Perjalanan yang belum selesai (351)
(Bagian ke tiga ratus lima puluh satu), Depok, Jawa
Barat, Indonnesia, 20 Agustus 2015,
11.16 WIB).
Allah dan Malaikat bershalawat untuk Nabi, setiap sholat
manusia diwajibkan baca shalawat.
Setiap sholat, baik sholat wajib lima waktu maupun sholat
sunnah pada bacaan tasyahud baik tasyahud awal maupun tasyahud akhir kita
diwajibkan membaca shalawat untuk Nabi Muhammad dan keluarga Muhammad dan salawat untuk Nabi Ibrahim.
Bacaan Sholat dan Artinya Lengkap
Sholat menurut
asal bahasa berarti doa doa dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul ihrom.
Dan diakhiri dengan salam dan diikat dengan syarat dan rukun yang tertentu.
Shalat adalah rukun islam yang kedua yang harus dikerjakan terus menerus sampai
akhir hayat. Runtuhnya agama islam sangat tergantung dalam hal ini. Shalat
sebagai garis pemisah antara muslim dan non muslim. Ia sebagai amal yang
dihisab pertama kali di akhirat.
Bacaan niat sholat wajib
Berdasarkan kesepakatan para Ahli Fiqih ( ittifaq Fuqoha'
), letak niat ada di dalam hati ( wajibnya ). Dan menurut Jumhur Fuqoha' (
mayoritas Ahli Fiqih ) kecuali Maliki, bahwa " pengucapan" niat
dengan lisan hukumnya sunnah, hal ini karena membantu hati dalam merealisasikan
niat tersebut. Agar pengucapan dan pelafalan itu membantu " daya
ingat", sedangkan Maliki tidak memandangnya sunnah karena tidak manqul
dari Nabi saw
Bacaan niat sholat subuh
اُصَلِّيْ فَرْضَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ
اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى
"Usholli Fardlosh shubhi rok'ataini mustaqbilal
qiblati adaa-an lillaahi ta'aala"
Artinya : "Aku niat melakukan shalat fardu subuh 2
rakaat, sambil menghadap qiblat, saat ini, karena Allah ta'ala "
Bacaan takbiratul ihram.
الله اكبر
"Allaahu akbar"Artinya : "Allah Maha
Besar"
Bacaan iftitah
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ
حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ المُشْرِكِيْن . إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْن لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا
مِنَ المُسْلِمِيًن
"Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas
samaawaati wal-ardha, haniifam muslimaw wamaa ana minal musyrikiin. Inna shalaati
wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi rabbil ‘alaamiina. Laa syariika lahu
wabidzaalika umirtu wa ana minal muslimiina.”
Artinya : "Sesungguhnya aku menghadapkan mukaku
kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan berserah
diri, dan bukannya aku termasuk dalam golongan musyrik. Sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah semesta alam.
Tiada sekutu bagi-Nya, karena itu aku rela diperintah dan aku ini adalah
golongan orang Islam."
Untuk bacaan al Fatihah dan bacaan surat pendek (contoh
al ikhlas)
Surah Al Fatihah dan Terjemahanya
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيم
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Bacaan Bacaan Surat Al Fatihah dalam Bahasa Indonesia
"Bismillahirrahmanirrahim"
Alhamdulillahi rabbil alamin,
Arrahmaanirrahiim
Maaliki yaumiddiin,
Iyyaka nabudu waiyyaaka nastaiin,
Ihdinashirratal mustaqim,
shiratalladzina an’amta alaihim ghairil maghduubi alaihim
waladhaalin,
Terjemahan Bacaan Surat Al Fatihah
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang".
"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam".
"Maha Pemurah lagi Maha Penyayang".
"Yang menguasai di Hari Pembalasan".
"Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah kami meminta pertolongan".
"Tunjukilah kami jalan yang lurus",
"(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat".
Surat Al Ikhlas
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ
وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
Qul huwa allaahu ahad(un), allaahu alshshamad(u), lam
yalid walam yuulad(u), walam yakullahu kufuwan ahad(un).
Artinya:
1). Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa
2). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu
3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
4). Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia
Bacaan ruku
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ
"Subhaana rabbiyal 'azhiimi wabihamdih"Artinya
: "Maha Suci Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Terpuji."
Bacaan i'tidal.
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَه رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
"Sami'allaahu liman hamidah, rabbanaa walakal
hamdu."Artinya : " Allah mendengar akan sesiapa yang memuji-Nya. Hai
Tuhan kami, kepada Engkaulah segala pujian."
