310.000.000,- = Rp. 7.750.000,- (Tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Inilah jumlah zakat barang dagangan yang harus dikeluarkan.

Catatan: Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang).

APAKAH ZAKAT BARANG PERDAGANGAN DIKELUARKAN DALAM BENTUK BARANG DAGANGAN ATAU HARGANYA SAJA ?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat Ulama :

Pertama : Wajib mengeluarkannya dalam bentuk harganya (uang), dan tidak boleh mengeluarkan barangnya, karena nishabnya dihitung berdasarkan harga barang. Ini pendapat mayoritas Ulama.

Kedua : Seorang pedagang diberi plihan antara mengeluarkan barang atau harganya (uang). Ini adalah pendapat Abu Hanifah rahimahullah dan asy-Syâfi’i –pada salah satu pendapatnya-.[13]

Ketiga : Memberikan rincian dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan orang yang akan menerima zakat. Ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.[14]

Demikian penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat harta perdagangan serta tata cara menghitung dan mengeluarkannya. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembacanya, amiin. Wallahu Ta’ala A’lam Bish-Showab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Kedudukan Zakat Dalam Agama Islam



Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Zakat adalah salah satu rukun Islam dan salah satu kewajibanya. Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ, شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ, وَإِقَامِ الصَّلاَةِ, وَإيِْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصِيَامِ رَمَضَانَ.

“Islam didirikan di atas lima dasar, yaitu bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan puasa pada bulan Ramadhan.” [1]

Dan telah disebutkan secara bergandengan dengan shalat dalam delapan puluh dua ayat.

Anjuran Untuk Mengeluarkan Zakat
Allah Ta’ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari harta mereka dengan guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” [At-Taubah: 103]

Dan juga firman-Nya Ta’ala:

وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” [Ar-Ruum: 39]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ, فَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيْهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ.

“Barangsiapa yang bersedekah dengan seukuran biji kurma dari sumber yang halal dan Allah tidaklah menerima kecuali dari sumber yang baik, maka Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah mengembangkannya bagi yang bersedekah sebagaimana salah seorang di antara ka-ian mengembangkan anak kudanya, hingga akhirnya (pahalanya) menjadi seperti gunung.”[2]

Ancaman Bagi Mereka Yang Tidak Mau Mengeluarkan Zakat
Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari Kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Ali ‘Imran: 180]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ، مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, ثُمَّ يَأْخُذُ بِلَهْزَمَتَيْهِ -يَعْنِى شَدَقَيْهِ- ثُمَّ يَقُوْلُ: أَنَا كَنْزُكَ، أَنَا مَالُكَ, ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ اْلآيَةَ: وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

“Barangsiapa yang diberikan karunia harta oleh Allah dan ia tidak menunaikan zakat harta tersebut, maka pada hari Kiamat kelak hartanya tersebut akan diwujudkan dalam bentuk ular yang memiliki dua bisa kemudian dikalungkan di leher-nya, lalu ular itu menggigit dua tulang rahang bawahnya, sambil berkata, ‘Aku adalah harta simpananmu.’” Kemudian Rasulullah membaca ayat, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka...’” [3]

Dan juga firman Allah:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

“... Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, lalu tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka kabarkanlah kepada mereka adzab yang sangat pedih. Pada hari dipanaskan emas pe-rak itu di dalam Neraka Jahannam, lalu dibakarnya dahi mere-ka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada me-reka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.’” [At-Taubah: 34-35]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhua, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا
كَانَ يَوْمُ القِيَامَةِ, صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِيْنُهُ وَظَهْرُهُ, كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيْدَتْ لَهُ , فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ, حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ, فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! فَاْلإِبِلُ؟ قَالَ: وَلاَ صَاحِبُ إِبِلٍ لاَيُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا, وَمِنْ حَقِّهَا حَلَبُهَا يَوْمَ وِرْدِهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ بُطِحَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ أَوْفَرَ مَاكَانَتْ لاَ يَفْقِدُ مِنْهَا فَصِيْلاً وَاحِدًا تَطَؤُهُ بِأَخْفَافِهَا وَتَعَضُّهُ بِأَفْوَاهِهَا, كُلَّمَا مَرَّعَلَيْهِ أُوْلاَهَا رُدَّ عَلَيْهِ أُخْرَاهَا فيِ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ, حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ.

“Tidaklah seorang yang memiliki harta simpanan dari emas maupun perak dan ia tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari Kiamat nanti akan dibentangkan baginya lempengan-lempengan logam dari Neraka yang telah dipanaskan di Neraka Jahannam, kemudian lempengan tersebut disetrikakan di lambung, dahi dan punggungnya. Manakala telah dingin, lempengan itu dipanaskan kembali. Hal ini terjadi pada hari yang lamanya sama seperti lima puluh ribu tahun, sampai tiba hari penghisaban antara para hamba, setelah itu dia akan melihat jalannya, apakah ke Surga atau ke Neraka.

 Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan mereka yang memiliki unta?’ Beliau menjawab, ‘Begitu pula dengan mereka yang memiliki unta dan tidak menunaikan kewajibannya, dan termasuk dari kewajiban yang harus dikeluarkan adalah air susu yang diperah di saat masa pemerahan, maka di hari Kiamat kelak dibentangkan bagi mereka tanah lapang yang terkumpul padanya semua yang dia miliki dari hewan, sampai yang masih menyapih, lalu semua hewan itu menginjak dan menggigitnya, manakala yang pertama telah berlalu dilanjutkan kembali oleh yang berikutnya. Hal ini terjadi pada hari yang lamanya sama seperti lima puluh ribu tahun, sampai tiba saatnya hari penghisaban antara para hamba, setelah itu dia akan melihat jalannya, apakah ke Surga atau ke Neraka.’” [4]

Hukum Orang Yang Tidak Mengeluarkan Zakat
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang telah disepakati oleh para ulama dan telah diketahui oleh semua umat, sehingga ia termasuk salah satu hal yang mendasar dalam agama, yang mana jika ada salah seorang dari kaum muslimin yang mengingkari kewajibannya, maka dia telah keluar dari Islam dan dibunuh dalam keadaan kafir, kecuali jika ia baru mengenal Islam, maka dia dimaaf-kan disebabkan karena kejahilannya akan hukum.

Adapun mereka yang tidak mau mengeluarkannya dengan tetap meyakini akan kewajibannya, maka dia berdosa karena sikapnya tersebut, tapi hal ini tidak mengeluarkannya dari Islam dan seorang hakim (penguasa) boleh mengambil zakat tersebut dengan paksa [5] beserta setengah hartanya sebagai hukuman atas perbuatannya. Hal ini berdasarkan hadits Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata, “Aku telah mendengar Ra-sulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فِي كُلِّ إِبِلٍ سَائِمَةٍ, فِي كُلِّ أَرْبَعِيْنَ اِبْنَةُ لَبُوْنٍ, لاَ يُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا, مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا فَلَهُ أَجْرُهَا, وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ عَزْمَةٌ مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى, وَلاَ يَحِلُّ ِلآلِ مَحَمَّدٍ مِنْهَا شَئٌ.

“Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor bintu labun (anak unta betina yang umurnya memasuki tahun ketiga). Tidak boleh dipisahkan unta itu dari kumpulannya untuk mengurangi perhitungan zakat. Barangsiapa yang mengeluarkannya dengan mengharap pahala, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan barangsiapa yang menolak untuk mengeluarkannya, maka kami akan mengambilnya beserta setengah hartanya karena ini merupakan salah satu kewajiban dari Allah. Dan zakat ini tidak halal untuk dimakan oleh keluarga Muhammad sedikit pun.” [6]

Jika suatu kaum menolak untuk mengeluarkannya padahal mereka tetap meyakini kewajibannya dan mereka memiliki kekuatan untuk melarang orang memungutnya dari mereka, maka mereka harus diperangi hingga mereka mengeluarkannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ, فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mau bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan itu, maka mereka telah melindungi darah dan hartanya dariku kecuali karena ada hak (hukum) Islam, sedang-kan hisab mereka kembali kepada Allah.” [7]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Manakala Rasulullah telah wafat, kemudian pada masa khilafah Abu Bakar, ada sebagian bangsa Arab telah kafir (saat itu Abu Bakar ingin memerangi mereka), maka ‘Umar berkata kepadanya, ‘Bagaimana engkau akan memerangi manusia? Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah.

 Dan barangsiapa yang mengucapkannya, maka ia telah melindungi harta dan jiwanya dariku kecuali karena hak Islam dan hisab mereka kembali kepada Allah.’ Lalu Abu Bakar berkata, ‘Demi Allah aku akan memerangi siapa saja yang membeda-bedakan antara shalat dan zakat, sesungguhnya zakat adalah hak yang diambil dari harta. Demi Allah kalau mereka mencegahku dari mengambil seekor anak kambing betina padahal mereka dahulu menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya aku akan memerangi mereka karena sikap mereka tersebut.’ Setelah itu ‘Umar berkata, ‘Demi Allah, setelah Allah melapangkan hati Abu Bakar untuk memerangi mereka, barulah aku meyakini akan kebenaran hal ini.’”[8]

Siapakah yang Wajib Mengeluarkan Zakat ?
Zakat diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka, yang memiliki harta yang telah sampai nisabnya dan telah melewati satu tahun (haul), kecuali zakat tanaman, maka ia dikeluarkan pada saat panen jika telah sampai nishabnya, sebagaimana firman Allah:

أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِّن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tu-naikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluar-kan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguh-nya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’aam: 141]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

HARTA YANG WAJIB DIKELUARKAN ZAKATNYA


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah emas dan perak, tanaman, buah-buahan, binatang ternak, dan harta karun.

