Perjalanan yang belum selesai (170)
(Bagian ke seratus tujuh puluh, Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 27 Desember 2014, 21.34 WIB)
Cuci Darah: tetap bisa pergi Haji/Umroh
Berhaji atau Umroh ke Mekah, Arab Saudi, selain mampu
secara financial, juga sehat secara jasmaniah. Namun berbincang dengan salah
satu pasien cuci darah (hemo dialysis) di rumah sakit Esnawan Antariksa, dia
bercerita pengalamannya Umroh ke Mekah, Arab Saudi belum lama ini, padahal
selama ini dia dua kali seminggu harus cuci darah.
‘’Kita tinggal beritahu travel Haji, bahwa kita harus
cuci darah dua kali seminggu, nanti kita diantar ke salah satu rumah sakit di
Arab Saudi’’
‘’Di Arab Saudi nanti kita hanya perlihatkan paspor, dan
kita tidak bayaran (gratis, cerita Bapak ini, yang belum lama ini Umroh.
Namun, bagi kita yang sama sekali tidak mampu secara
fisik, namun mampu secara financial Haji atau Umroh bisa dilakukan Saudara
kita, atau kerabat.
Ada amalan yang pahalanya sama dengan berhaji, dihapusnya
seluruh dosa kita, yaitu perbanyak Zikir dan Istighfar usai Sholat lima waktu,
atau dalam kondisi apapun, lagi di jalan, duduk, atau sedang cuci darah. Kalau
kita lakukan secara rutin dan ikhlas. Insya Allah kita akan meninggal dalam
keadaan khusnul khotimah (telah dihapus dosa-dosa)
Syariat Ibadah Haji
Oleh
Syaikh Khalil Harras
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ
كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barangsiapa berhaji karena Allah, lantas dia tidak
berbuat keji dan melakukan kefasikan, maka dia pulang bagaikan hari dimana dia
dilahirkan ibunya. [HR al-Bukhâri no. 1424]
Kaum Muslimin keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan
telah memiliki bekal berupa kekuatan yang besar dalam kehidupan rohani yang
suci; jiwa-jiwa mereka menjadi kuat dan tidak bergantung kepada kebendaan;
keinginan-kenginan mereka telah terlatih untuk mengalahkan hawa nafsu syahwat;
serta mampu menanggung kepayahan-kepayahan dan melawan hal-hal yang dibenci.
Karenanya, mereka memasuki bulan-bulan haji dalam keadaan telah siap sempurna
rohani dan jasmaninya. Mereka telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan
beban-beban yang terdapat pada kewajiban yang suci itu (Haji), yang menjadi rukun
kelima dari rukun-rukun Islam.
Haji itu seperti puasa, hukumnya wajib sejak dahulu;
Allah Azza wa Jalla telah mewajibkannya kepada para hamba-Nya semenjak Dia
memerintahkan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar membangun Baitul
Harâm di Mekah, kemudian menyuruhnya supaya memaklumkan haji kepada manusia
agar mendatanginya.
يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ
فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ
مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“… niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan
kaki, dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang
jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka
menyebut nama Allah Azza wa Jalla pada hari yang telah ditentukan atas rezki
yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka berupa binatang ternak…”
[al-Hajj/22:27-28]
Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan manasik-manasik
haji dan syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm Alaihissallam dan putranya, yaitu
Ismâ’îl Alaihissallam. Maka manasik-manasik itu akan tetap ada sepeninggal
keduanya kepada anak keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah dan melakukan
thawâf di situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah, serta melaksanakan sa’i antara
Shafa dan Marwa.
Hanya saja anak keturunan mereka telah mengadakan
bid’ah-bid’ah di dalamnya lantaran lamanya masa, dikuasai hawa nafsu, dan setan
menghiasi penyimpangan mereka.
Mereka mengadakan peribadatan kepada patung-patung, lalu
menaruhnya di sekitar Ka’bah dan bagian dalamnya. Mereka memulai beribadah
untuk berhala dan menyembelih di dekatnya sebagai bentuk taqarrub kepadanya,
dan dahulu mereka mengucapkan dalam talbiahnya;
اللَّهُمَّ لاَ شَرِيْكَ لَكَ, إِلاَّ شَرِيْكًا هُوَ لَكَ,
تَمْلِكُهُ مِمَّا مَلَكَ
“Wahai Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu, melainkan sekutu
yang Engkau punya, Engkau memiliki apa yang dia punya”
Dahulu, mereka thawâf di Ka’bah dengan bertelanjang,
karena merasa tidak nyaman melaksanakan thawâf dengan pakaian-pakaian yang
dikenakan pada saat mereka datang, sampai-sampai kaum wanita pun thawâf di
Ka’bah dengan tidak berpakaian. Para wanita itu menutupi farjinya dengan
sehelai kain, lalu mengatakan:
“Pada hari ini tampaklah sebagian atau seluruhnya
(tubuh); namun apa saja yang terlihat, maka aku tidak membolehkan (dijamah) ”
Tatkala Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi-Nya, yaitu
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembaharu agama Nabi Ibrâhîm
Alaihissallam, sudah sewajarnya jika pembaharuan itu mencakup kewajiban haji.
Maka, haji diwajibkan pada tahun ke enam dari hijrah, dan dalil fardunya dari
al-Qur’an adalah firman Allah Azza wa Jalla :
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.”
[al-Baqarah/2:196]
Hingga firman Allah:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ
فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.
Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka
tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji” [al-Baqarah/2:197]
Juga firman-Nya yang lain :
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ
كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya)
maqam Ibrâhîm. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu), dia menjadi aman.
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.”[Ali ‘Imrân/3:97]
Adapun dalil dari Sunnah, yaitu sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji, maka
hajilah kalian!” [HR. Muslim]
Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhu :
(بنُِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامُ الصَّلاَةِ, وَإِيْتاَءُ
الزَّكَاةِ, وَصَوْمُ رَمَضَانَ, وَحَُّج اْلبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً)
“Islam dibangun di atas lima rukun; persaksian bahwa
tiada ilâh yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, serta
haji ke baitullah bagi siapa yang sanggup mengadakan perjalan kepadanya.”
[Muttafaq ‘alaih]
Sungguh, Nabi telah menafsirkan makna as-sabîl dengan bekal
dan kendaraan, maka siapa yang memiliki nafkah bagi diri dan keluarganya hingga
kembali dari haji serta mendapatkan kendaraan yang menghantarkannya ke Mekah
(yakni biaya safar pulang pergi), maka wajib baginya segera berhaji; karena dia
tidak akan tahu apa yang akan menghalanginya sesudah itu, sebab sakit atau
berkurang hartanya.
Haji termasuk ibadah yang mempunyai pengaruh besar dalam
mendidik jiwa, berupa lepas diri dari gemerlap dunia, kembali kepada fitrah
aslinya, mengatasi kesulitan-kesulitan dan kepayahan-kepayahan, mengagungkan
kehormatan-kehormatan Allah Azza wa Jalla dengan menahan diri dari setiap
gangguan dan tindakan bermusuhan. Oleh karenanya, seorang yang berihrâm tidak
boleh membunuh binatang buruan, tidak boleh memotong kuku, tidak boleh mencukur
rambut, bahkan semua kegiatan ibadah haji itu adalah keselamatan untuk diri dan
orang lain.
Pelaksanaan ibadah haji adalah bentuk pemenuhan terhadap
panggilan Allah Azza wa Jalla melalui lisan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm
Alaihissallam, agar berkunjung ke Baitul Harâm. Oleh karenanya, orang yang
berhaji mengucapkan niatnya berhaji atau ‘umrah;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ
لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Ku penuhi panggilan-Mu wahai Allah, ku penuhi seruan-Mu.
Ku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, ku penuhi panggilan-Mu.
Sesungguhnya pujian dan nikmat hanya untuk-Mu, juga kerajaan-Mu. Tidak ada
sekutu bagi-Mu”.
Makna لَبَّيْكَ : Bersegera menuju ketaatan kepada-Mu,
dan memenuhi panggilan-Mu tanpa lama-lama dan lambat.
Selain itu, ibadah haji merupakan ajang perkumpulan kaum
Muslimin yang berulang setiap tahunnya, di mana mereka datang dari berbagai
belahan bumi, hingga mereka dapat mengingat persatuan agama yang menaungi
mereka semua. Meski mereka berbeda jenis dan warna kulit, serta berlainan lisan
dan dialek, maka dikenalkan persaudaraan, saling berganti memberikan manfaat di
antara mereka, serta saling memahami keadaan masing-masing. Di dalamnya ada
perbaikan terhadap keadaan dan kemuliaan mereka; juga memperkuat tali
persaudaraan sesama mereka. Sungguh al-Qur’ân telah mengisyaratkan akan hal itu
dalam firman-Nya:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“…Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka
…” [al-Hajj/22:28]
Dalam hadits di atas (HR al-Bukhâri 1424) Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa barangsiapa melaksanakan
kewajiban haji dengan cara yang benar, yakni; mengikhlaskan niat kepada Allah
Azza wa Jalla di dalamnya, dia tidak keluar karena riyâ` atau sum’ah, bahkan
karena iman kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharapkan pahala dari sisi-Nya,
patuh atas perintah-Nya; dia menunaikan kewajiban menjauhi perkara yang tidak
pantas dilakukan orang yang berihrâm berupa rafats, yakni jima` dan
pendahulu-pendahulunya dan setiap yang terkait dengannya; juga tidak berbuat
fasik, yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, yakni bermaksiat
terhadap-Nya; maka sungguh dia pulang dari ibadah haji dalam keadaan bersih
dari dosa seperti saat dia dilahirkan. Kecuali jika dosa itu menyangkut hak-hak
orang lain, maka sungguh dosa ini tidak terhapus dengan ibadah haji dan yang
selainnya, bahkan harus mengembalikannya kepada yang berhak, atau meminta
kepada mereka agar menghalalkannya.
Tidak heran jika ibadah haji dengan kedudukan seperti ini
bisa mensucikan dari dosa-dosa, karena ia sebenarnya rihlah (pergi) menuju
Allah Azza wa Jalla . Saat berhaji, seorang Muslim menanggung banyak kesusahan,
terancam berbagai malapetaka dan marabahaya, mengorbankan tenaga dan hartanya,
lalu melaksanakan manasik haji. Ia melangkah menuju pintu Rabb-nya, datang
kepada-Nya dari tempat yang amat jauh untuk memohon maaf dan ampunan dari-Nya,
meluapkan keluhannya kepada-Nya atas dosa-dosanya yang bisa menyebabkan
kehancuran dan kebinasaannya, jika dosa –dosa itu masih ada dan tidak diampuni
Allah Azza wa Jalla.
