Perjalanan yang belum selesai (187)
(Bagian ke seratus delapan puluh tujuh, Depok, Jawa
Barat, Indonesia, 20 Januari 2015, 16.45 WIB)
Doa Malaikat setiap subuh: tarik kembali harta orang pelit
Ketika saya melakukan perjalanan dari kota Muara Teweh ,
Kabupaten Barito Utara, Propinsi Kalimantan Tengah menuju kota Banjarmasin,
Kalimantan Selatan dua tahun lalu (2013) mobil travel yang saya tumpangi
supirnya adalah mantan karyawan sebuah tambang batubara di Kalimantan Tengah
yang menghasilkan uang sampai Rp miliaran per bulan.
Namun, mantan karyawan ini bercerita sepanjang jalan
(memerlukan waktu 10 jam sampai di Banjarmasin).’’Saya tidak nyaman kerja di
tambang batu bara milik pengusaha ini. Selain gajinya kecil, istrinya juga
pelit dalam menyediakan sembako (makanan) untuk karyawannya.
‘’masak kami sehari-hari hanya dikasih makan nasi,
lauknya lebih sering sama ikan asin saja, tanpa daging ayam atau daging sapi dan
jarang makan sayuran yang cukup.
Padahal kesehatan karyawan adalah aset perusahaan , kalau
gizi cukup maka karyawan akan bekerja lebih produktif, karena memiliki tubuh
yang sehat.
‘’Inilah kalau pengusaha batubara ini memiliki latar
belakang yang sama sekali tidak pernah sekolah (hanya lulusan sekolah dasar),
jadi pengetahuannya mengenai pentingnya aset sumber daya manusia kurang’’, yang
ada egoistis, berupaya memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, menekan
pengeluaran sekecil-kecilnya, alias pelit’’.
Jadi, ini yang disebut keserakahan manusia, semakin kaya
dia, semakin pelit dia mengeluarkan sebagian kekayaannya untuk mereka yang
berhak, atau membutuhkannya, seperti orang miskin, janda miskin, orang sakit
yang miskin dan sebagainya.
‘’Lihat saja istrinya, walau punya emas batangan dan
perhiasan emas 24 karat sampai lebih dari enam kilogram, dan perhiasan kalung
dan gelang emas yang dipakai sampai ratusan gram, tetap saja sabun detergen
untuk cuci pakaian malas dia berikan pada karyawan yang membutuhkan.
Memang tidak semua orang mampu menjaga amanah dari Allah
berupa kekayaan harta, ketika miskin dalam hatinya dia akan dermawan pada
saudara atau orang lain, begitu rejeki padanya berlimpah, sampai mertuanya
meminjam uang pun tidak dia berikan.
Pada waktu uang berlimpah, kewajiban naik haji/umroh ke
mekah, Arab Saudi, berlaku, namun dia malah mendahulukan jalan-jalan ke paris,
New York dan Tokyo, sampai ajal menjemput pun naik haji dan Umroh tidak sempat.
Inilah mengapa datang peringatan dari Nabi Muhammad dalam
Isro Mirad dari Masjidil Haram (Mekah) ke Masjid Aqso di Jerusalem lalu naik ke
langit ke tujuh, Nabi Muhammad selain mendapat perintah langsung dari Allah
untuk Sholat, Nabi Muhammad pun diperlihatkan Allah mengenai kondisi Sorga dan
Neraka.
Mayoritas penghuni sorga adalah orang miskin, tentu saja
orang yang miskin beriman dan tetap sabar dalam kemiskinannya,
Jadi, kita nanti di hari perhitungan (kiamat) nanti jarak
antara orang miskin dan orang kaya sampai 500 tahun, artinya orang miskin tidak
terlalu banyak pertanyaan, langsung masuk sorga, karena tidak banyak harta
benda yang dimilikinya yang harus dipertanggungjawabkan pada yang maha
pencipta. Sedangkan orang kaya setap sen yang dia perolah harus dipertanggungjawabkan,
apakah melalui jalan halal, atau haram, atau sepertinya halal, tetapi
sebenarnya haram, seperti seorang pegawai negeri yang harusnya delapan jam kerja
di kantor melayani masyarakat, ini hanya empat jam, selebihnya empat jam dia
lakukan korupsi waktu.
Apalagi ditambah kalau dia korupsi, pungutan liar (uang
tidak sah) dan kolusi, nepotisme.
Jadi, semakin kaya dan semakin tinggi jabatan seseorang
semakin besar juga pertanggungjawabannya.
Jadi hati-hati dengan ambisi anda, jangan sampai kita
keliru mengemban amanah itu.
Padahal seperti kata Hadist Nabi Muhammad , bahwa setiap
pagi (subuh) turun dua jenis malaikat, yang satu selalu mendoakan meminta pada
Allah agar mengganti dan memberi rezeki yang berlimpah pada orang dermawan,
satu malaikat lainnya berdoa meminta pada Allah agar membinasakan, atau mengambil
kembali harta yang dimiliki orang yang pelit.
