Mujahidin Berdoa |
Perjalanan yang belum selesai (150)
(Bagian ke seratus lima puluh , Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 22 Oktober 2014, 03.31 WIB)
Negara-Negara di Afrika Barat kini menghadapi bencana
wabah virus EBOLA yang sudah menewaskan lebih 2500 orang. Jumlah ini akan
meningkat dalam beberapa hari mendatang. Mewabahnya virus Ebola di Afrika ini
sepertinya mengulang wabah virus HIV-Aids yang dulu juga diawali di Afrika.
Menurut Al-qur-an dan beberapa Hadist Nabi Muhammad SAW,
50.000 tahun sebelum ALLAH menciptakan Langit dan Bumi dan seluruh isi alam ,
Allah sudah menulis di kitab Ahlaul Mahfush, mengenai segala sesuatu Kejadian
di Alam semesta termasuk apa yang terjadi di dunia, nasib seseorang, kapan dia
lahir, meninggal, kawin dan sakit, rezekinya, bahkan daun yang jatuh dari
pohonnya pun sudah tertulis di kitab itu. Jadi takdir dan semua kejadian sudah
ada dalam ketentuan Allah. Takdir ini hanya bisa berobah dari doa (permintaan
kita) terhadap Allah maha pengusa seluruh alam semesta, hanya dialah yang
memiliki hak preogatif untuk menubah ketentuan itu melalui doa doa kita, bila
doa kita diijabah (dikabulkan Allah). Jadi selain berusaha, doa sangat
menentukan keberhasilan usaha dan ihktiar manusia.
FIQIH TA’ZIYAH
Oleh
Syaikh Musa’id bin Qashim Al-Falih
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang
lain. ia memerlukan bergaul dengan orang lain. Ini merupakan fitrah. Tidak
mungkin ada yang bisa menghindarinya, terlebih lagi pada era global sekarang
ini, dunia layaknya sebuah kampung kecil saja. Berhubungan dengan orang lain,
meski terkadang berefek negatif, manakala berlangsung tanpa kendali, tetapi ia
juga merupakan peluang yang bisa mendatangkan beragam kemaslahatan, sekaligus
ladang amal untuk memproleh pahala.
Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan
sekedar komunikasi yang bertema dan berskala besar saja yang diperhatikannya,
tetapi hubungan yang sangat kecil pun tak luput dari pantauannya. Ini tiada
lain karena demi kemaslahatan manusia, sebagai makhluk yang berkepribadian
mulia. Islam telah memberikan peraturan dalam masalah mu’amalah semacam ini,
agar dalam pergaulan, manusia tidak melampui batas-batas koridor yang telah
ditentukan syariat. Sehingga pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu
pihak.
Salah satu dari bentuk mu’amalah tersebut adalah
ta’ziyah. Atau biasa disebut melayat. Bagaimanakah penjelasan tentang masalah
ini?
Untuk menjelaskan masalah ta’ziyah ini, berikut kami
ketengahkan ulasan yang diambil dari kitab at Ta`ziyah, karya Syaikh Musa'id
bin Qashim al Falih, yang diterbitkan Dar al ‘Ashimah. Semoga bermanfaat.
DEFINISI TA’ZIYAH
Kata “ta`ziyah”, secara etimologis merupakan bentuk
mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al
aza’u. Yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan.[1]
Dalam terminologi ilmu fikih, “ta’ziyah” didefinisikan
dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu berbeda dari makna
kamusnya.
Penulis kitab Radd al Mukhtar mengatakan : “Berta’ziyah
kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal mati) maksudnya ialah, menghibur
mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus mendo’akannya”.[2]
Imam al Khirasyi di dalam syarahnya menulis: “Ta’ziyah,
yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang
dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya”.[3]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Yaitu memotivasi
orang yang tertimpa musibah agar bisa lebih bersabar, dan menghiburnya supaya
bisa melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang
menimpanya”.[4]
HUKUM FIKIH TA’ZIYAH
Berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti yang
disebutkan oleh Ibnu Qudamah, hukumnya adalah sunnah [5]. Hal ini diperkuatkan
oleh hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya :
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ
Barangsiapa yang berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah,
maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut. [HR Tirmidzi
2/268. Kata beliau: “Hadits ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadits ini
tidak marfu’ kecuali dari jalur ‘Adi bin ‘Ashim”; Ibnu Majah, 1/511].
Dalil lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash
menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bertanya kepada Fathimah Radhiyallahu 'anha : “Wahai, Fathimah! Apa yang
membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab,”Aku berta’ziyah kepada keluarga yang
ditinggal mati ini.” [HR Abu Dawud, 3/192].
