Perjalanan yang belum selesai (159)
(Bagian ke seratus lima puluh sembilan, Depok, Jawa
Barat, Indonesia, 12.00 WIB)
Peltu Agusno (kiri) dan Bambang Widodo ketika ziarah ke makam keluarga Diran wiryotiyoso di prambanan, Klaten, Surakarta tahun 1983 lalu |
Innalilahi Wainnailaihi Rojiun (2)
Lulus dari Sekolah Dasar Negeri 1 Kampung Baru,
Balikpapan, Kalimantan Timur kami sekeluarga Ayah, Ibu dan Sembilan saudara
Kakak dan adik-adik 3 Januari 1973 pindah ke kota Jakarta.
Naik pesawat Dakota maskapai penerbangan Bouraq, dari
bandara Sepinggan Balikpapan via bandara Ulin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan
untuk mengisi bahan bakar.
Setibanya di Bandara Kemayoran Jakarta, kami dijemput
Keluarga Letnan Kapten Dumyati (belakangan pensiun pangkat colonel), bersama
istri dan anaknya Tony.
Kami disewakan mobil box, Ibu saya di depan , ayah dan adik-adik duduk di dalamm mobil
box itu, yang membawa kami ke Losmen Jaya I Jatinegara. Selama tiga bulan di
Jakarta kami tinggal di Losmen Jaya I Jatinegara, persis di depan sekolah menengah
negeri (SMAN) 62, setelah tiga bulan kami tinggal di Losmen itu ayah saya dapat
membeli rumah seharga Rp 400.000 di Asrama Kobekdam V Jaya no. 52 persis di
depan Musholla Asrama, belakang Pusat Gosir Cililitan (PGC) Kecil. Keluarga
Dumyati sendiri naik FIAT 125 Kodok.
Seminggu saya tinggal di losmen Jaya I, saya didaftarkan
ke sekolah menengah pertama negeri (SMPN) 14 Jakarta Timur, seberang pasar
Jatinegara, dulu seberang bioskop Kencana, Pasar Jatinegara
Saya ke bagian duduk di Kelas I F SMP Negeri 14 ini , dan
saya masuk siang, dan di kelas IF ini saya satu kelas dengan Firman
Sastrawinata, mantan wartawan bisnis Indonesia, kini bekerja di PT Sukandajaya
(pemasok es krim diamonds), Mustafa Kamil Shahab, dokter spesialis mata Lulusan
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, yang jadi Polisi, terakhir
bertugas di Rumah Sakit Kepolisian Republik Indonesia (RS POLRI), termasuk
Kakak kelas dan kakak kandung Mustafa Kamil Shahab, Idrus Shahab juga
bersekolah di sekolah ini. Idrus Shahab yang lulusan salah satu Universitas di Oregon, Amerika Serikat ini kini menjadi
wartawan majalah Tempo. Juga satu kelas Agus Suprayogi, mantan karyawan Bank
Industri. Guru favorit kami ketika itu adalah Guru Bahasa Indonesia Ibu
Syamsiar Manuar, Ibu guru paling cantik di sekolah itu, tetapi sampai usia 30
tahun, pada waktu dia mengajar kelas I f saya belum pernah mendengar dia sudah
kawin. Guru favorit pria adalah Pak Yusuf mengajar bahasa Inggris.
Pada waktu itu, satu tahun pelajaran terbagi dalam tiga
semester, jadi pembagian raport sekolah dibagi tiga termin. Semester pertama
saya memperoleh delapan mata pelajaran dengan angka merah, (di bawah angka 6),
semester II turun jadi empat, dan semester ketiga pada kenaikan kelas angka
rata-rata raport saya biru semua (diatas rata-rata angka 6), jadi saya lulus,
naik ke kelas II.
Angka raport merah (delapan) ini membuat ayah saya
prihatin, sehingga meminta saya menghentikan kegiatan ekstra kurikuler.
Betapa tidak, setiap pagi sebelum berangkat sekolah saya
selalu olah raga pim pong (Table tennis) di depan rumah saya, karena Ayah
sayalah yang membeli meja pim pong itu , sampai anak-anak sebaya saya tidak ada
yang bisa mengalahkan saya kalau bertanding main pim pong. Sore, pulang dari
sekolah saya latihan Bulutangkis (Badminton) di gelanggang olah raga remaja Jakarta
Timur, tiap Sabtu dan Minggu sore saya ikut latihan Karate INKAI di Cawang,
Jakarta Timur.
Lulus dari SMP Negeri 14, saya bingung mau meneruskan
sekolah ke sekolah mengah atas (SMA) atau ke sekolah Tehnik Menengah (STM),
karena hampir semua kebanyakan rekan-rekan sebaya saya di asrama kobekdam
memilih sekolah STM, setelah lulus SMP, karena pertimbangan praktis, karena
ketika itu pasaran kerja sangat memerlukan banyak lulusan STM.