Bacaan sujud
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
"Subhaana rabbiyal a'laa wabihamdih"
Artinya : "Maha Suci Tuhan Yang Maha Tinggi lagi
Maha Terpuji"
Bacaan duduk antara 2 sujud
رَبِ ّاِغْفِرْلِيِ وَارْحَمْنِيْ وَارْفَعْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ
وَارْزُقْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَعَاِفِنيْ وَاعْفُ عَنِّيْ
"Rabbighfirlii warhamnii warfa'nii wajburnii
warzuqnii wahdinii wa 'aafinii wa'fu 'annii"
Artinya : " Ya Allah ! ampunilah dosaku, belas
kasihanilah aku, dan angkatlah darjatku dan cukuplah segala kekuranganku dan
berilah rezeki kepadaku, dan berilah aku petunjuk dan sejahterakanlah aku dan
berilah keampunan padaku."
Bacaan tasyahud awal
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ
، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ السَّلاَمُ
عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ . أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّد
"Attahiyyaatul mubaarakaatush sholawaatuth
thayyibatul lillaah, Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi
wabarakaatuh, Assalaamu’alainaa wa’alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin. Asyhadu
allaa ilaaha illallaah, Waasyhadu anna Muhammadar rasuulullaah. Allahhumma
sholli ‘alaa Muhammad."Artinya : " Segala kehormatan, keberkahan,
kebahagiaan dan kebaikan bagi Allah, salam, rahmat, dan berkahNya kupanjatkan
kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Salam keselamatan semoga tetap untuk kami
seluruh hamba yang shaleh-shaleh. Ya Allah aku bersumpah dan berjanji bahwa
tiada ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau ya Allah, dan aku bersumpah
dan berjanji sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan-Mu Ya Allah. Ya Allah,
limpahkan shalawat-Mu kepada Nabi Muhammad.
Bacaan tasyahud akhir dan doa
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ
، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ السَّلاَمُ
عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ . أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّد
وعلى آلِ مُحَمَّد كَمَا صَلَّبْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد. اَلْلَّهُمَّ
إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ
المَحْيَا وَالمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ المَسِيْحِ الدَجَّالِ.
"Attahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth
thayyibatul lillaah, Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi
wabarakaatuh, Assalaamu’alainaa wa’alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin. Asyhadu
allaa ilaaha illallaah, Waasyhadu anna Muhammadar rasuulullaah. Allahhumma
shalli ‘alaa Muhammad wa 'alaa aali Muhammad, kamaa shallaita 'alaa Ibraahim,
wa 'alaa aali Ibraahim. Wabaarik ‘alaa Muhammad, wa 'alaa aali Muhammad, kamaa
baarakta 'alaa Ibraahim, wa 'alaa aali Ibraahim. Fil 'aalamiina innaka hamiidum
majiid. Allaahumma innii a'uudzubika min 'adzaabi jahannama wamin 'adzaabil
qabri wamin fitnatil mahyaa wamamaati wamin fitnatil masiihid dajjaal."
Artinya : " Segala kehormatan, keberkahan,
kebahagiaan dan kebaikan bagi Allah, salam, rahmat, dan berkahNya kupanjatkan
kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Salam keselamatan semoga tetap untuk kami
seluruh hamba yang shaleh-shaleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Ya Allah!
Limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad. “ Sebagimana pernah Engkau beri
rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan limpahilah berkah atas Nabi
Muhammad beserta para keluarganya. Sebagaimana Engkau memberi berkah kepada
Nabi Ibrahim dan keluarganya. “ Diseluruh alam semesta Engkaulah yang terpuji,
dan Maha Mulia.” Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahanam dan
siksa kubur serta dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari kejahatan
fitnahnya dajal."
Bacaan salam
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ الله
"Assalaamu 'alaikum warahmatullaah."Artinya :
"Keselamatan dan rahmat buat Anda sekalian."
SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN
Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA
KEUTAMAAN MEMBACA SHALAWAT
Salah satu amalan istimewa dalam ajaran Islam yang
dijanjikan pahala berlipat ganda adalah membaca shalawat kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Banyak nash (dalil) dari al-Qur'ân maupun
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk memperbanyak
amalan mulia ini. Di antaranya :
Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ
ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allâh dan para malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi
dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya [al-Ahzâb/33: 56]
Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya[1] ,
"Allâh Azza wa Jalla memberitahukan kepada para hamba-Nya kedudukan
Rasûlullâh di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allâh Azza wa Jalla memuji
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mereka, begitu pula mereka
bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Allâh Azza wa
Jalla memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam
bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpadu pujian para penghuni
langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ."
Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa
bershalawat untukku satu kali, niscaya Allâh akan bershalawat untuknya sepuluh
kali [HR. Muslim 1/288-289 no. 384]
Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubârakfûri rahimahullah
menjelaskan bahwa maksud dari shalawat Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya
adalah Allâh merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya.
Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan keutamaan
membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena itulah,
tidak mengherankan jika dari dulu, para ulama Islam berlomba-lomba menulis buku
khusus guna memaparkan keutamaan membaca shalawat. Contohnya, Fadhlush Shalât
'alâ an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam Ismâ'il bin Ishâq
al-Qâdhi (199-282 H), Jalâ'ul Afhâm fî Fadhlish Shalât wa as-Salâm 'alâ
Muhammadin Khairil Anâm karya Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H) dan
lain-lain.[2]
IKHLAS DAN MENELADANI RASUL SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
DALAM BERSHALAWAT
Dari keterangan di atas, nampak begitu jelas bahwa
membaca shalawat merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Dan
sebagaimana telah diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur'ân dan Sunnah
serta keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allâh
Azza wa Jalla kalau memenuhi dua syarat. Yakni dijalankan secara ikhlas karena
Allâh dan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Fakhruddîn ar-Râzy (544-606 H) menyimpulkan dua syarat
sah ibadah tersebut dari firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha
melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin;
maka mereka itu adalah orang-orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.
[al-Isrâ'/17:19]
Kata beliau rahimahullah, "Syarat pertama,
mengharapkan pahala akhirat dari amalannya. Jika niat ini tidak ada maka dia
tidak akan memetik manfaat dari amalannya … Sebab Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. [HR. Bukhari,
1/9 no. 1 – al-Fath]
Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati
dengan mengenal Allâh serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika
seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allâh dan meraih ketaatan
pada-Nya.
Syarat kedua, ada dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang
artinya, "berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya"
maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada
akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan
suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah
dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan
melakukan amalan-amalan yang batil!"[3].
Imam Ibn Katsîr (700-774 H) mempertegas, "Agar
amalan diterima, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allâh
semata dan kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara
ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak
diterima. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak [HR. Muslim 3/1343 no. 1718
dari Aisyah Radhiyallahu anhuma]
Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat
secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allâh;
amalannya pun juga akan tertolak."[4]
Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih,
maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allâh Azza wa Jalla harus pula
terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ikhlas dalam bershalawat berarti:
1. Hanya mengharapkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan
pahala dari-Nya.
2. Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur
yang bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan
syirik dan kekufuran, semisal istighâtsah kepada selain Allâh Azza wa Jalla ,
menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allâh kepada selain-Nya dan yang
semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk
manusia, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, jika
teks shalawat itu bersumber dari sosok yang ma'shûm , Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , maka ini di luar konteks pembicaraan kita, lantaran tidak mungkin
Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu yang berisi
kesyirikan dan kekufuran.
Meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
bershalawat, maksdunya:
1. Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau dan tidak
melampaui batas sehingga memasuki ranah ghuluw (sikap berlebihan) dan lafaz
syirik.
2. Bershalawat untuk beliau pada momen-momen yang beliau
syariatkan.[5]
3. Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka
mengamalkan firman Allâh Azza wa Jalla dalam QS. al-Ahzâb/33:56 dan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas.
Setelah pemaparan mukadimah yang berisi beberapa kaidah
penting, saatnya kita memasuki inti pembahasan.
SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN
Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks
shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fâtih, shalawat Munjiyât, shalawat
Thibbul Qulûb, shalawat Wahidiyyah, dan -tidak lupa sorotan kita- shalawat
Nâriyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang dikarang
kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang diciptakan
kalangan kontemporer. Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun
1963 oleh salah satu penduduk Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid
Ma'rûf.[6]
Selain itu, mereka juga sangat 'kreatif' dalam membuat
aturan-aturan baca berbagai jenis shalawat tersebut, dari sisi jumlah bacaan,
waktu pembacaan, hingga fadhilah (keutamaan) yang akan diraih oleh pembacanya.
Seakan-akan itu semua ada landasannya dari syariat.