Pertama : Zakat Emas dan Perak
Nishab Dan Ukuran Yang Wajib Dikeluarkan
Nisab emas sebanyak 20 dinar, sedangkan perak 200 dirham, zakat keduanya sebanyak seperempatpuluh, sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيْهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَئٌ -يَعْنَى فِي الذَّهَبِ- حَتَّى يَكُوْنَ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارًا, فَإِذَا كَانَتْ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارٍ وَحَالَ
عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيْهَا نِصْفُ دِيْنَارٍ.

“Apabila engkau memiliki 200 dirham dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya sebanyak 5 dirham. Tidak wajib atasmu zakat (emas) kecuali engkau memiliki 20 dinar, jika engkau memiliki 20 dinar dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya setengah dinar.” [1]

Kedua :Zakat Perhiasan
Zakat perhiasan wajib hukumnya, berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang menunjukkan kewajiban zakat, dan tidak ada dalil bagi mereka yang mengecualikannya dari keumuman ayat dan hadits-hadits tersebut. Di samping itu juga ada beberapa dalil-dalil khusus yang menunjukkan akan kewajiban zakat perhiasan, di antaranya:

Diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku mengenakan perhiasan dari perak, lalu aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah ini termasuk harta simpanan?” Beliau menjawab:

مَا بَلَغَ أَنْ تُؤَدِّيَ زَكَاتَهُ فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ.

“Harta yang sudah sampai batas untuk dikeluarkan zakatnya, lalu dikeluarkan zakatnya, maka bukan lagi termasuk harta simpanan.” [2]

Juga dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangiku dan beliau melihat di tanganku ada cincin tak bermata yang terbuat dari perak, kemudian beliau berkata, ‘Apa ini, wahai ‘Aisyah ?’ Aku menjawab, ‘Aku sengaja membuatnya agar aku bisa berhias untukmu wahai Rasulullah.’ Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah engkau tunaikan zakatnya?’ Aku menjawab, ‘Tidak atau maasya Allah.’ Lalu beliau berkata, ‘Hal ini cukup untuk memasukkanmu ke dalam Neraka.’” [3]

Ketiga : Zakat Tanaman dan Buah-Buahan
Allah Ta’ala berfirman:

وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya) dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’aam: 141]

Jenis-Jenis Tanaman Dan Buah-Buahan Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya:
Tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali dari empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadits berikut ini. Dari Abi Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz Radhiyallahu anhuma, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus mereka berdua ke Yaman untuk mengajarkan penduduk Yaman ilmu agama, dan beliau memerintahkan mereka berdua agar jangan mengambil zakat kecuali dari empat jenis tanaman, yaitu hinthah (gandum), sya’ir (gandum), kurma dan anggur kering.” [4]

Nishabnya:
Syarat wajibnya zakat tanaman dan buah-buahan adalah jika telah sampai nishabnya, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits berikut.

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ فيِمَا دُونَ خَمْسِِ ذَوْدٍ مِنَ اْلإِبِلِ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ.

“Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor, juga pada perak yang kurang dari 5 awaq [5] , dan tidak pula pada kurma yang kurang dari 5 ausuq .” [6][7]

Ukuran Yang Wajib Dikeluarkan:
Diriwayatkan dari Jabir, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

فِيْمَا سَقَتِ اْلأَنْهَارُ وَالْغَيْمُ الْعُشُوْرُ, وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَّةِ نِصْفُ الْعُشُورِ.

“Pada (perkebunan) yang disirami dari sungai dan hujan ada kewajiban zakat sepersepuluh, dan yang disirami dengan alat seperduapuluh.”[8]

Juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

فيِمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًا الْعُشْرُ, وَفِيْمَا سُقِيَ بِالنُضْحِ نِصْفُ الْعُشُرِ.

“Tanaman yang disiram dengan air hujan atau dengan sumber air atau dengan pengisapan air dari tanah, zakatnya sepersepuluh, dan tanaman yang disiram dengan tenaga manusia, zakatnya seperduapuluh.” [9]

Menaksir (Khirshu an-Nakhiil)* Kurma dan Anggur
Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Sa’di, dia bercerita, “Kami pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada perang Tabuk, ketika kami tiba di lembah Qura, ada seorang wanita yang sedang di kebunnya, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Sahabat-Sahabatnya,