Akhirnya, ayah saya mendaftarkan saya sekolah di Sekolah
Tehnik Menengah Atas (STM) Jaya I di Jalan Budi Utomo 4 Jakarta Pusat, jurusan
Mesin.
Ketika itu Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Prof.Dr. Daoed Joesoef memutuskan lulusan STM tidak boleh langsung
melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi, sebelum bekerja selama dua tahun dulu,
Jadi harus berpengalaman bekerja dua tahun dulu baru boleh kuliah.
Karena keputusan Daoed Joesoef ini saya bimbang ,
akhirnya saya pecahkan ‘’celengan’’ (tabungan) ayam-ayaman terbuat dari tanah
liat (tanah lempung), setelah saya
hitung jumlahnya cukup untuk bayar uang masuk sekolah menengah atas (SMA)
Panchasila II di jatinegara, lakasi satu gedung, kalau siang digunakan untuk
sekolah menengah atas (SMA) negeri 62 Jakarta Timur.
Jadi, kalau siang saya sekolah di STM Jaya I, sorenya di
SMA Panchasila II.
Untungnya , pada waktu saya kelas 3, ada perubahan jadwal
ujian akhir dari bulan desember ke bulan Juni, namun khusus untuk STM jadwal
ini tidak ditunda jadi bulan Juni, beralasan pasar tenaga kerja sangat
membutuhkan tenaga kerja lulusan STM segera.
Karena ujian akhir biasanya dilakukan pada pagi hari,
maka perubahan jadwal ini menyelamatkan saya, sehingga saya bisa lulus
sekaligus mengantongi dua ijasah, STM Jurusan mesin (Lulus Ujian bulan
desember), SMA jurusan Ilmu Sosial (lulus ujian bulan Juni).
Satu hal yang unik ketika kami bersekolah di STM ini
hampir 99 persen siswanya adalah laki-laki. Sehingga bila ada satu perempuan
sekolah di STM, maka kami para lelaki ramai-ramai melindungi perempuan ini,
artinya tidak boleh ada satu pun siswa lelaki di sekolah itu yang boleh
‘’memacari’’ perempuan ini.
Beda dengan SMA, apalagi sekolah sore/malam mayoritas
para siswanya adalah pegawai/pekerja/buruh, sehingga banyak juga yang dapat
jodoh dengan teman satu kelas.
Lulus dari STM Jaya I, saya sempat bekerja di bengkel
mobil Subaru di kawasan sunter, Ancol, Jakarta Utara, biasanya para karyawan
bengkel ini naik mobil jemputan dari terminal bis lapangan Banteng, Jakarta
Pusat.
Setelah tiga bulan saya berhenti dari Bengkel mobil
Subaru, karena saya diterima jadi Pegawai Negeri di Bagian Umum (anak buah CST
Kansil,SH) di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Waktu itu Surat Keputusan pengangkatan pegawai negeri saya
ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr.Doed Joesoef. Sedangkan
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi ketika itu dijabat Prof.Dr.Doddy Tisna
Amidjaja, yang ketika itu merangkap sebagai Rektor Institute Teknologi Bandung
(ITB). Doddy Tisna Amidjaja terakhir jadi Duta Besar Indonesia untuk Perancis
di Paris.
Bekerja di bagian umum ini sunguh berat secara fisik,
karena tugas saya adalah juru tik, antara lain mengetik naskah buku-buku dan
mencetak (memperbanyak) buku-buku yang akan disebarkan ke berbagai perguruan
tinggi negeri di seluruh Indonesia, dari Jaya Pura, Papua, Ambon, Maluku,
sampai Banda Aceh, Daerah Istimewa Aceh.
Paginya saya bekerja sebagai pegawai negeri, sore/malam
harinya saya meneruskan kuliah di Universitas Nasional, kampus jalan Imam
Bonjol/Salemba Jakarta pusat.
Setelah tiga tahun jadi pegawai negeri, saya mengundurkan
diri, karena akan kuliah (transfer kredit tiga tahun kuliah di UNAS) di
California State University, Fresno, Amerika Serikat, jurusan Ekonomi.
(1982-1983)
Pulang ke Indonesia saya bekerja jadi Korektor Majalah
Tempo, dan Majalah Zaman., selain menyelasaikan kembali S1 di universitas
Nasional dan S2 Jurusan Kajian Wilayah Amerika (KWA) Uninersitas Indonesia (UI)
Salemba, Jakarta Pusat.
