Perjalanan yang belum selesai (171)
(Bagian ke seratus tujuh puluh satu, Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 28 Desember 2014, 07.09 WIB)
Pernah anda mendengar kata para ustad di Masjid-Masjid
ceramah di Radio, TV, yang mengutip hadist Nabi Muhammad SAW , bahwa Umat Islam
nanti di akhir zaman akan terpecah menjadi 73 golongan, yang selamat kata Nabi
hanya satu golongan, yaitu golongan yang mengikuti petunjuk A; Quran, dan
sunnah Nabi (hadist).
Tentu saja, hampir semua ustad berbagai kelompok,
golongan dan organisasi dalam memberikan jawaban di atas adalah golongan mereka
yang benar, tidak heran keyakinan ini yang ditafsirkan berbeda ini menyebabkan
banyak sekali konflik dan pertentangan diantara umat Islam sendiri, bahkan
diantara mereka bisa saling berperang dan bunuh-bunuhan, jangankan antara
mereka yang berbeda aqidah, dalam menafsirkan ijtihad sesuatu perkara saja kita
bisa berbeda , walaupun satu aqidah, lihat saja pertentangan dan peperangan
antara Khalifah Muawiyah dengan kelompok Ali bin abi Thalib, dan banyak
kelompok lain dalam sejarah Islam setelah Nabi Muhammad wafat.
Islam masuk ke Indonesia, menurut sejarah memang tidak
langsung dari datang dari para ustad (ulama) dari Mekah atau Madinah, melainkan
tidak langsung ada yang melalui Yaman atau India, tidak heran Islam yang ada di
Indonesia sangat dipengaruhi latar belakang para Ulama itu , apakah selama di
Yaman dan India sudah tercemar dengan ajaran Sufi, Shiah, atau hindu atau
ratusan sekte lainnya.
Wali Songo misalnya ketika datang ke Indonesia, sudah
mendapati fakta ketika itu mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama
Hindu, Budha dan animism.
Tentu saja para Wali Wongo dalam dakwahnya memiliki
pendekatan psikologis sendiri-sendiri, tidak ingin mengagetkan penduduk lokal
dengan ajaran baru (Islam) yang bisa sangat bertolak belakang dan berbenturan
dengan budaya dan kebiasaan Hindu, Buddha dan Animisme yang sudah mereka anut
ratusan tahun sebelumnya (agama nenek moyang).
Untuk itulah pada tahap awal, Wali Songo mencoba kreatif,
dengan pendekatannya sendiri mengajarkan agama Islam dengan metode lunak, tanpa
benturan,dan ini berhasil, maka kini mayoritas bangsa Indonesia pemeluk Islam.
Tidak heran ajaran atau ritual Islam di Indonesia sudah
tercemar atau ada kombinasi kebiasaan hindu dan Islam, lihat saja kebiasaan ada
Tahlilan 7 hari , 100 hari, 1000 hari orang wafat, dan ribuan ritual lainnya.
Contoh lainnya, saya pernah sholat Jumat di salah satu
Masjid di Tebet, Kampung Melayu, saya dapati di dalam Masjid ini kuburan,
mungkin ada dua tiga makam di dalamnya, bahkan orang sholat dan berlalu lalang
di atas makam ini.
Bukankah Nabi Muhammad dalam Hadistnya “Jangan jadikan
Rumah Allah (Masjid) sebagai kuburan”. Ini juga saya temui ketika saya bertugas
di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Memang ini tidak bisa salahkan sepenuhnya bagi mereka,
mungkin para sesepuh, guru mereka di Masjid itu dulu belajar Islam selain dari
kitab kuning (belim banyak adio /TV dan Ustad yang pakar di bidangnya, atau S3
hapal /hafish Al Quran ahli Hadist dari Mekah, Madinah, Al-azhar atau sekolah
yang kompeten lainnya) juga berdasarkan pengalaman dan pandang mata mereka,
ketika naik Haji atau Umroh, mereka dapati Makam Nabi Muhammad SAW sudah berada
di dalam Masjid, padahal sebelumnya makam ini berada di luar Masjid Nabawi.
