Heboh di Media Sosial, Anak Masuk RS Jiwa Akibat
Kebanyakan Les
VIVAlife – Sebuah berita miris beredar di media sosial
belakangan ini, tentang seorang anak perempuan berumur 6 tahun, yang sampai
harus dimasukkan ke sebuah rumah sakit jiwa di kawasan Jakarta Timur. Ia harus
dirawat di sana, akibat terlalu diforsir oleh orangtuanya mengambil les ini dan
itu, di luar aktivitasnya sekolah.
Saking banyaknya belajar, anak ini sampai mengalami
gangguan jiwa sehingga harus menemui seorang ahli kejiwaan. Saat sang anak
dijenguk oleh teman orangtuanya, gadis kecil itu masih terlihat ceria, meski
kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya, berbeda dari anak-anak kebanyakan.
Kepada tamu yang menjenguknya, ia menampilkan
kemampuannya yang cepat berhitung, dan bisa berbahasa inggris, meski masih
dalam skala kata-kata yang mudah.
Orang-orang yang datang menjenguk, terenyuh menyaksikan
kondisi gadis kecil ini. Sementara di ujung ruangan, terlihat sang mama tiada
henti menyeka air matanya, ia terus menangis berlinang air mata melihat kondisi
kejiwaaan yang dialami putrinya. Melihat bundanya terus bersedih, si kecil
kemudian berkata polos dan lirih, “Bunda jangan menangis dong,…aku kan sekarang
sudah pintar? Tapi aku nggak mau tidur sama bunda ya. Aku maunya bobo sama
dokter yang ganteng dan cantik saja.”
Terlepas dari apakah kisah ini benar terjadi atau hoax di
media sosial belaka, namun sebagai orangtua, seharusnya kita dapat memetik
pelajaran berharga dari cerita ini. Saat ditanya tentang kasus tersebut, RA
Oriza Sativa, SPsi, Psi, CH. CCR, psikolog klinis dari Rumah Sakit Awal Bros mengatakan,
ia juga sempat mendengar berita ini dan
menyayangkan jika cerita itu memang benar terjadi.
“Kalau benar, maka ini termasuk kasus yang cukup langka
karena saya jarang sekali mendengar ada kasus, di mana ada anak seumur itu
harus mendapat perawatan serius di rumah sakit jiwa. Sebenarnya hal ini tidak
perlu terjadi, apabila kita sebagai orangtua, dapat bersikap bijaksana dalam
hal mendidik anak,” ujar Oriza, Selasa, 25 November 2014.
Ia terangkan, sekarang ini banyak ayah dan bunda yang
tidak sadar, kalau selama ini mereka telah memaksakan kehendaknya kepada anak.
Slogan bahwa orangtua adalah figur pelindung dan pengayom, malah menjadi
berbalik menjadi figur yang "penyiksa," apabila dalam hal mendidik
mereka terlalu banyak memberi beban para putra-putrinya.
Kepada VIVAlife, Oriza menjelaskan dalam dunia psikologi
ada istilah burnout pada anak. Ini adalah istilah untuk sebuah kondisi kejiwaan
akibat kelelahan sangat, yang disebabkan aktivitas bekerja terlalu banyak. Lalu
apa saja alasan yang menyebabkan seorang anak burnout dan hal-hal apa yang
dapat Anda lakukan sebagai orangtua, untuk mencegahnya?
Terlalu Banyak Belajar, Bisa Membuat Anak “Terbakar"
VIVAlife – Belakangan ini di media sosial beredar kabar,
seorang anak wanita berumur 6 tahun, sampai harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa
(RSJ), akibat terlalu diforsir orangtuanya mengikuti terlalu banyak les,
disamping aktivitas sekolah.
Sang anak yang terlalu banyak dicekoki pelajaran di usia
dini, diduga mengalami burnout (seperti terbakar) atau kondisi kejiwaan yang
sangat lelah akibat aktivitas terlalu banyak. Artikel lengkap mengenai berita
ini bisa dibaca di sini.
RA Oriza Sativa, SPsi, Psi, CH. CCR, psikolog klinis dari
Rumah Sakit Awal Bros mengatakan, kasus ini termasuk langka karena biasanya
gangguan mental pada anak-anak, belum pernah ada yang sampai harus dikirim ke
RSJ.
