Perjalanan yang belum selesai (186)
(Bagian ke seratus delapan puluh enam, Depok, Jawa Barat
, Indonesia, 18 Januari 2015, 21.41 WIB)
Agusno dan Bambang Widodo Nyekar ke makam keluarga di Klaten 1982 |
Siapa pelangar HAM Berat: Presiden Joko Widodo atau
Bandar Narkoba.
Tahun 2006 lalu adik kesayangan saya Bambang Widodo
meninggal dunia, akibat komplikasi penyakit efek narkoba yang pernah dia telan.
Adik lelaki nomer 9 ini sebenarnya anaknya baik dan
penyabar, dan berprestasi , terbukti dia bisa sekolah terbaik di SMA Islam
Sudirman Cijantung.
Namun, akibat dia pernah ‘’dijebak’’ oleh cucu tiri nenek
saya , Supri, padahal sejak kecil supri ini disekolahkan sampai Sekolah
Menengah Pertama (SMP) oleh nenek saya, begitu nenek saya meninggal, Supri
keluar rumah bahkan pernah jadi pengedar narkoba dan pernah di penjara 15 tahun
di penjara Cipinang, Jakarta Timur.
Penderitaan bertahun-tahun dialami Bambang Widodo,
walaupun sudah pernah berobat di Rumah Sakit Panti Rapih Jogyakarta dan
beberapa tempat lainnya, tapi nyawanya tidak bisa ditolong.
Bambang Widodo adalah salah satu dari 50 orang pemuda Indonesia
lainnya yang setiap hari tewas akibat narkoba yang diderita sekitar 5 juta
pemuda Indonesia.
Kerugian yang diderita para orang tua untuk mengobati 5
juta pemuda Indonesia itu pasti besar lebih besar dari keuntungan hubungan
dagang antara Indonesia dan Brazil dan Belanda.
Selain itu Brazil dan Belanda hanya kehilangan satu
pemuda, Indonesia kehilangan 50 pemuda setap harinya yang tewas akibat
kecanduan narkoba. Lalu, siapa sesungguhnya pelanggar hak asasi manusia yang
berat, Presiden Joko Widodo yang menolak grasi atau para Bandar pengedar
narkoba yang telah dieksekusi mati itu.
Hukuman mati terhadap enam terpidana mati pengedar
narkoba akhirnya telah dilakukan di Nusakambangan dan Boyolali.
Usai elsekusi hukuman mati Brazil dan Belanda yang satu
warga negaranya dihukum mati menarik duta besarnya di Jakarta.
Kedua Negara itu menganggap Indonesia kejam dan melanggar
hak asasi manusia.
HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF HAM DAN ISLAM
“ Di negera-negara yang belum menghapuskan hukuman mati,
Putusan hukuman mati dapat dijatuhkan terhadap kejahatan
Yang paling berat sesuai dengan hukum yang berlaku pada
Saat dilakukannya kejahatan tersebut……”[1]
“ Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
Memberlakukan qishash atas pembunuhan. ‘‘nyawa’’
Orang merdeka bayar dengan merdeka, budak bayar budak,
perempuan
bayar Perempuan. Dan jika engkau memaafkan, maka
lakukanlah
Dengan cara yang terbaik, sesungguhnya yang demikian
(memaafkan itu) merupakan bentuk kasih sayang dan
rahmat-Nya…..’’.[2]
Sebelum
membahas persoalan hukuman mati dilihat dari sudut padang HAM dan Islam,
terlebih dahulu akan dipaparkan secara singkat bagaimana gagasan tentang konsep
HAM dilihat dari perspektif Islam. Menurut pendapat saya, membicarakan
persoalan HAM dalam perspektif Islam, tidak lain sesungguhnya sedang
mebicarakan persoalan “Syari’at” itu sendiri. Pemahaman tentang syari’at
kalaulah bisa diambil intisarinya, sesungguhnya dapat dirumuskan dalam kaidah
usul fiqh “Jalb al Manafi’ wa-Dar al Mafasyid” (Mengambil yang bermanfaat dan
meninggalkan yang mudlarat). Sementara itu maksud dan tujuan dari syari’at
Islam (maqasid al syari’at) tidak lain adalah bagaimana membangun kemaslahatan
hamba (tahkik mashalih al ‘ibad). Oleh karena itu, seharusnya segala daya dan
upaya manusia dalam merumuskan konsepsi tentang hukum haruslah mengacu pada maqasid
al-syari’at itu, bukan hukum untuk hukum.
Berkaitan dengan upaya membangun kemaslahatan hamba tersebut, Iman
Ash-Syathibi[3], menjelaskan bahwa kemaslahatan itu dibagi dalam tiga kelompok
besar pertama, beliau mengistilahkan dengan “Al-Mashlahah al-Daruriyyat”[4]
yakni kemaslahatan yang bersifat primer. Maksudnya sebuah kemaslahatan yang
apabila tidak menjadi concern bersama, maka tatanan sosial dan dinamikannya itu
akan runtuh. Oleh karena itu maka kemaslahatan ini harus menjadi tanggungjawab
bersama. Adapun yang dimaksud dengan Al-Mashlahat al-Daruriyyat ini kemudian
dikenal dengan al-kulliyatul khamsa atau al kulliyyat al- qubra yakni (1) Hifzd
al Nafs, penghormatan atas jiwa atau nyawa manusia. (2) Hifzd al-Dien, penghormatan dan penghargaan
atas pilihan beragama. Pemahaman ini menurut saya sekaligus mengisyarakan
kebebasan untuk tidak beragama, termasuk menjalankan ajaran agama, tidak ada
paksaan dalam internal agama (atas pertimbangan itulah menurut saya negara
tidak berhak untuk ngurusi satu agama, melainkan berkewajiban untuk melindungi
dan memfasilitasi semua agama). (3) Hifzd al-‘Aql, kebebasan menyatakan
pendapat dan pikiran sesuai dengan hati nurani baik secara langsung maupun
tidak langsung. Dalam hal ini juga bisa dipahami kebebasan mendirikan aliran
keyakinan atau kepercayaan. Jadi menurut saya tidak ada istilah nyempal dari
agama resmi (4) Hifzd al- Nasb, kebebasan dan atau penghormatan atas
berketurunan termasuk menurut saya di dalamnya kebebasan reproduksi atau tidak
bereproduksi. (5) Hifzd al-Mal, penghargaan dan penghormatan atas harta atau
kepemilikan.