Memang selama ada syaitan yang ingin menjerumuskan
manusia, sulit bagi kita untuk menjadi dermawan seperti yang dilakukan para
sahabat Nabi Muhammad, yang dulu ada uang satu dirham di tangan, bila ketemu
orang miskin di jalan dan lebih membutuhkan, langsung dia berikan, tanpa
berbuat riya, memberi melalui tangan kanan, tangan kiri tidak mengetahui, hanya
Allah semata yang mengetahuinya.
Lalu, apakah kita bisa jadi orang dermawan dan tetap
beriman, kuncinya konsisten sholat lima waktu dan zikir, istighfar setiap ada
waktu dan kesempatan.
Lalu dalam Isra Mirad itu Nabi Muhammad juga
diperlihatkan Allah kondisi penghuni Neraka. Mayoritas perempuan. Kenapa,
banyak istri-istri yang tidak patuh pada suaminya, suaminya sakit, istrinya
malah selingkuh cari pria yang lebih sehat dan kaya, ketika miskin mengenakan
jilbab menutup aurat sudah kaya malah melepaskan jilbab, ketika masih di negeri
sendiri mengenakan jilbab, tinggal di negeri kafir malah mencopot jilbabnya,
ketika susah mengenakan jilbab, jadi selebriti dan kaya serta tampil di
televisi melepaskan jilbab mengenakan rok yang seksi agar terlihat lebih seksi
dan cantik.
Memang kekayaan dan ketenaran dan nafsu keduniaan bisa
melupakan kita akan hukum Allah.
Ini semua bisa terjadi pada diri kita sendiri tidak perlu
menunngu orang lain, kalau kita diberi amanah berupa kakayaan harta dan
kesenangan duniawi, belum tentu saya dan kita bisa menjaga amanah itu.
Kita juga tidak boleh mencap seorang telah berbuat
menyimpang itu pasti masuk neraka, karena sorga dan neraka itu hak preogatif
Allah semata. Karena Allah seperti dalam firmanya di Al Quran dan Hadist banyak
memberitahu manusia. Dosa sebesar apapun, kalau kita taubat sebelum kita
meninggal, maka Allah akan mengampuni seluruh dosa itu.
Karena sorga itu hanya bagi orang yang memperoleh hidayah
dan taufiq dari Allah. Makanya dalam setiap saat kita harus banyak berdoa
kepada Allah agar kita diberikan taufik dan Hidayah dan kebahagiaan dunia dan
akherat dari Allah maha pencipta semua mahluk.
Kisah Isra’ Mi’raj
Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah salah satu peristiwa yang
agung dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian orang meyakini kisah yang menakjubkan ini terjadi pada Bulan Rajab.
Benarkah demikian? Bagaimanakah cerita kisah ini? Kapan sebenarnya terjadinya kisah ini? Bagaimana pula hukum
merayakan perayaan Isra’ Mi’raj? Simak
pembahasannya dalam tulisan yang ringkas ini.
Pengertian Isra’ Mi’raj
Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna
perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah perjalanan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Mekkah ke Baitul
Maqdis (Palestina), berdasarkan firman Allah :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al Isra’:1)
Mi’raj secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk
naik. Adapun secara istilah, Mi’raj bermakna tangga khusus yang digunakan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk naik dari bumi menuju ke atas langit, berdasarkan firman Allah dalam
surat An Najm ayat 1-18.[1]
Kisah Isra’ Mi’raj
Secara umum, kisah yang menakjubkan ini disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam
Al-Qur`an dalam firman-Nya:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ
ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
(QS. Al-Isra` : 1)
Juga dalam firman-Nya:
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى.
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ
الْقُوَى. ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى. وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَى. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى.
فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى. فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى. مَا
كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى. أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً
أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى
السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى. مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ
رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak
sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan
rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat,
lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua
ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada
hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan
apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak
membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah
melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di
Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
(pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. An-Najm : 1-18)
Adapun rincian dan urutan kejadiannya banyak terdapat
dalam hadits yang shahih dengan berbagai riwayat. Syaikh Al Albani rahimahullah
dalam kitab beliau yang berjudul Al Isra` wal Mi’raj menyebutkan 16 shahabat
yang meriwayatkan kisah ini. Mereka adalah: Anas bin Malik, Abu Dzar, Malik bin
Sha’sha’ah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Buraidah ibnul
Hushaib Al-Aslamy, Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin Aus, Shuhaib, Abdurrahman
bin Qurath, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan ‘Umar radhiallahu ‘anhum
ajma’in.
Di antara hadits shahih yang menyebutkan kisah ini adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya , dari sahabat Anas
bin Malik :Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu hewan putih
yang panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghal, dia
meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya (maksudnya langkahnya sejauh
pandangannya). Maka sayapun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, lalu
saya mengikatnya di tempat yang digunakan untuk mengikat tunggangan para Nabi.
