Perjalanan yang belum selesai (264)
(Bagian ke dua ratus enam puluh empat , Depok, Jawa
Barat, Indonesia, 13 April 2015, 14.29 WIB)
Add caption |
Nikmat terbesar seorang Muslim
Nikmat atau rezeki terbesar seorang Muslim adalah agama
Islam dan sunnah.
Sunnah artinya al hikmah, atau kita menjalankan perintah
Allah sesuai yang diajari dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad melalui hadist
sahih.
Oleh sebab itu berbekal nilai dan ajaran Islam melalui Al
Quran dan sunnah, Allah memberitahu manusia bahwa mereka yang paling mulia
disisi Allah adalah orang yang bertakwa, bukan orang paling berkuasa atau
paling kaya , atau dia keturunan siapapun, termasuk mereka yang mengaku
keturunan Nabi Muhammad (Habib-Habib). Karena tidak ada satu pun ayat Al Quran
dan Hadist menyebutkan mereka yang paling mulia adalah keturunan Nabi Muhammad,
kecuali orang yang paling bertakwa, menjalankan perintah Allah sesuai Al Quran
dan Hadist atau sunnah yang dicontohkan dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad dalam sabdanya hanya pernah menyebutkan
orang terbaik dan patut dicontoh adalah para sahabatnya, antara lain Abu Bakar,
Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin abi thalib.
Ma’rifatullâh, Gerbang Utama Menuju Kesempurnaan Iman
Kepada Allâh Azza wa Jalla (1)
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Barangkali tidak salah kalau dikatakan bahwa istilah
ma’rifatullâh, yang secara bahasa berarti mengenal Allâh Azza wa Jalla ,
termasuk istilah yang cukup populer di kalangan kaum Muslimin. Karena semua
yang beriman sepakat meyakini bahwa mengenal Allâh Azza wa Jalla dan
mencintai-Nya merupakan kewajiban dan tuntutan yang paling utama dalam Islam.
Bahkan istilah ma’rifatullâh selalu diidentikkan oleh para Ulama Ahlus Sunnah
dengan kesempurnaan iman dan takwa kepada Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara
hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh Azza wa
Jalla )” [Fâthir/35:28].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Semakin
bertambah pengetahuan seorang hamba tentang Allâh Azza wa Jalla, maka semakin
bertambah pula rasa takut dan pengagungan hamba tersebut kepada-Nya…, yang
kemudian pengetahuannya ini akan mewariskan perasaan malu, pengagungan,
pemuliaaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali, serta
ridha dan tunduk kepada perintah-Nya.”[1]
Syaikh Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah berkata,
“Semakin banyak pengetahuan seseorang tentang Allâh, maka rasa takutnya kepada
Allâh pun semakin besar, yang kemudian rasa takut ini menjadikan dirinya
(selalu) menjauh dari perbuatan-perbuatan maksiat dan (senantiasa)
mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Dzat yang ditakutinya (yaitu Allâh
Azza wa Jalla).”[2]
Namun ironisnya, istilah ma’rifatullâh yang agung ini
sering disalahartikan dan disalahgunakan oleh sebagian kaum Muslimin. Lebih
parah dari itu, sebagian kalangan justru membawa pengertian istilah ini kepada
pemahaman yang sangat menyimpang dan berseberangan dengan syariat Islam yang
diturunkan Allâh Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang-orang ahli tasawuf yang mengklaim bahwa metode
pemahaman merekalah yang paling dekat dan mudah untuk mencapai ma’rifatullâh.
Akan tetapi, kalau kita amati dengan seksama, ternyata ma’rifatullâh yang
mereka maksud bukanlah cara mengenal Allâh Azza wa Jalla melalui wahyu yang
diturunkan-Nya dalam ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahih dari
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ma’rifatullâh yang dikenal di
kalangan mereka adalah cara mengenal Allâh Azza wa Jalla yang bersumber dari
pertimbangan akal dan perasaan, atau ciptaan pimpinan-pimpinan kelompok mereka,
bahkan berdasarkan khayalan atau mimpi yang kemudian mereka namakan mukassyafah
(tersingkapnya tabir)[3] .