Kedua,
Imam Ash-Syatibi mengistilahkan dengan “Al-Mashlahah al-Hajjiyat”, yaitu
kemaslahatan yang lebih bersifat sekunder atau sebuah kemaslahatan yang
sifatnya lebih pada kebutuhan dan urusan pribadi, dan kalau tidak diurus
bersama tidak akan menyebabkan tatanan
sosial runtuh. Misalnya kebutuhan
individu akan shalat, do’a-do’a atau ritual-ritual atau juga untuk menjalankan
perintah agama. Inilah barang kali menurut saya makna kenapa dalam Islam ada
ajaran tentang “Rukhsah” (keringanan dari Tuhan), tidak bisa shalat tepat pada
waktunya boleh dijamak bagi orang yang dalam perjalanan, boleh tidak puasa bagi
orang-orang yang berhalangan semisal jompo, sakit, hamil hingga menyusui kalau
khawatir akan kesehatan janin atau bayinya. Artinya pelaksanaannya bisa ditunda
dan tidak membuat tatanan sosial roboh kalau tidak dilaksanakan saat itu juga.
Ketiga,
Al-Mashlahat al-Tahnisiyat, kemaslahatan yang lebih bersifat suplementer
semisal haji, umrah dan sejenisnya. Kemaslahatan terakhir ini menjadi
penyempurna dua kemaslahatan sebelumnya, namun ia tidak akan menyebabkan
tatanan sosial itu hancur apabila kemaslahatan yang ketiga ini tidak
disegerakan atau ditunggu sampai benar-benar survive dan aman. Bahkan menurut
saya melaksanakan kemaslahatan ketiga ini bisa jatuh ke lembah dosa, kalau
dalam rangka penyempurnaannya namun mengabaikan lingkungan sosialnya. Misalnya,
ketika negera sedang terpuruk dalam hutang luar negeri, kemiskinan berjubel,
masyarakat mengalami gizi buruk atau marasmus, pengangguran memprihatinkan,
sementara orang kayanya naik haji berturut-turut sehingga kelebihan quota haji.
Berangkat dari pemahaman di atas, penulis berkesimpulan bahwa ternyata
HAM itu bersifat universal, dan tidak ada HAM ala Islam dan ala non-Islam atau
seperti yang dikemukakan oleh kalangan puritan yang menyatakan HAM harus
menyesuaikan diri dengan Islam atau sebaliknya. Kalau pemahamannya seperti itu,
maka HAM menjadi naif. Dia akan menjadi kesepakatan bersama terutama dalam hal
yang bersifat “Mashlahat al-Daruriyyat” tersebut. Dari kongklusi inilah
kemudian penulis berharap akan berangsur melanjutkan pembahasan bagaimana HAM
dan Islam merespon hukuman mati?
Secara implisit kedua kutipan pasal di atas
mengisyaratkan bahwa baik hukum Internasional HAM (selanjutnya dibaca HIHAM)
maupun hukum Islam sama-sama belum menghapuskan hukuman mati bagi tindak
kriminal seperti kejahatan pembunuhan atau kejahatan yang oleh komite HAM tidak
dianggap serius lainnya. Debat panjang dan serius kemudian muncul berkaitan
dengan frasa ‘kejahatan yang paling berat/kejahatan serius’. Seperti yang
tertuang dalam pasal 6 ayat 2 di atas. Dalam pembacaan penulis terjadinya
perdebatan disebabkan oleh bahwa kovenan ini tidak mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan kejahatan serius tersebut secara eksplisit, kedua kemungkinan
dikarenakan persepsi dan konsepsi tentang kejahatan serius itu berbeda antara
satu negara atau kebudayaan dengan negara atau kebudayaan lainnya.
Sebuah
ilustrasi misalnya, komita Hak Asasi Manusia telah menyimpulkan bahwa
perampokan, perdagangan sampah beracun, persekongkolan mendukung bunuh diri,
pelanggaran yang terkait dengan obat-obatan, pelanggaran kepemilikan,
pengulangan tindakan menghindari dinas militer, kemurtadan, melakukan tindakan
homoseksual, penggelapan oleh pejabat negara, pencurian dengan kekerasan,
perzinaan, korupsi, dan kejahatan-kejahatan yang tidak berujung pada hilangnya
nyawa, semua itu bukan termasuk kejahatan yang paling berat/serius. Sementara
itu dalam perspektif Islam paling tidak ada enam kelompok perbuatan yang bisa
dikenai sangsi hudud yaitu; Pemotongan tangan bagi pelaku pencurian (sariqah),
pemotongan dengan cara menyilang tangan dan kaki atau disalib bagi kasus
perampokan atau pemberontakan (hirabah), pelemparan batu sampai mati (rajm)
bagi permesuman terbuka dan cambuk 100 kali bagi kasus zinahan. Kemudian pencambukan
delapan puluh kali bagi pemberian kesaksian palsu (qadhf), hukuman mati bagi
orang murtad (riddah), dan terakhir empat puluh kali cambuk bagi penenggak
minuman keras (syarb al-khamr).