Kemudian saya masuk ke masjid dan shalat 2 rakaat kemudian keluar . Kemudian
datang kepadaku Jibril ‘alaihis salaam
dengan membawa bejana berisi khamar dan
bejana berisi air susu. Aku memilih bejana yang berisi air susu. Jibril
kemudian berkata : “ Engkau telah memilih (yang sesuai) fitrah”.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit (pertama) dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia
telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan
Adam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian kami naik ke
langit kedua, lalu Jibril ‘alaihis salaam
meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi:“Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia
telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kedua) dan saya bertemu
dengan Nabi ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya shallawatullahi ‘alaihimaa,
Beliau berdua menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketiga dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah
dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami
(pintu langit ketiga) dan saya bertemu dengan Yusuf ‘alaihis salaam yang beliau
telah diberi separuh dari kebagusan(wajah). Beliau menyambutku dan mendoakan
kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keempat dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:
“Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab: “Dia telah diutus”.
Maka dibukakan bagi kami (pintu langit keempat) dan saya bertemu dengan Idris alaihis salaam. Beliau menyambutku dan
mendoakan kebaikan untukku. Allah berfirman yang artinya : “Dan Kami telah
mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (Maryam:57).
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit kelima dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah
dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami
(pintu langit kelima) dan saya bertemu dengan
Harun ‘alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan
untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keenam dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan:
“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi
kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Musa. Beliau menyambutku dan
mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketujuh dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab: “Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab, “Muhammad” Dikatakan,
“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab, “Dia telah diutus”. Maka dibukakan
bagi kami (pintu langit ketujuh) dan saya bertemu dengan Ibrahim. Beliau sedang
menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma’muur. Setiap hari masuk ke Baitul Ma’muur
tujuh puluh ribu malaikat yang tidak kembali lagi. Kemudian Ibrahim pergi
bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti telinga-telinga
gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia diliputi oleh perintah
Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang
sanggup mengambarkan keindahannya
Lalu Allah
mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah mewajibkan kepadaku 50 shalat
sehari semalam. Kemudian saya turun menemui Musa ’alaihis salam. Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan
Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab: “50 shalat”. Dia berkata: “Kembalilah
kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak akan
mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani
Isra`il”. Beliau bersabda :“Maka sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata:
“Wahai Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku”. Maka dikurangi dariku 5 shalat.
Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata:“Allah mengurangi untukku 5
shalat”. Dia berkata:“Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya,
maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”. Maka terus menerus
saya pulang balik antara Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala dan Musa ‘alaihis salaam,
sampai pada akhirnya Allah berfirman:“Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5
shalat sehari semalam, setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat.
Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak
ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka
ditulis(baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya bertemu
dengan Musa’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal ini kepadanya. Dia berkata:
“Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka sayapun berkata:
“Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”.
(H.R Muslim 162)
Untuk lebih lengkapnya, silahkan merujuk ke kitab Shahih
Bukhari hadits nomor 2968 dan 3598 dan Shahih Muslim nomor 162-168 dan juga
kitab-kitab hadits lainnya yang menyebutkan kisah ini. Terdapat pula tambahan
riwayat tentang kisah ini yang tidak disebutkan dalam hadits di atas.
Kapankah Isra` dan Mi’raj?
Sebagian orang meyakini bahwa peristiwa ini terjadi pada
tanggal 27 Rajab. Padahal, para ulama ahli sejarah berbeda pendapat tentang
tanggal kejadian kisah ini. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai penetapan
waktu terjadinya Isra’ Mi’raj , yaitu[2] :
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun tatkala Allah
memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nubuwah (kenabian). Ini adalah
pendapat Imam Ath Thabari rahimahullah.
Perisitiwa tersebut terjadi lima tahun setelah diutus
sebagai rasul. Ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Imam An Nawawi dan Al
Qurthubi rahimahumallah.
Peristiwa tersebut terjadi pada malam tanggal dua puluh
tujuh Bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian. Ini adalah pendapat Al Allamah Al
Manshurfuri rahimahullah.
Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi enam
bulan sebelum hijrah, atau pada bulan Muharram tahun ketiga belas setelah
kenabian.
Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun
dua bulan sebelum hijrah, tepatnya pada bulan Muharram tahun ketiga belas
setelah kenabian.
Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun
sebelum hijrah, atau pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga belas setelah
kenabian.
Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri hafidzahullah
menjelaskan : “Tiga pendapat pertama tertolak. Alasannya karena Khadijah
radhiyallahu ‘anha meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh setelah
kenabian, sementara ketika beliau meninggal belum ada kewajiban shalat lima
waktu. Juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa diwajibkannya shalat lima waktu
adalah pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj. Sedangakan tiga pendapat lainnya,
aku tidak mengetahui mana yang lebih
rajih. Namun jika dilihat dari kandungan surat Al Isra’ menunjukkan bahwa
peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada masa-masa akhir sebelum hijrah.”