Bahkan sebagian dari para penganut pemahaman sesat ini
berani mengklaim bahwa metode yang mereka tempuh dalam mencapai ma’rifatullâh
lebih baik dan lebih mudah daripada metode dalam al-Qur’ân dan hadits-hadits
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini jelas merupakan tipu daya Iblis
yang terlaknat untuk menyesatkan manusia dari jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا ۖ فَإِنَّ
اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh
setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang
tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allâh menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya
[Fâthir/35:8].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Termasuk tipu
daya setan adalah apa yang dilontarkannya kepada orang-orang ahli tasawuf yang
bodoh, berupa asy-syathahât (ucapan-ucapan tanpa sadar/igauan) dan penyimpangan
besar, yang ditampakkannya kepada mereka sebagai bentuk mukâsyafah
(tersingkapnya tabir hakikat) dari khayalan-khayalan. Maka setanpun
menjerumuskan mereka dalam berbagai macam kerusakan dan kebohongan, serta
membukakan bagi mereka pintu pengakuan (dusta) yang sangat besar. Setan
membisikan kepada mereka bahwa sesungguhnya di luar ilmu (syariat yang
bersumber dari al-Qur'ân dan sunnah) ada sebuah jalan (lain) yang jika mereka
menempuhnya maka jalan itu akan membawa mereka kepada tersingkapnya (hakikat
dari segala sesuatu) secara jelas dan membuat mereka tidak butuh lagi untuk
terikat dengan (hukum dalam) al Qur'ân dan Sunnah (?!!)…maka ketika (mereka
menempuh jalan yang) jauh dari bimbingan ilmu yang dibawa Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , setanpun menampakkan kepada mereka berbagai
macam kesesatan sesuai dengan keadaan mereka, dan membisikkan khayalan-khayalan
ke (dalam) jiwa mereka, kemudian menjadikan khayalan tersebut seperti
benar-benar nyata sebagai penyingkapan (hakikat dari segala sesuatu) secara
jelas…(?!!).”[4]
MEMAHAMI MA’RIFATULLAH YANG BENAR
Ahlus sunnah wal jama’ah meyakini dan menetapkan bahwa
ma’rifatullâh yang benar adalah mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan
nama-nama-Nya yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha sempurna dan
perbuatan-perbuatan-Nya yang maha terpuji, sebagaimana yang dijelaskan dalam
ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam, tanpa at-tahrîf (menyelewengkan maknanya yang benar),
at-ta’thîl (menolak/ mengingkarinya), at-takyîf (membagaimanakannya) dan
at-tamtsîl (menyerupakannya dengan makhluk).[5]
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Kita tidak
boleh menyifati Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan sifat yang Dia Subhanahu wa
Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya (dalam al-Qur’ân) dan yang ditetapkan oleh
rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits-hadits yang shahih), kita
tidak boleh melampaui al-Qur’ân dan hadits.”[6]
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
ma’rifatullâh (yang benar) adalah mengenal zat-Nya, mengenal nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, serta mengenal perbuatan-perbuatan-Nya.”[7]
Demikian pula memperhatikan dan merenungi keadaan alam
semesta beserta semua makhluk Allâh Azza wa Jalla di dalamnya yang merupakan
tanda-tanda kemahakuasaan-Nya dan bukti kesempurnaan ciptaan-Nya [8] . Allâh
Azza wa Jalla berfirman :
وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ﴿٢٠﴾وَفِي أَنْفُسِكُمْ
ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh
Azza wa Jalla ) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri,
maka apakah kamu tidak memperhatikan?” [adz-Dzâriyât/51:20-21][9]
Jadi memahami nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa
Jalla dengan benar adalah satu-satunya pintu untuk bisa mengenal Allâh
(ma'rifatullâh) dengan pengenalan yang benar, yang ini merupakan landasan ibadah
kepada Allâh Azza wa Jalla . Karena salah satu landasan utama ibadah adalah
al-mahabbah (kecintaan) kepada Allâh Azza wa Jalla , yang ini tidak mungkin
dicapai kecuali dengan mengenal Allâh Azza wa Jalla[10] dengan pengenalan yang
benar melalui pemahaman terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Maka orang yang
tidak memiliki ma'rifatullah (mengenal Allâh) yang benar, tidak mungkin bisa
beribadah dengan benar kepada-Nya.[11]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama, sifat-sifat dan
perbuatan-perbuatan-Nya maka dia pasti akan mencintai-Nya.”[12]
Oleh karena itulah, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan
keterkaitan antara ibadah kepada-Nya dan pemahaman terhadap nama-nama dan
sifat-sifat-Nya dalam dua ayat al-Qur'ân. Ayat pertama :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali
supaya mereka beribadah kepada-Ku [adz-Dzâriyât/51:56].
