Perjalanan yang belum selesai (251)
(Bagian ke dua ratus lima puluh satu , Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 30 Maret 2015, 07.48 WIB)
Siapa saja orang yang beruntung ?
Menurut seorang ustad dalam tauziah mutiara nasehat di Radio
rodja ada tiga kategori untuk melihat siapa saja diantara manusia yang
beruntung baik di dunia maupun akherat,
Kategori pertama mereka yang beruntung adalah ketika dia
mendapatkan kebahagiaan berupa rezeki, maka dia bersyukur pada Allah.
Kedua, ketika dia tertimpa musibah, seperti kemiskinan, sakit dan
musibah lainya dia bersabar, dan ketika ditinggal anggota keluarga yang
meninggal dia mengucapkan Innalilahi Wainnalilahi Rojiun (semua itu datang dari
Allah dan akan kembali juga kepadanya).
Ketiga, ketika dia berbuat maksiat (dosa) segera bertaubat pada
Allah.
Maka dari itu dari ketiga kategori inilah bisa disebut masuk
kategori orang beruntung,
Untuk kategori pertama, di Al Quran Allah member contoh kisah
Nabi Sulaiman sebagai orang yang bersyukur. Nabi Sulaiman diberi kerajaan yang luas
dan kaya raya dan berkuasa atas sejumlah penduduk yang luas, dan dia juga
diberi kekayaan melimpah, namun tak henti-hentinya dia bersyukur atas karunia
Allah.
Contoh kategori kedua, adalah kisah nabi Ayyub, yang menderita
penyakit korengan parah sampai berulat, sampai ditinggalkan anak dan istri
tetapi dia tetap bersabar dan terus berdoa bertahun-tahun sampai akhirnya Allah
menyembuhkan penyakitnya yang akhirnya setelah sembuh, istri dan anaknya
kembali lagi padanya.
Kategori ketiga, banyak hadist menjelaskan banyak diantara
sahabat Nabi yang sebelum datangnya islam banyak bermaksiat, membunuh, minum
arak, membunuh anak perempuan, namun setelah datangnya Islam mereka segera
bertaubat.
Seperti kata Allah dalam Al Quran dan Hadist setiap anak adam,
termasuk Nabi Adam sendiri pernah berbuat dosa.
Nabi Adam dan Hawa ketika baru diciptakan bermaksiat kepada
Allah, karena menuruti bujukan dan rayuan Iblis untuk memakan buah Kuldi,
padahal telah dilarang Allah.
Namun ketika Adam mendapat hukuman dipindahkan dari surge ke
bumi, Nabi Adam segera bertaubat kepada Allah.
Intinya jangan sampai kita mati dalam keadaan belum bertaubat
kepada Allah. Atau kita mati dalam keadaan bermaksiat pada Allah.
Itulah agar kehidupan kita berakhir dengan keberuntungan, kita
mulai sekarang segera bertaubat, dan mulai konsisten menjalankan syariat Islam
dan rukun iman, setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, kita sholat lima
waktu tepat pada waktunya, berpuasa pada bulan Ramadhan, membayar zakat, dan
naik haji bila mampu.
Banyak membaca Al Quran atau berzikir pagi dan petang usai
sholat, dan beramal lainnya, agar kita meninggal dalam keadaan khusnul khotimah
(dalam keadaan dosa telah diampuni Allah)
Islam Satu-Satunya Agama Yang Benar
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Setiap Muslim yakin sepenuhnya bahwa karunia
Allâh Azza wa Jalla yang terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang
Muslim wajib bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat-Nya yang telah
memberikan hidayah Islam. Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa nikmat Islam
adalah karunia yang terbesar, sebagaimana firman-Nya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai
Islam sebagai agamamu...” [al-Mâidah/5:3]
Sebagai bukti syukur seorang Muslim atas
nikmat ini adalah dengan menjadikan dirinya sebagai seorang Muslim yang ridha
Allâh sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Rasûlullâh Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya. Seorang Muslim harus menerima
dan meyakini agama Islam dengan sepenuh hati. Artinya ia dengan penuh kesadaran
dan keyakinan menerima apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mengamalkan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika seseorang ingin menjadi Muslim sejati,
pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang setia, maka ia harus
meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang haq (benar). Ia harus belajar
agama Islam dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan Islam dengan ikhlas karena
Allâh Azza wa Jalla dengan mengikuti contoh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam .
Kondisi sebagian umat Islam yang kita lihat
sekarang ini sangat menyedihkan. Mereka mengaku Islam, KTP (Kartu Tanda
Penduduk) mereka Islam, mereka semua mengaku sebagai Muslim, tetapi ironinya
mereka tidak mengetahui tentang Islam, tidak berusaha untuk mengamalkan Islam.
