Merajam setan dengan tujuh batu kerikil |
Perjalanan yang belum selesai (141)
(Bagian ke seratus empat puluh satu, Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 5 Oktober 2014, 06.06 WIB)
Sekitar 2,5 juta jamaah haji dari 163 negara di dunia
kini dalam puncak ritual haji melempar setan secara simbolik dengan tujuh batu
kerikil kecil seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim ketika merajam setan dengan
batu kecil ketika menggodanya untuk menghalangi usaha Nabi Ibrahim menyembelih
putranya Nabi Ismail , yang kemudian diganti Allah SWT dengan seekor kambing.
Jamaah Haji melempar 'setan' dengan batu
MINA: Para Jamaah Haji merajam setan dengan tujuh batu
kerikil pada hari Sabtu dalam ritual besar terakhir ritual Jemaah haji tahun ini
di Makkah, dan umat Islam dari seluruh dunia mulai merayakan Idul Adha, hari
raya kurban.
Ritual rajam berlangsung di Mina, sekitar lima kilometer
sebelah timur Masjidil Haram di kota suci Makkah.
Peziarah telah pindah ke Mina Jumat semalam dengan
berjalan kaki, sepeda motor, dan bus dari Gunung Arafat setelah haji mencapai
puncaknya dengan berdoa, oleh para peziarah digerakkan oleh kesucian tempat di
mana Nabi Muhammad (saw ) diyakini telah memberikan khotbah terakhirnya 14 abad
yang lalu.
Jamaah Haji Cilik ikut merajam setan |
Dalam ritual rajam, peziarah melempar kerikil, yang
mereka kumpulkan di Muzdalifah dalam perjalanan ke Mina, di dinding untuk
meniru Nabi Ibrahim (saw), yang dikatakan telah merajam setan di tiga lokasi
ketika iblis mencoba menghalangi dia dari Allah untuk mengorbankan anaknya,
Ismail.
Dalam hubungannya dengan rajam, peziarah juga berkurban
dengan menyembelih seekor domba, yang dagingnya diberikan kepada yang
membutuhkan.
Saat ini, peziarah tidak melakukan ini ritus sendiri,
tetapi lembaga melakukannya untuk mereka dengan membagikan daging bagi umat
Islam di banyak Negara, termasuk Somalia
Sebanyak sekitar 1,5 miliar umat Islam di seluruh dunia
merayakan Idul Adha dengan pengorbanan domba, kambing, sapi dan hewan lainnya.
Haji tahun ini menarik lebih dari dua juta orang
menunaikan ibadah haji termasuk hampir 1,4 juta dari luar Arab Saudi, menurut
statistik yang diterbitkan oleh kantor berita resmi Saudi.
Hampir 700.000 jamaah haji berasal dari dalam negeri kerajaan,
baik warga Saudi , maupun pekerja asal luar Arab Saudi.
Jumlah ini kira-kira sama seperti tahun lalu. Ritual Haji
telah menarik jamaah , dari berbagai kalanan mulai dari presiden - pemimpin
Sudan Omar Al-Bashir berada di antara mereka - sampai rakyat jelata termasuk
para korban perang Suriah, veteran,
serta peziarah kaya maupun miskin.
Ritual Haji, yang secara resmi berakhir pada Selasa,
adalah pertemuan Muslim terbesar di dunia.
Merajam setan dengan batu |
Ini adalah salah satu dari lima rukun Islam bahwa setiap
muslim yang mampu harus melakukan setidaknya sekali seumur hidup, tinggi-titik
kehidupan spiritual nya.
Sementara itu Seorang jamaah Haji asal Perancis yang baru-baru ini masuk Islam dan
melaju 7.000 km di dalam mobil dengan istrinya untuk melakukan umrah sekarang
di Makkah sebagai tamu Penjaga Dua Masjid Suci Raja Abdullah untuk naik haji.
