Cindy Adams: Bung Karno Ingin Terlihat Tampan
Cindy Adams. Foto: Hendra Eka/Jawa Pos
Kali pertama muncul dalam bahasa Inggris pada 1965 dengan
judul Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, buku itu lantas
diterjemahkan berulang-ulang dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bung
Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia".
Dalam 45 tahun terakhir, Cindy untuk kali pertama hadir
di Indonesia Selasa lalu (23/12). Pemerintahan Orde Baru membuat Cindy harus
menunggu visa hampir setengah abad.
Perempuan yang masih cantik di usia setengah abad lebih
itu bereuni dengan keluarga Soekarno dan bernostalgia di Indonesia.
Ditemani Kartika Sari Dewi Soekarno, Cindy menerima
wartawan Jawa Pos Ahmad Baidhowi di Jakarta kemarin (25/12).
Pada kesempatan wawancara eksklusif itu, Cindy
mengklarifikasi dua paragraf kontroversial dalam edisi terjemahan bukunya yang
dipelintir oleh pemerintah Orde Baru.
Kenapa Soekarno memilih Anda, padahal puluhan jurnalis
dan penulis antre menunggu izin untuk menulis kisah hidupnya?
Itu bermula dari aktivitas suami saya, Joey Adams. Dia
adalah seorang komedian dan entertainer yang menjadi presiden seluruh aktor di
Amerika. Pada 1961, dia dikirim Presiden Kennedy sebagai duta kebudayaan untuk
wilayah Asia Tenggara. Dia dan timnya mengadakan pertunjukan di Istana Negara.
Di situlah saya kali pertama bertemu Bapak (dalam wawancara, Cindy selalu
menggunakan kata ”Bapak” untuk menyebut Soekarno, Red).
Saat itu saya ikut. Saya tahu, dia adalah salah satu di
antara empat orang paling powerful di dunia ketika itu. Karena itu, saya
bertekad mewawancarainya. Usai suami saya tampil, saya menghampiri Bapak. Saya
bilang ke dia, apa saya boleh mewawancarainya saat itu. Dia mengiyakan.
Apa yang kali pertama Anda tanyakan?
Saya tanya hal-hal lucu dan ringan. Misalnya, kenapa dia
memakai seragam kebesaran, peci (sambil memegang kepala). Bapak bilang, dia
adalah komandan tertinggi di Indonesia dan rakyat butuh simbol otoritas sebagai
panutan. Saya diam beberapa detik. Lalu, saya bilang, saya kira tidak begitu.
Saya bilang, Anda memakainya karena terlihat tampan. Bapak tertawa. Dia bilang,
ya, kamu benar, tapi jangan bilang siapa-siapa ya (Cindy lantas tertawa lebar).
Saya membuatnya tertawa, rileks. Dia juga terkesan dengan
artikel yang saya tulis saat itu. Karena itu, ketika dia ingin biografinya
ditulis, dia memilih saya. Saya awalnya tidak percaya saat Duta Besar Howard P.
Jones (Dubes AS ketika itu) memberitahukan bahwa Presiden Soekarno ingin saya
kembali ke Indonesia untuk menulis biografinya. Saat itu saya sudah kembali ke
New York.
Apakah pemilihan Anda merupakan bentuk diplomasi Presiden
Soekarno kepada pemerintah AS?
Saya kira tidak. Apalagi saat itu hubungan pemerintah
Indonesia dengan Amerika sedang kurang bagus. Indonesia justru lebih dekat ke
China (Tiongkok). Jadi, fakta bahwa dia memilih seorang gadis Amerika untuk
menulis biografinya dan Dubes AS sebagai penghubung itu adalah hal yang hebat.
Dia memilih saya karena saya bisa membuatnya merasa
santai, tertawa. Sebab, dengan itulah Anda bisa membuat dia bicara. Tidak
sekadar bicara retorika politik, slogan-slogan politik, tapi tentang hidupnya,
tentang ibunya, bagaimana dia dilahirkan, bagaimana dia sekolah, bagaimana dia
kuliah di Bandung, bagaimana dia bertahan saat dipenjara. Saya yakin, dia hanya
bisa bicara seperti itu kepada orang yang bisa memahami sisi kemanusiaannya.
Dan saya hadir pada saat yang tepat.
Selama penulisan biografi pada periode 1961–1967,
seberapa intens pertemuan Anda dengan Presiden Soekarno?
Tiap hari, pukul 6 pagi, saya datang ke istana. Bapak
duduk di sana tanpa peci, tanpa seragam. Hanya kaus, celana, dan telanjang
kaki. Saya datang, lalu minum kopi tubruk. Kami lalu duduk. Kadang dia
membiarkan saya mewawancarainya. Kadang dia hanya bercerita kepada saya tentang
pekerjaannya.
Saya di istana sejak pukul 6 pagi sampai pukul 9 atau 10.
Lalu, pada akhir pekan, saya melakukan cross check atas kisah-kisahnya.
Misalnya, setelah dia bicara tentang pengalamannya di penjara Bandung, saya
pergi ke sana, melihat kondisinya, bicara dengan sipir penjaganya. Jadi, saya
lakukan double check.
Dalam edisi bahasa Indonesia, ada 2 paragraf yang
ditambahkan penerjemah. Di situ dituliskan, Presiden Soekarno menyebut bahwa
kehadiran Bung Hatta tidaklah penting dalam proses proklamasi. Paragraf itu
memicu kontroversi. Bagaimana pendapat Anda?
Saya tidak menulisnya. Itu disisipkan. Waktu itu, saya
memberikan izin kepada salah satu penerbit di Indonesia untuk menerbitkan.
Penerjemahnya, tanpa melakukan cross check kepada saya, tanpa izin saya,
menambahkan dua paragraf tersebut.
Saya tidak pernah mengira hal itu akan terjadi. Saya
lihat, di situ (edisi terjemahan) tertulis Bapak bilang Hatta tidak penting.
Saya tidak, tidak, tidak pernah menulis itu. Bapak pun tidak pernah mengatakan
itu.
Presiden Soekarno adalah orang yang sangat romantis
kepada perempuan. Apakah Anda pernah mendapat puisi romantis atau kata-kata
romantis dari dia?
(Cindy tersenyum) Dia mencintai kehidupan, dia mencintai
perempuan. Saya tidak pernah bertemu presiden lain yang melakukan hal yang
sama. Dia dekat dengan Marilyn Monroe, dengan bintang-bintang film. Seperti
halnya saya yang terlihat menarik, dia hanya menikmati cara-cara untuk
mengagumi perempuan dan para perempuan pun mengaguminya.
Apa pesan paling spesial yang pernah disampaikan Presiden
Soekarno kepada rakyat Indonesia?
Menjadi negara Indonesia. Ini adalah negeri yang begitu
hebat, 17 ribu pulau, dikelilingi lautan, membentang begitu luas. Tanpa
semangat untuk membangun negara, mustahil Indonesia bisa berdiri hingga
sekarang. (JPNN)
No comments:
Post a Comment