Maka apa persangkaanmu terhadap Rabb yang Maha Pemurah,
yang hamba-Nya meminta perlindungan kepada-Nya, mencurahkan ke hadapan-Nya
keluh kesahnya, mengakui kedzaliman dan kejahilannya di sisi-Nya, juga terhadap
sikap melampaui batasnya terhadap hak-Nya; kemudian dia bertaubat, menyesal dan
menyadari bahwa tidak ada tempat berlindung baginya dari Allah Azza wa Jalla
kecuali hanya pada-Nya. Juga bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari
Allah Azza wa Jalla, serta bahwasanya jikalau dia tidak mendapatkan rahmat dan
keutamaan dari Allah Azza wa Jalla , maka akan menjadi orang yang sengsara
dengan kesengsaraan seluruhnya.
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla paling pengasih daripada
Dia mengembalikan hamba-Nya dengan kondisi kecewa setelah Dia mengetahui
kejujuran darinya dalam berlindung kepada-Nya dan ikhlas dalam taubatnya dari
dosanya. Dan sungguh telah datang di dalam hadits shahîh:
اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Ibadah haji mabrur (maka) tidak ada baginya balasan
melainkan surga [HR. Muslim]
Kami memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar mengkaruniai
kami dan saudara-saudara kami dengan kebagusan dalam menjalankan kewajiban
tersebut, dan menerimanya dengan anugerah dan kemurahan-Nya.
(Referensi : Majalah al-Ashâlah, hlm 31-34, bulan Safar
Th.1424 volume ke-41, tahun ke-6)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun
XIII/Dzulqa'adah 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
ACARA OPEN HOUSE CALON JEMAAH HAJI
Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA
Pertanyaan
Ustadz, di daerah tempat saya tinggal, jika ada yang mau
naik haji, sehari sebelum keberangkatan biasanya yang bersangkutan mengadakan
open house seharian dari pagi sampai malam. Tetangga berdatangan, katanya untuk
medo’akan yang mau naik haji semoga hajinya mambur. Hal yang sama dilakukan
sepulangnya yang bersangkutan dari naik haji, tetangga berdatangan untuk
mengucapkan selamat dan menerima oleh-oleh dari tanah suci. Apakah hal ini
riya’ bagi yang naik haji? Dan apakah kegiatan seperti ini bid’ah?
Jawaban
Ini merupakan budaya yang sudah merebak. Budaya ini perlu
diwaspadai, karena belakangan budaya ini seakan sudah menjadi rangkain ritual
ibadah haji. Budaya ini jika dirutinkan secara syari’at bermasalah, karena
kalau dirutinkan, maka dapat memunculkan suatu keyakinan bahwa ibadah haji itu
harus diawali dan diakhiri dengan open haouse. Namun apakah dengan sebab ini,
serta merta budaya itu bisa dihukumi haram? Ini juga tidak bisa. Karena dahulu
para ulama mengenal yang namanya walimatus safar (walimah yang di lakukan
ketika hendak melakukan perjalan jauh). Walimah safar ini digolongkan kedalam
acara-acara yang mubah, juga sedekah dan syukuran.
Misalnya, sepulang dari menunaikan ibadah haji anda ingin
bersedekah dengan mengundang tetangga untuk jamuan makan malam, selama tidak
meyakininya sebagai rangkaian dari ibadah haji, insya Allah tidak mengapa.
Karena disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah rahimahullah ada beberapa
macam walimah, diantaranya adalah walimah safar, walimah khitan dan lain
sebagainya, tapi itu semua bersifat mubah, terkait dengan tradisi masyarakat
setempat. Asalkan tidak dianggap sebagai hal yang diharuskan atau bagian dari
ritual ibadah haji. Terutama para tokoh masyarakat dan para ulama, mereka
memiliki peran penting untuk mejelaskan kepada masyarakat dengan lisannya atau
menjelaskannya dengan prakteknya, misalnya dengan sesekali meninggalkan budaya
tersebut agar masyarakat tahu bahwa itu bukan hal yang disunnahkan apalagi
diwajibkan. Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/Jumadil
Akhir 1434/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
Adakah Haji Akbar ?
Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al Atsari
Barangkali, pembaca sering mendengar istilah haji akbar.
Berbagai macam asumsi tentang haji akbar ini berkembang di tengah masyarakat,
semisal, bahwa haji akbar adalah wuquf di padang Arafah yang bertepatan pada
hari Jum'at. Sebagian berasumsi, bahwa haji akbar adalah hari Idul Adha yang
bertepatan dengan hari Jum'at.
Yang menjadi pertanyaan, darimanakah istilah haji akbar
itu? Adakah dasar penggunaan istilah haji akbar ini? Kalaupun ada, apa yang
dimaksud dengan haji akbar itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan kami jawab
dalam ulasan berikut ini.
ASAL-USUL ISTILAH HAJI AKBAR
Istilah haji akbar telah digunakan Al Qur'an, yaitu dalam
surat At Taubah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
وَأَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الحَجِّ
اْلأَكْبَرِ أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِن تُبْتُمْ
فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي
اللهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
"Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan
RasulNya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan
RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum
musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu
berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan
Allah. Dan beritakan kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih.".[at -Taubah/9:3].
PERBEDAAN PENDAPAT DIANTARA ULAMA TENTANG MAKSUD HAJI
AKBAR
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang haji akbar yang
dimaksudkan dalam ayat di atas. Imam Al Bukhari meriwayatkan sebuah hadits
dalam Shahih-nya berkenaan dengan tafsir ayat di atas, dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu.
أَنهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
بَعَثَهُ فِي الْحَجَّةِ الَّتِي أَمَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَيْهَا قَبْلَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فِي رَهْطٍ يُؤَذِّنُونَ فِي النَّاسِ
أَنْ لَا يَحُجَّنَّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلَا يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ
"Dia mengabarkan, bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq
mengutusnya pada musim haji yang beliau diangkat sebagai amir haji oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum haji wada' dalam satu
rombongan untuk mengumumkan kepada manusia, agar jangan ada seorangpun dari
kaum musyrikin yang mengerjakan haji setelah tahun ini; dan agar jangan ada
seorangpun yang mengerjakan thawaf dalam keadaan telanjang".
Humaid (salah seorang perawi) berkata, "Hari Nahar
(hari penyembelihan hewan kurban atau hari Idul Adha) adalah hari Haji Akbar
berdasarkan hadits Abu Hurairah ini". [1]
Dalam lafadz lain disebutkan, dari Abu Hurairah, bahwa ia
berkata,
بَعَثَنِي أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِيمَنْ يُؤَذِّنُ
يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنًى لَا يَحُجُّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلَا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ
عُرْيَانٌ وَيَوْمُ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ يَوْمُ النَّحْرِ وَإِنَّمَا قِيلَ الْأَكْبَرُ
مِنْ أَجْلِ قَوْلِ النَّاسِ الْحَجُّ الْأَصْغَرُ فَنَبَذَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى النَّاسِ
فِي ذَلِكَ الْعَامِ فَلَمْ يَحُجَّ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ الَّذِي حَجَّ فِيهِ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُشْرِكٌ
"Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu mengutusku bersama
beberapa orang pada hari Nahar di Mina, untuk mengumumkan agar jangan ada
seorangpun dari kaum musyrikin yang mengerjakan haji setelah tahun ini, dan
agar jangan ada seorangpun yang mengerjakan thawaf tanpa busana. Dan bahwasanya
hari haji akbar adalah hari Nahar (Idul Adha). Sesungguhnya disebut haji akbar,
karena orang-orang mengatakan haji ashgar. Lalu Abu Bakar berbicara di hadapan
manusia pada tahun itu, sehingga tidak ada seorang musyrikpun yang mengerjakan
haji pada tahun berikutnya, pada waktu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengerjakan haji wada'".[2]
Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan dalam kitab Fathul
Bari [3], bahwa perkataan "Hari haji akbar adalah hari Nahar..."
adalah perkataan Humaid bin Abdurrahman (salah seorang perawi hadits yang
meriwayatkan dari Abu Hurairah). Ia mengambil istimbath (kesimpulan) tersebut
dari firman Allah surat At Taubah ayat 3 di atas, dan dari seruan yang
dikumandangkan oleh Abu Hurairah atas perintah Abu Bakar pada hari Nahar. Itu
menunjukkan, bahwa yang dimaksud haji akbar adalah hari Nahar.
Mengenai perkataan "sesungguhnya disebut haji akbar
karena ..." yang termuat dalam hadits kedua di atas, Ibnu Hajar Al
Asqalani mengatakan,” Lafadz ini disebutkan juga dalam riwayat Ibnu Umar
Radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Asal riwayat ini
terdapat dalam kitab Shahih secara marfu' dengan lafadz :
أَيُّ يَوْمٍ هَذَا قَالُوا يَوْمُ النَّحْرِوَقَالَ هَذَا يَوْمُ
الْحَجِّ الْأَكْبَرِ
"Hari apakah ini?" Mereka berkata,"Hari
Nahar!" Rasul berkata,"Hari ini adalah hari haji akbar."
Kemudian, para ulama berselisih pendapat tentang haji
ashgar. Menurut jumhur ulama, maksudnya ialah umrah.
Abdurrazaq meriwayatkan secara maushul (tersambung
sanadnya) dari jalur Abdullah bin Syaddad –salah seorang tabi'in senior- dan
diriwayatkan juga secara maushul oleh Ath Thabari dari sejumlah ulama, seperti
Atha' dan Asy Sya'bi.
Diriwayatkan pula dari Mujahid, bahwa yang dimaksud haji
akbar adalah haji qiran. Sedangkan haji ashgar adalah haji ifrad. Ada pula
ulama yang mengatakan, yang dimaksud dengan haji ashgar adalah hari Arafah, dan
haji akbar adalah hari Nahar; karena pada hari itu disempurnakan manasik haji
yang tersisa.
Menurut Sufyan Ats Tsauri, seluruh hari-hari haji
(termasuk hari Arafah, hari Nahar dan tasyriq) adalah hari haji akbar, seperti
halnya istilah hari Fath, hari Jamal, hari Shiffin dan sejenisnya. Pendapat
seperti ini juga dinukil dari Mujahid dan Abu Ubaid. Pendapat ini didukung oleh
As Suhaili. Dia menyebutkan, bahwa Ali membacakannya pada seluruh hari-hari
haji.
Ada pendapat yang menyebutkan, bahwa ahli jahiliyah
dahulu wuquf di Arafah, sedangkan kaum Quraisy wuquf di Muzdalifah. Lalu pada
pagi hari Nahar, mereka semua berkumpul di Muzdalifah. Oleh karena itu,
disebutlah hari itu sebagai hari haji akbar, karena seluruhnya (ahli jahiliyah
dan kaum Quraisy) berkumpul di Muzdalifah."