Alexander memeluk Islam dan mengadopsi nama Muslim-nya,
Hamza, setelah enam tahun mencari kebenaran. Itu adalah "azan," atau
panggilan untuk salat, yang ia mendengar untuk pertama kalinya saat ia berada
di sebuah negara Afrika yang mengubah hidupnya.
"Ini mengilhami saya untuk mencari kebenaran. Ini
memberi saya perasaan yang tak dapat dijelaskan yang menyebar ke seluruh tubuh
saya dan saya berdiri terkejut untuk waktu yang lama. Saya sangat senang telah
memeluk agama besar dunia, "katanya.
Setelah menjadi seorang Muslim, niat pertama adalah untuk
mengunjungi Makkah untuk melakukan umrah dan saat itulah Hamza ditetapkan pada
perjalanan melalui darat dan menyeberang 7.000 km dari Maroko ke Mauritania,
dan kemudian mencapai Burkina Faso, Niger.
"Saya mengunjungi Kedutaan Besar Saudi di Niger
untuk mendapatkan visa umrah. Mereka memberitahu saya bahwa visa harus
dikeluarkan terlebih dahulu melalui agen. Petugas kedutaan, bagaimanapun,
berjanji untuk membantu saya, "katanya.
Hamza dan istrinya ditunggu-tunggu visa umrah di Niger.
"Kami berdoa kepada Tuhan setiap hari selama mimpi kita menjadi kenyataan
dan kami memiliki keyakinan penuh bahwa Yang Maha Kuasa akan membantu kita
untuk berdoa di Masjidil Haram di Makkah."
Ketika masalah ini butuh waktu lama, keduanya memutuskan
untuk kembali ke Prancis.
"Kami dikemas segala sesuatu dan mengambil taksi ke
bandara. Sementara kami berada di jalan, kami menerima telepon dari Kedutaan
Saudi di Niger mengatakan bahwa kami telah dipilih sebagai salah satu dari
1.000 jamaah tamu Raja Abdullah untuk melakukan haji tahun ini. Aku semula tidak
percaya mendengar kabar ini. "
Dia berkata: "Semua kesulitan dan masalah kita
memudar ketika kita melihat Rumah Allah. Saya menangis dan menangis berdiri di
depan Ka'bah dan bersyukur kepada Allah dan Raja Abdullah untuk memberi saya
kesempatan besar ini. "
Merajam setan dengan batu |
Hamza bermaksud untuk belajar hukum Islam untuk
memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang agama dan beupaya menyebarkan
pesannya.
Dia mengucapkan terima kasih kepada Kedutaan Besar Saudi
di Niger untuk memberikan bantuan kepada dia dan istrinya. Dia juga memuji
pemerintah Saudi untuk melaksanakan proyek-proyek besar di Makkah dan
tempat-tempat suci lainnya untuk lemudahan para jamaah haji dari seluruh dunia
(Arabnews)
MIQAT (WAKTU ATAU TEMPAT YANG DITENTUKAN)
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Mawaqit bentuk jamak dari kata miqat, seperti kata
mawa’id dan mi’ad. Miqat terbagi menjadi dua, yaitu miqat zamani (waktu) dan
miqat makani (tempat).[1]
Miqat Zamani (Waktu)
Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadah) haji...” [Al-Baqarah: 189]
Dan firman Allah Ta’ala:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi...”
[Al-Baqarah: 197]
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata:
أَشْهُرُ الْحَجِّ شَوَّالٌ وَذُو الْقَعْدَةِ وَعَشْرٌ مِنْ
ذِي الْحِجَّةِ.
“Bulan-bulan haji ialah Syawwal, Dzul Qa’dah dan sepuluh
hari dari bulan Dzul Hijjah.”
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata:
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لاَ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ إِلاَّ فِي أَشْهُرِ
الْحَجِّ.
