Donna Backues, seniman AS yang hobi membatik (foto/dok: Donna Backues) |
Seniman Donna Backues Lestarikan Batik Indonesia di
Amerika
Pernah tinggal di Indonesia selama 18 tahun telah membuat
Donna Backues, seniman asal Amerika Serikat, cinta terhadap Indonesia.
Pernah tinggal di Indonesia selama 18 tahun telah membuat
Donna Backues, seniman asal Amerika Serikat, cinta terhadap Indonesia. Ikatan
yang kuat dengan Indonesia terus terjalin setelah perempuan kelahiran 1962 ini
kembali ke Amerika dan menetap di daerah selatan kota Philadelphia yang
terletak di negara bagian Pennsylvania.
“Pada tahun 1989 saya ikut suami pindah ke Bandung,
Indonesia, karena suami saya ada kesempatan belajar Bahasa Indonesia,” kenang
Donna kepada repoter VOA, Ronan Zakaria, baru-baru ini.
Seniman Donna Backues di Philadelphia
Seniman Donna Backues di Philadelphia
Sambil mengurus anak pertamanya yang pada waktu itu masih
berusia dua bulan, alumni S2 dari Pennsylvania Academy of the Fine Arts di
Phiadelphia dengan latar belakang di bidang desain grafis ini mendapat
kesempatan untuk belajar membatik di sebuah pabrik batik kecil di Bandung. Ilmu
membatik tersebut terus digelutinya hingga sekarang.
“Usaha kecil itu punya Pak Hasannudin yang kalau tidak
salah juga kerja sebagai dosen seni rupa di ITB pada waktu itu. Beliau orang
Pekalongan. Saya minta les dari Pak Hasannudin. Walaupun dia setuju, dia memang
sibuk sekali dan sebetulnya nggak bisa mengajar saya. Tapi dia bilang kalau mau
ikut, pekerja-pekerja di sana bisa mengajar saya,” papar perempuan yang saat
ini menekuni profesi di bidang seni lukis, ilustrasi, desain dan kerap kali
mengajarkan seni rupa.
Dua kali seminggu Donna mendatangi pabrik tersebut untuk
mempelajari seni batik tulis dan batik cap selama lebih dari dua tahun. “Itu
juga membuat saya bisa belajar Bahasa Indonesia, karena waktu itu saya tidak
bisa sama sekali,” ujar perempuan yang masih fasih berbahasa Indonesia ini
sambil tertawa.
Setelah delapan tahun tinggal di Bandung, Donna dan
keluarganya memutuskan untuk pindah ke Tasikmalaya dan tinggal di dekat Dadaha
selama sepuluh tahun.
“Di Indonesia saya senang karena ada slow paced of life.
Lebih santai. Banyak waktu untuk ngobrol sama tetangga-tetangga,” canda Donna.
Di Tasikmalaya ia ikut membantu suaminya mendirikan dan
mengurus sebuah yayasan bernama Yayasan Sumbangsih Nuansa Indonesia yang
bergerak di bidang kesehatan primer, pertanian, produksi impor dan ekspor
kerajinan tangan, pendidikan, perkreditan, dan kesenian.
“Saya suka mengajar seni rupa dan juga ada unit kerajinan
tangan. Jadi saya bisa mendesain produk-produk seperti scarf. Saya tidak
membatik scarfnya, tapi saya membuat desain aja dan itu dibatik oleh orang
Tasik sebetulnya,” ujar perempuan yang suka memasak soto ayam dan rendang ini.
Pada tahun 2007 Donna memutuskan untuk kembali ke
Amerika, karena kedua anaknya sudah mulai besar. Walaupun menurut Donna
anak-anaknya lebih senang tinggal di Indonesia.
“Ada satu anak yang diadopsi dari Jakarta,” kata
perempuan yang hobi melukis dan membaca ini. “Kebetulan dia lebih seperti orang
Amerika, karena dia masih kecil waktu datang ke Amerika. Tapi masih ingat
Indonesia, karena dia umur 8 tahun. Tapi bahasanya mungkin dia mengerti banyak
tapi kurang bisa Bahasa, nggak seperti kakaknya,” lanjutnya.