Namun karena perluasan Masjid yang dilakukan para
penguasa Arab Saudi, maka Masjid terus diperluas sehingga letak Makam Nabi
berada di dalam lingkaran Masjid. Nah sepulang ke Indonesia para Ustad ini member
tahu jamaahnya kalau di Arab Saudi itu kuburan/makam ada di dalam Masjid, tanpa
terlebih dahulu dia lihat soal makam ini di dalam dalil Hadist.
Kini, bangsa Indonesia sudah melek huruf, teknologi sudah
canggih, banyak Ustad yang memang pakar di bidangnya hapal al quran hapal
hadist, keluaran sekolah kompeten, ada sara teknologi canggih, bisa belajar
juga melalui Radio, TV, baik langsung maupun streaming di Internet , pengajian
juga bertaburan di seluruh Indonesia yang diberikan para Ustad yang kompeten
yang mengajarkan Al-Qur an dan Hadist secara Ilmiah, artinya bukan semata dia
lihat saja, tapi setelah dilihat lalu dicocokkan dengan dalil al quran dan
Hadist, agar Ilmiah, dipertanggung jawabkan kebenarannya, bukan sekadar ajaran
nenek moyang atau kebiasaan yang terdahulu.
Lantas apa gunanya kita permasalahkan adanya pebedaan
ini, bukannya Allah sudah tentukan adanya Iradah Kauniah (taqdir). Bahkan Allah
SWT 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi sudah menuliskan di kitab
"Lauh Mahfuzh" mengenai taqdir dan ketentuan nasib mahluk hidu
termasuk manusia.
Bukankah Allah sebelum menciptakan manusia (adam)
mendapat protes dari para Malaykat.’’Mengapa Allah menciptakan manusia, yang
hanya saling bertengkar dan bunuh-bunuhan , sedangkan kami para Malaikat hanya
berzikir dan memujimu ya Allah,’’ kata Malaikat.
Allah di dalam Al Quran menciptakan manusia, berbagai
suku, ras, golongan dan beragam kepercayaan, dan berbeda warna kulit, bahasa,
walaupun kata Allah bisa saja Allah menciptakan Manusia hanya satu golongan
seperti Malaikat, tapi Allah lebih tahu apa yang dikehendakinya. Jadi berbeda
suku dan golongan dan kehendak ini sudah menjadi Taqdir Allah, yang tidak bisa
seorang pun mampu mengubahnya. Hanya Allah memeberikan wasiat berupa Al-Quran
dan Sunnah Rasul Nabi Muhammad SAW, agar manusia selamat di dunia dan akherat,
tidak terperdaya oleh Syeitan yang selalu menggoda manusia agar saling
berperang dan saling bunuh.
Kesempurnaan Islam
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
PENDAHULUAN
Segala puji milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita
memujinya, memohon ma'unah dan maghfirah-Nya, bertaubat dan berlindung
kepada-Nya dari kejahatan diri keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang
diberi petunjuk oleh Allah maka tiada yang dapat menyesatkannya, dan
barangsiapa yang disesatkannya maka tiada yang dapat menunjukinya.
Aku bersaksi bahwa Tuhan yang berhak di sembah selain
Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
rasul-Nya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus Allah dengan membawa
petunjuk dan agama yang haq. Beliaupun telah menyampaikan risalah, melaksanakan
amanah, tulus dan kasih kepada umat, serta berjihad di jalan Allah dengan
sebenar-benarnya sampai beliau berpulang ke rahmat-Nya, sedang umatnya beliau
tinggalkan pada jalan yang terang benderang, siapa yang menyimpang darinya
pasti binasa.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menerangkan segala kebutuhan umat dalam berbagai aspek kehidupan mereka,
sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu : "Tidak ada
yang diabaikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sampai burung yang
mengepakkan sayapnya di langit, melainkan beliau telah mengajarkan kepada kami
tentang ilmunya".
Ada seorang musyrik bertanya kepada Salman Al-Farisi
Radhiyallahu 'anhu : " Apakah Nabi kalian mengajarkan sampai tentang
tatacara buang hajat ..? Salman menjawab : 'Ya, beliau telah melarang kami
menghadap kiblat ketika buang hajat, dan membersihkan hajat dengan kurang dari
tiga batu, atau dengan tangan kanan atau dengan kotoran kering atau dengan
tulang".