Bahkan ada sebagian ritual keagamaan yang mereka amalkan hanya ikut-ikutan
saja. Penilaian baik dan tidaknya seseorang sebagai Muslim bukan dengan
pengakuan dan KTP, tetapi berdasarkan ilmu dan amal. Allâh Azza wa Jalla tidak
memberikan penilaian berdasarkan keaslian KTP yang dikeluarkan pemerintah, juga
tidak kepada rupa dan bentuk tubuh, tetapi Allâh melihat kepada hati dan amal.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia
berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَـى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ،
وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَـى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allâh tidak memandang kepada
rupa kalian, tidak juga kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada
hati dan amal kalian.[1]
Seorang Muslim wajib belajar tentang Islam
yang berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah Nabi n yang shahih sesuai dengan
pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum . al-Qur'ân diturunkan oleh Allâh
Azza wa Jalla agar dibaca, dipahami isinya dan diamalkan petunjuknya. al-Qur'ân
dan as-Sunnah merupakan pedoman hidup abadi dan terpelihara, yang harus
dipelajari dan diamalkan. Seorang Muslim tidak akan sesat selama mereka
berpegang kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat
Radhiyallahu anhum .
al-Qur'ân adalah petunjuk hidup, penawar,
rahmat, penyembuh, dan sumber kebahagiaan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman
:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ
مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
﴿٥٧﴾ قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ
مِمَّا يَجْمَعُونَ
Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu
pelajaran (al-Qur'ân) dari Rabb-mu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam
dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. Katakanlah (wahai
Muhammad), ‘Dengan karunia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.’ [ Yunus/10:57-58]
ISLAM ADALAH SATU-SATUNYA AGAMA YANG BENAR
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama di sisi Allâh ialah Islam…
[Ali ‘Imrân/3:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ
يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang
rugi. [Ali ‘Imrân/3:85]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ
حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ
اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ
مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
ridha kepada kamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah,
‘Sesungguhnya petunjuk Allâh itulah petunjuk (yang sebenarnya).’ Dan jika
engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu,
maka tidak akan ada bagimu Pelindung dan Penolong dari Allâh.
[al-Baqarah/2:120]
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Islam
satu-satunya agama yang benar, adapun selain Islam tidak benar dan tidak
diterima oleh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, agama selain
Islam, tidak akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla , karena agama-agama
tersebut telah mengalami penyimpangan yang fatal dan telah dicampuri dengan
tangan-tangan kotor manusia. Setelah diutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , maka orang Yahudi, Nasrani dan yang lainnya wajib masuk ke dalam
Islam, mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kemudian ayat-ayat di atas juga menjelaskan
bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak senang kepada Islam serta mereka tidak
ridha sampai umat Islam mengikuti mereka. Mereka berusaha untuk menyesatkan
umat Islam dan memurtadkan umat Islam dengan berbagai cara. Saat ini gencar
sekali dihembuskan propaganda penyatuan agama, yang menyatakan konsep satu
Tuhan tiga agama. Hal ini tidak bisa diterima, baik secara nash (dalil
al-Qur'ân dan as-Sunnah) maupun akal. Ini hanyalah angan-angan semu belaka.
Kesesatan ini telah dibantah oleh Allâh Azza
wa Jalla dalam al-Qur'ân :
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ
كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ﴿١١١﴾بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata,
‘Tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.’ Itu (hanya)
angan-angan mereka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah
orang-orang yang benar. Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Allâh, dan ia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada
rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.’ [al-Baqarah/2:111-112]
Orang Yahudi dan Nasrani mengadakan propaganda
berupa tipuan agar kaum Muslimin keluar dari ke-Islamannya dan mengikuti
mereka. Bahkan mereka memberikan iming-iming bahwa dengan mengikuti agama
mereka, maka orang Islam akan mendapat petunjuk. Padahal, Allâh Azza wa Jalla
telah memerintahkan kita untuk mengikuti agama Ibrahim q yang lurus, agama
tauhid yang terpelihara. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا
ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Dan mereka berkata, ‘Jadilah kamu (penganut)
Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.’ Katakanlah, ‘(Tidak!)
tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan dia tidak termasuk orang
yang mempersekutukan Allâh. [al-Baqarah/2:135]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا
الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran
dengan kebathilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu
mengetahuinya. [al-Baqarah/2:42]
Berkenaan dengan tafsir ayat ini, “Dan
janganlah kalian campuradukkan yang haq dengan yang bathil,” Imam Ibnu Jarîr t
membawakan pernyataan Imam Mujâhid rahimahullah yang mengatakan, “Janganlah
kalian mencampuradukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam.”
Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir,
Imam Qatâdah rahimahullah berkata, “Janganlah kalian campur-adukkan agama
Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam, karena sesungguhnya agama yang diridhai
di sisi Allâh Azza wa Jalla hanyalah Islam. Sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah
bid’ah bukan dari Allâh Azza wa Jalla !”
Sungguh, tafsir ini merupakan khazanah fiqih
yang sangat agung dalam memahami Al-Qur-an.
Untuk itulah kewajiban kita bersikap
hati-hati terhadap propaganda-propaganda sesat, yang menyatakan bahwa, ‘Semua
agama adalah baik’, ‘kebersamaan antar agama’, ‘satu tuhan tiga agama’,
‘persaudaraan antar agama’, ‘persatuan agama’, ‘perhimpunan agama samawi’,
‘Jaringan Islam Liberal (JIL)’, dan lainnya. Bahkan mereka gunakan juga istilah
HAM (Hak Asasi Manusia) untuk menyesatkan kaum Muslimin dengan kebebasan
beragama.
