!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Friday, April 24, 2015

eksekusi mati pidana narkoba gelombang kedua akan segera dilaksanakan

eksekusi mati pidana narkoba gelombang kedua akan segera dilaksanakan

JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung telah mengumumkan bahwa pelaksanaan eksekusi mati gelombang kedua akan segera dilaksanakan. Saat dikonfirmasi pada Kamis 23/4/2015), Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana mengatakan, surat perintah pelaksanaan eksekusi telah diserahkan dari Jaksa Muda Pidana Umum kepada jaksa eksekutor.

Meski demikian, pihak Kejaksaan belum mengumumkan kapan tepatnya eksekusi akan dilakukan. Pasalnya, Kejaksaan masih menunggu putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan seorang terpidana mati asal Indonesia, Zainal Abidin. (baca: Perintah Pelaksanaan Eksekusi Terpidana Mati Sudah Diterima Eksekutor)

Berikut nama ke-10 terpidana mati yang termasuk dalam pelaksanaan eksekusi mati gelombang kedua:

1. Andrew Chan (Australia), 2. Myuran Sukumaran (Australia).

Andrew Chan dan Myuran Sukumaran ditangkap di Bandara Ngurah Rai, Badung, Bali pada 2005. Mereka hendak menyelundupkan 8,3 kg heroin ke Bali bersama komplotannya yang berjumlah sembilan orang. Karena itu, mereka disebut sindikat "Bali Nine".

Sindikat tersebut terdiri atas sembilan orang warga negara Australia berusia 18-28 tahun ketika mereka ditangkap di Bali, April 2005. Selain Andrew dan Myuran, anggota lainnya adalah Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tan Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, dan Martin Stephens. Andrew dan Myuran divonis mati tahun 2006.

Sementara tujuh lainnya memperoleh hukuman bervariasi antara 20 tahun hingga seumur hidup. (baca: Australia Diminta Bersikap Lebih Sopan Terkait Duo "Bali Nine")

3. Raheem Agbaje Salami (Nigeria). Raheem ditangkap di Bandara Juanda pada 1999, karena kedapatan membawa 5,2 kilogram heroin. Warga negara Nigeria itu diproses hukum dan langsung divonis hukuman mati. Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, dia mengajukan grasi pada 11 September 2008.

Jawaban grasi tersebut baru turun tujuh tahun kemudian yang isinya ditolak. Beberapa waktu lalu Raheem menggugat penolakan grasi tersebut. Namun, Pengadilan Tata Usaha Negara menolak gugatan tersebut.

4. Zainal Abidin. Ia merupakan satu-satunya terpidana mati asal Indonesia yang akan dieksekusi Kejagung dalam gelombang kedua ini. Zainal sebelumnya ditangkap di rumahnya di Palembang pada 21 Desember 2000, akibat kasus kepemilikan narkoba jenis ganja seberat 58,7 kilogram. (baca: "Kalau Sudah Dihukum Mati, Ternyata Salah, Siapa yang Bisa Kembalikan Nyawa?")

Tony Spontana mengatakan bahwa Kejagung telah mendapatkan sinyal penolakan pengajuan PK yang dilakukan Zainal. Selain karena tidak terdapat bukti baru (novum), penolakan ini disebabkan karena permohonan grasi yang diajukan Zainal telah ditolak presiden. Keputusan penolakan grasi itu keluar pada 2 Januari 2015 melalui Keppres Nomor 2/G Tahun 2015.

5. Serge Areski Atlaoui (Prancis). Serge Areski Atlaoui terlibat dalam operasi pabrik ekstasi dan sabu-sabu di Cikande, Tangerang, dengan barang bukti yang disita berupa 138,6 kilogram sabu-sabu, 290 kilogram Ketamine, dan 316 drum Prekusor pada 11 November 2005.

Pengajuan grasi yang dilakukan Serge ditolak oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 35/G Tahun 2014. Ia kemudian mengajukan PK untuk pertama kalinya sejak diputuskan untuk dihukum mati oleh Mahkamah Agung pada tahun 2007.

PK telah diajukan oleh pihak pengacara Serge pada 10 Februari 2015 ke Pengadilan Negeri Tangerang dan sidang pertamanya telah dilaksanakan pada 11 Maret 2015. Majelis hakim yang diketuai Indri Murtini menolak pengajuan saksi baru oleh Atlaoui karena tidak ada bukti baru dalam kasusnya.

Ada 12 orang terdakwa dalam kasus yang melibatkan Sergei, di mana sembilan di antaranya telah divonis mati di tingkat Mahkamah Agung. Bersambung... baca: Ini 10 Terpidana yang Akan Dieksekusi Mati


JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah akan melaksanakan eksekusi terhadap 10 terpidana mati dalam waktu dekat. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana mengatakan, surat perintah pelaksanaan eksekusi telah diserahkan dari jaksa muda pidana umum kepada jaksa eksekutor.

Berikut ini penjelasan singkat kasus para terpidana mati tersebut. Berita ini kelanjutan dari berita sebelumnya yang berjudul "Ini 10 Terpidana yang Akan Dieksekusi Mati (Bagian 1)"

6. Rodrigo Gularte (Brasil). Rodrigo ditangkap pada 31 Juli 2004 di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Rodrigo kedapatan menyelundupkan 19 kilogram heroin di dalam papan seluncur saat ditangkap. Ia divonis bersalah oleh PN Tangerang pada 7 Februari 2005 dan grasinya ditolak pada 5 Januari 2015.