ALLAH TELAH MENJELASKAN USHUL DAN FURU AGAMA DALAM
AL-QURANUL KARIM
Anda tentu tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menjelaskan dalam Al-Qur'an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu' (cabang-cabang)
agama Islam. Allah telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala
macam-macamnya, sampai tentang bergaul sesama manusia seperti tatakrama
pertemuan, tatacara minta izin dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah
Ta'ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا
فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan
kepadamu : 'Berlapang-lapanglah dalam majlis', maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu" [Al-Mujaadalah : 11]
Dan firman-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ
بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ
لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا
حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ
لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki
rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada
penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika
kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum
kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu : 'Kembalilah !' maka hendaklah
kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan". [An-Nuur : 27-28]
.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan pula kepada
kita dalam Al-Qur'an tentang cara berpakaian. Firman-Nya.
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari
haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi) tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka [1] dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan" [An-Nuur : 60].
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min : 'Hendaklah mereka
mengulurkan jilbanya[2] ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha penyayang". [Al-Ahzaab : 59].
ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ
"Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasaan yang mereka sembunyikan". [An-Nuur : 31]
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا
وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Dan bukankah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya[3], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa,
dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya". [Al-Baqarah : 189].
Dan masih banyak lagi ayat seperti ini, yang dengan
demikian jelaslah bahwa Islam adalah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan,
tidak perlu ditambahi dan tidak boleh dikurangi. Sebagaimana firman Allah
Ta'ala tentang Al-Qur'an.
وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ
الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
"Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur'an) untuk
menjelaskan segala sesuatu". [An-Nahl : 89].
Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh
manusia baik yang menyangkut masalah kehidupan di akhirat maupun masalah
kehidupan di dunia, kecuali telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur'an secara tegas
atau dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.
Adapun firman Allah Ta'ala.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ
إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ
إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga)
seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab. Kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan". [Al-An'aam : 38].
Ada yang menafsirkan ''al-kitab" disini adalah
Al-Qur'an. Padahal sebenarnya yang dimaksud yaitu "Lauh Mahfuzh" .
Karena apa yang dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang Al-Qur'an dalam
firman-Nya : "Artinya : Dan Kami turunkan kepadmu kitab (Al-Qur'an) untuk
menjelaskan segala sesuatu". lebih tegas dan lebih jelas daripada yang
dinyatakan dalam firman-Nya : "Artinya : Tidaklah Kami alpakan sesuatupun
di dalam al-kitab".
Mungkin ada orang yang bertanya : "Adakah ayat di
dalam Al-Qur'an yang menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan
raka'at tiap-tiap shalat ? Bagaimanakah dengan firman Allah yang menjelaskan
bahwa Al-Qur'an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal kita tidak
menemukan ayat yang menjelaskan bilangan raka'at tiap-tiap shalat ?".
Jawabnya : Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan di
dalam Al-Qur'an bahwasanya kita di wajibkan mengambil dan mengikuti segala apa
yang telah disabdakan dan ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Hal ini berdasarkan atas firman Allah Ta'ala.
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya
ia telah mentaati Allah" [An-Nisaa : 80].
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا
"Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah".
[Al-Hasyr : 7].
Maka segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya Al-Qur'an telah
menunjukkannya pula. Karena sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan
diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah Shalallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
"Artinya : Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab
(Al-Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) kepadamu". [An-Nisaa : 113].
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam sunnah maka
sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur'an.
RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TELAH
MENJELASKAN PULA SELURUH AGAMA
Pembaca yang budiman.
Apabila saudara telah mengakui dan meyakini akan hal-hal
di atas, maka apakah masih ada sesuatu hal tentang agama yang dapat mendekatkan
kepada Allah belum dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai
beliau wafat ?