Diriwayatkan dari Al Hasan, ia mengatakan, bahwa disebut
hari haji akbar, karena pada hari itu bertepatan dengan hari besar seluruh
agama-agama.
Ath Thabari meriwayatkan dari Abu Juhaifah dan yang
lainnya, bahwa hari haji akbar itu ialah hari Arafah. Sementara Sa'id bin
Jubair berpendapat, hari haji akbar adalah hari Nahar.[4]
At Tirmidzi meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib secara
marfu' dan mauquf dengan lafadz,
يَوْمُ الْحَجِّ الأَكْبَرِ يَوْمُ النَّحْرِ
"Hari haji akbar adalah hari Nahar." Namun At
Tirmidzi menguatkan riwayat yang mauquf.
Ibnu Jarir Ath Thabari meriwayatkan dengan sanadnya dari
Abu Shahba' Al Bakri yang menyebutkan sebab munculnya anggapan sebagian orang,
bahwa haji akbar itu adalah hari Nahar; ia berkata,”Aku bertanya kepada Ali bin
Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu tentang hari haji akbar yang disebutkan dalam
surat At Taubah ayat 3. Ali berkata,”Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mengutus Abu Bakar bin Abi Quhafah Radhiyallahu 'anhu untuk memimpin
haji. Lalu beliau mengutusku bersamanya dengan membawa empat puluh ayat dari
surat Al Bara'ah. Abu Bakar tiba di Arafah dan menyampaikan khutbah pada hari
Arafah. Setelah menyampaikan khutbahnya, beliau memandang ke arahku lalu
berkata,’Bangkitlah, hai Ali dan sampaikanlah risalah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam‘. Lalu akupun bangkit dan membacakan kepada manusia empat
puluh ayat dari surat Al Bara'ah (At Taubah). Kemudian kami bertolak dari
Arafah dan tiba di Mina, aku melempar jumrah, menyembelih hewan kurban dan
mencukur rambut. Aku lihat jama'ah haji di Mina tidak seluruhnya menghadiri
khutbah Abu Bakar pada hari Arafah. Akupun berkeliling ke kemah-kemah untuk
membacakannya kepada mereka. Oleh karena itu kalian mengira, bahwa hari haji akbar
itu adalah hari Nahar, padahal hari itu sebenarnya adalah hari Arafah."
Abu Ishaq pernah bertanya kepada Abu Juhiifah tentang
hari haji akbar, ia menjawab,"Hari Arafah!" Abu Ishaq
bertanya,"Apakah menurut pendapatmu saja, atau pendapat seluruh sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Beliau menjawab,"Dari
pendapat seluruhnya."
Oleh karena itulah Umar bin Al Kaththab Radhiyallahu
'anhu secara tegas mengatakan, bahwa hari haji akbar adalah hari Arafah.
Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas, Abdullah bin Az Zubair,
Mujahid, Ikrimah, Atha' dan Thawus.
Sementara itu, para sahabat yang berpendapat bahwa hari
haji akbar adalah hari Nahar, diantaranya ialah Ali bin Abi Thalib, Abdullah
bin Abi Aufa, Al Mughirah bin Syu'bah, sebuah riwayat lain dari Abdullah bin
Abbas, Abu Juhaifah, Sa'id bin Jubair, Abdullah bin Syaddad bin Al Haad, Nafi'
bin Jubair bin Muth'im, Asy Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Mujahid, Ikrimah, Abu
Ja'far Al Baqir, Az Zuhri, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, bahwa mereka semua
mengatakan hari haji akbar ialah hari Nahar.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari
dalam tafsirnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al
Bukhaari di atas dan beberapa hadits lainnya.
Ibnu Jarir Ath Thabari menyebutkan hadits lain dari
Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya ia berkata,”Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di jumrah pada hari Nahar ketika haji
Wada'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,’Ini adalah hari haji
akbar’."
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan
Ibnu Mardawaih dari hadits Abu Jabir –namanya adalah Muhammad bin Abdul Malik.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan hadits lain yang
mendukung pendapatnya dari Abu Bakrah, ia berkata: Pada hari Nahar, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di atas unta beliau. Orang-orang berdiri
memegang tali kekangnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bertanya,”Hari apakah ini?" Kami diam, karena kami mengira beliau akan
menyebutkan nama lain selain dari nama yang kami kenal. Kemudian beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Bukankah hari ini adalah hari haji
akbar?" (Sanadnya shahih, asalnya terdapat dalam kitab Ash Shahih.
Diriwayatkan pula oleh Abu Ahwash dari Amru bin Al Ahwash, bahwa ia mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada hari haji wada': "Hari
apakah ini?" Mereka berkata,"Hari haji akbar."
Riwayat-riwayat di atas menguatkan pendapat yang
mengatakan, bahwa hari haji akbar adalah hari Nahar. Sementara itu,
diriwayatkan dari Sa'id bin Al Musayyib, bahwa hari haji akbar adalah hari
kedua dari hari Nahar. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam
tafsirnya.
KESIMPULAN MASALAH
Kesimpulannya, dalam masalah ini, ada beberapa pendapat
ulama, sebagai berikut:
1. Pendapat yang mengatakan hari haji akbar adalah hari
Arafah.
2. Pendapat yang mengatakan hari haji akbar adalah hari
Nahar (hari Idul Adha).
3. Pendapat yang mengatakan, bahwa hari haji akbar adalah
hari kedua dari hari Nahar.