Ayat kedua :
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ
مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu
pula bumi. Perintah Allâh berlaku padanya, agar kamu mengetahui (memahami)
bahwasannya Allâh Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allâh,
ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu [ath-Thalâq/65:12].
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa ibadah kepada Allâh Azza
wa Jalla tidak akan mugkin dapat diwujudkan oleh seorang hamba dengan benar
kecuali setelah dia mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allâh dengan pemahaman
yang benar.[13]
Di sini juga perlu diingatkan bahwa ma’rifatullâh ada dua
macam.
Pertama: mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan hanya
menetapkan keberadaan-Nya dan sifat-sifat Rububiyah-Nya. inilah jenis
ma’rifatullâh yang dimiliki oleh semua manusia, yang beriman maupun kafir dan
yang taat maupun durhaka kepada-Nya.
Kedua: mengenal Allâh Azza wa Jalla yang menimbulkan rasa
malu, cinta, rindu, ketergantungan hati, takut, selalu kembali, merasa bahagia
dan selalu bersandar kepada-Nya[14]. Inilah ma’rifatullâh yang sempurna dan
merupakan pembahasan dalam tulisan ini.
ILMU YANG PALING AGUNG DALAM ISLAM
Memahami nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla
dengan benar untuk mencapai ma’rifatullâh adalah ilmu yang paling agung dan
paling utama secara mutlak, karena berhubungan langsung dengan Allâh Azza wa
Jalla , Dzat yang maha sempurna.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
keutamaan suatu ilmu mengikuti keutamaan obyek yang dipelajarinya, karena
keyakinan jiwa akan dalil-dalil dan bukti-bukti keberadaannya, juga karena
besarnya kebutuhan dan manfaat untuk memahaminya. Maka tidak diragukan lagi,
bahwa ilmu tentang Allâh, nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya
adalah ilmu yang paling agung dan paling utama. Perbandingan ilmu ini dengan
ilmu-ilmu yang lain adalah seperti perbandingan (kemahasempurnaan) Allâh Azza
wa Jalla dengan semua obyek yang dipelajari (dalam) ilmu-ilmu lainnya.”[15]
Jadi seorang hamba tidak akan mungkin meraih kebaikan
yang hakiki dalam agamanya kecuali setelah dia memahami ilmu yang mulia ini.
Karena mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan memahami nama-nama dan
sifat-sifat-Nya adalah landasan utama agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan semua agama yang dibawa oleh
para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam[16]. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Kunci dakwah (semua agama) yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla
adalah ma’rifatullâh (mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan memahami nama-nama
dan sifat-sifat-Nya).[17]
Oleh karena itu, di dalam al-Qur’an yang merupakan
sebaik-baik pedoman hidup bagi manusia, petunjuk terbesar dan paling utama
adalah penjelasan tentang nama-nama Allâh yang maha indah dan sifat-sifat-Nya
yang maha sempurna.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Di
dalam al-Qur’an terdapat penjelasan (tentang) nama-nama, sifat-sifat dan
perbuatan-perbuatan Allâh yang lebih banyak dari penjelasan (tentang) makanan,
minuman dan pernikahan di surga. Ayat-ayat yang mengandung penjelasan nama-nama
dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala lebih utama kedudukannya daripada
ayat-ayat (tentang) hari kemudian. Maka ayat yang paling agung dalam al-Qur’ân
adalah ayat kursi yang mengandung penjelasan nama-nama dan sifat-sifat Allâh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat imam Muslim dari Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau n bersabda kepada Ubay
bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, “Apakah kamu mengetahui ayat apakah yang paling
agung dalam kitabullâh (al-Qur’ân) ?”, Ubay Radhiyallahu anhu menjawab :
(Firman Allâh) :
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
Allâh yang tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia Yang
Maha Hidup lagi Berdiri sendiri dan menegakkan makhluk-Nya [al-Baqarah/2:255]
Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk
dada Ubay Radhiyallahu anhu dengan tangan beliau dan bersabda, “Ilmu akan
menjadi kesenangan bagimu, wahai Abul Mundzir (Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu
anhu)”[18] .
