eksekusi mati pidana narkoba gelombang kedua akan segera
dilaksanakan
JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung telah mengumumkan
bahwa pelaksanaan eksekusi mati gelombang kedua akan segera dilaksanakan. Saat
dikonfirmasi pada Kamis 23/4/2015), Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan
Agung Tony Tribagus Spontana mengatakan, surat perintah pelaksanaan eksekusi
telah diserahkan dari Jaksa Muda Pidana Umum kepada jaksa eksekutor.
Meski demikian, pihak Kejaksaan belum mengumumkan kapan
tepatnya eksekusi akan dilakukan. Pasalnya, Kejaksaan masih menunggu putusan
Mahkamah Agung terhadap permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan
seorang terpidana mati asal Indonesia, Zainal Abidin. (baca: Perintah
Pelaksanaan Eksekusi Terpidana Mati Sudah Diterima Eksekutor)
Berikut nama ke-10 terpidana mati yang termasuk dalam
pelaksanaan eksekusi mati gelombang kedua:
1. Andrew Chan (Australia), 2. Myuran Sukumaran
(Australia).
Andrew Chan dan Myuran Sukumaran ditangkap di Bandara
Ngurah Rai, Badung, Bali pada 2005. Mereka hendak menyelundupkan 8,3 kg heroin
ke Bali bersama komplotannya yang berjumlah sembilan orang. Karena itu, mereka
disebut sindikat "Bali Nine".
Sindikat tersebut terdiri atas sembilan orang warga
negara Australia berusia 18-28 tahun ketika mereka ditangkap di Bali, April
2005. Selain Andrew dan Myuran, anggota lainnya adalah Si Yi Chen, Michael
Czugaj, Renae Lawrence, Tan Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, dan
Martin Stephens. Andrew dan Myuran divonis mati tahun 2006.
Sementara tujuh lainnya memperoleh hukuman bervariasi
antara 20 tahun hingga seumur hidup. (baca: Australia Diminta Bersikap Lebih
Sopan Terkait Duo "Bali Nine")
3. Raheem Agbaje Salami (Nigeria). Raheem ditangkap di
Bandara Juanda pada 1999, karena kedapatan membawa 5,2 kilogram heroin. Warga
negara Nigeria itu diproses hukum dan langsung divonis hukuman mati. Setelah
putusan berkekuatan hukum tetap, dia mengajukan grasi pada 11 September 2008.
Jawaban grasi tersebut baru turun tujuh tahun kemudian
yang isinya ditolak. Beberapa waktu lalu Raheem menggugat penolakan grasi
tersebut. Namun, Pengadilan Tata Usaha Negara menolak gugatan tersebut.
4. Zainal Abidin. Ia merupakan satu-satunya terpidana
mati asal Indonesia yang akan dieksekusi Kejagung dalam gelombang kedua ini.
Zainal sebelumnya ditangkap di rumahnya di Palembang pada 21 Desember 2000, akibat
kasus kepemilikan narkoba jenis ganja seberat 58,7 kilogram. (baca: "Kalau
Sudah Dihukum Mati, Ternyata Salah, Siapa yang Bisa Kembalikan Nyawa?")
Tony Spontana mengatakan bahwa Kejagung telah mendapatkan
sinyal penolakan pengajuan PK yang dilakukan Zainal. Selain karena tidak
terdapat bukti baru (novum), penolakan ini disebabkan karena permohonan grasi
yang diajukan Zainal telah ditolak presiden. Keputusan penolakan grasi itu
keluar pada 2 Januari 2015 melalui Keppres Nomor 2/G Tahun 2015.
5. Serge Areski Atlaoui (Prancis). Serge Areski Atlaoui
terlibat dalam operasi pabrik ekstasi dan sabu-sabu di Cikande, Tangerang,
dengan barang bukti yang disita berupa 138,6 kilogram sabu-sabu, 290 kilogram
Ketamine, dan 316 drum Prekusor pada 11 November 2005.
