Kapal pencari ikan |
Kerja Berat, ABK Indonesia Biasanya Cuma Bawahan
TEMPO.CO, Jakarta - Kecelakaan yang menimpa kapal Oryong
501 di Laut Bering, Rusia, menyisakan cerita tentang beratnya pekerjaan seorang
ABK atau anak buah kapal ikan. Dengan bayaran yang kerap tak sesuai dengan
tugasnya, seorang ABK kapal ikan harus mempertaruhkan nyawa di tengah lautan.
Menurut Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Indra Priyatna, warga negara
Indonesia yang bekerja sebagai ABK di kapal ikan asing kebanyakan bukan
perwira, namun hanya kru. "Biasanya kru bertugas di pekerjaan level
bawahan, seperti menarik jaring," katanya kepada Tempo, Rabu, 3 Desember
2014.
Secara formal, kata Indra, untuk menjadi kru di kapal
ikan asing, seseorang harus mengantongi sertifikat dasar yang dikeluarkan oleh
lembaga kursus atau sekolah tinggi. Namun banyak perusahaan pemilik kapal serta
calon ABK yang tidak mematuhi syarat itu. Indonesia, kata Indra, juga belum
meratifikasi standar internasional bagi ABK kapal ikan. Indonesia hanya
mengadopsi standar ABK kapal niaga. "Untuk kapal ikan, izin ABK
diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan." (Baca: Rawan Celaka,
Begini Rumitnya Syarat ABK.)
Pahitnya bekerja di kapal ikan asing dirasakan Nendi, ABK
asal Cirebon, Jawa Barat, yang bekerja di sebuah kapal ikan perusahaan asal
Cina. Hampir setahun ini Nendi bersama tiga ABK asal Indonesia terlunta-lunta
di Lima, Peru. "Saya kapok bekerja di kapal. Hanya ingin pulang ketemu
keluarga," kata Nendi ketika ditemui di Kedutaan Besar Republik Indonesia
di Peru, Selasa, 2 Desember 2014. (Baca: 4 TKI untuk Kapal Cina Telantar
Setahun di Peru.)
Nendi mengaku mendapat perlakuan buruk dari juragannya
ketika berlayar. Dia bertugas sebagai nelayan pengangkut cumi-cumi dengan beban
harian 10-15 ton. Suatu hari, Nendi dipukul oleh juragannya karena dianggap tak
bekerja dengan baik ketika memindahkan karung.
Tak hanya itu, Nendi juga tidak mendapatkan makanan yang
layak selama bekerja. Nasi yang disiram air panas jadi menu makanan
sehari-hari. Untuk membunuh rasa lapar, Nendi dalam keadaan terjepit terpaksa
mengambil biskuit yang kedaluwarsa dan minuman. Hanya saat tertentu saja ia
beruntung. "Saat Imlek tiba, saya bisa makan roti yang dipasang di patung
Dewi Kwan Im," katanya. Lantaran tak tahan, Nendi akhirnya kabur dan
terdampar di Peru.
No comments:
Post a Comment