Terlepas dari perdebatan teknis kejahatan serius/berat, poinnya adalah
bahwa baik HIHAM maupun hukum Islam belum menghapuskan hukuman mati. Akan
tetapi, sekalipun hukuman mati belum dihapuskan atau paling tidak amanat
kovenan Sipol tidak melarang hukuman mati, persoalan yang kemudian menjadi
penting adalah bagaimana mekanisme penjatuhan hukuman mati, baik menurut HIHAM
maupun hukum Islam. Misalnya; pasal 6 poin 2 dan pasal 6 poin 6 telah meletakan
sejumlah pembatasan pelaksanaannya paling tidak dalam lima pembatasan spesifik
yakni pertama ; hukuman mati tidak bisa diterapkan kecuali pada kejahatan
paling serius dan sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan
berlangsung. Kedua, pembatasan hukuman mati pada pasal 6 ialah keharusan
tiadanya perampasan kehidupan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
kovenan. Contohnya mesti adanya jaminan pemeriksaan yang adil. Ketiga,
pembatasan hukuman mati hanya bisa dilaksanakan sesuai dengan putusan akhir
yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang. Keempat, pembatasan yang
ditegaskan adalah bahwa siapa yang dihukum mati
berhak meminta pengampunan atau keringanan hukuman. Dan kelima,
pembatasan atas hukuman mati bahwa ia tidak diberlakukan pada remaja yang
berusia di bawah usia 18 tahun, dan tidak bisa diberlakukan terhadap perempuan
hamil.
Sementara
bila dibandingkan dengan fiqh klasik, jika dirujuk dari pendapat mezhab-mazhab
fiqh populer telah ada ketetapan hukum yang disebut sebagai hudud. Paling tidak
pada enam pelanggaran yang seharusnya mendapatkan sanksi hudud, sebagaimana
disinggung di atas dan sebahagian besarnya terlihat kontras dengan ketetapan
komite HAM. Sekalipun terlihat
seperti begitu kontras antara dua bentuk konsep di atas, yakni menentukan
bentuk perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan serius, namun di dalam hukum
Islampun terdapat beberapa ketentuan yang tidak gampang untuk menjatuhkan
sebuah hukuman atau hudud, beberapa ketentuan tersebut bisa dibahasakan sebagai pembatasan atas
hukuman atau hudud dalam hukum Islam. Misalnya;
’’ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah, melainkan dengan alasan yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara
zalim, maka Kami telah memberi kekuasaan kepada ahl warisnya. Akan tetapi
janganlah ahl waris itu melampaui batas dalam membunuh/balas membunuh.
Sesungguhnya ia orang yang mendapat pertolongan’’.[5]
‘’…. Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan
Allah, melainkan dengan suatu yang benar.
yang demikian itu diperintahkan oleh Tuhanmu, supaya kamu memahaminya
“.[6]
‘’Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu telah membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di
muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang
siapa memelihara kehidupan seseorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semua’’.[7]
“ Sesungguhnya nyawa dan harta benda kalian suci bagi
sesama hingga kalian menemui Tuhan di hari kebangkitan”. Dalam riwayat lain
Nabi bersabda; ‘’Kejahatan pertama diantara manusia yang akan Allah hukum pada
hari perhitungan adalah penghilangan nyawa secara tidak sah’’[8]
‘’ Di dalam qishash ada kehidupan bagi kalian, hai
orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa’’.[9]
Kutipan
ayat dan hadits di atas, mengisyaratkan bahwa sekalipun dalam hukum Islam masih
memberlakukan hukuman mati, akan tetapi tetap memberikan batasan atau bahkan
ketentuan-ketentuan yang sangat teliti dan serius dalam pemberlakuan hukumnya.
Beberapa pembatasan tersebut paling tidak terdapat beberapa pembatasan spesifik
misalnya pertama, bahwa dalam ketentuan hukuman mati itu merupakan bagian dari
proses memelihara kehidupan itu sendiri. Sehingga para ahli fiqh lebih memilih
menghindari hukuman mati, melalui ketentuan-ketentuan prosedural atau
keringanan yang dalam bahasa teknis hukum internasional disebut dengan
procedural and commutative provision.
Dalam
hukum tradisional Islam, sekalipun terdapat ketentuan hukuman yang disebut
dengan hudud untuk beberapa jenis pelanggaran yang lebih bersifat retributif
semisal qishash, namun dalam banyak kasus hukum tradisional Islam lebih
mengedepankan pada aspek diskresioner yang dikenal dengan ta’zir. Misalnya
dengan pembayaran diat (blood money), sebagai ganti hukuman mati. Nabi sendiri
dalam beberapa kasus menganjurkan sebisa mungkin menghindarkan hukuman
mati[10]. Selain itu lebih mendorong agar ahl waris pihak terbunuh untuk
memaafkan pelaku pembunuhan.[11]
Pembatasan kedua, hukum tradisional Islam seperti halnya ketentuan
pembatasan dalam kovenan sipol pasal 6, ia sangat menekankan pada proses
pemeriksaan yang adil dan tidak diskriminatif. Misalnya penggalan ayat ‘’…. Dan
janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu
yang benar’’. Sekalipun beberapa mazhab mengisyaratkan tidak berlakunya hukuman
mati bagi pembunuh muslim atas non-muslim, akan tetapi Imam Abu Hanifah dan
murid-muridnya misalnya menjelaskan bahwa pelanggar Muslim bisa dieksekusi atas
pembunuhan non-Muslim. Sekalipun ada perbedaan pendapat dalam hal ini antara
Imam Hanafi dengan Imam Syafi’i dan Imam Maliki. Dalam kaitan ini, hukum
tradisional Islam membedakan putusan
(qadha’), yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang dengan pendapat
hukum (fatwa) seorang mufti yang terkait. Putusan akhir yang bisa mengeksekusi
(qadha’), hanya bisa dijatuhkan oleh hakim setelah pertimbangan penuh sesuai
dengan proses hukum yang berlaku. Sementara fatwa hanyalah opini hukum yang
tidak mengikat dan tidak pula bisa mengeksekusi.