Dapat kita simpulkan dari penjelasan di atas bahwa Isra`
dan Mi’raj tidak diketahui secara pasti pada kapan waktu terjadinya. Ini
menunjukkan bahwa mengetahui kapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj bukanlah suatu
hal yang penting. Lagipula, tidak terdapat
sedikitpun faedah keagamaan dengan mengetahuinya. Seandainya ada
faidahnya maka pasti Allah akan menjelaskannya kepada kita. Maka memastikan
kejadian Isra’ Mi’raj terjadi pada Bulan Rajab adalah suatu kekeliruan. Wallahu
‘alam..
Sikap Seorang Muslim Terhadap Kisah Isra’ Mi’raj
Berita-berita yang datang dalam kisah Isra’ Miraj seperti
sampainya beliau ke Baitul Maqdis, kemudian berjumpa dengan para nabi dan
shalat mengimami mereka, serta berita-berita lain yang terdapat dalam hadits-
hadits yang shahih merupakan perkara ghaib. Sikap ahlussunnah wal jama’ah
terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaedah berikut :
Menerima berita tersebut.
Mengimani tentang kebenaran berita tersebut.
Tidak menolak berita tersebut atau mengubah berita
tersebut sesuai dengan kenyataannya.
Kewajiban kita adalah beriman sesuai dengan berita yang
datang terhadap seluruh perkara-perkara ghaib yang Allah Ta’ala kabarkan kepada
kita atau dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]
Hendaknya kita meneladani sifat para sahabt radhiyallahu
‘anhum terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya. Dikisahkan dalam sebuah
riwayat bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, orang-orang musyrikin datang
menemui Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka mengatakan : “Lihatlah apa yang telah
diucapkan temanmu (yakni Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!” Abu Bakar
berkata : “Apa yang beliau ucapkan?”. Orang-orang musyrik berkata : “Dia
menyangka bahwasanya dia telah pergi ke Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke
langit, dan peristiwa tersebut hanya berlangsung satu malam”. Abu Bakar berkata
: “Jika memang beliau yang mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar
sesuai yang beliau ucapkan karena sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”.
Orang-orang musyrik kembali bertanya: “Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab:
“Aku membenarkan seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan. Aku
membenarkan berita langit yang turun kepada beliau, bagaimana mungkin aku tidak
membenarkan beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?” (Hadits
diriwayakan oleh Imam Hakim dalam Al Mustadrak 4407 dari ‘Aisyah
radhiyallahu’anha).[4]
Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
terhadap berita yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau langsung membenarkan dan
mempercayai berita tersebut. Beliau tidak banyak bertanya, meskipun peristiwa
tersebut mustahil dilakukan dengan teknologi pada saat itu. Demikianlah
seharusnya sikap seorang muslim terhadap setiap berita yang shahih dari Allah
dan rasul-Nya.
Hikmah Terjadinya Isra`
Apakah hikmah terjadinya Isra`, kenapa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak Mi’raj langsung dari Mekkah padahal hal tersebut
memungkinkan? Para ulama menyebutkan ada beberapa hikmah terjadinya
peristiwa Isra`, yaitu:
Perjalanan Isra’
di bumi dari Mekkah ke Baitul Maqdis lebih memperkuat hujjah bagi orang-orang
musyrik. Jika beliau langsung Mi’raj ke langit,
seandainya ditanya oleh orang-orang musyrik maka beliau tidak mempunyai
alasan yang memperkuat kisah perjalanan yang beliau alami. Oleh karena itu ketika orang-orang musyrik
datang dan bertanya kepada beliau, beliau menceritakan tentang kafilah yang
beliau temui selama perjalanan Isra’. Tatkala kafilah tersebut pulang dan
orang-orang musyrik bertanya kepada mereka, orang-orang musyrik baru mengetahui
benarlah apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk menampakkan hubungan antara Mekkah dan Baitul
Maqdis yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin. Tidaklah pengikut para
nabi menghadapkan wajah mereka untuk beribadah keculali ke Baitul Maqdis dan
Makkah Al Mukarramah. Sekaligus ini menujukkan keutamaan beliau melihat kedua kiblat
dalam satu malam.
Untuk menampakkan keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dibandingkan para nabi yang lainnya. Beliau berjumpa dengan mereka di
Baitul Maqdis lalu beliau shalat mengimami mereka.[5]
Faedah Kisah
Kisah yang agung ini sarat akan banyak faedah, di
antaranya :
Kisah Isra’ Mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran dan
kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla.
Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi dan rasul’alaihimus shalatu
wa salaam
Peristiwa yang agung ini menunjukkan keimanan para
sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka meyakini kebenaran berita tentang kisah ini,
tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir Quraisy.
Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau,
dalam keadaan terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama,
muhadditsin, dan fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan
para ulama Ahlus sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Maha Suci
Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Penyebutan kata ‘hamba’ digunakan untuk ruh dan jasad
secara bersamaan. Inilah yang terdapat dalam hadits-hadits Bukhari dan Muslim
dengan riwayat yang beraneka ragam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa salaam
melakukan Isra` dan Mi’raj dengan jasad beliau dalam keadaan terjaga.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Lum’atul
I’tiqad “… Contohnya hadits Isra` dan Mi’raj, beliau mengalaminya dalam keadaan
terjaga, bukan dalam keadaan tidur, karena (kafir) Quraisy mengingkari dan
sombong terhadapnya (peristiwa itu), padahal mereka tidak mengingkari mimpi”[6]
Imam Ath Thahawi rahimahullah berkata : “Mi’raj adalah
benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam telah melakukan Isra` dan Mi’raj
dengan tubuh beliau dalam keadaan terjaga ke atas langit…”[7]
Penetapan akan ketinggian Allah Ta’ala dengan ketinggian
zat-Nya dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan Allah, yakni Allah
tinggi berada di atas langit ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini merupakan akidah
kaum muslimin seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.
Mengimani perkara-perkara ghaib yang disebutkan dalam
hadits di atas, seperti: Buraaq, Mi’raj, para malaikat penjaga langit, adanya
pintu-pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidratul Muntaha beserta sifat-sifatnya,
surga, dan selainnya.
Penetapan tentang hidupnya para Nabi ‘alaihimus salaam di
kubur-kubur mereka, akan tetapi dengan kehidupan barzakhiah, bukan seperti
kehidupan mereka di dunia. Oleh karena itulah, di sini tidak ada dalil yang
membolehkan seseorang untuk berdoa, bertawasul, atau meminta syafa’at kepada para
Nabi dengan alasan mereka masih hidup. Syaikh Shalih Alu Syaikh rahimahullah
menjelaskan bahwa Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wa salaam dalam Mi’raj menemui ruh para Nabi kecuali Nabi
Isa ‘alaihis salaam. Nabi menemui jasad Nabi Isa karena jasad dan ruh beliau dibawa ke langit
dan beliau belum wafat.[8]
Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada yang
mengetahui jumlah mereka kecuali Allah.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah
kalimur Rahman (orang yang diajak bicara langsung oleh Ar Rahman).
Allah Ta’ala memiliki sifat kalam (berbicara) dengan
pembicaraan yang sebenar-benarnya.
Tingginya kedudukan shalat wajib dalam Islam, karena
Allah langsung yang memerintahkan kewajiban ini.
Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa’alaihis salaam
terhadap umat Islam, ketika beliau menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk diringankan kewajiban shalat.
Penetapan adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam syariat
Islam, serta bolehnya me-nasakh suatu perintah walaupun belum sempat dikerjakan
sebelumnya, yakni tentang kewajiban shalat yang awalnya lima puluh rakaat
menjadi lima rakaat.
Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melihat keduanya ketika Mi’raj.
Para ulama berbeda pendapat apakah Nabi melihat Allah
pada saat Mi’raj. Ada tiga pendapat yang populer : Nabi melihat Allah dengan
penglihatan, Nabi melihat Allah dengan hati, dan Nabi tidak melihat Allah namun
hanya mendengar kalam Allah.
Pendapat yang benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj hanya
berlangusng satu kali saja dan tidak berulang.
Barangsiapa yang mengingkari Isra`, maka dia telah kafir,
karena dia berarti menganggap Allah berdusta. Barangsiapa yang mengingkari
Mi’raj maka tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkan padanya hujjah serta
dijelaskan padanya kebenaran.
Hukum Mengadakan Perayaan Isra` Mi’raj
Bagaimana hukum mengadakan perayaan Isra’ Mi’raj?
Berdasarkan dari penjelasan di atas, nampak jelas bagi kita bahwa perayaan
Isra` Mi’raj tidak boleh dikerjakan, bahkan merupakan perkara bid’ah, karena
dua alasan :
Malam Isra` Mi’raj tidak diketahui secara pasti kapan
terjadinya. Banyaknya perselisihan di kalangan para ulama, bahkan para sahabat
dalam penentuan kapan terjadinya Isra` dan Mi’raj, merupakan dalil yang sangat
jelas menunjukkan bahwa mereka tidaklah menaruh perhatian yang besar tentang
waktu terjadinya. Jika waktu terjadinya saja tidak disepakati, bagaimana
mungkin bisa dilakukan perayaan Isra’ Mi’raj?
Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki
landasan. Seandainya perayaan tersebut adalah bagian dari syariat Allah, maka
pasti akan dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya, atau minimal beliau sampaikan kepada ummatnya. Seandainya beliau
dan para sahabat mengerjakannya atau
menyampaikannya, maka ajaran tersebut akan sampai kepada kita.
Jadi, tatkala tidak ada sedikitpun dalil tentang hal
tersebut, maka perayaan Isra’
Mi’raj bukan bagian dari ajaran Islam.
Jika dia bukan bagian dari agama Islam, maka tidak boleh bagi kita untuk
beribadah dan bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dengan perbuatan tersebut. Bahkan
merayakannya termasuk perbuatan bid’ah yang tercela.