‘Taksirlah jumlah buah tanamannya.’ Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menaksirkannya sebanyak sepuluh ausaq, kemudian beliau berkata kepada wanita tersebut, ‘Hitunglah berapa jumlah hasil panen yang engkau dapat.’ Ketika kami kembali ke lembah Qura (dari Tabuk), beliau bertanya kepada wanita pemilik kebun tersebut, ‘Berapa hasil panen yang engkau dapat dari kebunmu?’ Wanita itu menjawab, ‘Sepuluh ausuq, sebagaimana yang ditaksir oleh Rasulullah.’”[10]

Dan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus ‘Abdullah bin Rawahah untuk menaksir buah kurma ketika sudah mulai matang sebelum dikonsumsi, kemudian beliau memberikan pilihan kepada orang-orang Yahudi apakah jumlah taksiran tersebut akan diambil oleh amil zakat atau mereka yang nantinya menyerahkannya langsung kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar zakatnya dihitung sebelum kurma tersebut dikonsumsi dan dipilah-pilah.” [11]

Keempat : Zakat Hewan Ternak
Hewan ternak yang wajib dizakati ada tiga jenis, yaitu unta, sapi, dan kambing.

1. Zakat Unta
Nishabnya:
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ فيِمَا دُوْنَ خَمْسِ ذَوْدٍ مِنَ اْلإِبِلِ صَدَقَةٌ.

“Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor.” [12]

Jumlah Zakat Yang Wajib Dikeluarkan:
Dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu menulis surat untuknya yaitu ketika dia diutus ke al-Bahrain, di antara isinya: “Bismillaahir Rahmaanir Rahiim (dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Ini adalah kewajiban zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atas kaum muslimin dan ini pula yang diperintahkan Allah atas Rasul-Nya, maka barangsiapa dari kaum muslimin yang diminta untuk mengeluarkannya dengan cara yang benar, maka hendaklah mereka mengeluarkannya.

 Dan barangsiapa yang diminta lebih dari apa yang telah diwajibkan, maka janganlah dia menyerahkannya, yaitu setiap 24 ekor unta ke bawah wajib mengeluarkan kambing, yaitu setiap kelipatan lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor unta, zakatnya berupa bintu makhad (seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua). Jika mencapai 36 hingga 45 ekor unta, zakatnya berupa bintu labun (seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun ketiga). Jika mencapai 46 hingga 60 ekor unta, zakatnya berupa hiqqah tharuqatul jamal (seekor anak unta betina yang umurnya telah masuk tahun keempat dan bisa dikawini unta jantan).

 Jika mencapai 61 hingga 75 ekor unta, zakatnya berupa jaza’ah (seekor unta betina yang umurnya telah masuk tahun kelima). Jika mencapai 76 hingga 90 ekor unta, maka zakatnya dua ekor bintu labun. Jika mencapai 91 hingga 120 ekor unta, zakatnya dua ekor hiqqah tharuqatul jamal. Jika telah melebihi 120 ekor unta, maka setiap 40 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga. Dan setiap 50 ekor, zakatnya seekor unta betina yang umurnya masuk tahun keempat. Dan bagi mereka yang tidak memiliki unta kecuali empat ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menghendakinya, jika telah mencapai 5 ekor unta, maka wajib mengeluarkan zakat berupa seekor kambing.” [13]

BarangsiapaYyang Wajib Mengeluarkan Zakat Berupa Hewan Dengan Umur Tertentu Tetapi Dia Tidak Memilikinya
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, di antara isi surat tersebut,

 “Barangsiapa yang jumlah untanya telah wajib mengeluarkan seekor unta betina yang umurnya telah memasuki tahun kelima (jaza'ah), padahal dia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya memasuki tahun keempat (hiqqah), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing jika memungkinkan atau 20 dirham. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kelima, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing.

 Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga (bintu labun), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing atau 20 dirham. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing.

Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kedua (bintu makhad), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing.” [14]

2. Zakat Sapi
Nishab Dan Ukuran (Jumlah) Yang Wajib Dikeluarkan
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengutusku ke Yaman dan beliau memerintahkanku agar mengambil zakat dari setiap 40 ekor sapi, seekor sapi betina berumur dua tahun lebih (musinnah), dan dari setiap 30 ekor sapi, seekor anak sapi berumur setahun lebih (tabi’) yang jantan atau yang betina.” [15]

3. Zakat Kambing
Nishab Dan Jumlah Yang Wajib Dikeluarkan
Dari Anas bahwasanya Abu Bakar telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, di antara isinya, “Zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika telah mencapai jumlah 40 hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing. Jika lebih dari 120 hingga 200 ekor, zakatnya dua ekor kambing.

 Jika lebih dari 200 hingga 300 ekor, zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari 300 ekor kambing, maka setiap 100 ekor zakatnya satu ekor kambing. Apabila jumlah kambing yang dilepas mencari makan sendiri tersebut kurang dari 40 ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menginginkan hal tersebut.”[16]

Syarat-Syarat Wajibnya Zakat Hewan Ternak
1. Telah sampai nishabnya. Dan hal ini telah diterangkan secara jelas dalam hadits-hadits yang telah berlalu.