Pembatasan ketiga, dalam hukum tradisional Islam menganjurkan pemberian
ampunan atas pelaku dosa, ini artinya dalam hukum tradisional Islam mengakui
prinsip amnesti. Prinsip amnesti ini bisa diberikan oleh penguasa sesuai dengan
prinsip ‘’ haq al ‘afw ‘an al-‘uqubah’’, yakni untuk mengampuni hukuman.
Sebahagian ahli fiqh berpendapat pertimbangan remisi merupakan alternatif yang
lebih baik ketimbang hukuman mati dalam perkara pembunuhan.
Pembatasan keempat, dalam hukum tradisional Islam, pemberlakukan hukuman
hudud hanya berlaku bagi orang-orang mukhalaf yakni, baligh dan waras, artinya
hudud tidak berlaku bagi anak-anak dan orang gila. Selain itu beberapa
prasyarat diberlakukannya hudud juga bukan pada perempuan yang sedang dalam
keadaan hamil hingga ia melahirkan. Misalnya kasus dua orang perempuan yang
meminta dirajam oleh karena berbuat mesum. Setelah melalui proses panjang, Nabi
kemudian merajam perempuan yang satu atas permintaan sendiri dan menunda
perempuan yang satu karena hamil hingga menyusui.
Pembatasan kelima, dalam hukum tradisional Islam, penetapan hukuman atau
sanksi hudud menuntut adanya syarat-syarat pembuktian yang ketat bagi pelanggar
ketentuan hudud. Dan dalam banyak kasus pembuktian itu berakhir pada ta’zir
(discretionary). Beberapa contoh misalnya, untuk menjatuhkan hukuman rajam atau
dera atas kasus perbuatan mesum, ketentuan pertama harus dapat dibuktikan oleh
empat orang saksi dengan kriteria, laki-laki, baligh, adil, dan jujur. Jika
dari keterangan empat orang saksi tersebut terdapat satu saja yang memberikan
kesaksian berbeda atau mungkin ragu, maka penjatuhan hukuman bisa berubah
menjadi takzir di atas, atau bahkan bebas sama sekali. Berikut akan diuraikan
secara ditail satu contoh kongkrit beratapa sulitnya mekanisme penjatuhan
sanksi hudud yang berkaitan dengan hukuman mati.
Pertama; misalnya; Satu cerita sejarah yang diriwayatkan
oleh al-Tabari bersumber dari Syu’aib dari Saif yang ditransmisikan oleh
Muhammad, Muhallab, Thalhah dari Amr bin Ash menyebutkan adanya kisah
persaingan tertutup antara Abu Bakrah dengan Mughirah bin Sya’bah. Sang
gubernur Basrah. Dimana antara Abu Bakhrah dan Mughirah bin Sya’bah saling
menganggap rendah satu dengan yang lainnya. Pada saat di Basrah, mereka tinggal
sebagai tetangga. Rumah mereka bersebalahan jalan dan keduanya mempunyai tenda
tempat perjamuan dengan jendela bertirai kain yang saling berhadapan. Satu
ketika Abu Bakrah sedang menjamu tamunya dan perbincangan ringan. Tiba-tiba
angin bertiup kencang dan membuka tirai kain jendela. Ketika hendak menutup
jendela, betapa Abu Bakrah terkejut menyaksikan Mughirah bin Sya’bah sedang
bercinta (making love), dengan seorang perempuan. Lalu Abu Bakrah mengajak
tamunya untuk menyaksikan sambil berkata :”Perhatikan baik-baik Mughirah anak
Sya’bah sedang bercinta dengan perempuan bayaran.” Salah seorang itu bertanya
siapa perempuan itu? Dia Ummu Jamil anak perempuan Afqam, jawab Abu Bakrah.
Umu
Jamil berasal dari Bani Amir bin Sha’sha’ah yang memang berprofesi sebagai
wanita panggilan. Umu Jamil biasa menjadi langganan pejabat tinggi saat itu
termasuk Mughirah bin Sya’bah. Dan selain Umu Jamil masih ada banyak perempuan
saat itu yang berprofesi sebagai wanita panggilan. Singkat cerita, tamu Abu
Bakhrah rupanya masih penasaran, karena hanya melihat pelacur tersebut dari
belakangnya. Mereka terdiam ketika perempuan itu bangkit dan berlalu. Dan
tatkala Mughirah bin Sya’bah keluar untuk melaksanakan shalat berjama’ah,
mereka mengejeknya ”Jangan pernah shalat bersama kami lagi”. Desas desus
perzinahan Mughirah bin Sya’bah mulai sampai ke telinga khalifah Umar bin
Khatab. Segeralah Umar mengutus Abu Musa al-As’ari untuk melakukan penyelidikan
kebenaran informasi tersebut.
Abu
Musa al-As’aripun bertolak menuju Basrah, tak lama kemudian ia singgah di
Marbad. Kabar penyelidikan Abu Musapun terendus oleh Mughirah. Mughirah-pun
sepertinya mulai kelihatan cemas, sebab tidak mungkin kadatangan Abu Musa
al-As’ari hanya untuk hal-hal yang sepele. Sesampainya di Basrah, Abu Musa
menyerahkan sepucuk surat pendek dari Umar bin Khatab yang isinya: ” Aku telah
mendengar berita yang menggemparkan, Aku tugaskan Abu Musa menjadi amir,
serahkan seluruh kewenanganmu kepadanya. Segera!
Setelah
membaca surat pemecatan itu Mughirah justru menghadiakan seorang gundik cantik
peranakan Tha’if bernama Aqilah kepada Abu Musa. Kepada Abu Musa Mughirah
berpesan, ”aku relakan gundik cantik rupa ini untukmu”. Beberapa waktu kemudian
Mughirah, Abu Bakrah, Nafi’ bin Kaldah. Ziyad dan Syibli bin Ma’bad al Bajli,
berangkat ke Madinah untuk menghadap Umar. Dihadapan Umar Mughirah angkat
bicara, ”silahkah amirul mu’minin bertanya kepada para pembantumu tentang
kesaksian mereka atas perbuatanku!”.