4. Pendapat yang mengatakan, bahwa haji akbar adalah haji
qiran, sedangkan haji ashgar adalah haji ifrad.
5. Pendapat yang mengatakan, bahwa hari haji akbar adalah
seluruh hari-hari haji.
6. Sebagian ulama berpendapat, bahwa haji akbar adalah
hari Arafah, dan haji ashgar adalah hari Nahar.
7. Sebagian ulama lainnya berpendapat, haji akbar adalah
haji, dan haji ashgar adalah umrah.
Namun, seluruh pendapat tersebut dapat disatukan kepada
pendapat yang kelima. Yaitu hari haji akbar adalah seluruh hari-hari haji,
termasuk di dalamnya hari Arafah, hari Mina, hari Muzdalifah, hari Nahar dan
hari-hari tasyriq. Karena, para sahabat maupun tabi'in yang berpendapat haji
akbar adalah hari Nahar tidak menafikan jika haji akbar itu juga hari Arafah.
Bahkan ada sebagian sahabat yang berpendapat, bahwa hari haji akbar adalah hari
Arafah dan juga hari Nahar, misalnya seperti Turjumanul Al Qur'an Abdullah bin
Abbas Radhiyallahu 'anhuma. Demikian pula sebaliknya.
Wallahu a'lam bish shawab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun
VI/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Fiqih Haji : Larangan Dalam Ihram
Oleh
Ustadz Khalid Syamhudi Lc
Di dalam ihram diharamkan sembilan hal, yaitu:
1. Mencukur rambut, dengan dalil firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala.
وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةُُ مِّنْ صِيَامٍ
أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
"Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban
sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada
gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajib atasnya membayar fidyah,
yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban." [al Baqarah/2:196]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
hadits Ka'ab bin Ujrah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
كَانَ بِيْ أَذَى مِنْ رَأْسِيْْْْ فَحُمِلْتُ إِلَى النَّبِيْ
وَ اْلقُمَلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِيْ فَقَالَ مَا كُنْتُ أَرَى أَنَّ الْجَهْدَ
قَدْ بَلَغَ مِنْكَ مَا أَرَى أَتَجِدُ شَاةً ؟ قُلْتُ لاَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الأَيَةُ.
“Aku mendapatkan gangguan di kepalaku, lalu aku dibawa ke
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan kutu-kutu bertebaran di wajahku,
lalu beliau berkata: “Tidak ku-sangka begitu parah apa yang telah menimpamu,
apakah kamu mampu mendapatkan kambing? Aku menjawab :”Tidak", maka
turunlah ayat tersebut [al Baqarah/2: 196]".
Ibnu Qudamah berkata: "Para ulama telah bersepakat
bahwa seorang yang berihram (muhrim) dilarang mengambil rambut kecuali karena
udzur (alasan) syar'i”. [1]
Dan para ulama berselisih menjadi dua pendapat tentang
hukum mencukur rambut selain rambut kepala, apakah termasuk hal-hal yang
diharamkan dengan sebab ihram atau tidak:
1. Rambut yang lain sama hukumnya dengan rambut kepala,
dengan dalil firman Allah.
وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةُُ مِّنْ صِيَامٍ
أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
"Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban
sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada
gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajib atasnya membayar fidyah,
yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban." [al Baqarah/2:196].
Dan qiyas (Analogi) mereka berkata bahwa ayat tersebut
menunjukkan kepada rambut kepala secara lafazh dan rambut yang lainnya secara
qiyas, dan ini merupakan madzhab jumhur.[2]
2. Larangan itu hanya khusus pada rambut kepala, sedang
rambut lainnya tidak terlarang. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm dan madzhab
Zhahiriyah, mereka berkata: "Tidak benar berdalil dengan ayat tersebut
karena ayat tersebut khusus kepada rambut kepala, dan tidak ada penjelasan tentang
yang lainnya. Sedangkan qiyas membutuhkan persamaan Illat dalam cabang (furu')
dan pokok (Ashl), kalau kalian menetapkan illat hal tersebut adalah sebagai
kebersihan dan kesenangan, karena mencukur rambut kepala itu akan menghasilkan
kebersihan, maka hal itu kurang tepat, karena muhrim (orang yang berihram)
tidak dilarang makan-makanan yang enak dan baik, padahal hal tersebut juga
menghasilkan kesenangan, demikian juga dia boleh memakai jenis bahan pakaian
ihram yang sesukanya, dan illat (sebab) larangan mencukur rambut adalah
dilarangnya satu syi'ar yang disyariatkan yaitu mencukur atau memangkas rambut
sampai selesai umrah atau selesai melempar jumrah Aqabah, dan pendapat ini
lebih kuat dari illat yang di atas. Demikian juga asal dari pengambilan
rambut-rambut tubuh manusia adalah halal, maka kita tidak boleh melarangnya
dari hal tersebut kecuali dengan dalil.
Pendapat ini dikuatkan oleh syaikh Ibnu Utsaimin dengan
perkataannya: "Dan ini lebih dekat (kepada kebenaran)".[3]
2. Memotong Kuku.
Dalam permasalahan ini tidak ada nash, baik dari
Al-Qur'an atau Sunnah. Oleh karena itu Ibnu Hazm tidak memasukkannya ke dalam
hal-hal yang dilarang dengan sebab ihram, akan tetapi jumhur ulama bahkan
hampir seluruhnya mengqiyaskan hal tersebut kepada rambut, bahkan Imam Ibnu
Qudamah dan Ibnu Mundzir menukilkan Ijma' tentang ketidak bolehan memotong
kuku. Akan tetapi syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithy berdalil dengan
pengharam ini dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
ثُمَّ لِيَقْضُوْا تَفَثَهُمْ وَ لِيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ وَ
لِيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
"Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran
yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar
mereka dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)."