Tentu tidak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menerangkan segala sesuatu berkenan dengan agama, baik melalui perkataan,
perbuatan atau persetujuan beliau. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menerangkannya langsung dari inisiatif beliau, atau sebagai jawaban atas
pertanyaan. Kadangkala, dengan kehendak Allah, ada seorang Badui datang kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya tentang sesuatu masalah
dalam agama, sementara para sahabat yang selalu menyertai Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menanyakan hal tersebut. Karena itu para
sahabat merasa senang apabila ada seorang Badui datang untuk bertanya kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebagai bukti bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah menjelaskan segala apa yang diperlukan manusia dalam ibadah, mu'amalah
dan kehidupan mereka, yaitu firman Allah Ta'ala.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
"Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam
itu jadi agama bagimu". [Al-Maa'idah : 3]
SETIAP BID’AH ADALAH KESESATAN
Apabila masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan
saudara, maka ketahuilah bahwa siapapun yang berbuat bid'ah dalam agama,
walaupun dengan tujuan baik, maka bid'ahnya itu, selain merupakan kesesatan,
adalah suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Allah Ta'ala, yang
artinya : "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu
....." . Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan
bahwa Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan
dapat mendekatkan diri kepada Allah belum terdapat di dalamnya.
Anehnya, ada orang yang melakukan bid'ah berkenan dengan
dzat, asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla, kemudian ia mengatakan bahwa
tujuannya adalah untuk mengagungkan Allah, untuk mensucikan Allah, dan untuk
menuruti firman Allah Ta'ala.
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
"Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah". [Al-Baqarah : 22]
Aneh, bahwa orang yang melakukan bid'ah seperti ini dalam
agama Allah, yang berkenan dengan dzat-Nya, yang tidak pernah dilakukan oleh
para ulama salaf, mengatakan bahwa dialah yang mensucikan Allah, dialah yang
mengagungkan Allah dan dialah yang menuruti firman-Nya : "Artinya : Maka
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah", dan barangsiapa yang
menyalahinya maka dia adalah mumatstsil musyabbih (orang yang menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek
lainnya.
Anehnya lagi, ada orang-orang yang melakukan bid'ah dalam
agama Allah berkenaan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah orang yang paling
mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang mengagungkan
beliau, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka maka dia adalah
orang yang membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau menuduhnya
dengan sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka pergunakan terhadap
orang yang menolak bid'ah mereka.
Aneh, bahwa orang-orang semacam ini mengatakan :
"Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya". Padahal dengan
bid'ah yang mereka perbuat itu, mereka sebenarnya telah bertindak lancang
terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala telah berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-Hujuraat : 1].
Pembaca yang budiman.
Disini penulis mau bertanya, dan mohon -demi Allah- agar
jawaban yang anda berikan berasal dari hati nurani bukan secara emosional,
jawab yang sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan karena taklid
(ikut-ikutan).
Apa pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid'ah
dalam agama Allah, baik yang berkenan dengan dzat, sifat dan asma' Allah
Subhanahu wa Ta'ala atau yang berkenan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Kemudian mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah
dan Rasulullah ?".
Apakah mereka ini yang lebih berhak disebut sebagai
pengagung Allah dan Rasulullah, ataukah orang-orang yang mereka itu tidak
menyimpang seujung jaripun dari syari'at Allah, yang berkata : "Kami
beriman kepada syari'at Allah yang dibawa Nabi, kami mempercayai apa yang
diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan ; kami
menolak apa yang tidak ada dalam syari'at, tak patut kami berbuat lancang
terhadap Allah dan Rasul-Nya atau mengatakan dalam agama Allah apa yang tidak
termasuk ajarannya ?".
Siapakah, menurut anda, yang lebih berhak untuk disebut
sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah dan Rasul-Nya .?
Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata :
"Kami mengimani dan mempercayai apa yang diberitakan kepada kami, patuh
dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan ; kami menolak apa yang tidak
diperintahkan, dan tak patut kami mengada-adakan dalam syari'at Allah atau
melakukan bid'ah dalam agama Allah". Tak syak lagi bahwa mereka inilah
orang-orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang
mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran
kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bukan golongan pertama, yang melakukan bid'ah dalam agama
Allah, dalam hal akidah, ucapan, atau perbuatan. Padahal, anehnya, mereka
mengerti sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ، فَإِنَّ كُلُّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَة، وَكُلَّ بدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ، وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِي النَّارِ
"Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap
perkara baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap
kesesatan masuk dalam neraka".