Berikut di antara
fatwa ulama dalam masalah ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah pernah ditanya : ”Pertanyaan ini tentang perayaan malam Isra’
Mi’raj yang terjadi di Sudan. Kami merayakan malam Isra’ Mi’raj rutin setiap
tahun, Apakah perayaan tersebut memiliki
sumber dari Al Qur’an dan As Sunnah atau pernah terjadi di masa Khulafaur
Rasyidin atau pada zaman tabi’in? Berilah petunjuk kepadaku karena saya bingung
dalam masalah ini. Terimakasih atas jawaban Anda.”
Jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Perayaan seperti
itu tidak memiliki dasar dari Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak pula pada zaman
Khulafaur Rasyidin . Petunjuk yang ada dalam Al Qur’an dan sunnah rasul-Nya justru menolak perbuatn
bid’ah tersebut karena Allah Ta’ala mengingkari orang-orang yang menjadikan syariat bagi mereka selain
syariat Allah termasuk perbuatan syirik, sebagaimana firman Allah :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ
يَأْذَن بِهِ اللَّه
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah
yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy
Syuura:21)
Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“ Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada
perintahnya dari Allah dan rasul-Nya maka amalan tersebut tertolak “.
Perayaan malam Isra’ Mi’raj bukan merupakan perintah
Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memperingatkan ummatnya dalam setiap khutbah Jum’at melalui sabda beliau
:
أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور
محدثاتها وكل بدعة ضلالة
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
firman Allah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara
adalah perkara baru dalam agama, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[9]
Semoga paparan ringkas ini dapat menambah ilmu dan wawsan
kita, serta dapat menambah keimanan kita. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad
Penyusun : Adika M.
Artikel Muslim.Or.Id
Mayoritas Penghuni Neraka Adalah Wanita. Mengapa?
Di antara prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan
merupakan ijma’ mereka adalah meyakini bahwa surga dan neraka adalah makhluk
yang Allah telah ciptakan dengan haq dan Dia menetapkan calon penghuni bagi
keduanya. Allah jadikan Surga sebagai tempat tinggal abadi yang penuh dengan
berbagai kenikmatan bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, senantiasa
berbuat amal shalih dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan neraka Dia
jadikan sebagai tempat tempat tinggal yang mengerikan dan membinasakan bagi
setiap orang kafir, musyrik, munafik dan durhaka kepada-Nya. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala:
“(Surga itu) telah dipersiapkan bagi orang-orang yang
bertakwa.” [QS. Ali Imran: 132] dan firman-Nya: “Neraka itu telah dipersiapkan
bagi orang-orang kafir.” [QS. Al-Baqarah: 24, QS. Ali Imran: 131]
Siapakah Mayoritas Penghuni Neraka?
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudriy radhiyallahu anhu,
ia berkata: “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada
hari raya Idul Adha atau Idul Fitri menuju tempat shalat dan melalui sekelompok
wanita. Beliau bersabda,’Wahai kaum wanita bersedekahlah, sesungguhnya aku
telah diperlihatkan bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka.’ Mereka
bertanya,’Mengapa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab,’Kalian banyak melaknat
dan durhaka terhadap suami. Dan tidaklah aku menyaksikan orang yang memiliki
kekurangan akal dan agama yang dapat menghilangkan akal kaum laki-laki yang
setia daripada salah seorang diantara kalian. Mereka bertanya,’Apa yang
dimaksud dengan kekurangan agama dan akal kami wahai Rasulullah?’ Beliau
menjawab,’Bukankah kesaksian seorang wanita sama dengan separuh dari kesaksian
seorang pria?’ Mereka menjawab,’Benar.’ Beliau berkata lagi,’Bukankah apabila
wanita mengalami haidh maka dia tidak melakukan shalat dan puasa?’ Mereka
menjawab,’Benar.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,’itulah (bukti)
kekurangan agamanya.’ (HR. Bukhari)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Neraka diperlihatkan kepadaku. Aku melihat kebanyakan penghuninya
adalah kaum wanita. Lalu, surga diperlihatkan kepadaku, dan aku melihat
kebanyakan penghuninya adalah orang-orang fakir.” (HR. Ahmad)
Di dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Aku melihat ke dalam Surga maka aku melihat kebanyakan
penduduknya adalah orang-orang fakir, dan aku melihat ke dalam neraka maka aku
menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim dari
Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)
Hadits-hadits tersebut di atas memberitahukan kepada kita
dengan jelas dan gamblang bahwa mayoritas penghuni surga adalah orang-orang
fakir (miskin). Sedangkan penghuni neraka yang paling banyak adalah dari kaum
wanita.
Mengapa Wanita Menjadi Mayoritas Penghuni Neraka?