2. Telah berlalu haul (satu tahun), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ زَكَاةَ فِي مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ.

“Tidak wajib zakat pada harta yang belum sampai haulnya (satu tahun).” [17]

3. Hendaklah hewan ternak tersebut selama setahun lebih sering digembalakan dengan cara mencari rumput sendiri, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika telah mencapai jumlah 40 hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing...” [18]

Dan juga sabdanya:

فِي كُلِّ إِبِلٍ سَائِمَةٍ فِي كُلِّ أَرْبَعِيْنَ ابْنَةُ لَبُوْنٍ.

“Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya memasuki tahun ketiga.” [19]

Jenis Harta Yang Tidak Boleh Diambil Sebagai Zakat
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bersabda:

وَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ.

“Dan janganlah engkau mengambil harta-harta mereka yang mulia (sebagai zakat)...” [20]

Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, yang berbunyi, “Tidak boleh dikeluarkan untuk zakat hewan, hewan yang tua dan yang cacat, dan tidak bo-leh dikeluarkan yang jantan kecuali jika pemiliknya menghendaki.” [21]

Hukum Harta Yang Terkumpul Padanya Dua Hak
Jika tercampur harta dua orang atau lebih dari orang-orang yang wajib zakat dan tidak bisa dibedakan antara harta salah seorang di antara mereka dengan yang lainnya, maka mereka berdua mengeluarkan satu zakat saja jika telah wajib atas mereka berdua mengeluarkan zakat.

Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, yang di antaranya berbunyi, “Tidak boleh dikumpulkan antara hewan-hewan ternak yang terpisah dan tidak boleh dipisahkan antara hewan-hewan ternak yang terkumpul karena takut mengeluarkan zakat. Hewan ternak kumpulan dari dua orang, pada waktu zakat harus kembali dibagi rata antar keduanya.” [22]

Kelima : Zakat Harta Karun (Rikaz)
Ar-Rikaz adalah harta yang terpendam sejak zaman Jahiliyyah yang kemudian dikeluarkan tanpa membutuhkan biaya dan tenaga yang banyak.

Diwajibkan untuk segera mengeluarkan zakatnya tanpa ada syarat harus sampai nishab dan haul. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

وَ فِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ.

“Zakat rikaz adalah seperlima.” [23]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]


GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Allah berfirman:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” [At-Taubah: 60]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini (II/364), “Manakala Allah menyebutkan penolakan orang-orang munafik dan pencelaannya kepada Rasulullah j dalam masalah pembagian sedekah. Dia melanjutkannya dengan menjelaskan bahwa yang menetapkan pembagian tersebut, menerangkan hukumnya serta yang menangani masalah ini adalah Allah sendiri. Dia tidak mewakilkan pembagiannya kepada seorang pun, kemudian Dia-lah yang membagi shadaqah tersebut kepada golongan-golongan yang tersebut di dalam ayat di atas.”

Apakah Wajib Membagi Rata Harta Zakat Kepada Semua GolonganTersebut?
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Para ulama berselisih pendapat berkenaan dengan delapan golongan yang berhak menerima zakat, apakah wajib menyerahkan harta zakat kepada setiap golongan atau boleh diserahkan kepada sebagian golongan saja yang memungkinkan untuk diberikan kepadannya? Dalam masalah ini ada dua pendapat:

Pertama: Wajib menyerahkannya kepada semua golongan dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan jama’ah para ulama.

Kedua: Tidak wajib menyerahkannya kepada semua golongan, bahkan boleh membagikannya kepada satu golongan saja dan menyerahkan semua harta zakat kepada mereka walaupun ada golongan yang lain. Dan ini adalah pendapat Imam Malik dan beberapa orang dari kaum Salaf dan khalaf, di antara mereka ‘Umar, Hudzaifah, Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Sa’id bin Zubair dan Maimun bin Mihran. Berkata Ibnu Jarir, ‘Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu.’ Berdasarkan pendapat ini, maka tujuan penyebutan golongan-golongan tersebut dalam ayat ini adalah untuk menerangkan tentang golongan yang berhak menerima zakat bukan untuk menjelaskan kewajiban membagikannya kepada semua golongan tersebut.”

Ibnu Katsir rahimahullah kembali berkata, “Kami akan menyebutkan beberapa hadits yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut:

Pertama : Orang-Orang Fakir
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقََةُ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِيٍّ.

“Zakat tidak halal diberikan kepada orang kaya dan mereka yang memiliki kekuatan untuk bekerja.” [1]

Dari ‘Ubaidillah bin 'Adi bin al-Khiyar bahwa ada dua orang yang telah bercerita kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta zakat kepada beliau. Kemudian beliau memperhatikan mereka dan beliau melihat mereka masih kuat, lalu beliau bersabda:

إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا وَلاَ حَظَّ فِيْهَا لِغَنِيٍّ وَ لاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ.