Sabda beliau : "setiap bid'ah " bersifat umum
dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang disampaikannya.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling fasih, paling
tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya,
Maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kullu bid'atin
dhalalah", Beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan
maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus
terhadap umatnya.
Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu
: diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka
perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang
dikandungnya.
Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid'ah dapat
kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian ?
Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama
yang mengatakan bahwa ada bid'ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas
dari dua hal.
Pertama : kemungkinan tidak termasuk bid'ah tapi
dianggapnya sebagai bid'ah.
Kedua : kemungkinan termasuk bid'ah, yang tentu saja
sayyi'ah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya.
Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid'ah
hasanah, maka jawabannya adalah demikian tadi.
Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid'ah
untuk menjadikan sesuatu bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah, karena kita
telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
yaitu :
وَكُلُّ بدْعَةٍ ضَلاَ
"Setiap bid'ah adalah kesesatan"
Senjata itu bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan
datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna.
Maka barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh
siapapun dengan bid'ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan : "Setiap bid'ah adalah
kesesatan".
[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalis Syar'i wa
Khatharil Ibtidaa', edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah, karya
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, penerbit
Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]
_______
Footnote
[1]. Maksudnya : Pakaian luar, yang kalau dibuka tidak
menampakkan aurat.
[2]. Jilbab sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup
kepala, muka dan dada.
[3]. Pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berihram di
waktu haji mereka memasuki rumahnya dari belakang, bukan dari depan. Hal ini
ditanyakan oleh para sahabat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
maka turunlah ayat ini sebagai penjelas
Kesempurnaan Islam
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
BEBERAPA PERTANYAAN DAN JAWABANNYA
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya :
Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu 'Anhu
setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami
orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama'ah sedang
berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : "inilah sebaik-baik bid'ah
.... dst".
Jawabnya.
Pertama : Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh
menentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan
Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka.
Karena Allah Ta'ala berfirman :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ
فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang
pedih". [An-Nuur : 63].
Imam Ahmad bin Hambal berkata : "Tahukah anda,
apakah yang dimaksud dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila
menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan terjadi pada
hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa".
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : "Hampir saja
kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar
dan Umar".
Kedua : Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu 'anhu termasuk
orang yang sangat menghormati firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya
Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak
pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan
sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah
perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar
(maskawin) dengan firman Allah, yang artinya : " ... sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak ..." [1]
bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan
mahar.
Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang
keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang
yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.
Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu 'anhu
menentang sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata tentang
suatu bid'ah : "Inilah sebaik-baik bid'ah", padahal bid'ah tersebut
termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Setiap bid'ah adalah kesesatan".
Akan tetapi bid'ah yang dikatakan oleh Umar, harus
ditempatkan sebagai bid'ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan
orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan
satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.
Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya
dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh
Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam
berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan
bersabda :
((إِنِي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا))
"Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut
diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya".
[Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim].
Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan
berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun
disebut bid'ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada
di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya
secara berjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu'minin Umar
Radhiyallahu 'anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan
satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid'ah, bila
dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan
tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi
ahli bid'ah untuk menyatakan perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.
Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada
hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya
sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai
baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana
hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan
?".
Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini
sebenarnya bukan bid'ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah,
sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana
disebutkan dalam kaedah : "Sarana dihukumi menurut tujuannya". Maka
sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan
yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk
perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika
dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk
dan jahat.
Firman Allah Ta'ala.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا
اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan". [Al-An'aam : 108].
Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang
musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan
Rabbul 'Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun,
karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik
menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang.
Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang
menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah,
karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun
hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi
menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah
dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut
hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu
syar'i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.
Jika ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban
anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
((مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا
وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))
"Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam
Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang
mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".
"Sanna" di sini artinya : membuat atau
mengadakan.
Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah
orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau
sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama
lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan.
Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali.
Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena
kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua
hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan :
"Man sanna fil Islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat
dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian
menyatkan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik",
sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan
mengerjakan bid'ah.
Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "Man Sanna"
bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang
telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak
berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali
suatu sunnah yang telah ditinggalkan.
Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab
timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit.
Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari
harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang
perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan
bersabda.
((مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا
وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))
" Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam
Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang
mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".
Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna"
ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu
sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan
Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik",
bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang.
berdasarkan sabda beliau : "Kullu bid'atin dhalaalah".
SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM IBADAH
Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang
dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara.
Pertama. Sebab.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan
sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak
diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam
dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat
tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi
bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam
syari'at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab -
adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang
dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.
Kedua. Jenis.
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam
jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih
kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam
jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.
Ketiga. Kadar (Bilangan).
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu
shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah
bid'ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam
jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka'at,
umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat. Kaifiyah (Cara).
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh
tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang
ditentukan syari'at.
Kelima. Waktu.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada
hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya
tidak menurut ajaran Islam.
Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarrub kepada
Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah
bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada
Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada
bulan Ramadhan dengan i'tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut
sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk
memakan dagingnya, boleh saja.
Keenam. Tempat.
Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid,
maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu
pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di
rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai
dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di
luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya
tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut,
sebagaimana firman Allah Ta'ala,
وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ
"Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang
thawaf". [Al-Hajj : 26].
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah
seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu
:
Pertama. Ikhlas
Kedua. Mutaba'ah.
Dan Mutaba'ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam
perkara yang telah diuraikan tadi.
PENUTUP
Penulis berpesan kepada mereka yang terjerat dalam cobaan
bid'ah, yang kemungkinan mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan,
apabila anda memang menghendaki kebaikan maka -demi Allah- tidak ada jalan yang
lebih baik daripada jalan para Salaf (generasi pendahulu) Radhiyallahu 'anhum.
Pegang teguhlah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam, ikutilah jejak para salaf shaleh, dan perhatikanlah apakah hal itu akan
merugikan anda .?
Dan kami katakan, dengan sesungguhnya, bahwa anda akan
mendapatkan kebanyakan orang yang suka mengerjakan bid'ah merasa enggan dan
malas untuk mengerjakan hal-hal yang sudah jelas diperintahkan dan disunnahkan.
Jika mereka selesai melakukan bid'ah, tentu mereka menghadapi sunnah yang telah
ditetapkan dengan rasa engggan dan malas. Itu semua merupakan dampak dari
bid'ah terhadap hati.
Bid'ah, besar dampaknya terhadap hati dan amat berbahaya
bagi agama. Tidak ada suatu kaum melakukan bid'ah dalam agama Allah melainkan
mereka telah pula menghilangkan dari sunnah yang setara dengannya atau
melebihinya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh seorang ulama salaf.
Akan tetapi apabila seseorang merasa bahwa dirinya adalah
pengikut dan bukan pembuat syari'at, maka akan tercapai olehnya kesempurnaan
takut, tunduk, patuh dan ibadah kepada Rabbul 'alamien serta kesempurnaan
ittiba' (keikutsertaan) kepada Imamul Muttaqin, Sayyidul Mursalin, Rasulullah
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Penulis berpesan kepada saudara-saudara kaum Muslimin
yang menganggap baik sebagian dari bid'ah, baik yang berkenan dengan dzat,
asma' dan sifat Allah, atau yang berkenan dengan pribadi dan pengagungan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, hendaklah mereka takut kepada Allah
dan menghindari hal-hal semacam itu. Beramalllah dengan didasari ikhlas dan
sunnah, bukan syirik dan bid'ah ; menurut apa yang diridhai Allah, bukan apa
yang disenangi syaitan. Dan hendaklah mereka memperhatikan apakah yang dapat
dicapai oleh hati mereka, berupa keselamatan, kehidupan, ketenangan, kebahagian
dan nur yang agung.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai penunjuk jalan yang
mendapat petunjuk-Nya dan pemimpin yang membawa kebaikan, memerangi hati kita
dengan iman dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah dan bukan
bencana. Serta semoga Allah membimbing kita kepada jalan para hamba-Nya yang
beriman, menjadikan kita termasuk para auliya-Nya yang bertakwa dan
golongan-Nya yang beruntung.
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada
Nabi Kita, Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.
[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalis Syar'i wa
Khatharil Ibtidaa', edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah, karya
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, penerbit
Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]
No comments:
Post a Comment