HIKMAH TA’ZIYAH
Disamping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua
belah pihak [6]. Antara lain :
- Meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang
dilayat.
- Memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah,
dan berharap pahala dari Allah Ta’ala.
- Memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar
Allah Ta’ala, dan menyerahkannya kepada Allah.
- Mendo’akannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah
dengan sesuatu yang lebih baik.
- Melarangnya dari berbuat niyahah (meratap), memukul,
atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.
- Mendo’akan mayit dengan kebaikan.
- Adanya pahala bagi orang yang berta’ziyah.
WAKTU TA’ZIYAH
Jumhur ulama memandang bahwa ta’ziyah diperbolehkan
sebelum dan sesudah mayit dikebumikan.[7]
Pendapat lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam
Tsauri, bahwa beliau memandang makruh ta’ziyah setelah mayitnya dikuburkan.
Alasannya, setelah mayitnya dikuburkan, berarti masalahnya juga selesai.
Sedangkan ta’ziyah itu sendiri disyari’atkan guna menghibur agar orang yang
tertimpa musibah bisa melupakannya. Oleh karena itu, hendaknya ta’ziyah
dilakukan pada waktu terjadinya musibah. Kala itu, orang yang tertimpa musibah
benar-benar dituntut untuk bersabar. [8]
Pendapat yang rajih, yaitu pendapat jumhur ulama.
Alasannya, orang yang tertimpa musibah memerlukan penghibur untuk mengurangi
beban musibah yang menghimpitnya. Penglipur ini tentu saja diperlukan,
sekalipun mayitnya sudah dikuburkan, sebagaimana ia memerlukannya sebelum
dikuburkan. Bahkan ta’ziyah setelah mayit dikuburkan hukumnya lebih utama.
Sebab, sebelumnya ia sibuk mengurus mayit.
Pendapat yang rajih, yaitu pendapat jumhur ulama.
Alasannya, orang yang tertimpa musibah memerlukan penghibur untuk mengurangi
beban musibah yang menghimpitnya. Penglipur ini tentu saja diperlukan,
sekalipun mayitnya sudah dikuburkan, sebagaimana ia memerlukannya sebelum
dikuburkan. Bahkan ta’ziyah setelah mayit dikuburkan hukumnya lebih utama.
Sebab, sebelumnya ia sibuk mengurus mayit. Dan orang yang tertimpa musibah
merasa lebih kesepian dan sengsara karena betul-betul berpisah dengan si
mayit.[9]
JANGKA WAKTU TA’ZIYAH
Ta’ziyah disyari’atkan dalam jangka waktu tiga hari
setelah mayitnya dikebumikan. Jumlah tiga hari ini bukan pembatasan yang final,
tetapi perkiraan saja (kurang lebihnya saja). Dan jumhur ulama menghukumi
makruh, apabila ta’ziyah dilakukan lebih dari tiga hari [10]. Ini berdasarkan
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ أَيَّامٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا
تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman
kepada Allah dan hari Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali
berkabung karena (ditinggal mati) suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh
hari. [HR Bukhari, 2/78; Muslim, 4/202].
Alasan lainnya, setelah tiga hari, biasanya orang yang
ditinggal mati, bisa kembali tenang. Maka, tidak perlu lagi untuk dibangkitkan
kesedihannya dengan dilayat. Kendatipun begitu, jumhur ulama membuat
pengecualian. Yaitu apabila orang yang hendak melayatnya, atau orang yang
hendah dilayatnya (keluarga yang ditinggal mati) tidak ada dalam jangka waktu
tiga hari tersebut.
Sebagian ulama mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah
membebaskannya begitu saja. Sampai kapan saja, tak ada pembatasan waktunya.
Sebab, menurut mereka, tujuan dari ta’ziyah ini untuk mendo’akan, memotivasinya
agar bersabar dan tidak melakukan ratapan, dan lain sebagainya. Tujuan ini
tentu saja berlaku untuk jangka waktu yang lama.
Yang lebih kuat dari dua pendapat ini, adalah pendapat
jumhur ulama.
MENGULANG-ULANG TA’ZIYAH
Mengulang-ulang ta’ziyah, hukumnya dimakruhkan. Tidak
boleh berta’ziyah di kuburan, apabila sebelumnya sudah melakukannya.
Hikmah sekaligus alasannya, karena tujuan dilakukannya
ta’ziyah sudah dicapai pada ta’ziyah yang pertama kali, sehingga tidak perlu
diulang lagi, supaya tidak membuat kesedihannya terus menghimpitnya.[11]
KEPADA SIAPA BERTA’ZIYAH?