Semua slogan dan propaganda tersebut
bertujuan untuk menyesatkan umat Islam, dengan memberikan simpati atas agama
Nasrani dan Yahudi, mendangkalkan pengetahuan umat Islam tentang Islam yang haq,
untuk menghapus jihad, untuk menghilangkan ‘aqidah al-wala' wal bara’
(cinta/loyal kepada kaum Mukminin dan berlepas diri dari selainnya), dan
mengembangkan pemikiran anti agama Islam. Dari semua sisi hal ini sangat
merugikan Islam dan umatnya.
Semua propaganda sesat tersebut merusak
‘aqidah Islam. Sedangkan ‘aqidah merupakan hal yang paling pokok dan asas dalam
agama Islam ini, karena agama yang mengajarkan prinsip ibadah yang benar kepada
Allâh Azza wa Jalla saja, hanyalah agama Islam.
Rasûlullâh, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , adalah Rasul terakhir dan Rasul penutup. Syari’at beliau n adalah
penghapus bagi syari’at sebelumnya. Dan Allâh Azza wa Jalla tidak menerima
syari’at lain dari seorang hamba selain syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam (Islam). Islam adalah syari’at penutup yang kekal dan terpelihara
dari penyimpangan yang terjadi pada syari’at-syari’at sebelumnya, dan seluruh
manusia diwajibkan untuk mengemban syari’at ini.
Setiap Muslim wajib berpegang teguh kepada
agama Islam, dan janganlah ia mati melainkan dalam keadaan Islam. Allâh Azza wa
Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allâh sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali ‘Imrân/3:102]
Maka siapa saja yang tidak masuk Islam
sesudah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mati dalam
keadaan kafir maka ia menjadi penghuni Neraka. Wal ‘iyâdzubillâh.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُـحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ
بِـي أَحَدٌ مِنْ هـٰذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِـيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ
وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Rabb yang diri Muhammad berada di
tangan-Nya, tidaklah seorang dari umat Yahudi dan Nasrani yang mendengar
diutusnya aku (Muhammad), lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa
yang aku diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni Neraka.[3]
AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN
SYIRIK
Setiap orang yang beragama Islam wajib
mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Dan
seorang Muslim juga mesti memahami pengertian tauhid, makna syahadat, rukun
syahadat dan syarat-syaratnya, supaya ia benar-benar bertauhid kepada Allâh
Azza wa Jalla .
Tauhid menurut etimologi (bahasa) diambil
dari kata: وَحَّدَ، يُوَحِّدُ، تَوْحِيْدًا artinya menjadikan sesuatu itu satu.
Sedangkan menurut terminologi (istilah ilmu
syar’i), tauhid berarti mengesakan Allâh Azza wa Jalla pada segala sesuatu yang
khusus bagi-Nya. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dalam ketiga macam tauhid,
yaitu Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah, maupun Asma' dan Sifat-Nya. Dengan
kata lain, Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja.
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala
apa yang dikerjakan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala, baik mencipta, memberi
rizki, menghidupkan dan mematikan. Allâh Azza wa Jalla adalah Raja, Penguasa
dan Rabb yang mengatur segala sesuatu.
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allâh
Allâh Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu
mereka bisa mendekatkan diri kepada Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala apabila hal
itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap),
mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’ânah (minta
pertolongan), istighâtsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’âdzah
(meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan
Allâh Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Semua
ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya untuk Allâh semata dan ikhlas
karena-Nya. Dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allâh.
Tauhid Asma’ wa Shifat artinya menetapkan
Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang Allâh Allâh
Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan atas diri-Nya dan yang telah ditetapkan oleh
Rasul-Nya n , serta mensucikan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh
Subhanahu wa Ta’ala dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut
telah disucikan oleh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n . Dan kaum
Muslimin wajib menetapkan Sifat-Sifat Allâh Azza wa Jalla , baik yang terdapat
di dalam al-Qur'ân maupun dalam as-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil. Allâh
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا
هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
Dan Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa;
Tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
[al-Baqarah/2:163]
Syaikh al-‘Allâmah ‘Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di
rahimahullah (wafat th. 1376 H) berkata, “Allâh Azza wa Jalla itu tunggal dalam
Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Tidak
ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, dan Sifat-Sifat-Nya.
Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara
dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam
semesta ini kecuali hanya Allâh Azza wa Jalla . Apabila demikian, maka Dia
adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allâh tidak boleh
disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.”[3]
Inilah inti ajaran Islam, yaitu mentauhidkan
Allâh Azza wa Jalla . Seorang Muslim wajib mentauhidkan Allâh Allâh Subhanahu
wa Ta’ala dan melaksanakan konsekuensi dari kalimat syahadat لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
sebagai wujud rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa yang
bertauhid kepada Allâh dan tidak berbuat syirik kepada-Nya, maka baginya Surga
dan diharamkan masuk Neraka.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ
إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْـجَنَّةَ
Barangsiapa yang meninggal dunia dalam
keadaan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
selain Allâh, maka ia masuk Surga. [5]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا
اللهُ وَأَنَّ مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ
اللهُ عَلَى النَّارِ
Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada
ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh dan bahwa
Muhammad adalah Rasul Allâh, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allâh
mengharamkannya masuk Neraka[6]
Sebaliknya, orang-orang yang berbuat syirik
kepada Allâh Azza wa Jalla , maka diharamkan Surga bagi mereka dan tempat
mereka adalah di Neraka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allâh, maka sungguh Allâh mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya
ialah Neraka dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong
pun.” [al-Mâidah/5:72]
ISLAM ADALAH AGAMA YANG MUDAH
Islam adalah agama yang mudah dan sesuai
dengan fitrah manusia.[7] Islam adalah agama yang tidak sulit. Allâh Azza wa Jalla
menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan
kepada mereka. Sebagaimana firman Allâh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ
“...Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu...” [al-Baqarah/2:185]
Juga firman-Nya :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“... Dan Dia tidak menjadikan kesukaran
untukmu dalam agama ...” [Al-Hajj/22: 78]
Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan
fithrah manusia, baik dalam hal ‘aqidah, syari’at, ibadah, muamalah dan
lainnya. Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan manusia, tidak akan memberikan
beban kepada hamba-hamba-Nya apa yang mereka tidak sanggup lakukan, Allâh Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allâh tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya... [Al-Baqarah/2: 286]
Tidak ada hal apa pun yang sulit dalam Islam.
Allâh Azza wa Jalla tidak akan membebankan sesuatu yang manusia tidak mampu
melaksanakannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ
أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا
بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْـجَةِ
Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah.
Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan
terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu,
berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena
memperoleh pahala) serta mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan ibadah pada
waktu pagi, petang dan sebagian malam.[8]
Hanya saja ada sebagian orang yang menganggap
Islam itu berat, keras, dan sulit. Anggapan keliru ini muncul karena :
1. Ketidaktahuan tentang Islam. Mereka tidak
belajar al-Qur'ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Shahabat, dan
tidak mau menuntut ilmu syar’i.
2. Mengikuti hawa nafsu. Orang yang mengikuti
hawa nafsu menggap semuanya susah dan berat kecuali yang sesuai dengan hawa
nafsunya. Jadi yang mudah dalam pandangan mereka hanyalah yang sesuai dengan
nafsu mereka saja.
3. Banyak berbuat dosa dan maksiat, sebab
dosa dan maksiat menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan dan selalu merasa
berat untuk melakukannya.
4. Mengikuti agama nenek moyang dan mengikuti
pendapat orang banyak.
5. Mengikuti adat istiadat dan kebudayaan.
6. Mengikuti kelompok, madzhab, dan lainnya.
Syari’at Islam adalah mudah. Kemudahan
syari’at Islam berlaku dalam semua hal, baik dalam ushûl (hal-hal pokok dan
mendasar) maupun furu’ (cabang), baik dalam ‘aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah,
jual beli, pinjam-meminjam, pernikahan, hukuman dan lainnya.
Semua perintah dalam Islam mengandung banyak
manfaat. Sebaliknya, semua yang dilarang dalam Islam mengandung banyak
kemudharatan. Maka, kewajiban atas kita untuk sungguh-sungguh memegang teguh
syari’at Islam dan mengamalkannya. Apabila kita mengikuti al-Qur'ân dan
as-Sunnah dan mengamalkannya maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan hidayah
(petunjuk) dan kita dimudahkan dalam melaksanakan agama Islam ini.
ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh
ditambah dan dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’. Allâh Azza wa
Jalla berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai
Islam sebagai agamamu...” [al-Mâidah/5:3]
Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam
al-Qur'ân tentang ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) dan furu’ (cabang-cabang)
agama Islam. Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala
macam-macamnya. Islam menjelaskan tentang beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla
dengan benar, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , menjauhkan syirik, bagaimana
shalat yang benar, zakat, puasa, haji, bagaimana melaksanakan hari raya,
bergaul dengan manusia dengan batas-batasnya sampai tentang cara buang air
besar pun diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ سَلْمَانَ z قَـالَ: قَـالَ لَنَـا الْمُشْـرِكُوْنَ:
قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْـخِرَاءَةَ ! فَقَالَ: أَجَلْ
!
Dari Salmân Radhiyallahu anhu, beliau berkata,
“Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian
sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air
besar!’ Maka, Salman Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Ya!’”[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menjelaskan kepada manusia apa saja yang membawa manusia ke Surga dan apa
saja yang membawa manusia ke Neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
عَنْ أَبِـى ذَرٍّ z قَالَ: تَرَكَنَا رَسُوْلُ
اللهِ j وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِـي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يَذْكُرُنَا
مِنْهُ عِلْمًا. قَالَ: فَقَالَ j: مَا بَقِـيَ شَـيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْـجَنَّةِ
وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.
Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu ,
ia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi
meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang
membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr
Radhiyallahu anhu , “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari
Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian.’” [10]
Setiap Muslim wajib mengembalikan apa yang
mereka perselisihkan kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah. Allah Azza wa Jalla
berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allâh
dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh
(al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh
dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. [an-Nisâ’/4:59]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ
فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
[an-Nisâ’/4:65]
Wallaahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
08/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
Golongan Yang Selamat Hanya Satu
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ
الله تَعَالَى
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(( اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ
عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي
النَّارِ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى
وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ
فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ )) قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ،
مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: ( اَلْجَمَاعَةُ ).
Dari Sahabat ‘Auf bin Mâlik Radhiyallahu
‘anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ummat
Yahudi berpecah-belah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, maka hanya satu
golongan yang masuk surga dan 70 (tujuh puluh) golongan masuk neraka. Ummat
Nasrani berpecah-belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan 71 (tujuh
puluh satu) golongan masuk neraka dan hanya satu golongan yang masuk surga. Dan
demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh akan berpecah-belah
ummatku menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, hanya satu (golongan) masuk
surga dan 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk neraka.’ Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya, ‘Wahai Rasûlullâh, 'Siapakah mereka (satu golongan
yang selamat) itu ?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‘al-Jamâ’ah.’”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Ibnu Mâjah dan lafazh ini miliknya, dalam
Kitâbul Fitan, Bâb Iftirâqul Umam (no. 3992).
2. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitâbus Sunnah (no.
63).
3. al-Lalika-i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd
Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (no. 149).
Hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 1492).
Dalam riwayat lain disebutkan tentang
golongan yang selamat yaitu orang yang mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para shahabatnya Radhiyallahu anhum. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
...كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً:
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.
“...Semua golongan tersebut tempatnya di
neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di
atasnya.”[1]
SYARAH HADITS
Islam yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan
kepada kita, yang harus kita pelajari, fahami, dan amalkan adalah Islam yang
bersumber dari al-Qur'ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para
Sahabat (Salafush Shalih). Pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum yang
merupakan aplikasi (penerapan langsung) dari apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya pemahaman yang benar. Aqidah
serta manhaj mereka adalah satu-satunya yang benar. Sesungguhnya jalan
kebenaran menuju kepada Allâh hanya satu, sebagaimana sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas.
Satu golongan dari ummat Yahudi yang masuk
Surga adalah mereka yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kepada Nabi
Musa Alaihissallam serta mati dalam keadaan beriman. Dan begitu juga satu
golongan Nasrani yang masuk surga adalah mereka yang beriman kepada Allâh dan
kepada Nabi ‘Isa Alaihissallam sebagai Nabi, Rasul dan hamba Allâh serta mati
dalam keadaan beriman.[2] Adapun setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam , maka semua ummat Yahudi dan Nasrani wajib masuk Islam,
yaitu agama yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
penutup para Nabi. Prinsip ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ
بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ
وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.
Demi (Rabb) yang diri Muhammad ada di
tangan-Nya, tidaklah seorang dari ummat Yahudi dan Nasrani yang mendengar
tentangku (Muhammad), kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman terhadap
ajaran yang aku bawa, niscaya ia termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim (no.
153), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
‘Abdullah bin Mas‘ûd Radhiyallahu ‘anhu
berkata :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًـا، وَخَطَّ
خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَـالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ ]مُتَفَـِرّقَةٌ[
لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ
قَوْلَهُ تَعَالَـى: وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allâh yang lurus.’
Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini
adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satupun dari jalan-jalan ini
kecuali disana ada setan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa Jalla , “Dan
sungguh, inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti
jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.
Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” [al-An’âm/6:153]
[3]
Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan ayat dalam surat al-An’âm bahwa jalan menuju
Allâh Azza wa Jalla hanya satu, sedangkan jalan-jalan menuju kesesatan banyak
sekali. Jadi wajib bagi kita mengikuti shiratal mustaqim dan tidak boleh
mengikuti jalan, aliran, golongan, dan pemahaman-pemahaman yang sesat, karena
dalam semua itu ada setan yang mengajak kepada kesesatan.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat tahun
751 H) berkata, “Hal ini disebabkan karena jalan menuju Allâh Subhanahu wa
Ta’ala hanya satu. Jalan itu adalah ajaran yang telah Allâh Azza wa Jalla
wahyukan kepada para rasul -Nya dan Kitab-kitab yang telah diturunkan kepada mereka.
Tidak ada seorang pun yang bisa sampai kepada-Nya tanpa melalui jalan tersebut.