Umar
bin Khatab lalu mulai mengintrogasi Abu Bakrah dengan pertanyaan bagaimana
engkau melihat dan mengenali perempuan pasangan ML-nya Mughirah? Lalu Abu
Bakrah memberikan kesaksian. Bahwa dirinya melihat Mughirah berada diantara
selakangan Umu Jamil lalu menyetubuhinya. Lalu Umar mendesak, bagaimana caramu melihat mereka ML? Abu Bakrah menjawab
”Aku berada di arah belakang mereka. Lalu Umar bertanya lagi ”Bagaiman engkau
mengenali secara pasti wajah perempuan itu?. Aku mengira-ngira jawab Abu
Bakrah. Lalu Umar mengintrogasi Syibli bin Ma’bad, dimana hasilnya Syibli
memberi keterangan yang sama dengan Abu Bakrah. Namun ketika Umar bertanya,
engkau saat itu berada di belakang atau dehadapan mereka? Syibli menjawab ”Aku
berada pada arah yang berhadapan dengan mereka.” Sementara Nafi memberikan
keterangan yang sama dengan mereka.
Ziyad
memberikan keterangan yang berbeda dari mereka yang bertiga, dengan pengakuan
”Aku menyaksikan Mughirah duduk diantara dua kaki seorang perempuan. Aku
melihat dua pasang kaki saling bergoyang dan kedua aurat tersingkap, aku juga
mendengar lenguhan yang cukup keras kata Ziyad.” Lalu Umar menimpali, ” Apakah
engkau juga menyaksikan sebuah penetrasi seperti masuknya pensil celak ke dalam
wadahnya? Ziyad menjawab tidak. Umar mendesak lagi apakah engkau mengenali
dengan jelas perempuan itu? Tidak, tapi perempuan itu mirip Umu Jamil, jawab
Ziyad”. Lalu Umar berkata ”Jika demikian engkau belum yakin”
Kesimpulanya karena Ziyad dianggap gagap dalam memberikan kesaksian,
maka Umar memerintahkan agar tiga orang saksi sebelumnya dicampuk. Melihat
kejadian itu Mughirah berkata seperti tanpa dosa, ”Amirul Mukminan bersihkan
namaku dari tuduhan orang ini? Sambil menunjuk Abu Bakrah. Lalu Umar segera
menjawab, ” Tutup mulutmu, demi Allah andai kesaksian mereka sempurna, pasti
aku akan merajamu dengan batumu sendiri. Intinya untuk menjatuhkan hukuman atas
perbuatan yang dikategorikan hudud termasuk dalam kasus pembunuhan, ternyata
hukum Islam lebih menghindari hukuman mati melalui ketentuan-ketentuan
prosedural atau keringanan (procedural and commutative provisions). Dimana
hukum Islam menuntut pembuktian yang ketat bagi pelanggaran yang bisa
menyebabkan hukuman mati. Dan kepatuhan pada syarat-syarat pembuktian sering
berakhir dalam bentuk takzir (discretionary)
Kedua,
berkaitan dengan kasus hukuman mati yang disebut sebagai tindakan qishas. Nabi
tidak pernah menjatuhkan hukuman qishas bagi pelaku pembunuhan, kecuali paska
futh al makkah, dimana sanksi itu diberlakukan kepada empat orang dalam kasus
sebagai berikut; (1) Nabi memberlakukan eksekusi mati untuk Huwairis karena kesalahannya
mengganggu Zainab putri Nabi ketika sepulangnya dari Makah ke Madinah. (2) Nabi
menjatuhi hukuman mati bagi dua orang yang telah masuk Islam, kemudian
melakukan kejahatan dan pembunuhan di Madinah, kemudian melarikan diri ke
Makah, dan sesampai di Makah keduanya murtad dan oleh Nabi dianggap
membahayakan Islam. (3) Nabi juga menetapkan hukuman mati kepada dua orang
budak perempuan Ibn Khatal, karena kesalahannya mengganggu Nabi dengan
nyanyian-nyanyiannya, namun batal dilakukan karena yang seorang dari mereka
melarikan diri, sementara yang kedua dimaafkan.[12]
Ketiga
berkaitan dengan pelaksanaan hukuman bagi pelaku murtad. Dalam kajian fiqh
klasik, Kemurtadan yang kemudian dikenal dengan istilah simpliciter adalah satu
isu dalam hukum Islam tradisional yang dikategorikan sebagai hudud dengan
hukuman mati. Akan tetapi, dalam hal penerapan hukuman mati bagi pelaku murtad,
sejak awal ahli fiqh telah berselisih paham. Ibn Taimiyah suhunya muslim
puritan menerangkan bahwa sebagian ulama tabiin seperti Ibrahim al-Nakha’i,
seorang ahli fiqh terkenal sezaman dengan Tsufyan Tsawri, memegang pandangan
bahwa orang yang murtad dari Islam tidak
boleh dihukum mati, namun harus diajak kembali menjadi Muslim. Sementara Abu al-Walid al-Bajji seorang ulama
fiqh abad 12 dan merupakan penganut mazhab Maliki menjelaskan bahwa ’kemurtadan
adalah dosa yang tidak ada hukuman hududnya’.[13]
Perdebatan berikutnya berkaitan dengan penjatuhan sanksi hudud bagi
pelaku murtad adalah, apakah setiap tindakan murtad harus dijatuhi hukuman
mati? Sebuah hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang kemudian oleh sarjana
Muslim klasik dianggap sebagai hadits ahad menjelaskan ’Siapa saja yang
mengubah agamanya, bunuhlah dia’’.[14] Namun dalam sejarah Nabi hidup menjelaskan
tidak ada preseden dari Nabi memaksa masuk Islam atau menghukum mati orang yang
murtad, kecuali dalam kasus di atas. Dari berbagai referensi yang kita temua
ternyata dapat disimpulkan bahwa tindakan murtad atau simpliciter, akan
dijatuhi hukuman mati apabila bersamaan dengan tindakan kemurtadan itu diikuti
dengan pembocoran rahasia atau mengancam dan atau membahayakan keberlangsungan
’’negara islam’’ atau yang dalam bahasa hukum Islam tradisional sebagai
tindakan memburuk-burukan Islam, dan atau kemudian melakukan pemberontakan atas
negara.