“Termasuk Sunnah ialah tidak berihram untuk haji kecuali
pada bulan-bulan haji.” [2]
Miqat Makani (Tempat)
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anuma, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ ِلأَهْلِ
الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَ ِلأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَ ِلأَهْلِ نَجْدٍ
قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَ ِلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، وَقَالَ: هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ
أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ
كَانَ دُوْنَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ.
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menentukan miqat bagi penduduk Madinah, yaitu Dzul Hulaifah, bagi penduduk
Syam, yaitu Juhfah, bagi penduduk Najd, yaitu Qarnul Manazil dan untuk penduduk
Yaman, yaitu Yalamlam. Beliau mengatakan, ‘Semua itu adalah bagi penduduk
kota-kota tersebut dan orang yang bukan penduduk kota-kota tersebut yang
melewati kota-kota tersebut, yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Dan
bagi orang yang lebih dekat dari kota-kota itu, maka ia memulai ihram dari
tempatnya, sampai penduduk Makkah memulai ihram dari Makkah.”
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ ِلأَهْلِ
الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ.
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menetapkan miqat untuk penduduk ‘Iraq, yaitu Dzatu ‘Irq.”
Siapa yang hendak menuju Makkah untuk menunaikan haji
tidak boleh melewati tempat-tempat tersebut sampai ia berihram.
Berihram sebelum (tempat-tempat tersebut) adalah makruh.
Semua riwayat hadits mengenai anjuran untuk ihram sebelum miqat tidak shahih,
bahkan terdapat riwayat yang berlawanan. Lihat perkataan mengenai cacatnya
hadits-hadits tersebut dalam Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (hal.
210-212).
Alangkah indahnya perkataan Imam Malik kepada orang yang
hendak berihram sebelum Dzul Hulaifah, “Jangan engkau lakukan, karena Aku
khawatir akan terjadi fitnah kepadamu.” Orang tersebut kemudian bertanya,
“Fitnah apa yang bisa timbul dari hal tersebut? Ini hanya sekedar beberapa mil
yang aku tambahkan.” Imam Malik menjawab, “Fitnah apa yang lebih besar dari
pada engkau dinilai telah melampaui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam suatu keutamaan dimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalai
dari hal tersebut? Sesungguhnya aku mendengar firman Allah:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ
فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“...Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.”
[An-Nuur: 63]
dengan 7 batu kerikil merajam setan |
Melewati Miqat Tanpa Berihram
Barangsiapa yang melewati miqat tanpa berihram, sedangkan
ia hendak menunaikan ibadah haji dan umrah, kemudian ia berihram setelah
melewati miqat tersebut, maka ia telah berdosa karena melakukan hal tersebut.
Dosa itu tidak akan terhapus darinya sampai ia kembali ke miqat dan berihram
dari miqat tersebut, kemudian ia menyempurnakan seluruh manasik haji (amal
ibadah hajinya). Apabila ia tidak kembali (ke miqat), manasiknya sah, namun ia
berdosa dan tidak wajib baginya dam, dengan dasar hadits Shafwan bin Ya’la
bahwasanya Ya’la pernah berkata kepada ‘Umar Radhiyallahu 'anhu, “Tunjukkan
kepadaku bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika wahyu turun
kepada beliau?” ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:
فَبَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْجِعْرَانَةِ
-وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ- جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ
تَرَى فِيْ رَجُلٍ أَحْرَمَ بِعُمْرَةٍ وَهُوَ مُتَضَمِّخٌ بِطِيْبٍ؟ فَسَكَتَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاعَةً، فَجَاءَهُ الْوَحْيُ، فَأَشَارَ عُمَرُ
z إِلَى يَعْلَىٰ، فَجَاءَ يَعْلَىٰ -وَعَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثَوْبٌ قَدْ أُظِلَّ بِهِ- فَأَدْخَلَ رَأْسَهُ، فَإِذَا رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحَمَّرُ الْوَجْهِ وَهُوَ يَغِطُّ، ثُمَّ سُرِّيَ
عَنْهُ فَقَالَ: أَيْنَ الَّذِي سَأَلَ عَنِ الْعُمْرَةِ؟ فَأُتِيَ بِرَجُلٍ، فَقَالَ:
اِغْسِلِ الطَّيِّبَ الَّذِي بِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، وَانْزِعْ عَنْكَ الْجُبَّةَ،
وَاصْنَعْ فِي عُمْرَتِكَ كَمَا تَصْنَعُ فِيْ حَجَّتِكَ.
“Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di
Ji’ranah -bersama beliau beberapa Sahabat beliau- seorang laki-laki mendatangi
beliau dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seorang
laki-laki yang ihram untuk umrah sedangkan ia berlumuran minyak wangi?’ Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam terdiam sebentar, kemudian wahyu turun kepada
beliau. ‘Umar memberi isyarat kepada Ya’la, Ya’la pun datang -pada saat itu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpayung dengan selembar pakaian- dan
memasukkan kepalanya. Tiba-tiba ia melihat wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam memerah sedangkan beliau mengeluarkan suara nafas, kemudian beliau
pulih perlahan-lahan dan bertanya, ‘Mana orang yang bertanya tentang umrah
tadi?’ Laki-laki itu pun dibawa (ke hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Cucilah minyak
wangi yang ada padamu tiga kali, buka jubahmu dan kerjakanlah umrahmu
sebagaimana engkau mengerjakan hajimu.’” [3]
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa barangsiapa
yang menyelisihi, atau mengerjakan satu di antara hal-hal yang terlarang ketika
ihram tidak ada kewajiban baginya kecuali ia harus berhenti (meninggalkan)
pekerjaan tersebut saja, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
memerintahkan laki-laki yang memakai jubah berlumuran minyak wangi wanita (dari
jenis khuluq, sebagaimana dalam riwayat lain) kecuali membuka jubahnya dan
mencuci minyak wangi tersebut. Beliau tidak memerintahkan menyembelih hewan
kurban pengganti. Seandainya hal tersebut wajib niscaya beliau akan
memerintahkannya karena tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada waktu
dibutuhkan dan di sini (penjelasan itu) dibutuhkan*.
Memulai Ihram Di Miqat
Apabila ia hendak berihram, memilih haji qiran dan telah
membawa hewan sembelihan, maka ia mengucapkan:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ بِحَحَّةٍ وَعُمْرَةٍ.
“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah dengan berniat haji
dan umrah.”
Apabila ia belum membawa hewan sembelihan (haji tamattu’
dan inilah yang lebih utama), ia harus berihram dengan umrah saja, maka ia
mengucapkan:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ بِعُمْرَةٍ.
“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah dengan berniat umrah.”
Apabila ia mengucapkan haji saja hendaknya ia
membatalkannya dan menjadikannya umrah [4]. Karena Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan seluruh Sahabatnya supaya bertahallul dari
ihram mereka dan menjadikan thawaf dan sa’i mereka menjadi umrah, kecuali orang
yang telah membawa hewan sembelihan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memberikan contoh, kemudian beliau marah kepada orang-orang yang tidak segera
melaksanakan perintahnya dan beliau menegaskan hal tersebut dengan sabdanya, “Umrah
masuk ke dalam bagian haji sampai hari Kiamat.” Ini juga merupakan nash yang
menunjukkan bahwa umrah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari haji.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ لَمْ أَسُقِ
الْهَدْيَ.
“Seandainya aku mengetahui apa yang aku ketahui sekarang
niscaya aku tidak akan membawa hewan sembelihan.”
Ini bukan hanya sekedar ungkapan perasaan beliau dengan
hanya sekedar (mengungkapkan) keinginan yang terlewatkan oleh beliau karena
beliau telah berihram untuk haji qiran. Akan tetapi ini adalah ungkapan dari
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang menyatakan) bahwa haji tamattu’
lebih utama dari haji qiran.