“Jika kalian mau aku akan berikan kalian zakat, namun tidak ada zakat bagi orang kaya dan mereka yang masih kuat untuk bekerja.” [2]

Kedua : Orang-Orang Miskin
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ, فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ, وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ, قَالُوْا فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلَّذِي لاَيَجِدُ غِنًى يُغْنِيْهِ, وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ, وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ.

“Bukanlah termasuk orang miskin mereka yang keliling meminta-minta kepada manusia, kemudian hanya dengan sesuap atau dua suap makanan dan satu atau dua buah kurma ia kembali pulang.” Para Sahabat bertanya, “Kalau begitu siapakah yang dikatakan sebagai orang miskin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhannya. Namun tidak ada yang mengetahui keadaannya sehingga ada yang mau memberinya sedekah dan ia juga tidak meminta-minta kepada manusia.” [3]

Ketiga : Amil Zakat
Mereka adalah petugas yang mengumpulkan dan menarik zakat, mereka berhak menerima sejumlah harta zakat sebagai ganjaran atas kerja mereka dan tidak boleh mereka termasuk dari keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diharamkan atas mereka memakan se-dekah, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahiih Muslim dari ‘Abdul Muththalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwasanya ia dan al-Fadhl bin al-‘Abbas pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta agar mereka berdua dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَتَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ ِلآلِ مُحَمَّدٍ, إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ.

“Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad, karena ia sebenarnya adalah kotoran manusia.” [4]

Keempat : Mu-allaf (Orang-Orang yang Dilunakkan Hatinya)
Mereka ada beberapa macam. Ada yang diberikan harta zakat agar mereka masuk Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan Shafwan bin Umayyah harta dari hasil rampasan perang Hunain, dan dia ikut berperang dalam keadaan masih musyrik, ia bercerita, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak henti-hentinya memberiku harta rampasan hingga akhirnya beliau menjadi manusia yang paling aku cintai, padahal sebelum itu beliau adalah manusia yang paling aku benci.” [5]

Dan di antara mereka ada yang sengaja diberikan harta zakat agar mereka semakin bagus keislamannya dan semakin kuat hatinya dalam Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salla ketika perang Hunain, beliau memberikan seratus ekor unta kepada sekelompok pemuka kaum ath-Thulaqa’ (orang-orang kafir Quraisy yang tidak diperangi di saat penaklukan Makkah), kemu-dian beliau bersabda:

إِنِّي َلأُعْطِيَ الرَّجُلَ، وَغَيْرَهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ, خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ.

“Sesungguhnya aku memberi (harta) pada seseorang, padahal yang lainnya lebih aku cintai daripadanya, hanya saja aku takut Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka.” [6]

Dalam ash-Shahiihain diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwasanya ‘Ali menyerahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam emas mentah batangan dari Yaman, kemudian beliau membagikannya kepada empat orang, al-Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Badar, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah dan Zaid al-Khair, lalu beliau bersabda, “Aku ingin melunakkan hati mereka.” [7]

Di antara mereka ada yang diberikan zakat dengan maksud agar orang-orang yang seperti mereka ikut masuk Islam. Juga ada yang diberikan harta zakat supaya nantinya bisa mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang setelahnya atau untuk mencegah bahaya dari beberapa negeri terhadap kaum muslimin.

Allaahu a'lam.

Apakah harta zakat masih diberikan kepada orang-orang yang dilunakkan hatinya setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal ?

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat:

Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Amir, Sya’bi dan sejumlah ulama lainnya, bahwasanya mereka tidak diberikan harta zakat setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, karena Islam dan kaum muslimin telah jaya dan mereka telah menguasai beberapa negara, serta telah ditundukkan bagi mereka banyak kaum.

Dan pendapat yang lain mengatakan bahwasanya mereka tetap berhak menerima zakat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memberikan mereka zakat setelah penaklukan Makkah dan Hawazin. Dan perkara ini terkadang dibutuhkan sehingga harta zakat diberikan kepada mereka.”

Kelima :Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan budak adalah al-Mukatab (budak yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk membayar sejumlah uang sebagai tebusan atas dirinya). Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Musa al-‘Asyari. Dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i juga al-Laitsi. Berkata Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, “Tidak mengapa harta zakat tersebut dijadikan sebagai tebusan untuk memerdekakan budak.” Dan ini adalah madzhab Ahmad, Malik dan Ishaq.

 Maksudnya bahwa memberikan zakat kepada budak sifatnya lebih umum dari sekedar memerdekakan al-Mukatab atau membeli budak, kemudian memerdekakannya. Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan tentang pahala orang-orang yang memerdekakan budak. Dan sesungguhnya Allah akan membebaskan dari api Neraka anggota badan orang yang memerdekakan budak sebagai ganjaran dari anggota badan budak yang ia merdekakan, hingga kemaluan dengan kemaluan [8]. Hal ini semua karena balasan dari suatu amalan se-suai dengan jenis amalan tersebut:

وَمَا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.