Shalawat Nâriyyah merupakan salah satu shalawat yang
paling masyhur di antara shalawat-shalawat bentukan manusia. Orang-orang
berlomba untuk mengamalkannya, baik dengan mengetahui maknanya, maupun tidak
memahami kandungannya. Bahkan justru barangkali orang jenis kedua ini yang
lebih dominan. Banyak orang serta merta mengamalkannya hanya karena diperintah
tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau tergiur dengan "fadhilah"
tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat tersebut, juga kandungan
makna yang terkandung di dalamnya.
Sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat ini, yang
juga terkadang dinamakan dengan Shalawat Tafrîjiyah Qurthubiyah, ada baiknya
dibawakan dahulu teks lengkapnya : [7]
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَماً تَامّاً
عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ، وَتَنْفَرِجُ بِهِ
الْكُرَبُ، وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ، وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ،
وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، فِيْ
كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan
curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad,
yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan
dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan
serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujan pun
turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap
detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau
SIAPAKAH PENCIPTA SHALAWAT NARIYAH?
Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan
isyarat yang menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang
bernama as-Sanusy.[8] Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah
nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami belum
mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang menciptakan
shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi ini merupakan
bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak tersebar di daerah Maroko,
tarekat as-Sanusiyyah.
BENARKAH PENGARANGNYA ADALAH SHABAT NABI SHALLALLAHU
ALAIHI WA SALLAM?
Di sebuah situs internet tertulis: "Sholawat Nariyah
adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syeikh Nariyah. Syekh yang satu ini
hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi.
Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja
keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allâh, mengajarkan tentang Islam, amal
saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa kepada Allâh memohon
keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa
disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi
yang disebut Sholawat Nariyah.
Suatu malam, Syekh Nariyah membaca sholawatnya sebanyak
4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allâh. Maka dalam
suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama
kali bersama Nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu
dan lantas minta didoakan yang sama seperti Syekh Nariyah. Namun Nabi
mengatakan tidak bisa karena Syekh Nariyah sudah minta terlebih dahulu.
Mengapa sahabat itu ditolak Nabi? Dan justru Syekh
Nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang
setiap malam diamalkan oleh Syekh Nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan
kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya
adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allâh sudah menjamin nabi-nabiNya
sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang
sangat kuat".[9]
Kesimpulan, pengarang Shalawat Nariyah konon seorang bernama
Syekh Nariyah, dan dia termasuk Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
telah dijamin masuk surga oleh beliau.
Sebagai seorang Muslim mestinya tidak begitu saja
menerima apa yang disampaikan padanya, tanpa klarifikasi dan penelitian, apalagi
jika berkenaan dengan permasalahan agama.
Sekurang-kurangnya ada dua poin yang perlu dicermati dari
cerita di atas :
1. Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang bernama Syekh Nâriyah ?
2. Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat' tersebut? Dan
adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya?
Adapun berkenaan dengan poin pertama, perlu diketahui
bahwa biografi para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mendapatkan perhatian ekstra dari para Ulama Islam. Begitu banyak kitab yang mereka
tulis untuk mengupas biografi para sahabat. Ada referensi yang ditulis untuk
memaparkan biografi para shahabat beserta para Ulama sesudah mereka hingga
zaman penulis, adapula referensi yang ditulis khusus untuk menceritakan
biografi para sahabat saja. Diantara contoh model pertama: Hilyatul Auliyâ'
karya al-Hâfizh Abu Nu'aim al-Asfahâni (336-430 H) dan Tahdzîbul Kamâl karya
al-Hâfizh Abul Hajjâj al-Mizzi (654-742 H). Adapun contoh model kedua, seperti:
al-Istî'âb fî Ma'rifatil Ash-hâb karya al-Hâfizh Ibn 'Abdil Bar (368-463 H) dan
al-Ishâbatu fî Tamyîzish Shahâbah karya al-Hâfizh Ibn Hajar al-'Asqalâni
(773-852 H).
Setelah meneliti berbagai kitab di atas dan juga
referensi biografi lainnya, yang biasa diistilahkan para Ulama dengan kutubut
tarâjim wa ath-thabaqât, ternyata tidak dijumpai seorang pun di antara Sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Nâriyah. Bahkan sepengetahuan
kami, tidak ada seorang pun Ulama klasik yang memiliki nama tersebut. Lalu,
dari manakah orang tersebut berasal??