Setiap orang yang menunaikan ibadah haji harus
menggabungkan antara haji dan umrah, entah umrahnya dilakukan terlebih dahulu
karena ia belum membawa hewan sembelihan dan inilah haji tamattu’ -atau
‘umrahnya bersamaan dengan haji karena ia membawa hewan korban, dan inilah haji
qiran-. Entah yang mana saja yang ia kerjakan, maka ia telah mengikuti petunjuk
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun tamattu’ lebih utama dari pada
qiran, sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Selanjutnya kita harus mengetahui bahwa seseorang yang
mengerjakan haji ifrad atau qiran yang tidak membawa hewan sembelihan walaupun
wajib bagi mereka bertahallul dari ihramnya apabila mereka thawaf dan sa’i.
Mereka kadang tidak menjumpai waktu yang cukup untuk bertahallul dari ihramnya,
kemudian memulai manasik haji sebelum waktu wukuf di ‘Arafah berakhir. Oleh
karena itu, orang yang berihram untuk haji ifrad dan qiran yang tidak membawa
hewan kurban boleh tetap berihram tidak bertahallul dari ihramnya kecuali
setelah melempar jumrah ‘Aqabah pada hari an-nahr (10 Dzul Hijjah) jika waktu
untuk bertahallul dan berihram kembali untuk haji tidak cukup.
Contohnya, orang yang sampai di Makkah pada malam hari
kesembilan, ia takut ketinggalan wukuf di ‘Arafah karena waktu yang sempit dan
dekatnya waktu terbit fajar. Orang seperti ini hendaknya segera pergi ke
‘Arafah agar tidak ketinggalan rukun yang jika ia kehilangan hal ini, maka ia
akan kehilangan haji seluruhnya, rukun tersebut adalah wukuf di ‘Arafah. Haji
ifrad boleh dan disyari’atkan dilaksanakan dalam kondisi yang sempit sekali.
Apabila seseorang melakukan haji ifrad dan meninggalkan haji tamattu’ karena
lebih mengutamakan haji ifrad, maka ia telah berdosa, sebab Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabatnya agar menjadikan haji mereka
umrah. Namun haji orang tersebut tetap sah*.
Bolehnya Seorang Yang Berihram Mensyaratkan Tahallul Jika
Ia Sakit Dan Lain-Lain
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk menemui Dhuba’ah binti Zubair dan
bertanya, ‘Engkau hendak berhaji?’ Ia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak
mendapati diriku kecuali dalam keadaan sakit-sakitan.’ Beliau bersabda
kepadanya, ‘Pergilah haji dan buatlah syarat lalu katakanlah.
اَللَّهُمَّ مَحِلِّيْ حَيْثُ حَبَسْتَنِي.
'Ya Allah, dimana aku tertahan di situlah tempat aku
bertahallul.'’” [5]
Barangsiapa yang bersyarat dengan hal ini, maka kapan
saja ia tertahan (tidak bisa melanjutkan) karena suatu penyakit atau ada musuh
atau yang lainnya, ia boleh bertahallul dan ia tidak wajib membayar dam.
Barangsiapa yang tidak mensyaratkan apa-apa, jika ia
tertahan (tidak bisa melanjutkan ibadahnya), maka ia wajib membayar dam, karena
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
“... Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau
karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat…” [Al-Baqarah: 196]
Hewan sembelihan tidak boleh selain hewan ternak: unta,
sapi (kerbau), dan kambing. Apabila mudah baginya, maka kambing sudah
mencukupi, unta dan sapi lebih mencukupi lagi. Jika ia tidak mendapatkan
kemudahan hendaknya ia berpuasa sepuluh hari, diqiyaskan pada orang yang
berhaji Tamattu’ apabila ia tidak mendapatkan hewan kurban.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
(Brsambung)
_______
No comments:
Post a Comment