[al Hajj/22:29]
Yang ditafsirkan oleh sebahagian sahabat dan tabi'in
dengan memotong rambut, kuku dan mencabut bulu ketiak. Dan mengatakan;
"Menurut tafsir ini maka ayat tersebut menunjukkan bahwa kuku itu seperti
rambut bagi orang yang sedang ihram, apalagi dihubungkan dengan kata penghubung
"tsumma" terhadap penyembelihan hadyu, maka itu menunjukkan bahwa
mencukur dan memotong kuku dan yang sejenisnya seharusnya dilakukan setelah
nahr (menyembelih pada tanggal 10 dzul hijjah) pent.[4] Apalagi kalau benar
penukilan ijma' tersebut maka tidak ada alasan untuk menolaknya.
3. Menutup Kepala Dengan Penutup Yang Melekat Di Kepala.
Hal itu karena larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam kisah seorang yang sedang berihram dan jatuh dari ontanya dengan
mengatakan:
لاَ تُخَمِّرُوْا رَأْسَهُ
"Janganlah kalian tutupi kepalanya". [HR
Bukhari dan Muslim]
Demikian juga hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu ketika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang apa yang dipakai oleh
seorang yang sedang berihram, maka beliau menjawab:
لاَ يَلْبَسُ اْلقَمِيْصَ وَلاَالسَّرَاوِيْلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ
وَلاَ الْعَمَائِمَ
"Janganlah dia berihram memakai gamis, celana, baju
burnus [5], dan tidak pula imamah" [HR Mutafaqqun alaih]
Imamah (sorban) dinamakan demikian karena dia menutupi
seluruh atau hampir seluruh kepala, maka tidak boleh seseorang menutup
kepalanya dengan sesuatu yang tidak langsung menempel, dan dibolehkan
menggunakan payung atau apa saja yang dapat digunakan untuk berteduh seperti
penutup kendaraan dan lain-lainnya.
4. Memakai pakaian berjahit bagi laki-laki dengan sengaja
pada seluruh badan atau sebagiannya, berupa baju/pakaian yang menutupi setiap
pergelangan dari tubuh, seperti: gamis, celana, kaos kaki, kaos tangan dan
lain-lain.
Sebagaimana larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam hadits Ibnu Umar ketika beliau ditanya apa yang dipakai seorang
muhrim? Beliau menjawab:
لاَ يَلْبَسُ المُحْرِمُ اْلقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ
اْلبُرْنُسَ وَلاَ الْسَّرَاوِيْلَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلاَ زَعْفَرَانُ
وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ نَعْلَيْنِ فَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُوْنَ
أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ
"Janganlah seorang muhrim memakai gamis, imamah,
burnus, celana, pakaian yang terkena wars dan za'faron dan tidak memakai kaos
kaki kulit kecuali jika tidak mendapatkan sandal, maka hendaklah dia
memotongnya sampai menjadi dibawah dua mata kakinya" [HR Bukhari dan
Muslim]
Ibnu Abdil Barr berkata: "Semua yang ada dalam
hadits ini telah disepakati oleh ahli ilmu untuk tidak dipakai seorang muhrim
selama ihromnya, dan merekapun bersepakat bahwa yang dituju dengan sabda beliau
dalam pakaian tersebut adalah laki-laki, bukan untuk wanita sehingga dibolehkan
bagi wanita memakai gamis, celana, kerudung dan khuf (kaos kaki kulit)."
Dalam hadits Shafwan bin Ya'la bin Umaiyah dari bapaknya
dia berkata:
أَنَّ رسول الله أَتَاهُ رَجُلٌ أَعْرَبِيٌ وَهُوَ مُعْتَمِرٌ
بِالْجُعْرَانَةِ وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ عَلَيْهَا طِبٌّ أَوْ أَثَرُ طِبٍّ فَقَالَ يَا
رسول الله مَا تَرَى فِىْ مَنْ أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ وَعَلَيْهِ مَا تَرَى ؟ فَأَوْحَىاللهُ
إِلَيْهِ فَلَمَّا سَرَى قال؟ أَيْنَ السَّائِلُ ؟ قَالَ اْنزَعْ جُبَّتَكَ (البخارى)
"Sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah seorang
A’raby yang sedang berumroh dengan mengenakan jubah (baju) yang berminyak wangi
atau ada bekas minyak wangi, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah apa pendapatmu
tentang seorang yang berihom untuk umroh dalam keadaan seperti yang anda lihat?
Lalu Allah wahyukan kepadanya, dan ketika sadar beliau bertanya: “Siapakah
orang yang bertanya ? lalu beliau berkata: “Lepas jubahmu". [HR Bukhari]
Akan tetapi bagi orang yang tidak mendapatkan sandal dan
sarung yang tidak berjahit diberi kemudahan untuk memakai khuf (kaos kaki
kulit) dan celana, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar terdahulu dan juga hadits
Ibnu Abbas. Dalam hadits Ibnu Umar dijelaskan adanya pengecualian bagi yang
tidak memiliki sarung (izaar) untuk memakai celana dan yang tidak mendapatkan
sandal untuk memakai khuf (kaos kaki kulit). Dibolehkannya hal ini telah
menjadi kesepakatan para ulama, akan tetapi mereka berselisih menjadi dua
pendapat tentang masalah apakah orang yang mengenakan khuf atau celana ketika
tidak mendapatkan sarung atau sandal dikenai fidyah atau tidak:
Pertama: Dikenakan fidyah padanya dan ini pendapat
madzhab Hambali.