Kepada VIVAlife ia jelaskan, ada beberapa faktor yang
menyebabkan seseorang memiliki gangguan kejiwaan. Salah satunya harus dilihat
dulu faktor genetiknya, apakah memang ada riwayat di keluarga dan lain-lain.
Tetapi yang sering terjadi, faktor anak burnout itu, biasanya dipicu karena si
anak dipaksa sekolah di usia yang seharusnya belum pantas sekolah.
"Atau yang seperti terjadi pada kasus ini, selain
sibuk sekolah, si anak di rumah juga masih dicekoki banyak les. Padahal di usia
tumbuh kembangnya, dia belum mampu menampung semua hal tersebut,” ujar
psikolog, yang menjadi langganan acara talkshow di televisi itu.
Menurutnya, cara orangtua mendidik anak menentukan
kondisi kejiwaan buah hatinya. Jika Anda terlalu khawatir si kecil tidak
pintar, tidak berprestasi, lalu memberi banyak beban dalam bentuk les ini dan itu,
cepat atau lambat hal ini akan menyiksa si anak.
Oriza mengakan, orangtua harusnya percaya bahwa seorang
anak dengan sendirinya akan menjadi pintar, sesuai dengan umur dan pelajaran
yang ia serap, tanpa mesti harus Anda paksa dalam waktu tergesa.
Sikap salah orangtua yang lain, adalah sering
membandingan si kecil dengan anak tetangga, dengan anak sepupu, atau dengan
anak teman di kantor. Seolah-olah mereka akan malu, kalau anaknya tidak lebih
unggul dari anak orang lain. Padahal mereka harusnya sadar, keunggulan
masing-masing anak itu berbeda. Ada yang hebat di pelajaran menghitung, ada
yang pintar menggambar, dan ada yang hebat di pelajaran sains.
"Jadi setiap anak unik, dan tidak mungkin
dibanding-bandingkan seperti itu,” kata sang psikolog.
Jangan paksa bakat anak
Perlu diketahui, tugas anak-anak itu sebenarnya cuma dua.
Yang pertama bermain, yang kedua belajar. Jadi meski sebagai ayah bunda kita
mengarahkan mereka untuk rajin belajar, namun jangan lupakan hak anak untuk
mendapatkan waktu bermain yang cukup.
Janganlah terus menerus dipaksa belajar, namun hak
bermainnya dihapus. Justru hal seperti ini tidak alamiah dan berpotensi membuat
otak si anak burnout. Padahal slogan yang selama ini beredar, dunia anak adalah
dunia bermain.
Oriza mengatakan, definisi pintar seorang anak itu juga
tidak terbatas pada sekadar nilai-nilai ulangan bagus. Pintar itu ada bermacam
ragamnya. Jika si kecil nilai ulangannya tak terlalu baik di matematika, namun
ia terlihat hebat mengiring bola di lapangan, berarti saat besar berpotensi
menjadi pesepakbola. Bukankah itu baik?
Jadi, jangan sama ratakan kemampuan anak Anda dengan anak
orang lain. Buat apa anak dipaksa harus pintar matematika, padahal passionnya
ada di bidang olahraga? “IQ memadai seorang anak itu ada di range 90 – 110.
Jadi kalau hasil test IQ-nya ada di rentang angka itu, berarti ia sudah
termasuk pintar. Jangan lagi Anda paksa ia menjadi sesuatu, yang secara alamiah
tidak ia kuasai.”
Ditambahkan, memberi les itu boleh asalkan anaknya memang
terlihat suka dengan bidang pelajaran itu. Namun ingat, jangan terlalu banyak,
karena segala sesuatu yang berlebihan pasti tidak baik.
Psikolog ini menerangkan, bentuk kepintaran anak yang
lain adalah dalam pergaulan. Seorang anak yang pandai bergaul juga merupakan
skill hidup yang harus dihargai. Menurutnya, seorang anak minimal harus
memiliki satu orang kawan. Dengan demikian, ia tetap dapat berinteraksi dengan
lingkungan, selain keluarganya di rumah.
No comments:
Post a Comment