Sunnahnya ta’ziyah dilakukan kepada seluruh orang yang
tertimpa musibah (ahlul mushibah), baik orang tua, anak-anak, dan apalagi
orang-orang yang lemah. Lebih khusus lagi kepada orang-orang tertentu dari
mereka yang merasakan kehilangan dan kesepian karena ditimpa musibah tersebut.
Tetapi para ulama bersepakat, bahwa seorang lelaki tidak boleh berta’ziyah
kepada seorang perempuan muda, sebab bisa menimbulkan fitnah (bahaya),
terkecuali mahramnya. [12]
Jika saat ta’ziyah mengetahui adanya kebatilan, maka kebenaran
tidak boleh diabaikan atau ditinggalkan. Orang yang meratap dan merobek
bajunya, dan sebagainya, ia tidak boleh dibiarkan. Begitu juga untuk hal-hal
lainnya.
TA’ZIYAH KEPADA ORANG KAFIR
Ada perbedaan pendapat dalam masalah melayat kepada orang
kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan). Sebagian ulama Hanafiyah dan
Syafi’iyah memperbolehkannya [13]. Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf, beliau
tidak berpendapat apa-apa dalam masalah ini.[14]
Sedangkan para sahabat Imam Ahmad memandang ta’ziyah sama
dengan ‘iyadah (menengok atau besuk). Dan dalam masalah ini, mereka memiliki
dua pendapat :
Pertama : Menengok dan melayat orang kafir hukumnya
terlarang atau haram [15]. Dalil yang mereka pergunakan ialah:
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا
لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani.
Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang dari mereka, pepetlah ke tempat
yang sempit. [HR Muslim, 7/5]
.
Dalam hal ini, ta’ziyah disamakan dengan memulai salam
kepada mereka.
Kedua : Membolehkan ta’ziyah dan menengoknya, dengan
dalil hadits berikut ini :
قَالَ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ
يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ
أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ
Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan
berkata : “Masuklah ke dalam Islam”.
Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya.
Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan
berkata : “Masuklah ke dalam Islam”.
Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya.
Bapaknya berkata,”Patuhilah (perkataan) Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa
sallam ,” maka anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam keluar seraya berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan
anak itu dari siksa neraka”. [HR Bukhari, 2/96].
Pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh melayat orang
kafir dzimmi, terkecuali apabila membawa kemaslahatan -menurut dugaan yang
rajih- misalnya mengharapkannya masuk Islam. Wallahu a’lam.
MELAYAT ORANG MUSLIM YANG DITINGGAL MATI OLEH SEORANG
KAFIR
Jumhur ulama memperbolehkan ta’ziyah kepadanya [16].
Adapun pendapat yang melarangnya, dipegang oleh Imam Malik dan salah satu
riwayat dari mazhab Hanabilah [17].
Yang rajih dalam masalah ini, ialah pendapat jumhur
ulama. Dalilnya ialah, keumuman dalil-dalil yang memerintahkan ta’ziyah.
APA YANG DIUCAPKAN KETIKA BERTA’ZIYAH?
Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, bisa
disimpulkan bahwa mereka tidak membatasi dan tidak menentukan bacaan-bacaan
khusus yang harus diucapkan ketika berta’ziyah.
Ibnu Qudamah berpendapat [18] : “Sepanjang yang kami
ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam ta’ziyah. Namun,
diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melayat seseorang
dan mengucapkan:
رَحِمَكَ اللهُ وَآجَرَكَ
(Semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala. –HR
Tirmidzi, 4/60).
Imam Nawawi berpendapat [19], yang paling baik untuk
diucapkan ketika ta’ziyah, yaitu apa yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya untuk
memberi kabar kematian sesorang. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
kepada utusan itu : Kembalilah kepadanya dan katakanlah kepadanya :
أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ
عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan
akan kembali kepadaNya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisiNya
ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan
mengharap pahala dari Allah. [HR Muslim, 3/39].
Sebagian ulama mensunnahkan, agar ketika melayat orang
muslim yang ditinggal mati oleh orang muslim, membaca :
أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاكَ وَرَحِمَ مَيِّتَكَ
Semoga Allah melipatkan pahalamu, memberimu pelipur lara
yang baik, dan semoga Dia memberikan rahmat kepada si mayit. [20]
Menurut Mazhab Syafi’iyah, mendoa’akan orang yang dilayat
atau yang tertimpa musibah dengan mengucapkan: “Semoga Allah mengampuni si
mayit, melipatkan pahalamu, dan memberimu pelipur yang baik,” tetapi, ada juga
yang berpendapat berdo’a dengan do’a apa saja.[21]
Adapun ketika melayat seorang muslim yang ditinggal mati
oleh seorang kafir, maka cukup dengan mendo’akan orang-orang yang ditinggal
mati ini saja dan tidak mendoakan si mayit (yang kafir). Dan melayat orang
kafir, sebagaimana telah dibahas di muka, tidak diperbolehkan, terkecuali
membawa kemaslahatan.
Sedangkan mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah yang
membolehkan melayat orang kafir karena ditinggal mati oleh seorang muslim,
memberikan tuntunan do’a :
أَحْسَنَ اللهُ عَزَاءَكَ وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ
(Semoga Allah memberimu pelipur lara yang baik, dan
semoga Dia mengampuni si mayit).
Dan ketika yang meninggal adalah orang kafir, doanya
ialah :
أَخْلَفَ اللهُ عَلَيْكَ وَلاَ نَقَصَ عَدَدَكَ
(Semoga Allah menggantinya buatmu, dan semoga tidak
mengurangi jumlahmu).
Maksudnya, supaya jumlah jizyah (upeti) yang diambil dari
mereka tetap besar.[22]
Masalah ini dikomentari oleh Imam Nawawi : “Ini sangat
bermasalah, sebab berdo’a agar orang kafir dan kekafiran tetap ada atau eksis.
Sebaiknya, ini ditinggalkan saja” [23] Apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi
adalah benar.
Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh orang yang dilayat?
Dalam hal ini sama. Tidak ada ketentuan bacaan khusus yang harus dibaca sebagai
jawaban kepada para pelayat.
Ada pendapat dari Mazhab Hanabilah, bahwasanya
disunnahkan untuk mengucapkan :
اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَكَ وَرَحِمَنَا وَإِيَّاكَ
(Semoga Allah mengabukan do’amu. Dan semoga Dia mengasihi
kita, juga kamu). [24]
DUDUK-DUDUK KETIKA TA’ZIYAH
Berkumpul dan membaca al Qur`an ketika melayat, bukan
petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ; baik di pekuburan ataupun di tempat
tidak diajarkan [25]. Jumhur ulama melarang duduk-duduk di tempat orang yang
ditinggal mati. Yang disyari’atkan ialah, setelah mayat dikuburkan, sebaiknya
kembali kepada kesibukannya masing-masing. Larangan ini adalah makruh (makruh
tanzih) apabila tidak dibarengi kemunkaran-kemunkaran lain.
DUDUK-DUDUK KETIKA TA’ZIYAH
Berkumpul dan membaca al Qur`an ketika melayat, bukan
petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ; baik di pekuburan ataupun di
tempat tidak diajarkan [25]. Jumhur ulama melarang duduk-duduk di tempat orang
yang ditinggal mati. Yang disyari’atkan ialah, setelah mayat dikuburkan,
sebaiknya kembali kepada kesibukannya masing-masing. Larangan ini adalah makruh
(makruh tanzih) apabila tidak dibarengi kemunkaran-kemunkaran lain. Adapun jika
dibarengi dengan kemungkaran-kemungkaran, misalnya bid’ah-bid’ah, maka hukumnya
haram.[26]
Adat yang biasa dilakukan oleh orang-orang, seperti
duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati, lalu dikeluarkan biaya untuk
keperluan ini dan itu, mereka tinggalkan apa yang membuatnya maslahat; pada
saat yang sama, mereka mencela orang yang tidak mau mengikuti dalam acara
tersebut. Dalam acara itu mereka melakukan hal-hal yang tidak disyari’atkan,
dan ini termasuk kegiatan bid’ah yang dicela oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.[27]
Dalam masalah ini ada yang berpendapat memperbolehkannya.
Mereka ialah sebagian dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah[28]. Mereka berdalil
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha , dia
menceritakan, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, ternyata
Ibnu Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah terbunuh. Lalu
beliau duduk. Beliau mengetahui jika di tempat itu ada kesedihan … [HR Muslim,
3/45]
.
Jawabannya atau bantahan dari pendapat ini ialah, bahwa
kedatangan Rasulullah dan beliau n duduk, tidak bermaksud untuk ta’ziyah, dan
tidak ada indikasi ke arah yang menguatkannya berta’ziyah.[29]
Maka dari itu, sebagian lagi dari ulama Hanabilah
menyatakan, sebenarnya yang dimakruhkan adalah menginap di tempat orang yang
ditinggal mati, duduk-duduk bagi orang yang sudah pernah melayat sebelumnya,
atau duduk-duduk supaya bisa melayat lebih lama lagi. [30]
Demikianlah beberapa point berkenaan dengan ta’ziyah.
Semoga penjelasa
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun
X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647,
08157579296](Bersambung)
_______
No comments:
Post a Comment