Sekiranya ummat manusia mencoba seluruh jalan yang ada dan berusaha mengetuk
seluruh pintu yang ada, maka seluruh jalan itu tertutup dan seluruh pintu itu
terkunci kecuali dari jalan yang satu itu. Jalan itulah yang berhubungan
langsung kepada Allâh dan menyampaikan mereka kepada-Nya.”[4]
Akan tetapi, faktor yang membuat
kelompok-kelompok dalam Islam itu menyimpang dari jalan yang lurus adalah
kelalaian mereka terhadap rukun ketiga yang sebenarnya telah diisyaratkan dalam
al-Qur'ân dan as-Sunnah, yakni memahami al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut
pemahaman assalafush shalih. Surat al-Fâtihah secara gamblang telah menjelaskan
ketiga rukun tersebut, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
[al-Fâtihah/1:6]
Ayat ini mencakup rukun pertama (al-Qur'ân)
dan rukun kedua (as-Sunnah), yakni merujuk kepada al-Qur'ân dan As-Sunnah,
sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat.” [al-Fâtihah/1:7]
Ayat ini mencakup rukun ketiga, yakni merujuk
kepada pemahaman assalafush shalih dalam meniti jalan yang lurus tersebut.
Padahal sudah tidak diragukan bahwa siapa saja yang berpegang teguh dengan
al-Qur'ân dan as-Sunnah pasti telah mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus.
Disebabkan metode manusia dalam memahami al-Qur'ân dan as-Sunnah berbeda-beda,
ada yang benar dan ada yang salah, maka wajib memenuhi rukun ketiga untuk
menghilangkan perbedaan tersebut, yakni merujuk kepada pemahaman assalafush
shalih.[5]
Tentang wajibnya mengikuti pemahaman para
sahabat, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad)
setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya
itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk
tempat kembali.” [an-Nisâ’/4:115]
Uraian di atas merupakan penegasan bahwa
generasi yang paling utama yang dikaruniai ilmu dan amal shalih oleh Allâh Azza
wa Jalla adalah para Shahabat Rasul n . Hal itu karena mereka telah menyaksikan
langsung turunnya al-Qur'ân, menyaksikan sendiri penafsiran yang shahih yang
mereka fahami dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mulia. Karena itu wajib bagi kita mengikuti pemahaman mereka.
Setiap Muslim dan Muslimah dalam sehari
semalam minimal 17 (tujuh belas) kali membaca ayat :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ﴿٦﴾صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [al-Fâtihah/1:6-7]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Perhatikanlah hikmah berharga yang terkandung dalam penyebutan sebab dan
akibat ketiga kelompok manusia (yang tersebut di akhir surat al-Fâtihah) dengan
ungkapan yang sangat ringkas. Nikmat yang dicurahkan kepada kelompok pertama
adalah nikmat hidayah, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.”[6]
Permohonan dan do’a seorang Muslim setiap
hari agar diberikan petunjuk ke jalan yang lurus harus direalisasikan dengan
menuntut ilmu syar’i, belajar agama Islam yang benar berdasarkan al-Qur'ân dan
as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para shahabat (pemahaman assalafush
shalih), dan mengamalkannya sesuai dengan pengamalan mereka. Artinya, ummat
Islam harus melaksanakan agama yang benar menurut cara beragamanya para
shahabat, karena sesungguhnya mereka adalah orang yang mengikuti Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan dalam hadits ‘Irbadh Bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu tentang akan
terjadinya perselisihan dan perpecahan di tengah kaum Muslimin. Kemudian Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar yang terbaik yaitu,
berpegang kepada sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah
khulafâ-ur Rasyidin Radhiyallahu anhum serta menjauhkan semua bid’ah dalam
agama yang diada-adakan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
...فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى
اخْتِلَافًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاء الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“…Sungguh, orang yang masih hidup di antara
kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, karenanya
hendaklah kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur
Rasyidin. Peganglah erat-erat Sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham
kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena
sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat.’”[7]
Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata,
‘Tidakkah kalian mendengar apa yang disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ?’ Mereka berkata, ‘Apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ucapkan?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ، فَقَالُوْا : فَكَيْفَ
لَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ وَكَيْفَ نَصْنَعُ ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْنَ إِلَى أَمْرِكُمُ
الْأَوَّل
Sungguh akan terjadi fitnah”, Mereka berkata,
‘Bagaimana dengan kita, wahai Rasûlullâh ? Apa yang kita perbuat?’ Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya kalian kembali kepada urusan
kalian yang pertama kali.”[8]
Apabila ummat Islam kembali kepada al-Qur'ân
dan as-Sunnah dan mereka memahami Islam menurut pemahaman Salaf dan
mengamalkannya menurut cara yang dilaksanakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya, maka ummat Islam akan mendapatkan hidayah
(petunjuk), barakah, ketenangan hati, terhindar dari berbagai macam fitnah,
perpecahan, perselisihan, bid’ah-bid’ah, pemahaman-pemahaman dan aliran yang
sesat. Bila umat Islam berpegang teguh dengan aqidah, manhaj, pemahaman, dan
cara beragama yang dilaksanakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan
kepada kaum Muslimin keselamatan, kemuliaan, kejayaan dunia dan akhirat serta
diberikan pertolongan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk mengalahkan musuh-musuh
Islam dari kalangan orang-orang kafir dan munafiqin.