Mengahiri tulisan ini, menurut saya ada beberapa poin penting yang
hendak disampaikan adalah pertama tidak ada perbedaan yang substantif antara
HIHAM dan hukum Islam dalam pemberlakuan hukuman mati, dengan kata lain antara
HAM dan hukum Islam dipertemukan dalam kasus penjatuhan sanksi hukuman mati.
Kedua Sekalipun dalam hal definisi kejahatan serius terdapat perbedaan
pandangan, akan tetapi tetap saja mekanisme penjatuhan sanksi hukum bagi pelaku
kriminal seperti pembunuhan dan atau yang berkaitan dengan sanksi hukuman mati,
tetap saja merupakan persoalan yang tidak mudah untuk diterapkan, selain itu
panjangnya prosedur penjatuhan hukuman mati mengisyaratkan bahwa hukuman mati
merupakan upaya terakhir dan karena memang tidak ada alternatif lain. Dengan
kata lain, panjangnya prosedur penjatuhan hukuman mati seakan mengisyaratkan
bahwa sanksi hudud berupa hukuman mati merupakan bahagian dari dialektika
akomodatif secara persuasif menghadapi masyarakat yang baru belajar
“berkeadaban”. Dan setelah Muhammad mencapai puncak kemenangan pada futh
al-Makkah, beliau justru mengampuni oran-orang yang telah berbuat zalim pada
dirinya, misalnya bagaimana beliau bisa mengampuni Hindun istri Abu Sofyan,
seorang perempuan jahanam yang telah memakan mentah-mentah hati paman Nabi
Hamzah bin Abdul Muthalib saat peristiwa perang uhud, sekaligus mengampuni Abu
Sofyan. Ketiga atau terakhir, ayat yang dijadikan rujukan utama bagi kelompok
muslim yang menyetujui atau bahkan bersemangat
untuk memberlakuan hukuman mati adalah Hai orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu menqishash atas pembunuhan. ‘nyawa’’ merdeka bayar nyawa merdeka,budak
bayar budak, perempuan bayar Perempuan. Dan jika engkau memaafkan, maka
lakukanlahDengan cara yang terbaik, sesungguhnya yang demikian (memaafkan itu)
merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat-Nya….. ingin saya katakan bahwa ayat
tersebut hingga penggalan perempuan dengan perempuan adalah baru pada tahap
keadilan retributif, sementara penggalan jika kamu memaafkan, hingga memaafkan
itu merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat-Nya secara implisit mengisyaratkan
bahwa keadilan restoratif atau substantif lebih dianjurkan.
Enam terpidana mati telah dieksekusi di Nusakambangan dan
Boyolali. Brazil tarik duta besar di Jakarta
Enam terpidana mati telah dieksekusi di Nusakambangan dan
Boyolali, Jawa Tengah, Minggu dini hari (18/01).
Juru bicara Kejaksaan Agung, lembaga yang melakukan
eksekusi hukuman mati, Tony Spontana, menjelaskan lima terpidana menjalani
eksekusi di Pulau Nusakambangan, Cilacap, pada pukul 00.30 WIB dan dinyatakan
meninggal dunia pada 00.40 WIB.
Satu terpidana dieksekusi di Boyolali pada pukul 00.45
WIB dan dinyatakan meninggal dunia pada 01.20 WIB.
Jaksa Agung HM Prasetyo juga membenarkan kepada para
wartawan di Jakarta bahwa eksekusi hukuman mati sudah selesai dilaksanakan.
Kontributor BBC di Cilacap, Liliek Dharmawan, mengatakan
eksekusi di Nusakambangan dilaksanakan di lapangan tembak Limusbuntu.
Mereka yang menjalani hukuman mati adalah terpidana
kasus-kasus narkoba.
Kelimanya adalah Marco Archer Cardoso Mareira (53 tahun,
warga negara Brasil), Daniel Enemua (38 tahun, warga negara Nigeria), Ang Kim
Soe (62 tahun, warga negara Belanda), Namaona Dennis (48 tahun, warga negara
Malawi), dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia, warga negara Indonesia.
Sementara yang menjalani hukuman mati di Boyolali adalah
Tran Thi Hanh, warga negara Vietnam berusia 37 tahun.
Sejumlah pegiat HAM sebelumnya mengecam pelaksanaan
hukuman mati ini dengan menyebutnya sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia.
Beberapa organisasi HAM sudah mendesak pemerintah
Indonesia untuk menghapus hukuman mati.
Marco Archer Cardoso Moreira mengatakan menyesal dan tiap
orang harus dapat kesempatan kedua.
Brasil menilai eksekusi hukuman mati terhadap salah satu
warga negaranya di Indonesia karena kasus narkoba merupakan bentuk 'kekejaman'.
Marco Archer Cardoso Moreira, 53 tahun, ditangkap pada
2003 lalu setelah polisi di bandara Cengkareng menenemukan 13,4 kg kokain yang
disembunyikan di dalam peralatan olahraga.
Brasil mengatakan Moreira merupakan warga Brasil pertama
yang dieksekusi di luar negeri dan memperingatkan hukuman itu akan 'merusak'
hubungan dengan Indonesia.
Presiden Brasil Dilma Rousseff mengatakan dalam sebuah
pernyataan bahwa dia merasa kaget dan menilai hukuman itu kejam.
"Hubungan antara kedua negara akan
terpengaruh," kata presiden Rousseff.
"Duta besar Brasil di Jakarta telah ditarik untuk
melakukan konsultasi," kata dia.