Kasus Rodrigo cukup mendapat perhatian serius dari para pegiat hak asasi manusia. Pasalnya, Rodrigo disebut memiliki gangguan kejiwaan sehingga dianggap tidak layak menerima eksekusi mati. (Baca: Kejagung Dianggap Prematur Simpulkan Kejiwaan Terpidana Mati WN Brasil)

Berdasarkan hasil pemeriksaan di Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap, Rodrigo divonis menderita gangguan mental kronis dengan diagnosis skizofrenia paranoid dan gangguan bipolar psikotik.

Berdasarkan rekam medis dari dokter yang menangani kejiwaan Rodrigo, warna negara Brasil itu mengidap gangguan kejiwaan sejak tahun 1982 dan divonis mengidap gangguan saraf di otak.

Gangguan tersebut menyebabkan Rodrigo kehilangan kapasitas untuk menilai sesuatu secara benar atau salah dan mengabaikan konsekuensi dari tindakannya.

Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan bahwa terpidana mati yang mengalami gangguan jiwa akan tetap menjalani eksekusi. Ia mengatakan, tidak ada aturan khusus yang mengatur mengenai eksekusi bagi penderita gangguan jiwa.

7. Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa. Warga negara Nigeria ini ditangkap pada 2003 oleh Direktorat Narkoba Mabes Polri karena menyelundupkan heroin sebanyak 1,2 kilogram ke Indonesia dan selanjutnya divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang.

Permohonan grasinya telah ditolak melalui Keppres 11/G 2015. Silvester diketahui telah dua kali diciduk oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) karena mengendalikan peredaran narkoba dari dalam penjara, yakni pada tanggal 27 November 2012, saat menghuni Lapas Batu, Nusakambangan, dan tanggal 29 Januari 2015 saat menghuni Lapas Pasir Putih, Nusakambangan.

8. Martin Anderson alias Belo (Ghana). Sesuai data Kejaksaan Agung, Martin ditangkap pada 2003 di rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta. Dia tertangkap atas kepemilikan 50 gram heroin. Ia pun dijatuhi hukuman mati sejak pengadilan tingkat pertama hingga diperkuat oleh putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 2004.

Awal Maret lalu, Martin mengajukan peninjauan kembali untuk pertama kali setelah grasinya ditolak. Ia hadir dalam sidang perdana didampingi penerjemah. Sebelum masuk ke ruang sidang, Martin mengungkapkan, dirinya bukanlah pengedar atau bandar seperti yang selama ini diberitakan. Dia juga mengatakan, ada ketidakadilan atas dirinya.

Saat itu, dia ditangkap bersama pihak lain yang hanya dihukum kurang dari 5 tahun, sedangkan dia dijatuhi hukuman mati.

Pengajuan peninjauan kembali dianggap tak relevan oleh hakim. Sebab, Martin telah mengajukan grasi yang berarti terpidana telah mengakui kesalahannya. Selain itu, hakim juga menilai permohonan yang diajukan Martin hanya sebagai upaya mengulur waktu sehingga PK yang diajukan kemudian ditolak.

9. Okwudili Oyatanze (Nigeria). Pria kelahiran tahun 1970 tersebut terlibat kasus penyelundupan 1,1 kilogram heroin. Ia tertangkap di Bandara Soekarno-Hatta pada 28 Januari 2001.

Pengadilan Negeri Tangerang pada 13 Agustus 2001 menjatuhkan vonis mati terhadap Okwudili. Keputusan itu diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Banten pada 25 Oktober 2011, dan putusan Kasasi MA pada 28 Agustus 2002.

Okwudili sempat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden, tetapi permohonan itu ditolak. Grasi dinyatakan ditolak melalui Keppres No 14/G, tertanggal 5 Februari 2015.

10. Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina). Mary Jane merupakan warga negara Filipina yang ditangkap di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, pada 25 April 2010, lantaran menyelundupkan 2,6 kilogram heroin.

Ia dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Sleman Yogyakarta pada 11 Oktober 2010. Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan hukuman mati karena Mary Jane terbukti melanggar Pasal 114 ayat 2 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Putusan PN Sleman atas vonis Mary Jane juga diperkuat dengan putusan banding Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada 23 Desember 2010 dan putusan kasasi Mahkamah Agung pada 31 Mei 2011.

Permohonan grasi yang diajukan Mary Jane telah ditolak oleh Presiden melalui Keppres Nomor 31/G tertanggal 31 Desember 2014. Beberapa waktu lalu, Mahkamah Agung (MA) juga menolak pengajuan PK yang diajukan oleh Mary Jane.

JAKARTA, KOMPAS.com — Proses eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba tinggal menunggu waktu. Hari ini, Kamis (23/4/2015), tim jaksa eksekutor telah menerima surat perintah eksekusi tersebut.

"Surat perintah pelaksanaan eksekusi telah diserahkan dari Jampidum kepada jaksa eksekutor," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Tony Tribagus Spontana.

Kendati demikian, belum dapat dipastikan kapan eksekusi itu akan dilangsungkan. Pasalnya, Kejaksaan Agung hingga kini masih menunggu putusan Mahkamah Agung atas peninjauan kembali yang diajukan terpidana mati asal Indonesia, Zainal Abidin.

Tony melanjutkan, jika nantinya MA menolak PK yang diajukan Zainal maka Kejagung akan segera mengeksekusi para terpidana mati itu. Hal itu juga menyusul kabar ditolaknya PK yang diajukan Sergei Atloui, warga negara Perancis, dan Martin Anderson, warga negara Ghana yang masuk daftar eksekusi gelombang kedua.


"Kalau sudah ditolak (Zainal), berarti akan komplet sepuluh orang," ujarnya.

No comments:

Post a Comment