Realita kondisi ummat Islam yang kita lihat
sekarang ini adalah ummat Islam mengalami kemunduran, terpecah belah dan
mendapatkan berbagai musibah dan petaka, dikarenakan mereka tidak berpegang
teguh kepada ‘aqidah dan manhaj yang benar dan tidak melaksanakan syari’at
Islam sesuai dengan pemahaman Shahabat, serta banyak dari mereka yang masih
berbuat syirik dan menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
... وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ
خَالَفَ أَمْرِيْ وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
“... Dijadikan kehinaan dan kerendahan atas
orang-orang yang menyelisihi Sunnahku. Dan barang siapa menyerupai suatu kaum,
maka ia termasuk golongan mereka.”[9]
Pertama kali yang harus diluruskan dan
diperbaiki adalah ‘aqidah dan manhaj[10] umat Islam dalam meyakini dan
melaksanakan agama Islam. Hal ini merupakan upaya untuk mengembalikan jati diri
umat Islam untuk mendapatkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan kemuliaan di dunia
dan di akhirat.
FAWA-ID HADITS
1. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum
adalah orang-orang mulia yang paling dalam ilmu dan hujjahnya. (lihat
Saba'/34:6 ; Muhammad/47:16)
2. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum
sebagai sumber rujukan saat perselisihan dan sebagai pedoman dalam memahami
al-Qur'ân dan As-Sunnah.
3. Mengikuti manhaj Para Sahabat Nabi
Radhiyallahu anhum adalah jaminan mendapat keselamatan dunia dan akhirat.
(lihat an-Nisâ'/4: 115)
4. Mencintai para Sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berarti iman, sedang membenci mereka berarti kemunafikan.
5. Kesepakatan (ijma’) para Sahabat Nabi
Radhiyallahu anhum adalah hujjah yang wajib diikuti setelah al-Qur'ân dan
as-Sunnah. (lihat an-Nisâ'/4:115 dan hadits al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu
‘anhu )
6. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum
adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada agama Islam yang berarti mereka
telah mendapat petunjuk, dengan demikian mengikuti mereka adalah wajib.
7. Keridhaan Allâh Azza wa Jalla dapat
diperoleh dengan mengikuti para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum , baik secara
kelompok maupun individu. (lihat at-Taubah/9:100)
8. Para Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum
adalah orang-orang yang menyaksikan perbuatan, keadaan, dan perjalanan hidup
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mendengar sabda beliau, mengetahui
maksudnya, menyaksikan turunnya wahyu, dan menyaksikan penafsiran wahyu dengan
perbuatan beliau sehingga mereka memahami apa yang tidak kita pahami.
9. Mengikuti para Shahabat Nabi Radhiyallahu
anhum adalah jaminan mendapatkan pertolongan Allâh Azza wa Jalla , kemuliaan,
kejayaan dan kemenangan.
10. Mengikuti pemahaman assalaufus shalih
adalah pembeda antara manhaj (cara beragama) yang haq dengan yang batil, antara
golongan yang selamat dan golongan-golongan yang sesat.
11. Hadits di atas menetapkan bahwa ijma’
para Sahabat sebagai dasar hukum Islam yang ketiga. (an-Nisâ’/4: 115)
12. al-Qur'ân dan as-Sunnah wajib dipahami
dengan pemahaman para shahabat, kalau tidak maka pemahaman tersebut akan
membawanya pada kesesatan.
13. Kewajiban mengikuti manhaj-nya (cara
beragamanya) para shahabat.
14. Golongan-golongan dan aliran-aliran yang
sesat itu sangat banyak sedangkan kebenaran hanya satu.
15. Mereka yang menyelisihi manhaj para
Sahabat pasti akan tersesat dalam beragama,manhaj dan aqidah mereka.
16. Hakikat persatuan di dalam Islam adalah
bersatu dalam ‘aqidah, manhaj, dan pemahaman yang benar.
17. Hadits di atas melarang kita berpecah
belah di dalam manhaj dan aqidah.
18. Perselisihan yang dimaksud dalam hadits
di atas ialah perselisihan dan perpecahan dalam manhaj dan aqidah. Adapun
perselisihan yang disebabkan karena tabi’at manusia dan tingkat keilmuan
seseorang yang lebih kurang, maka hal yang seperti ini tidak terlarang secara
mutlak asalkan mereka tetap berada di dalam satu manhaj. Seperti perselisihan
dalam masalah fiqih dan hukum, hal ini sudah ada sejak zaman Shahabat.
19. Para shahabat Radhiyallahu anhum adalah
orang-orang yang telah mengamalkan sunnah-sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan benar dan mereka tidak berselisih tentang ‘aqidah dan manhaj,
meskipun ada perbedaan pendapat dalam masalah hukum dan ijtihad.
20. Orang banyak bukan ukuran kebenaran,
karena hadits di atas dan ayat al-Qur'ân menjelaskan kalau kita mengikuti orang
banyak niscaya orang banyak akan menyesatkan kita dari jalan kebenaran.
(al-An’âm/6:116)
21. Tidak boleh membuat kelompok, golongan,
aliran, sekte, dan jama’ah atas nama Islam, yang didasari kepada wala’
(loyalitas) dan bara’ (berlepas diri) atas nama kelompoknya tersebut. Karena
hal tersebut dapat membuat perpecahan.