Demikian pula surat yang paling utama (dalam al-Qur’an)
adalah Ummul Qur’ân (surat al-Fâtihah), sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits shahih, dari Abu Sa’id Ibnul Mu’alla Radhiyallahu anhu , bahwa
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya (tentang keutamaan
surat al-Fâtihah), “Sesungguhnya belum pernah diturunkan dalam (kitab) Taurat,
Injil, Zabur dan al-Qur’ân yang seperti surat al-Fâtihah). Inilah tujuh ayat
yang (dibaca) berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung yang diberikan (oleh
Allâh Azza wa Jalla ) kepadaku.”[19]
Dalam surat ini terdapat penjelasan nama-nama dan
sifat-sifat Allâh yang lebih agung dari penjelasan (tentang) hari kemudian di
dalamnya.
Dan disebutkan dalam hadits shahih dari berbagai jalur
periwayatan bahwa surat:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah: Dialah Allâh Yang Maha Esa [al-Ikhlas/112:1]
Surat ini sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an.[20]
Dalam hadits shahih (lainnya), Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi kabar gembira kepada seorang shahabat Radhiyallahu
anhu yang selalu membaca surat al-Ikhlâs ini dan dia berkata, "Aku mencintai
surat ini karena surat ini (menjelaskan tentang) sifat ar-Rahman (Allah Azza wa
Jalla), (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda), “Sesungguhnya
Allâh mencintainya.”[21] (Dalam hadits ini), Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan bahwa Allâh mencintai orang yang senang menyebut
sifat-sifat-Nya Azza wa Jalla, dan ini adalah pembahasan yang luas”[22] .
Semua keterangan di atas dengan jelas menunjukkan
keutamaan dan keagungan kedudukan ilmu yang mulia ini. Ilmu ini merupakan landasan
utama iman sekaligus pondasi agama Islam yang dibangun di atasnya semua
kedudukan mulia dan tingkatan tinggi dalam agama. Maka tidak akan mungkin bagi
seorang hamba untuk mencapai kebaikan yang hakiki dalam kehidupannya tanpa
mengenal Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan dan melimpahkan berbagai
macam nikmat kepadanya, baik yang lahir dan batin.
Tidak akan mungkin seorang hamba bisa beribadah
kepada-Nya dengan rasa cinta, mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap
siksaan-Nya tanpa dia mengenal kemahaindahan nama-nama-Nya dan kemahasempurnaan
sifat-sifat-Nya yang semua ini menunjukkan betapa Allâh maha agung dan maha
tinggi. Dia satu-satunya yang berhak dibadahi dan tidak ada sembahan yang benar
kecuali Dia Azza wa Jalla.[23]
Salah seorang Ulama salaf mengungkapkan makna ini dalam
ucapannya, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada
akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan
kenikmatan yang paling besar di dunia ini.” Lalu ada yang bertanya, “Apakah
kenikmatan yang paling besar di dunia ini ?” Ulama itu menjawab, “Cinta kepada
Allâh, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu
dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan
kepada-Nya.”[24]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun
XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
Ma’rifatullâh, Gerbang Utama Menuju Kesempurnaan Iman
Kepada Allâh Azza wa Jalla (2)
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
MA’RIFATULLAH YANG BENAR JALAN UTAMA UNTUK MERAIH
KESEMPURNAAN
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara
hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh Azza wa
Jalla )” [Fâthir/35:28]
Dalam hadits yang shahih Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa
kepada Allâh dan orang yang paling mengenal-Nya diantara kamu
sekalian."[25]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Arti (ayat di
atas), 'Hanyalah orang-orang yang berilmu dan mengenal Allâh-lah yang memiliki
rasa takut yang benar kepada Allâh. Karena semakin sempurna pemahaman dan
penegetahuan (seorang hamba) terhadap Allâh, Dzat yang maha mulia, maha kuasa
dan maha mengetahui, yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna dan nama-nama
yang maha indah, maka ketakutan (hamba tersebut) kepada-Nya semakin besar
pula.”[26]
Inilah jalan utama bahkan jalan pintas untuk
menyempurnakan keimanan dan penghambaan diri seorang mukmin kepada Allâh Azza
wa Jalla .
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan hal ini
dalam ucapan beliau, “Perjalanan menuju Allâh melalui jalur (memahami)
nama-nama dan sifat-sifat-Nya keadaannya (sungguh) sangat menakjubkan dan
(pintu hidayah) yang dibukakan (melalui jalur ini) sangat agung. Seorang hamba
(yang menempuh jalur ini) sungguh telah dibawakan kepadanya kebahagiaan sejati
(kesempurnaan iman) saat dia tidur terlentang di atas tempat tidurnya, tanpa
merasa lelah dan bersusah payah …”[27]
Ini bukan suatu yang mengherankan, terutama kalau kita
memahami bahwa semua kedudukan mulia dan agung dalam Islam tidak akan mungkin
dicapai kecuali dengan menyempurnakan pemahaman dan penghayatan kita terhadap
kandungan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla .
Karena masing-masing dari nama-nama dan sifat-sifat Allâh
Azza wa Jalla memiliki pengaruh yang kuat dalam menumbuhsuburkan keimanan dan
penghambaan diri kepada-Nya secara totalitas. Atau dengan kata lain,
penghambaan diri yang sempurna kepada Allâh Azza wa Jalla dalam semua bentuknya
kembali kepada pemahaman dan penghayatan makna yang terkandung dalam nama-nama
dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla[28] .
Sebagai contoh, sifat Murâqabatullah (selalu merasa dalam
pengawasan Allâh Azza wa Jalla ). Ini adalah sifat mulia dan kedudukan yang
sangat tinggi dalam Islam, bahkan termasuk tahapan utama dalam menempuh
perjalanan menuju ridha Allâh Azza wa Jalla.
Hakikat murâqabatullâh adalah seorang hamba selalu
merasakan dan meyakini pengawasan Allâh Azza wa Jalla terhadap (semua
keadaannya) lahir dan batin. Dia merasakan pengawasan-Nya ketika berhadapan
dengan perintah-Nya, untuk kemudian dia melaksanakannya dengan sebaik-baiknya,
dan ketika berhadapan dengan larangan-Nya, untuk kemudian dia berusaha keras
menjauhinya dan menghindarinya.[29]
Inilah yang diungkapkan oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai tingkatan tertinggi dalam Islam, yaitu kedudukan
al-Ihsan. Dalam hadits Jibril Alaihissallam yang terkenal, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
(al-Ihsan adalah) engkau beribadah kepada Allâh
seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau kamu tidak bisa melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu”[30]
Kedudukan tinggi ini hanya akan dicapai oleh seorang
hamba dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla , kemudian dengan pemahaman dan
penghayatan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla ,
khususnya yang berhubungan dengan pengawasan, persaksian, penglihatan,
pendengaran dan pengetahuan-Nya yang maha sempurna. Misalnya nama Allâh Azza wa
Jalla ar-Raqîb (Yang Maha Mengawasi), asy-Syahîd (Yang Maha Menyaksikan),
al-Bashîr (Yang Maha Melihat) dan al-‘Alîm (Yang Maha Mengetahui) [31] .
Syaikh Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah memaparkan
pembahasan penting ini dalam ucapan beliau, “Murâqabatullâh adalah termasuk
amalan hati yang paling tinggi (keutamaannya dalam Islam), yaitu menghambakan
diri kepada Allâh dengan (memahami dan mengamalkan makna yang terkandung dalam)
nama-Nya ar-Raqîb (Yang Maha Mengawasi) dan asy-Syahîd (Yang Maha Menyaksikan).