Kedua: Tidak dikenakan apa-apa dan ini pendapat jumhur,
dengan dalil pengertian tekstual dari hadits Ibnu Umar dan Ibnu Abbas
terdahulu. Pendapat inilah yang benar, karena keringanan tersebut menunjukkan
hilangnya denda atau pengganti.
Akan tetapi, jika didapatkan sarung (Izar) dan sandal
maka wajib baginya untuk melepas celana dan khufnya dan berganti, karena
dikatakan dalam kaidah:
مَا أُبِيْحَ لِلْحَاجَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا
Apa yang dibolehkaan karena kebutuhan disesuaikan dengan
ukuran kebutuhannya.
Para ulama juga berselisih tentang permasalahan memotong
khuf bagi yang mengenakan khuf ketika tidak mendapatkan sandal, menjadi dua
pendapat:
1. Wajib memotong khufnya sampai di bawah mata kaki, ini
pendapat Jumhur Ulama berdalil dengan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ
وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ
"Kecuali seseorang yang tidak mendapatkan sepasang
sandal maka hendaklah memakai khuf dan memotongnya sampai di bawah mata
kaki" [HR Bukhory]
2. Tidak wajib memotongnya, ini pendapat Ali bin Abi
Thalib dan sekelompok ulama salaf serta pendapat imam Ahmad bin Hambal.
Dalilnya hadits Ibnu Abbas dalam khutbah Nabi di Arafah:
الخِفَافُ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ
"Khuf bagi yang tidak mendapatkan sepasang
sandal" [HR Bukhori dan Muslim]
Yang rajih –insya Allah – pendapat yang pertama sebagaimana
dirajihkan oleh Syeikh Muhammad bin Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithiy dalam
Mudzakirat beliau, karena beberapa hal:
1. Keabsahan haditsnya dan kejelasan lafadz perintah
untuk memotongnya.
2. Dalam hadits Ibnu Abbas tidak ada penjelasan dipotong
atau tidak, sehingga mungkin beliau menghendaki khufnya dipotong atau tidak
dipotong, dan ini merupakan dalil mafhum, sedangkan hadits Ibnu Umar diatas
adalah manthuq, sedangkan manthuq didahulukan dari mafhum.
5. Memakai minyak wangi dengan sengaja pada badan,
pakaian, dalam keadaan ihram. Karena larangan Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam hadits.
لاَ يَلْبَسُ المُحْرِمُ اْلقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ
اْلبُرْنُسَ وَلاَ الْسَّرَاوِيْلَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلاَ زَعْفَرَانُ
وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ نَعْلَيْنِ فَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُوْنَ
أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ
"Janganlah seorang muslim memakai gamis, imamah,
burnus, celana, pakaian yang terkena wars dan za'faron (keduanya adalah jenis
minyak wangi) dan tidak memakai kaos kaki kulit, kecuali tidak mendapatkan
sandal, maka hendaklah dia memotongnya sampai menjadi dibawah dua mata
kakinya" [HR Bukhari dan Muslim]
6. Membunuh hewan buruan darat dan diperbolehkan berburu
binatang buruan laut dengan dalil firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ
حُرُمُُ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُمْ مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآءُُ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ
النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةُ
طَعَامِ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا
اللهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللهُ مِنْهُ وَاللهُ عَزِيزُُ ذُو انْتِقَامٍ
. أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي
إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang
adil di antara kamu sebagai hadya (kurban) yang dibawa sampai ke Ka'bah, atau
(dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau
bershiyam seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan
akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah mema'afkan apa yang telah
lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan
menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut
sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan;
dan diharamkan atasmu (manangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam
ihram. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan" [al-Maidah/5 :95-96]
7. Akad nikah, dengan dalil sabda Rasulullah.
الْمُحْرِمُ لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ
"Seorang yang berihram tidak boleh menikah dan
meminang" [HR Muslim] dan dalam riwayat lain dari sahabat Utsman bin
Affaan dengan lafadz.
إِنَّ الْمُحْرِمَ لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يُنْكِحُ
"Sesungguhnya seorang yang berihram tidak boleh
menikah dan menikahkan orang lain" [HR Muslim]
Dalam hadits ini dijelaskan keharaman seorang muhrim
melamar seorang wanita, menikah dan menikahkan. Jadi seorang muhrim tidak boleh
menikah dan tidak boleh menjadi wali yang menikahkan seorang wanita selama dia
masih berihrom dan belum bertahallul.
8. Jima’ dan yang dapat mengantarkan kepadanya.
9. Bertengkar dan berjidal (debat kusir).
Kedua hal diatas ini dilarang dengan dalil firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ
فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ
يَعْلَمْهُ اللهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُوْلِي
اْلأَلْبَابِ
"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,
barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji,
maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan
bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal". [al-Baqarah/2 :197]
Demikianlah beberapa keterangan yang berkenaan dengan
tata-cara ihrom, dan sebagian hukum-hukum yang berkenaan dengannya,
mudah-mudahan bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun
V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
No comments:
Post a Comment