“Dan tidaklah kalian diberi ganjaran kecuali sesuai dengan amalan yang kalian kerjakan.”

Keenam : Orang yang Berhutang
Mereka ada beberapa jenis, ada yang menanggung hutang orang lain dan manakala telah sampai waktu pembayaran ia menggunakan hartanya untuk melunasinya sehingga hartanya habis, ada yang tidak bisa melunasi hutangnya, ada yang merugi karena kemaksiatan yang diperbuat kemudian dia bertaubat, mereka inilah yang berhak menerima zakat.

Dalil dalam masalah ini adalah hadits Qabishah bin Mukhariq al-Hilali, ia berkata, “Aku sedang menanggung hutang orang lain, kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta bantuan beliau, beliau berkata, “Tunggulah, jika ada zakat yang kami dapatkan kami akan menyerahkannya kepadamu.” Selanjutnya beliau bersabda:

يَا قَبِيْصَةُ , إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَتَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِِكَ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اِجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ, فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبيْصَةُ ! سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.

“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah satu dari tiga orang, yaitu orang yang menanggung hutang orang lain, maka ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti meminta-minta, orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau

beliau berkata, sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sampai tiga orang dari kaumnya yang berpengetahuan (alim) berkata, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup.’ Ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata: Sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun selain tiga golongan tersebut, wahai Qabishah, maka haram hukumnya dan mereka yang memakannya adalah memakan makanan yang haram.’” [9]

Ketujuh : Orang yang Berjuang di Jalan Allah (Fii Sabilillaah)
Mereka adalah para pasukan perang yang tidak punya hak dari baitul mal. Adapun Imam Ahmad, al-Hasan dan Ishaq mengatakan bahwa orang yang berhaji termasuk dalam fii sabilillaah, ber-dasarkan sebuah hadits.

Saya (penulis) berkata, “Yang mereka maksud dengan hadits adalah hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menunaikan haji dan ada seorang isteri yang berkata kepada suaminya, ‘Sertakanlah aku berhaji bersama Rasulullah.’ Suami tersebut menjawab, ‘Aku tidak memiliki harta yang bisa kugunakan untuk membiayaimu pergi haji.’ Lalu isterinya berkata, ‘Hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Dia berkata, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.

’ Kemudian lelaki tersebut datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku mengucapkan salam atasmu dan ia telah memintaku untuk menghajikannya bersamamu, ia berkata, ‘Hajikanlah aku bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Lalu aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak memiliki harta yang akan kugunakan untuk membia-yaimu pergi haji.’ Ia berkata lagi, ‘Kalau begitu hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Aku berkata kepadanya, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’’ Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya jika engkau menghajikan ia dengan unta tersebut juga termasuk dalam fii sabilillaah.’” [10]

Kedelapan : Ibnus Sabil
Dia adalah musafir yang berada di suatu negeri dan tidak memiliki sesuatu apa pun yang bisa membantunya dalam perjalanan, maka ia diberikan dari harta zakat secukupnya yang bisa diguna-kan untuk pulang kampung, walaupun mungkin dia memiliki sedikit harta. Dan hukum ini berlaku bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh dari negerinya dan tidak ada sesuatu apa pun bersamanya, maka ia diberikan sejumlah harta dari zakat yang bisa mencukupinya untuk bekal pulang pergi. Dan dalilnya adalah ayat tentang golongan yang berhak menerima zakat, juga apa yang diri-wayatkan oleh Imam Abu Dawud, Ibnu Majah dari hadits Ma’mar dari Yazid bin Aslam, dari ‘Atha' bin Yasar, dari Abu Sa’id radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ خَمْسَةٍ: اَلْعَامِلُ عَلَيْهَا أَوْ رَجُلٌ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ غَارِمٌ اَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ مِسْكِيْنٌ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَى مِنْهَا لِغَنِيٍّ.

“Zakat itu tidak halal diberikan kepada orang kaya kecuali lima macam, yaitu amil zakat atau orang yang membelinya dengan hartanya atau orang yang berhutang atau orang yang berperang di jalan Allah atau orang miskin yang menerima zakat, kemudian dia menghadiahkannya kepada orang kaya.”[11]

Selesai perkataan Ibnu Katsir.”-pent.