Di dalam kisah gerhana matahari yang mana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya melakukan shalat gerhana
padanya dengan shalat yang panjang, beliau melihat Surga dan neraka. Ketika
beliau melihat neraka beliau bersabda kepada para shahabatnya:
“ … dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat
pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah
kaum wanita. Para shahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, Mengapa
(demikian)?” Beliau menjawab: “Karena kekufuran mereka.” Kemudian mereka
bertanya lagi: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab:“Mereka
kufur (durhaka) terhadap suami-suami mereka, kufur (ingkar) terhadap
kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di
antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada
dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata: ‘Aku tidak pernah
melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas
radliyallahu ‘anhuma)
Di dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjelaskan tentang sifat wanita penduduk neraka, beliau bersabda :
“ … dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya
mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka karena sombong dan
berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan
seperti punuk onta. Mereka tidak masuk Surga dan tidak mendapatkan wanginya
Surga padahal wanginya bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.”
(HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)
Dari beberapa hadits yang telah lalu, kita dapat
mengetahui beberapa sebab yang menjerumuskan kaum wanita ke dalam api neraka
dan bahkan menjadikan mereka golongan mayoritas dari penghuninya. Di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Banyak melaknat.
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam: “Kalian banyak melaknat”.
Imam Nawawi menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat
akan haramnya melaknat. Laknat dalam bahasa Arab artinya adalah menjauhkan.
Sedangkan menurut syariat artinya adalah menjauhkan dari rahmat Allah dan
kebaikan-Nya. Dan tidak diperbolehkan bagi seseorang menjauhkan orang-orang
yang tidak diketahui keadaannya dan akhir perkaranya dengan pengetahuan yang
pasti dari rahmat dan karunia Allah. Karena itu mereka mengatakan,’Tidak boleh
melaknat seseorang yang secara dhahir adalah seorang muslim atau kafir kecuali
terhadap orang yang telah kita ketahui menurut dalil syar’i bahwa dia mati
dalam keadaan kafir seperti Abu Jahal atau iblis.
Adapun melaknat (secara mutlak tanpa menyebut nama
tertentu, pent) dengan menyebutkan sifat-sifatnya tidaklah diharamkan seperti
melaknat seorang wanita yang menyambung dan minta disambungkan rambutnya,
seorang yang mentato dan minta ditato, pemakan riba dan yang memberi makan dengannya,
pelukis (makhluk hidup), orang-orang zhalim, fasiq, kafir dan melaknat orang
yang merubah batas-batas tanah, orang yang menasabkan seseorang kepada selain
ayahnya, membuat sesuatu yang baru di dalam Islam (bid’ah), dan lainnya
sebagaimana telah disebutkan oleh dalil-dalil syar’i yang menunjukkan kepada
sifat, bukan diri orang tertentu. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz II hal
88 – 89)
2. Durhaka terhadap suami dan mengingkari
kebaikan-kebaikannya
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam: “Mereka kufur (durhaka) terhadap suami-suami
mereka, kufur (ingkar) terhadap kebaikan-kebaikannya”.
Kedurhakaan semacam ini banyak sekali kita dapati dalam
kehidupan keluarga kaum Muslimin, yakni seorang istri yang mengingkari
kebaikan-kebaikan suaminya selama sekian waktu yang panjang hanya disebabkan
sikap atau perbuatan suami yang tidak cocok dengan kehendak sang istri. Padahal
yang harus dilakukan oleh seorang istri ialah bersyukur atas kebaikan yang
diberikan suaminya, janganlah ia mengkufurinya karena Allah tidak akan melihat
kepada istri semacam ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa
yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.” (HR. Nasa’i di dalam
Al Kubra dari Abdullah bin ‘Amr. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 76)
Termasuk dalam bentuk kedurhakaan istri kepada suami
adalah hal-hal berikut ini apabila dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan
syari’at: Tidak melayani kebutuhan seksual suaminya, atau bermuka masam ketika
melayaninya, tidak mau berdandan atau mempercantik diri untuk suaminya padahal
suaminya menginginkan hal itu, menyebarkan aib suami kepada orang lain, menolak
bersafar (melakukan perjalanan) bersama suaminya, mengkhianati suami dan
hartanya, membuka dan menampakkan apa yang seharusnya ditutupi dari anggota
tubuhnya, berjalan di tempat umum dan pasar-pasar tanpa mahram, bersenda gurau
atau berbicara lemah-lembut penuh mesra kepada lelaki yang bukan mahramnya,
meminta cerai dari suaminya tanpa sebab yang syar’i, dan yang semisalnya.
3. Tabarruj (bersolek)
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam: “dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi
hakikatnya mereka telanjang.”
Yang dimaksud dengan tabarruj ialah seorang wanita yang
menampakkan perhiasannya dan keindahan tubuhnya serta apa-apa yang seharusnya
wajib untuk ditutupi dari hal-hal yang dapat menarik syahwat lelaki. (Jilbab Al
Mar’atil Muslimah halaman 120)
Ibnu Abdil Barr berkata: “Wanita-wanita yang dimaksudkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang memakai pakaian yang tipis yang
menampakkan bentuk tubuhnya dan tidak menutupinya, maka mereka adalah
wanita-wanita yang berpakaian pada dhahirnya dan telanjang pada hakikatnya.”