Pengajuan grasi yang dilakukan Serge ditolak oleh
Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 35/G Tahun 2014. Ia
kemudian mengajukan PK untuk pertama kalinya sejak diputuskan untuk dihukum
mati oleh Mahkamah Agung pada tahun 2007.
PK telah diajukan oleh pihak pengacara Serge pada 10
Februari 2015 ke Pengadilan Negeri Tangerang dan sidang pertamanya telah
dilaksanakan pada 11 Maret 2015. Majelis hakim yang diketuai Indri Murtini
menolak pengajuan saksi baru oleh Atlaoui karena tidak ada bukti baru dalam
kasusnya.
Ada 12 orang terdakwa dalam kasus yang melibatkan Sergei,
di mana sembilan di antaranya telah divonis mati di tingkat Mahkamah Agung.
Bersambung... baca: Ini 10 Terpidana yang Akan Dieksekusi Mati
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah akan melaksanakan
eksekusi terhadap 10 terpidana mati dalam waktu dekat. Kepala Pusat Penerangan
Hukum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana mengatakan, surat perintah
pelaksanaan eksekusi telah diserahkan dari jaksa muda pidana umum kepada jaksa
eksekutor.
Berikut ini penjelasan singkat kasus para terpidana mati
tersebut. Berita ini kelanjutan dari berita sebelumnya yang berjudul "Ini
10 Terpidana yang Akan Dieksekusi Mati (Bagian 1)"
6. Rodrigo Gularte (Brasil). Rodrigo ditangkap pada 31
Juli 2004 di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Rodrigo kedapatan
menyelundupkan 19 kilogram heroin di dalam papan seluncur saat ditangkap. Ia
divonis bersalah oleh PN Tangerang pada 7 Februari 2005 dan grasinya ditolak
pada 5 Januari 2015.
Kasus Rodrigo cukup mendapat perhatian serius dari para
pegiat hak asasi manusia. Pasalnya, Rodrigo disebut memiliki gangguan kejiwaan
sehingga dianggap tidak layak menerima eksekusi mati. (Baca: Kejagung Dianggap
Prematur Simpulkan Kejiwaan Terpidana Mati WN Brasil)
Berdasarkan hasil pemeriksaan di Rumah Sakit Umum Daerah
Cilacap, Rodrigo divonis menderita gangguan mental kronis dengan diagnosis
skizofrenia paranoid dan gangguan bipolar psikotik.
Berdasarkan rekam medis dari dokter yang menangani
kejiwaan Rodrigo, warna negara Brasil itu mengidap gangguan kejiwaan sejak
tahun 1982 dan divonis mengidap gangguan saraf di otak.
Gangguan tersebut menyebabkan Rodrigo kehilangan
kapasitas untuk menilai sesuatu secara benar atau salah dan mengabaikan
konsekuensi dari tindakannya.
Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan bahwa terpidana mati
yang mengalami gangguan jiwa akan tetap menjalani eksekusi. Ia mengatakan,
tidak ada aturan khusus yang mengatur mengenai eksekusi bagi penderita gangguan
jiwa.
7. Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa. Warga negara
Nigeria ini ditangkap pada 2003 oleh Direktorat Narkoba Mabes Polri karena
menyelundupkan heroin sebanyak 1,2 kilogram ke Indonesia dan selanjutnya
divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang.
Permohonan grasinya telah ditolak melalui Keppres 11/G
2015. Silvester diketahui telah dua kali diciduk oleh Badan Narkotika Nasional
(BNN) karena mengendalikan peredaran narkoba dari dalam penjara, yakni pada
tanggal 27 November 2012, saat menghuni Lapas Batu, Nusakambangan, dan tanggal
29 Januari 2015 saat menghuni Lapas Pasir Putih, Nusakambangan.
8. Martin Anderson alias Belo (Ghana). Sesuai data
Kejaksaan Agung, Martin ditangkap pada 2003 di rumahnya di Kelapa Gading,
Jakarta. Dia tertangkap atas kepemilikan 50 gram heroin. Ia pun dijatuhi
hukuman mati sejak pengadilan tingkat pertama hingga diperkuat oleh putusan
banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 2004.