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7251)], Sunan at-Tirmidzi (II/81, no. 647), Sunan Abi Dawud (V/42, no. 1617), dan diriwayatkan dari Abu Hurairah z: Sunan Ibni Majah (I/589, no. 1839), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1438)], Sunan Abi Dawud (V/41, no. 1617), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim II/719, no. 1039), dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/341, no. 1479), Sunan an-Nasa-i (V/75), Sunan Abi Dawud (V/39, no. 1615).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1664)], Shahiih Muslim (II/752, no. 1072), Sunan Abi Dawud (VII/205, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/105). Berkata an-Nawawi, “Yang dimaksud dengan ausaakhun naas, bahwasanya zakat tersebut sebagai pembersih dan pensuci bagi harta dan jiwa mereka, sebagaimana firman Allah, ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.’ Maka, zakat tersebut ibarat alat pencuci kotoran.” (Shahiih Muslim Syarah an-Nawawi (VII/251), cet. Qurthubah).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1588)], Shahiih Muslim (II/754, no. 1072 (168)), Sunan Abi Dawud (VIII/205-208, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/ 105-106)
[6]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/79, no. 27), Shahiih Muslim (I/132, no. 150), Sunan Abi Dawud (XII/440, no. 4659), Sunan an-Nasa-i (VIII/103).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/67, no. 4351), Sha-hiih Muslim (II/741, no. 1064), Sunan Abi Dawud (XIII/109, no. 4738).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6051)]. Diriwayatkan oleh at-Tir-midzi dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللهُ مِنْهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يَعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ.

“Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak yang beriman niscaya Allah akan memerdekakan dengannya (anggota badan budak) setiap anggota badan orang yang memerdekakannya dari api Neraka sampai kemaluannya dengan kemaluannya.” (III/49, no. 1541).

[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 568)], Shahiih Muslim (II/722, no. 1044), Sunan Abi Dawud (V/49, no. 1624), Sunan an-Nasa-i (V/96). Dan termasuk dari zawil hija orang yang berakal dan pintar.
[10]. Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1753)], Sunan Abi Dawud (V/465, no. 19740), Mustadrak al-Hakim (I/183), al-Baihaqi (VI/164).
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 725)], Sunan Abi Dawud (V/44, no. 1619), Sunan Ibni Majah (I/590, no. 1841).

Kedudukan Shalat Dalam Islam



Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Shalat wajib ada lima: Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya', dan Shubuh.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada malam Isra' (ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dinaikkan ke langit) diwajibkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat lima puluh waktu. Lalu dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian beliau diseru, 'Hai Muhammad, sesungguhnya keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah. Dan sesungguhnya bagimu (pahala) lima ini seperti (pahala) lima puluh'.”[1]

Dari Thalhah bin 'Ubaidillah Radhiyallahu anhu, ia menceritakan bahwa pernah seorang Arab Badui berambut acak-acakan mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku shalat apa yang diwajibkan Allah atasku." Beliau menjawab:

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا.

"Shalat lima waktu, kecuali jika engkau ingin menambah sesuatu (dari shalat sunnah)." [2]

Kedudukan Shalat Dalam Islam
Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْـلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.

"Islam dibangun atas lima (perkara): kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan." [3]

A. Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari wajibnya shalat, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Tetapi mereka berselisih tentang orang yang meninggalkan shalat dengan tetap meyakini kewajiban hukumnya. Sebab perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menamakan orang yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir, tanpa membedakan antara orang yang mengingkari dan yang bermalas-malasan mengerjakannya.

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.

“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [4]

Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَتُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

‘Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.’” [5]

Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama', bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak mengeluarkan dari agama. Ini adalah hasil kompromi antara hadits-hadits tersebut dengan beberapa hadits lain, di antaranya:

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَـادِ، مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضِيْعَ مِنْهُنَّ شَيْئًا اِسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَـانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.
‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena menganggap enteng, maka dia memiliki perjanjian de-ngan Allah untuk memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia mengadzabnya. Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya.’”[6]

Kita menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih di bawah derajat kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerahkan perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada kehendak Allah.

Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat adalah shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka ia selamat). Jika tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki shalat sunnah? Jika dia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya dihisab seperti halnya shalat tadi.’” [7]

Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Islam akan lenyap sebagaimana lenyapnya warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi diketahui apa itu puasa, shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah akan diangkat dalam satu malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah segolongan manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, 'Kami dapati bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat, puasa, qurban, dan shadaqah?”

Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi pertanyaannya tiga kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada kali yang ketiga, Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya tiga kali.” [8]

B. Kepada Siapa Diwajibkan?
Shalat itu diwajibkan kepada setiap muslim yang telah baligh dan berakal
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.

“Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur hingga terbangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang gila hingga kembali sadar.” [9]

Wajib atas orang tua untuk menyuruh anaknya mengerjakan shalat meskipun shalat tadi belum diwajibkan atasnya, agar ia terbiasa untuk mengerjakan shalat.

Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَـاءُ سَبْعَ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.

“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun. Serta pisahkanlah ranjang mereka.” [10]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______

http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment