!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Friday, April 24, 2015

Sebut sebagai 'Jihad Konstitusi,' Muhammadiyah Gugat 3 UU Investasi

Sebut sebagai 'Jihad Konstitusi,' Muhammadiyah Gugat 3 UU Investasi

Seorang pegawai PT Pertamina bekerja di sumur minyak mintah di pulau Bunyu, Kalimantan Timur (foto: dok). Uji materi terbaru terhadap 3 UU yang diajukan Muhammadiyah oleh Mahkamah Konstitusi membuat khawatir investor asing di sektor migas.
Seorang pegawai PT Pertamina bekerja di sumur minyak mintah di pulau Bunyu, Kalimantan Timur (foto: dok). Uji materi terbaru terhadap 3 UU yang diajukan Muhammadiyah oleh Mahkamah Konstitusi membuat khawatir investor asing di sektor migas.

JAKARTA—
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggugat tiga jenis perundang-undangan, sembari mengumandangkan apa yang mereka sebut sebagai "jihad konstitusional"  yang dapat menjadi pukulan bagi investor asing di sektor minyak bumi dan gas.

Muhammadiyah juga telah mendaftar 115 perundang-undangan yang diyakini melanggar Pasal 33 UUD 1945 bahwa sumber daya alam Indonesia harus dikontrol oleh negara bagi kepentingan warga negara Indonesia.

"Kami tidak akan berhenti selama masih ada hukum yang bertentangan dengan UUD. Ini adalah jihad konstitusi kami," ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin kepada Reuters.

Tiga UU yang diajukan Muhammadiyah pekan ini kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji materi adalah UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Jika dikabulkan MK, dasar hukum bagi penukaran valuta asing terhadap rupiah akan hilang, yang berarti hilang pula jaminan bagi investor asing bahwa mereka akan diperlakukan sama dengan investor dalam negeri. Selain itu, hak-hak pihak swasta untuk mengoperasikan pembangkit-pembangkit tenaga listrik akan tidak lagi dijamin oleh UU.

"Jihad konstitusi" kelompok ini sudah berhasil membatalkan dua UU. Pada tahun 2012, Muhammadiyah berhasil membatasi ruang gerak pemerintah untuk mengontrak perusahaan swasta di sektor migas.

Dua bulan lalu, uji materi yang diajukan Muhammadiyah menarik kembali UU yang mengatur penggunaan air. Dihapusnya UU tersebut berarti hilangnya izin pengelolaan air bagi swasta, menyebabkan ketidakpastian bagi berbagai jenis bisnis mulai dari tekstil hingga pembotolan minuman.

"Ketidakpastian dan kebingungan"

Arif Budimanta, staf khusus bagi menteri keuangan, mengatakan kepada Reuters bahwa pemerintah, yang membutuhkan banyak modal asing untuk merealisasikan target-target infrastruktur, akan menyiapkan tim penasehat hukum khusus untuk menyikapi uji materi yang diajukan Muhammadiyah.

Tapi investor asing tetap was-was.

Tidak mustahil bagi MK untuk mengabulkan gugatan dari Muhammadiyah, menurut  Arian Ardie, seorang risk consultant AS-Indonesia yang mengkhususkan diri pada bisnis udang dan pembangkit tenaga listrik.

"Ada perubahan mendasar dalam undang-undang yang mengatur
perdagangan di Indonesia," tambahnya. Ardie mengatakan perubahan tersebut membuatnya khawatir akan masa depan penanaman modal asing di Indonesia.

Jakob Sorensen, kepala Kamar Dagang Eropa di Jakarta, mengatakan pemerintah perlu turun tangan dan menyakinkan investor asing. "Kami tidak melihat kejelasan di sini. Kami butuh arahan kebijakan yang jelas," katanya.

Para pakar hukum mengatakan keputusan MK dapat mendorong pengadilan-pengadilan lain untuk mendukung upaya-upaya individu bagi pembatalan kontrak-kontrak pribadi.

Pengadilan negeri Jakarta memutuskan bulan lalu untuk membatalkan berbagai kontrak perusahaan swasta termasuk sebuah unit Suez Environnement dari Perancis, untuk penyediaan air di Jakarta.

Perusahaan-perusahaan tersebut, yang kontraknya tetap berlaku selama proses banding, pada awalnya tidak terpengaruh oleh keputusan MK terhadap UU perairan karena mereka menyediakan air bagi keperluan publik.

Analis politik Kevin O'Rourke mengatakan pengadilan telah secara tidak menentu memutuskan beberapa kasus dalam beberapa tahun terakhir, dan menunjukkan "kurangnya penghargaan bagi fundamental ekonomi, serta kecenderungan untuk berpihak pada interpretasi kaku terhadap konstitusi."

Menurutnya, bila UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar dibatalkan, itu tidak otomatis menjadikan mata uang tidak dapat dikonversikan, mengacu pada UU yang ada sebelumnya, tapi DPR akan harus meloloskan UU baru yang mempertimbangkan pandangan pengadilan mengenai kebebasan dan pengendalian valuta asing.


"Sementara ini, ketidakpastian dan kebingungan mengenai status hukum, dan mengenai pertukaran mata uang, akan membebani sentimen investor dan menekan pasar," menurut O'Rourke dalam catatan risetnya. VOA

No comments:

Post a Comment