Sebut sebagai 'Jihad Konstitusi,' Muhammadiyah Gugat 3 UU
Investasi
Seorang pegawai PT Pertamina bekerja di sumur minyak
mintah di pulau Bunyu, Kalimantan Timur (foto: dok). Uji materi terbaru
terhadap 3 UU yang diajukan Muhammadiyah oleh Mahkamah Konstitusi membuat
khawatir investor asing di sektor migas.
Seorang pegawai PT Pertamina bekerja di sumur minyak
mintah di pulau Bunyu, Kalimantan Timur (foto: dok). Uji materi terbaru
terhadap 3 UU yang diajukan Muhammadiyah oleh Mahkamah Konstitusi membuat
khawatir investor asing di sektor migas.
JAKARTA—
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggugat tiga jenis
perundang-undangan, sembari mengumandangkan apa yang mereka sebut sebagai
"jihad konstitusional" yang
dapat menjadi pukulan bagi investor asing di sektor minyak bumi dan gas.
Muhammadiyah juga telah mendaftar 115 perundang-undangan
yang diyakini melanggar Pasal 33 UUD 1945 bahwa sumber daya alam Indonesia
harus dikontrol oleh negara bagi kepentingan warga negara Indonesia.
"Kami tidak akan berhenti selama masih ada hukum
yang bertentangan dengan UUD. Ini adalah jihad konstitusi kami," ujar
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin kepada Reuters.
Tiga UU yang diajukan Muhammadiyah pekan ini kepada
Mahkamah Konstitusi untuk uji materi adalah UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan.
Jika dikabulkan MK, dasar hukum bagi penukaran valuta
asing terhadap rupiah akan hilang, yang berarti hilang pula jaminan bagi
investor asing bahwa mereka akan diperlakukan sama dengan investor dalam
negeri. Selain itu, hak-hak pihak swasta untuk mengoperasikan
pembangkit-pembangkit tenaga listrik akan tidak lagi dijamin oleh UU.
"Jihad konstitusi" kelompok ini sudah berhasil
membatalkan dua UU. Pada tahun 2012, Muhammadiyah berhasil membatasi ruang
gerak pemerintah untuk mengontrak perusahaan swasta di sektor migas.
Dua bulan lalu, uji materi yang diajukan Muhammadiyah
menarik kembali UU yang mengatur penggunaan air. Dihapusnya UU tersebut berarti
hilangnya izin pengelolaan air bagi swasta, menyebabkan ketidakpastian bagi
berbagai jenis bisnis mulai dari tekstil hingga pembotolan minuman.
"Ketidakpastian dan kebingungan"
Arif Budimanta, staf khusus bagi menteri keuangan,
mengatakan kepada Reuters bahwa pemerintah, yang membutuhkan banyak modal asing
untuk merealisasikan target-target infrastruktur, akan menyiapkan tim penasehat
hukum khusus untuk menyikapi uji materi yang diajukan Muhammadiyah.
Tapi investor asing tetap was-was.
Tidak mustahil bagi MK untuk mengabulkan gugatan dari
Muhammadiyah, menurut Arian Ardie,
seorang risk consultant AS-Indonesia yang mengkhususkan diri pada bisnis udang
dan pembangkit tenaga listrik.
"Ada perubahan mendasar dalam undang-undang yang
mengatur
perdagangan di Indonesia," tambahnya. Ardie
mengatakan perubahan tersebut membuatnya khawatir akan masa depan penanaman
modal asing di Indonesia.
Jakob Sorensen, kepala Kamar Dagang Eropa di Jakarta,
mengatakan pemerintah perlu turun tangan dan menyakinkan investor asing.
"Kami tidak melihat kejelasan di sini. Kami butuh arahan kebijakan yang
jelas," katanya.
Para pakar hukum mengatakan keputusan MK dapat mendorong
pengadilan-pengadilan lain untuk mendukung upaya-upaya individu bagi pembatalan
kontrak-kontrak pribadi.
Pengadilan negeri Jakarta memutuskan bulan lalu untuk
membatalkan berbagai kontrak perusahaan swasta termasuk sebuah unit Suez
Environnement dari Perancis, untuk penyediaan air di Jakarta.
Perusahaan-perusahaan tersebut, yang kontraknya tetap
berlaku selama proses banding, pada awalnya tidak terpengaruh oleh keputusan MK
terhadap UU perairan karena mereka menyediakan air bagi keperluan publik.
Analis politik Kevin O'Rourke mengatakan pengadilan telah
secara tidak menentu memutuskan beberapa kasus dalam beberapa tahun terakhir,
dan menunjukkan "kurangnya penghargaan bagi fundamental ekonomi, serta
kecenderungan untuk berpihak pada interpretasi kaku terhadap konstitusi."
Menurutnya, bila UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Sistem
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar dibatalkan, itu tidak otomatis
menjadikan mata uang tidak dapat dikonversikan, mengacu pada UU yang ada
sebelumnya, tapi DPR akan harus meloloskan UU baru yang mempertimbangkan pandangan
pengadilan mengenai kebebasan dan pengendalian valuta asing.
"Sementara ini, ketidakpastian dan kebingungan
mengenai status hukum, dan mengenai pertukaran mata uang, akan membebani
sentimen investor dan menekan pasar," menurut O'Rourke dalam catatan
risetnya. VOA
No comments:
Post a Comment