Majalah Tempo yang masih bermarkas di Proyek Senen itu
pemimpin redaksinya Goenawan Moehammad, redakturmya antara lain Bambang Bujono,
Syubah Asa, Yusril Djalinus, Bambang Harymurti dan Praginanto, Dyah Purnomowati
, dan Zaim Uchrowi,masih jadi reporter
Majalah Zaman ketika itu dikelola Putu Widjaya, Danarto
dan Ibu Kun. Belakangan Bambang Bujono jadi bos saya jadi Pemimpin Redaksi
Majalah Mingguan Berita D&R. dan Ibu Kun jadi bos saya di Proyek Pesisir
Institut Pertanian Bogor (IPB). Proyek ini bantuan United States AID, yang
dikelola University of Rhode Islands, USA.
Setelah jadi korektor Majalah Tempo saya kemudian selama
30 tahun jadi wartawan diberbagai media, dari mulai di Kantor Berita Antara
(lkbn Antara), Majalah Ekonomi Prospek, Harian Media Indonesia, Majalah Berita
D&R, Radio Singapore Internasional (RSI), Harian berbahasa Inggris The Point,
Majalah Ekonomi Mingguan Business Week (Edisi bahasa Indonesia), Beijing
Oristar Media, dan terakhir Media Online Asatunews. Kini sakit gagal ginjal
akibat diabetes, cuci darah di rumah sakit dr esnawan antariksa.
Rabu 10 Desember 2014 kemarin saya cuci darah awal bulan
ketiga di rumah sakit esnawan antariksa, milik angkatan udara di kawasan Bandar
udara halim perdanakusumah, Jakarta Timur.
Satu jam pertama saya cuci darah siang itu sekitar pukul
14.00 WIB saya dikejutkan dengan suara tangisan serentak di sebelah tempat
tidur atas kepala saya.
seorang ibu muda (35 tahun) telah meninggal dunia ketika
dalam proses cuci darah. Suami, orang tua dan saudara-saudara yang mengantar
saling nangis sejadijadinya (keras) setelah dokter datang memastikan bahwa Ibu
ini telah meninggal. Innalilahi Wainnailairojiun (setiap mahluk bernyawa pasti
akan mati).
Saya mengalami kesedihan mendalam karena ada keluarga
meninggal ketika masih usia kelas 4 sekolah dasar negeri 1 Kampung Baru Tengah,
Balikpapan tahun 1969 lalu, ketika itu Julak (Pade) Nambut abang (kakak)
laki-laki tertua ibu saya meninggal di rumah ayah saya di kampung baru tengah,
julak Nambut dimakamkan di pemakaman umum tanah merdeka kampung baru ujung,
Balikpapan.
Kedua Nenek saya Inah (80 tahun) meninggal di rumah saya
di Jalan Tang Merdeka gang gebras, kebetulan dari sepuluh saudara kandung hanya
saya yang tinggal sama nenek di gang gebras, Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Kemudian kerika ayah saya , Agusno (71 tahun) meninggal
di tahun 2004, saya tidak sempat ikut menguburkan jenasah ayah saya , karena
tidak dapat bangku (seat) penerbangan Ambon-Jakarta. Ketika itu saya lagi
bergugas di Ambon, Maluku sebagai Communication specialis New Zealand Aid yang
dikelola Yayasan Bina Swadaya untuk pasca konflik etnik Kristen-Islam.
Saya juga menyaksikan langsung meninggalnya anak adik
perempuan ibu saya acil (bule) Misah , Cholik (17 tahun) yang meninggal akibat
kesetrum listrik, akibat membetulkan kabel listrik dengan telanjang dada, kabel
telanjangnya menyambar dadanya sehingga dia tewas seketika. Jenazahnya saya
antar di pemakaman umum Gunung Tembak, Balikpapan, ini terjadi ketika saya
bertugas jadi Branch Manager PT Asuransi Tugu Mandiri di kota kelahiran saya
Balikpapan.
Terakhir saya menyaksikan langsung ada keluarga meninggal
di tahun 2006, adik saya nomer 5 (Bambang Widodo), yang saya sendiri
menunggunya di rumah sakit Pasar Rebo, Jakarta Timur beberapa hari dia sudah
koma di rumah sakit , setelah beberapa tahun menderita sakit kanker paru
(karena dia kuat merokok).
Ibu mertua saya (siti masyam , 80 tahun) meninggal hanya
ditemani istri saya , dan keluarganya di rumah sakit islam, cempaka putih,
Jakarta Timur 2011 lalu, saya sendiri ketika itu hanya di rumah mertua , Sumur
Batu, Kemayoran, Cempaka Putih, karena baru saja terserang stroke. Saya masih
kuat menyolatkan, dan mengantarkan jenazah mertua saya itu ke pemakaman
Sentiong, Jakarta Pusat. Mertua lelaki saya Kapten Dimyati meninggal di kota
Mekah, Arab Saudi ketika dia tengah naik Haji
Semoga Allah SWT masih memberi rezeki pada saya sehingga
saya bisa menyaksikan kedua cucu tercinta saya Keisha dan Alisa Nindra tumbuh
sehat dan jadi anak yang cantik , cerdas dan salehah.
No comments:
Post a Comment