Maka ketika seorang hamba mengetahui atau meyakini bahwa semua gerakan
(aktifitas)nya, tidak ada (satupun) yang luput dari pengatahuan-Nya, dan dia (senantiasa)
menghadirkan keyakinan ini dalam semua keadaannya, ini (semua) akan
menjadikannya (selalu berusaha) menjaga batin (hati)nya dari (semua) pikiran
(buruk) dan angan-angan yang dibenci Allâh, serta menjaga lahir (anggota
badan)nya dari (semua) ucapan dan perbuatan yang dimurkai Allâh, serta dia akan
beribadah atau mendekatkan diri (kepada Allâh) dengan kedudukan al-ihsan, maka
dia akan beribadah kepada Allâh seakan-akan dia melihat-Nya, kalau dia tidak
bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Allâh melihatnya.”[32]
Demikian pula sifat Tawakkal (selalu bersandar dan
berserah diri) kepada Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah sifat yang agung dan
memiliki kedudukan sangat tinggi dalam Islam. Bahkan kesempurnaan iman dan
tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai kecuali dengan menyempurnakan
tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh berfirman :
رَّبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ
وَكِيلًا
(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib
(wilayah barat), tiada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia, maka
ambillah Dia sebagai pelindung [al-Muzzammil/73:9][33] .
Merealisasikan tawakkal dengan benar adalah sebab utama
yang mengundang pertolongan Allâh Azza wa Jalla bagi hamba-Nya. Allâh Azza wa
Jalla berfirman :
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan
memberikan baginya jalan ke luar (bagi semua urusannya). Dan memberinya rezki
dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal
kepada Allâh niscaya Allâh akan mencukupkan (segala keperluan)nya
[ath-Thalâq/65: 2-3]
Kedudukan yang mulia ini juga hanya akan dicapai dengan
taufik dari Allâh Azza wa Jalla kemudian dengan pemahaman dan penghayatan yang
benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , misalnya:
al-Hasîb (Yang Maha Memberi Kecukupan), al-Qawiyyu (Yang Maha Kuat), al-Matîn
(Yang Maha Kokoh), dan az-‘Azîz (Yang Maha Perkasa)[34] , juga kekhususan-Nya
dalam sifat-sifat rububiyah, seperti menciptakan, menghidupkan, mematikan,
memberi rezki, memberi manfaat dan mencegah keburukan.[35]
Kedudukan Mahabbatullah (mencintai Allâh Azza wa Jalla )
dan menjadikan-Nya lebih dicintai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Ini merupakan ciri utama orang yang merasakan manisnya iman dan
kesempurnaannya, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya
iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allâh dan rasul-Nya lebih dicintai
daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena
Allâh, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah
diselamatkan oleh Allâh sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api”[36]
.
Kedudukan tertinggi dalam Islam ini hanya akan diraih
dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla kemudian dengan pemahaman dan
penghayatan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla .
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
mengenal Allâh dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya maka
dia pasti akan mencintai-Nya”[37]
Juga kedudukan Ridha billahi rabban (ridha kepada Allâh
sebagai Rabb), yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya,
kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang
tidak diberikan-Nya.[38] Ini adalah kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam,
bahkan ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan
kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Akan merasakan kelezatan atau kemanisan iman (yaitu) orang yang ridha dengan
Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi)
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[39]
Kedudukan agung ini hanya akan dicapai dengan taufik dari
Allâh Subhanahu wa Ta’ala kemudian dengan pemahaman dan penghayatan yang benar
terhadap sifat-sifat rububiyah dan bahwa Dia-lah satu-satunya yang maha mampu
melakukan semua itu, seperti menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi
rezki, mengatur alam semesta, memberi manfaat dan mencegah keburukan.[40]
Demikianlah, maka semua sifat dan kedudukan tinggi dalam
Islam hanya akan diraih dengan sempurna melalui pemahaman dan penghayatan yang
mendalam terhadap keindahan nama-nama Allâh Azza wa Jalla dan kesempurnaan
sifat-sifat-Nya. Sehingga hamba yang paling sempurna dalam keimanan dan
penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dialah yang paling mengenal
kandungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Orang yang
paling sempurna dalam penghambaan diri (kepada Allâh Azza wa Jalla ) adalah
orang yang menghambakan diri (kepada-Nya) dengan (memahami kandungan) semua
nama dan sifat-Nya yang (bisa) diketahui oleh manusia.”[41]
CARA UNTUK MERAIH MA’RIFATULLAH YANG BENAR
Cara yang paling pertama dan utama adalah berdoa kepada
Allâh Azza wa Jalla , karena di tangan-Nyalah segala kebaikan dan hanya Dialah
yang mampu menganugerahkan semua sifat-sifat yang agung kepada hamba-Nya.