Selain Brasil, Belanda juga menarik kembali duta
besarnya, setelah Menteri Luar Negeri Bert Koenders menilai eksekusi terhadap
warga negara Belanda Ang Kiem Soe, 52 tahun, "merupakan pengingkaran
terhadap martabat dan integritas kemanusiaan".
Empat warga negara asing yaitu Brasil, Belanda Malawi,
Nigeria dan satu Indonesia telah dieksekusi pada Minggu (18/01) dini hari di LP
NUsa Kambangan. Sementara eksekusi terhadap warga Vietnam Boyolali Jawa Tengah
pada waktu yang sama.
Permohonan grasi
Rousseff mengatakan dia telah mengajukan permohonan
pengampunan (grasi) pada Jumat, tetapi ditolak oleh Presiden Joko Widodo.
Dilma Rousseff
Presiden Brasil Dilma Rousseff mengajukan grasi ke
presiden Jokowi tetapi ditolak
Dia mengatakan kepada Joko Widodo bahwa dia menghormati
kedaulatan dan sistem hukum di Indonesia, tetapi sebagai seorang ibu dan kepala
negara dia mengajukan permohonan itu dengan alasan kemanusiaan.
Brasil mengatakan Joko Widodo mengatakan dia memahami
kepedulian presiden Brasil tetapi dia tidak dapat mengubah hukuman karena
seluruh proses hukum telah dijalani.
Dalam sebuah video yang direkam seorang rekannya, Moreira
menyatakan penyesalannya yang berupaya menyeludupkan narkoba ke Indonesia.
"Saya tahu akan menghadapi hukuman yang serius,
tetapi saya yakin saya berhak mendapatkan kesempatan. Semua orang melakukan
kesalahan."
Warga Brasil lain Rodrigo Muxfeldt Gularte juga
menghadapi hukuman mati di Indonesia, karena kasus perdagangan narkoba.
Kritik terhadap eksekusi hukuman mati juga disampaikan
sejumlah organisasi Amnesty International dan pegiat HAM di Indonesia.
Brasil menghapus hukuman mati ketika perdamaian dan
menjadi sebuah negara republik pada 1889.
Kemenlu harap hukuman mati tak ganggu hubungan
Marco Archer Cardoso Moreira (tengah) adalah warga negara
Brasil yang telah dieksekusi mati Minggu (18/01) dini hari di LP Nusa
Kambangan.
Indonesia mengharapkan eksekusi hukuman mati terhadap dua
orang warga negara Brasil dan Belanda dalam kasus narkoba, tidak menganggu
hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut.
Hal itu ditegaskan Kementerian luar negeri Indonesia
menanggapi sikap Brasil dan Belanda yang dilaporkan telah menarik duta besarnya
dari Jakarta sebagai bentuk "protes" atas eksekusi hukuman mati
tersebut.
Warga negara Brasil, Marco Archer Cardoso Moreira, 53
tahun, dan warga negara Belanda, Ang Kiem Soe, 52 tahun, merupakan dua dari
empat warga negara asing yang telah dieksekusi mati pada Minggu (18/01) dini
hari di LP Nusa Kambangan, karena kasus narkoba.
Brasil dan Belanda menganggap hukuman mati itu merupakan
bentuk 'kekejaman' dan 'pengingkaran terhadap martabat dan integritas
kemanusiaan'.
Juru bicara Kementerian luar negeri Indonesia, Armantha
Nasir mengatakan, eksekusi hukuman mati itu sudah melalui semua tahapan proses
hukum yang berlaku di Indonesia.
"Dan, yang kita lakukan tidak menentang
prinsip-prinsip hukum internasional yang ada," kata Armantha Nasir kepada
wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Minggu (18/01) siang.
'Berharap tidak mencederai'
Armantha juga mengatakan, dia meminta eksekusi hukuman
mati tidak dilihat dari konteks sempit, tetapi dalam konteks yang lebih luas.
"Ini terkait dengan kejahatan narkoba dan dampaknya
terhadap masyarakat Indonesia secara khusus dan masyarakat dunia,"
katanya.
Karena itulah, Indonesia mengharapkan penarikan duta
besar Brasil dan Belanda dari Jakarta tidak akan "mencederai"
hubungan diplomatik Indonesia dengan kedua negara.
"Kita berharap tidak (mencederai)," kata
Armantha.
Kedutaan besar Indonesia di Brasil, ungkapnya, telah
menerima surat pemberitahuan resmi dari Pemerintah Brasil tentang penarikan
duta besarnya di Jakarta pada Minggu (18/01) pagi.
Penjagaan aparat kepolisian dilakukan di dermaga menuju
Nusa Kambangan menjelang eksekusi mati, Sabtu (17/01).
Namun demikian, Armantha menambahkan, pihaknya belum
menerima pemberitahuan resmi dari Pemerintah Belanda tentang pemberitaan yang
menyebut Belanda telah menarik duta besarnya dari Jakarta.
Sebelumnya, kritik terhadap eksekusi hukuman mati juga
disampaikan organisasi Amnesty International dan pegiat HAM di Indonesia.
Empat warga negara asing yaitu Brasil, Belanda Malawi,
Nigeria dan satu Indonesia telah dieksekusi pada Minggu(18/01) dini hari di LP
Nusa Kambangan.
Sementara eksekusi terhadap warga Vietnam dilakukan di
Boyolali Jawa Tengah pada waktu yang sama. (BBC)
Penderita Ketergantungan Narkoba di Indonesia Ada 4 Juta
BeritaPrima.com -- Badan Narkotika Nasional (BNN)
menyebut ada 4 juta orang yang memiliki ketergantungan narkoba di Indonesia.
Mereka itu harus menjalani rehabilitasi, juga memerlukan kepedulian semua pihak
guna memutus jar ingan pemasaran narkoba yang kini merambah hampir seluruh
Daerah di Negeri ini.