22. Bahwa bid’ah dan ahli bid’ah merusak
agama Islam dan membuat perpecahan.
23. Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah,
semua bid’ah sesat.
24. Kaum Muslimin, terutama para penuntut
ilmu dan para da’i, wajib mengikuti jalan golongan yang selamat, belajar,
memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan dakwah yang hak ini, yaitu dakwah
salaf.[11]
25. Do’a yang kita minta setiap hari memohon
petujuk ke jalan yang lurus, maka harus dibuktikan dengan mengikuti jalan
golongan yang selamat, yaitu cara beragamanya para sahabat Radhiyallahu anhum.
Maraaji’:
1. al-Qur'ânul Karîm dan terjemahnya.
2. Kutubus sittah.
3. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.
4. Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal
Jamâ’ah, al-Lâlika-i.
5. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qayyim.
6. Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah.
7. Dirâsât fil Ahwâ’ wal Firaq wal Bida’ wa
Mauqifis Salaf minha.
8. Madârikun Nazhar fis Siyâsah.
9. Mâ ana ‘alaihi wa Ash-hâbii.
10. Dar-ul Irtiyâb ‘an Hadîts Mâ Ana ‘alaihi
wa Ash-hâbii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarur Rayah/ th. 1410
H.
11. Al-Arba’ûna Hadîtsan an-Nabawiyyah fii
Minhâjid Da’wah as-Salafiyyah oleh Sa’id (Muhammad Musa) Husain Idris
as-Salafi.
12. Badâ’iut Tafsîr Al-Jami’ Limâ Fassarahul Imam
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
13. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
08/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan
al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , dan
dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ (no. 5343). Lihat Dar-ul
Irtiyâb ‘an Hadîts Mâ Ana ‘alaihi wa Ash-hâbii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied
al-Hilali, cet. Daarur Rayah/ th. 1410 H.
[2]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika
menafsirkan al-Baqarah/2:62
[3]. Shahih: HR. Ahmad (I/435, 465),
ad-Darimy (I/67-68), al-Hakim (II/318), Syarhus Sunnah lil Imâm al-Baghawy (no.
97), dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam As-Sunnah libni Abi ‘Ashim no. 17.
Tafsir an-Nasa-i (no. 194). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh
Imam Ahmad (I/435).
[4]. Tafsîrul Qayyim libnil Qayyim (hlm.
14-15), Badâ’iut Tafsîr Al-Jâmi’ Limâ Fassarahul Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
(hlm. 88), cet. Daar Ibnu Jauzi.
[5]. Lihat Madârikun Nazhar fis Siyâsah baina
Tathbîqâtisy Syar’iyyah wal Infi’âlâtil Hamâsiyyah (hlm. 36-37) karya ‘Abdul
Malik bin Ahmad bin al-Mubarak Ramadhani Aljazairi, cet. IX/ th. 1430 H, Darul
Furqan.
[6]. Madârijus Sâlikin (I/20, cet. Daarul
Hadits, Kairo).
[7]. HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi
(no. 2676), dan lainnya. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.
Silahkan baca penjelasan hadits ini dan fawa-idnya dalam buku penulis “Wasiat
Perpisahan”, Pustaka at-Taqwa.
[8]. Shahih: HR. Ath-Thabarani dalam
al-Mu’jamul Kabîr (no. 3307) dan al-Mu’jamul Ausath (no. 8674). Dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah (no. 3165).
[9]. HR. Ahmad (II/50, 92) dan Ibnu Abi
Syaibah (V/575 no. 98) Kitâbul Jihâd, cet. Daarul Fikr, Fat-hul Bâri (VI/98)
dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma , dishahihkan oleh Syaikh
Ahmad Syakir rahimahullah dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad (no. 5667).
[10]. Manhaj artinya jalan atau metode. Dan
manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama
menurut pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhhum. Syaikh Dr. Shalih bin
Fauzan al-Fauzan menjelaskan antara ‘aqidah dan manhaj, beliau berkata, “Manhaj
lebih umum daripada ‘aqidah. Manhaj diterapkan dalam ‘aqidah, suluk, akhlak,
mu’amalah, dan dalam semua kehidupan seorang Muslim. Setiap langkah yang
dilakukan seorang Muslim dikatakan manhaj. Adapun ‘aqidah yang dimaksud adalah
pokok iman, makna dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya, inilah ‘aqidah.”
(Al-Ajwibatul Mufîdah ‘an As-ilatil Manâhij al-Jadîdah, hlm. 123. Kumpulan
jawaban Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan atas berbagai pertanyaan seputar
manhaj, dikumpulkan oleh Jamal bin Furaihan al-Haritsi, cet. III, Daarul
Manhaj/ th. 1424 H.)
[11]. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca
buku penulis “Mulia dengan Manhaj Salaf”, cet. V, Pustaka At-Taqwa.
Sumber
http://almanhaj.or.id/
No comments:
Post a Comment