(Dinukil oleh Suyuthi di dalam Tanwirul Hawalik 3/103)
Mereka adalah wanita-wanita yang suka menampakkan
perhiasan mereka, padahal Allah telah melarang hal ini dalam firman-Nya:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasan
mereka.” (QS. An-Nuur: 31)
Wahai ukhti Muslimah, hindarilah tabarruj dan berhiaslah
dengan pakaian yang Islami yang menyelamatkan kalian dari dosa di dunia ini dan
azab di akhirat kelak.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan
janganlah kalian bertabarruj dengan tabarrujnya orang-orang jahiliyyah pertama
dahulu.” (QS. Al-Ahzaab: 33)
Inilah beberapa sebab yang mengantarkan wanita menjadi
mayoritas penduduk neraka. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari azab-Nya
di dunia dan akhirat. Amiin.
Ditulis oleh: Muhammad Wasitho, Lc
[Telah dimuat di dalam majalah NIKAH volume 8 no. 7 bulan
November tahun 2009]
Do’a Dua Malaikat Setiap Subuh
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berinfaq.
Anjuran yang bahkan pada bagian awal surah Al-Baqarah telah disebutkan oleh
Allah subhaanahu wa ta’aala menggambarkan salah satu karakter utama orang
bertaqwa.
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
“Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada
yang ghaib, yang mendirikan shalat dan meng-infaq-kan sebahagian rezki yang
Kami anugerahkan kepada mereka.”
(QS Al-Baqarah ayat 1-3)
Dalam ayat di atas Allah ta’aala menyebutkan karakter
muttaqin yang biasa berinfaq bersama karakternya yang rajin menegakkan sholat.
Di dalam Al-Qur’an hampir selalu karakter menegakkan sholat dan mengeluarkan
infaq disebutkan dalam suatu rangkaian berpasangan. Hal ini mudah dimengerti
sebab ajaran Islam selalu menekankan keseimbangan dalam segala sesuatu. Islam
bukan semata ajaran yang mewujudkan hubungan antara hamba dengan rabbnya atau
hablum minAllah, tetapi juga hubungan antara hamba dengan sesama hamba atau
hablum minan-naas.
Uniknya lagi, di dalam ajaran Islam bila suatu perintah
Allah ta’aala dilaksanakan, maka bukan saja hal itu menunjukkan kepatuhan
seorang hamba akan rabbnya, melainkan dijamin bakal mendatangkan manfaat bagi
si hamba. Ini yang disebut dengan fadhilah atau keutamaan suatu
’amal-perbuatan. Misalnya sholat malam atau tahajjud. Allah ta’aala menjanjikan
bagi pelakunya bakal memperoleh kekuatan daya pengaruh ketika berbicara.
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا إِنَّا
سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk
sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya
atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan
bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan
kepadamu perkataan yang berat.” (QS AlMuzzammil ayat 1-5)
Contoh lainnya bila seseorang meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah ta’aala maka di antara fadhilah yang akan ia peroleh adalah
penambahan ilmu dari Allah ta’aala, jalan keluar kesulitan hidupnya serta rizqi
dari arah yang tidak disangka-sangka.
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
”Dan bertakwalah kepada Allah; Allah (akan) mengajarmu.”
(QS AlBaqarah ayat 282)
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaq ayat 2-3)
Demikian pula dengan berinfaq. Allah ta’aala menjanjikan
fadhilah di balik kedermawanan seseorang yang rajin berinfaq.
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ
وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Katakanlah, “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi
siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi
(siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka
Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS
Saba’ ayat 39)
Bahkan dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaih wa
sallam menggambarkan keuntungan yang bakal diraih seseorang yang rajin berinfaq
di pagi hari sekaligus kerugian yang bakal dideritanya bilamana ia tidak peduli
berinfaq di pagi hari.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ
إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا
وَيَقُولُ الْآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا (البخاري)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi
Muhammad shollallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Tidak ada satu subuh-pun yang
dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat. Salah satu
di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang
menahan (hartanya)” (HR Bukhary 5/270)
Pembaca yang budiman, marilah kita galakkan berinfaq di
pagi hari agar malaikat mendoakan kelapangan rizqi yang memang sangat kita
perlukan untuk memperlancar ibadah, amal sholeh, da’wah dan jihad kita di
dunia. Dan jangan biarkan ada satu pagipun yang berlalu tanpa berinfaq sebab
itu sama saja kita mengundang kerusakan dalam hidup sebagaimana doa malaikat
yang satunya di setiap pagi hari.
Ketahuilah, bukan banyaknya jumlah infaq yang penting
melainkan kontinuitas-nya. Lebih baik berinfaq sedikit namun konstan
terus-menerus daripada berinfaq dalam jumlah besar namun hanya sekali setahun atau
seumur hidup. Orang yang konstan berinfaq tidak bakal dipengaruhi oleh musim.
Dalam masa paceklik tetap berinfaq, dalam masa panen tentu lebih pasti.
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ
وَالضَّرَّاءِ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit.”
(QS Ali Imran ayat 133-134)
No comments:
Post a Comment