“Jika mereka yang memiliki ketergantungan narkoba tidak
direhabilasi, peredaran narkoba tetap berjalan, karena mereka adalah pelanggan
yang setiap saat dan setiap hari memerlukan narkoba,” kata Kepala BNN Anang
Iskandar usai acara Pembukaan Sosialisasi Perundang-undangan Narkotika, Kamis
(25/4/2013) di Mataram.
Di luar jumlah 4 juta itu, tercatat pula narapidana
narkoba yang ditahan di sejumlah lembaga permasyarakatan di Indonesia.
Menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny
Indrayana, pengguna narkoba yang ditahan di LP mencapai 14.154 orang karena
tersangkut penyalahgunaan narkoba, dari total narapidana yang berjumlah 52.661
orang.
Guna memutus peredaran narkoba itu ditempuh upaya
pencegahan, rehabilitasi dan penindakan hukum. Hanya saja untuk rehabilitasi
BNN kurang didukung instrument yang memadai, karena BNN hanya memiliki empat
sarana rehabilitasi berdaya tampung 2.000 orang.
Karenanya diharapkan tiap provinsi dan kabupaten/kota
menyediakan sarana rehabilitasi penderita ketergantungan narkoba.
GRANAT: Indonesia Dibawah Darurat Narkoba
Nusa Dua – Organisasi Gerakan Nasional Anti Narkotika
(Granat) menilai bahwa Indonesia kini dalam kondisi darurat narkoba. Sebagai
bukti bahwa Indonesia dalam kondisi darurat narkoba yaitu masuknya narkoba di
seluruh wilayah Indonesia.
Ketua Umum DPP Granat Henry Yosodiningrat menyampaikan
narkoba tidak hanya masuk ke seluruh daerah di Indonesia, tetapi juga sangat
mudah didapatkan. Selain itu jumlah korban narkoba yang meninggal di Indonesia
setiap harinya terus bertambah.
“Narkotika itu disebarluaskan dimana-mana, terdapat
dimana-mana dan mudah didapat, kemudian narkotika itu masuk dari semua pintu,
kemudian jumlah korban 5 juta orang, kemudian yang meninggal 50 orang tiap
hari, itu saya katakan darurat narkoba” kata Henry Yosodiningrat, saat ditemui
NapzaIndonesia.com di Nusa Dua, Bali.
Menurut Henry Yosodiningrat dari segi komitmen pemerintah
terlihat cukup serius dalam melakukan pemberantasan narkoba, tetapi dalam
implementasinya masih terdapat oknum-oknum petugas yang terlibat dalam
peredaran narkoba.
Henry juga menambahkan pemberantasan narkoba di Indonesia
kedepan harus disertai komitmen moral yang tinggi dari aparat penegak hukum,
seperti polisi, jaksa, dan hakim.
Fatwa PP Muhammadiyah: Merokok Haram!
JAKARTA, KOMPAS.com — Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
melalui Majlis Tarjih dan Tajdid, mengeluarkan fatwa baru terhadap hukum
merokok. Setelah menelaah manfaat dan mudarat rokok, Majlis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah berkesimpulan bahwa merokok secara syariah Islam masuk dalam
kategori haram. Keputusan ini diambil dalam halaqoh tentang Pengendalian Dampak
Tembakau yang diselenggarakan Majlis Tarjih dan Tajdid pada 7 Maret lalu di
Yogyakarta.
”Fatwa ini diambil setelah mendengarkan masukan dari
berbagai pihak tentang bahaya rokok bagi kesehatan dan ekonomi. Di samping itu,
kami juga melakukan tinjauan hukum merokok. Berdasarkan masukan dari halaqoh itu,
kemudian dirapatkan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid dan mengeluarkan amar
keputusan bahwa merokok adalah haram hukumnya,” kata Ketua PP Muhammadiyah
Bidang Tarjih Dr Yunahar Ilyas dalam jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah,
Jakarta Pusat, Selasa (9/3/2010).
Fatwa baru ini sekaligus merevisi fatwa sebelumnya yang
menyatakan bahwa hukum rokok mubah. ”Fatwa bahwa merokok mubah selama ini
terjadi karena berbagai dampak negatif merokok bagi kesehatan, sosial, dan
ekonomi, semakin dirasakan oleh masyarakat,” ungkap Yunahar.
Fatwa bahwa merokok mubah masih dipertahankan oleh PP
Muhammadiyah hingga 2007. Artinya, boleh dikerjakan, tetapi lebih baik jika
ditinggalkan. Perubahan fatwa menjadi haram dinilai sebagai keputusan yang akan
membawa manfaat. Mengingat, banyaknya efek negatif akibat terpapar asap rokok.
Melalui fatwa ini, Yunahar mengatakan, PP Muhammadiyah
ingin mengingatkan seluruh lapisan masyarakat akan bahaya mengisap lintingan
tembakau ini. ”Karena dampak negatifnya, maka pembelanjaan uang untuk merokok
adalah perbuatan mubazir,” ujarnya.
Dalam salah satu amar keputusannya, diimbau kepada yang
belum merokok, wajib menghindarkan diri dari merokok. Bagi yang sudah merokok,
wajib berupaya untuk menghentikan dari kebiasaan merokok. ”Dengan dikeluarkannya
fatwa ini, maka fatwa tahun 2005 yang menyatakan merokok mubah dinyatakan tidak
berlaku lagi,” kata Yunahar lagi.
Pelaksanaan Fatwa Haram Merokok yang dikeluarkan Majlis
Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini akan dibawa dan dikukuhkan dalam Rapat
Pleno PP Muhammadiyah dan ditindaklanjuti dengan surat keputusan resmi.
Dijelaskan Yunahar, surat keputusan tersebut berisi instruksi mengikat kepada
seluruh jajaran organisasi, lembaga-lembaga amal usaha, seperti sekolah,
universitas, rumah sakit, masjid, dan berbagai fasilitas Muhammadiyah di
seluruh Indonesia.
No comments:
Post a Comment