Oleh karena itu, imam Mutharrif bin 'Abdillah bin
asy-Syikhkhîr rahimahullah berkata, “Aku mengingat-ingat (merenung-red) apakah
yang bisa menghimpun segala kebaikan ? Karena kebaikan itu banyak ; puasa,
shalat (dan lain-lain). Semua kebaikan itu ada di tangan Allâh Azza wa Jalla,
maka jika kamu tidak mampu (memiliki) apa yang ada di tangan Allâh Azza wa
Jalla kecuali dengan memohon kepada-Nya agar Dia memberikan semua itu kepadamu,
berarti yang bisa menghimpun (semua) kebaikan adalah berdoa (kepada Allâh Azza
wa Jalla)”[42]
Kemudian berusaha memahami dan menghayati ayat-ayat
al-Qur'an yang mayoritas isinya tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa
Jalla , serta penjabaran dari semua itu.
Secara ringkas, syaikh 'Abdur Rahman as-Sa'di
rahimahullah memaparkan cara untuk meraih ilmu yang agung ini melalui
penghayatan terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur'an, yaitu dengan menghadirkan
makna yang terkandung dalam nama-nama Allâh yang maha indah dan berusaha
meresapinya ke dalam hati, agar hati dapat merasakan pengaruh baik dari
kandungan nama-nama tersebut dan dipenuhi dengan ilmu yang paling agung ini.
Sebagai contoh :
1. Nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang mengandung
sifat-sifat maha agung, maha besar, maha mulia dan maha tinggi. Kandungan
sifat-sifat ini akan mengisi hati manusia dengan rasa pengagungan dan pemuliaan
terhadap Allâh.
2. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha indah,
maha baik, maha penyayang dan maha dermawan. Kandungan sifat-sifat ini akan
memenuhi hati manusia dengan kecintaan, kerinduan, selalu memuji dan bersyukur
kepada-Nya.
3. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha mulia,
maha memiliki hikmah atau bijaksana, maha mengetahui dan maha kuasa atas segala
sesuatu. Kandungan sifat-sifat ini akan mengisi hati manusia dengan rasa
tunduk, tawaddhu' dan selalu mengakui kelemahan diri di hadapan-Nya.
4. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha
mengetahui segala sesuatu dengan terperinci, maha meliputi, maha mengawasi dan
maha menyaksikan. Kandungan sifat-sifat ini akan menghadirkan di hati manusia
perasaan selalu dalam pengawasan Allâh Azza wa Jalla dalam semua gerakan maupun
diamnya, selalu menjaga bisikan hatinya dari semua pikiran buruk dan keinginan
rusak.
5. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha kaya
dan maha lembut. Kandungan sifat-sifat ini akan mengisi hati manusia dengan
selalu merasa butuh, tergantung dan menghadapkan diri kepada-Nya dalam setiap
saat dan dalam semua keadaan.
Ilmu yang agung ini ketika meresap ke dalam hati dengan
sebab pemahaman (yang mendalam) terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza
wa Jalla kemudian penghambaan diri kepada-Nya dengan kandungan nama-nama dan
sifat-sifat tersebut, maka itu menjadi perkara yang paling agung dan mulia bagi
seorang hamba di dunia. Bahkan inilah anugerah terbesar yang Allâh Azza wa
Jalla limpahkan kepada hamba-Nya dan inilah inti serta ruh dari tauhid.
Barangsiapa yang telah dibukakan baginya pintu yang agung ini maka sungguh ia
telah dibukakan pintu (menuju) tauhid yang murni dan iman yang sempurna.”[44]
PENUTUP
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi
motivasi bagi kita untuk berusaha meraih kedudukan yang paling agung dalam
Islam ini dengan taufik dan hidayah-Nya.
Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan doa dari
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Ya Allâh, aku meminta kepada-Mu kenikmatan memandang
wajah-Mu (di akhirat nanti), dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu
dengan-Mu (sewaktu di dunia), tanpa adanya bahaya yang mencelakakan dan fitnah
yang menyesatkan.[45]
(Ya Allâh) aku memohon kepada-Mu kecintaan kepada-Mu,
kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu dan kecintaan kepada (semua)
amal perbuatan yang mendekatkan diriku kepada kecintaan kepada-mu [46] .
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
No comments:
Post a Comment