Awal Maret lalu, Martin mengajukan peninjauan kembali
untuk pertama kali setelah grasinya ditolak. Ia hadir dalam sidang perdana
didampingi penerjemah. Sebelum masuk ke ruang sidang, Martin mengungkapkan,
dirinya bukanlah pengedar atau bandar seperti yang selama ini diberitakan. Dia
juga mengatakan, ada ketidakadilan atas dirinya.
Saat itu, dia ditangkap bersama pihak lain yang hanya
dihukum kurang dari 5 tahun, sedangkan dia dijatuhi hukuman mati.
Pengajuan peninjauan kembali dianggap tak relevan oleh
hakim. Sebab, Martin telah mengajukan grasi yang berarti terpidana telah
mengakui kesalahannya. Selain itu, hakim juga menilai permohonan yang diajukan
Martin hanya sebagai upaya mengulur waktu sehingga PK yang diajukan kemudian
ditolak.
9. Okwudili Oyatanze (Nigeria). Pria kelahiran tahun 1970
tersebut terlibat kasus penyelundupan 1,1 kilogram heroin. Ia tertangkap di
Bandara Soekarno-Hatta pada 28 Januari 2001.
Pengadilan Negeri Tangerang pada 13 Agustus 2001
menjatuhkan vonis mati terhadap Okwudili. Keputusan itu diperkuat oleh
Pengadilan Tinggi Banten pada 25 Oktober 2011, dan putusan Kasasi MA pada 28
Agustus 2002.
Okwudili sempat mengajukan permohonan grasi kepada
Presiden, tetapi permohonan itu ditolak. Grasi dinyatakan ditolak melalui
Keppres No 14/G, tertanggal 5 Februari 2015.
10. Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina). Mary Jane
merupakan warga negara Filipina yang ditangkap di Bandara Adi Sucipto,
Yogyakarta, pada 25 April 2010, lantaran menyelundupkan 2,6 kilogram heroin.
Ia dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Sleman
Yogyakarta pada 11 Oktober 2010. Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan hukuman
mati karena Mary Jane terbukti melanggar Pasal 114 ayat 2 UU No 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Putusan PN Sleman atas vonis Mary Jane juga diperkuat
dengan putusan banding Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada 23 Desember 2010 dan
putusan kasasi Mahkamah Agung pada 31 Mei 2011.
Permohonan grasi yang diajukan Mary Jane telah ditolak
oleh Presiden melalui Keppres Nomor 31/G tertanggal 31 Desember 2014. Beberapa
waktu lalu, Mahkamah Agung (MA) juga menolak pengajuan PK yang diajukan oleh
Mary Jane.
JAKARTA, KOMPAS.com — Proses eksekusi terhadap terpidana
mati kasus narkoba tinggal menunggu waktu. Hari ini, Kamis (23/4/2015), tim
jaksa eksekutor telah menerima surat perintah eksekusi tersebut.
"Surat perintah pelaksanaan eksekusi telah
diserahkan dari Jampidum kepada jaksa eksekutor," kata Kepala Pusat
Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Tony Tribagus Spontana.
Kendati demikian, belum dapat dipastikan kapan eksekusi
itu akan dilangsungkan. Pasalnya, Kejaksaan Agung hingga kini masih menunggu
putusan Mahkamah Agung atas peninjauan kembali yang diajukan terpidana mati
asal Indonesia, Zainal Abidin.
Tony melanjutkan, jika nantinya MA menolak PK yang
diajukan Zainal maka Kejagung akan segera mengeksekusi para terpidana mati itu.
Hal itu juga menyusul kabar ditolaknya PK yang diajukan Sergei Atloui, warga
negara Perancis, dan Martin Anderson, warga negara Ghana yang masuk daftar
eksekusi gelombang kedua.
"Kalau sudah ditolak (Zainal), berarti akan komplet
sepuluh orang," ujarnya.
No comments:
Post a Comment