Sekembalinya ke Amerika, Donna sebenarnya tidak tertarik
untuk membatik, karena ia tidak memiliki ruangan yang luas di rumahnya. “Saya
baru mulai membuat batik di Amerika waktu ada guru seni rupa di SMA Katolik di
Philadelphia yang minta saya mengajar muridnya dengan memakai proses tersebut,”
ujarnya.
Ia kemudian mengikuti American Batik Design Competition
2013 yang diadakan oleh kedutaan besar republik Indonesia di Washington, D.C.
pada tahun 2013. Hadiahnya adalah tur batik bersama dua pemenang lainnya ke
Pekalongan. Sejak itu Donna sering diminta untuk mengajar membatik dan kerap
kali mengadakan pameran batik dan juga lokakarya membatik. Elemen-elemen
Indonesia ia tampilkan dalam karya-karyanya.
“Misalnya, semacam pemandangan Indonesia muncul, seperti
gunung berapi atau pohon kelapa, yang saya pakai sebagai motif. Boleh lihat
sendiri di website saya,
www.donnabackues.com,” ujarnya.
Seniman Donna Backues di Philadelphia (foto/dok: Donna
Backues)
Seniman Donna Backues di Philadelphia (foto/dok: Donna
Backues)
Karya-karya batik Donna banyak mendapat pujian dari
masyarakat lokal AS. Namun, sebagian besar dari mereka tidak tahu apa itu
batik.
“Sebagian besar dari orang Amerika tidak pernah melihat
batik dengan prosesnya berasal dari Indonesia.
Kalau istilah batik itu saya pakai pun, biasanya mereka menanggapi saya
dengan bertanya, apa itu batik?” kata Donna.
Prestasi Donna dalam menghasilkan karya seni membuahkan
hadiah Art and Change Grant sebesar 30 juta rupiah dari yayasan Leeway
Foundation di Philadelphia. Dari ratusan orang yang mendaftar, ia menjadi salah
satu dari 30 pemenang yang berhasil terpilih untuk mendapatkan dana tersebut.
“Setiap tahun sebuah LSM yang bernama Leeway Foundation
menyelenggarakan semacam pendaftaran atau ‘Call for Women Artists,’ agar boleh
dipungut ide-ide wanita dalam menggunakan kesenian sebagai katalis perubahan
sosial yang efektif demi kepentingan masyarakat,” jelasnya.
Rencananya dana tersebut akan digunakan untuk membuka
kelas membatik yang ditujukan untuk masyarakat Indonesia di Amerika.
“Kalau ada yang orang Amerika satu-dua mau ikut boleh.
Tapi ini yang penting orang Indonesia. Karena saya dapat sebuah art and change
Grant dari Leeway Foundation untuk mengadakan sebuah proyek khusus untuk social
change. Perubahan positif dari masyarakat jadi saya ingin mengadakan kursus
batik untuk anak besar, dewasa orang Indonesia yang tinggal di South Philadelphia,”
kata Donna. “Tujuannya untuk melestarikan tradisi kebudayaan Jawa. Supaya anak
Indonesia bisa belajar tradisi mereka. Karena di Indonesia sekarang, mungkin
batiknya mulai lebih terkenal lagi di antara anak-anak, tapi di Amerika
anak-anak tidak ada kesempatan untuk belajar,” lanjutnya.
Seniman Donna Backues di Philadelphia
Seniman Donna Backues di Philadelphia
Sebagai pengajar membatik di Amerika, peralatan membatik
yang dimiliki Donna cukup lengkap. Semua bahan yang ia perlukan dapat ditemukan
di Internet.
“Saya sudah punya 4 skillet listrik dan kawat-kawat
listrik, juga beberapa canting dan peralatan-peralatan lain guna mempersiapkan
warna. Kalau ada sekolah atau organisasi lain yang mau mengadakan workshop,
mereka harus siap dengan budget bahan-bahan, seperti kain, bahan warna, malam,
zat-zat warna, dan mungkin tambahan canting secukupnya,” paparnya.
Tinggal di Amerika membuat Donna rindu akan Indonesia.
Walaupun di Philadelphia ia bisa menemukan banyak makanan khas Indonesia, ada
satu makanan favorit yang sangat ia rindukan. “Nasi tutug oncom. Raos pisan!”
ujarnya menutup wawancara dengan VOA. (VOA)
No comments:
Post a Comment