Sebenarnya, orang yang sedikit terbiasa membaca kitab
Ulama, hanya dengan melihat nama tersebut beserta 'gelar' syaikh di depannya,
akan langsung ragu bahwa orang tersebut benar-benar Sahabat Nabi. Karena
penyematan 'gelar' syaikh di depan nama Sahabat -sepengetahuan kami- bukanlah
kebiasaan para Ulama dan juga bukan istilah yang lazim mereka pakai, sehingga
terasa begitu janggal di telinga.
Kesimpulannya: berdasarkan penelaahan kami, tidak ada
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nariyah. Jadi
penisbatan shalawat tersebut terhadap Sahabat sangat perlu untuk dipertanyakan
dan amat diragukan keabsahannya.
Adapun poin kedua, amat disayangkan penulis makalah di
internet tersebut tidak menyebutkan sanad (mata rantai periwayatan) kisah yang
ia bawakan, atau minimal mengisyaratkan rujukannya dalam menukil kisah
tersebut. Andaikan ia mau menyebutkan salah satu dari dua hal di atas niscaya
kita akan berusaha melacak keabsahan kisah tersebut, dengan meneliti para
perawinya, atau merujuk kepada kitab aslinya. Atau barangkali kisah di atas
merupakan dongeng buah pena penulis tersebut ? Jika, ya, maka kisah tersebut
tidak ada nilainya; karena kisah fiksi, alias kisah yang tidak pernah terjadi !
Amat disayangkan, dalam hal yang berkaitan dengan agama,
tidak sedikit kaum Muslimin sering menelan mentah-mentah suatu kisah yang ia
temukan di sembarang buku dan internet, atau kisah yang diceritakan oleh
tetangga, teman, guru dan kenalan, tanpa merasa perlu untuk mengcrosscek
keabsahannya. Seakan-akan kisah itu mutlak benar terjadi! Padahal kenyataannya
seringkali tidak demikian.
Untuk memfilter kisah-kisah palsu dan yang lainnya, Islam
memiliki sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki agama lain, yaitu: Islam
memiliki sanad (mata rantai periwayatan). Demikian keterangan yang disampaikan
Ibn Hazm (384-456 H)[10] dalam al-Fishâl dan Ibnu Taimiyyah (661-728 H).[11]
Imam 'Abdullâh bin al-Mubârak (118-181 H) pernah berkata,
"Isnâd adalah bagian dari agama. Jika tidak ada isnâd, seseorang akan
bebas mengatakan apa yang dikehendakinya."[12]
KANDUNGAN MAKNA SHALAWAT NARIYAH
"Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan
curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad,
yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan
dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua hajat yang
didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia
hujanpun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para Sahabatnya, di
setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh
Engkau."
Bagian dari Shalawat Nâriyyah yang kami cetak tebal
itulah yang akan dicermati dalam tulisan singkat ini. Kalimat-kalimat tersebut
mengandung penisbatan terpecahkannya semua kesulitan, dilenyapkannya segala
kesusahan, ditunaikannya segala macam hajat, tercapainya segala keinginan dan
husnul khatimah, kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Dalam hal ini yang mereka
maksudkan yang melakukan itu semua adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Penisbatan ini merupakan sebuah kekeliruan fatal, sebab
bertolak-belakang dengan al-Qur'ân dan Sunnah, serta bisa mengantarkan
pelakunya kepada kekufuran. Pasalnya, semua perbuatan tersebut, hanya Allâh
Azza wa Jalla yang berkuasa melakukannya.
Mari kita cermati nash-nash berikut :
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam
kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang melenyapkan kesusahan serta
yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan selain
Allâh ? Amat sedikit kalian mengingat-Nya ! [an-Naml/27:62]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingatkan bahwa
hanya Dia-lah yang diseru saat terjadi kesusahan, dan Dia pula yang diharapkan
pertolongan-Nya saat musibah melanda. Demikian keterangan yang disampaikan Imam
Ibnu Katsir. [13]
Karena itulah, setelahnya Allâh Azza wa Jalla melontarkan
pertanyaan dalam konteks pengingkaran, "Adakah tuhan selain Allâh ?".
Hal ini mengisyaratkan, wallahu a'lam, bahwa orang yang tertimpa kesulitan dan
kesusahan lalu memohon pertolongan kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seakan
ia telah menjadikan dzat yang diserunya itu sebagai tuhan 'saingan' Allâh Azza
wa Jalla . Sebab tidak ada yang sanggup mengabulkan permohonan tersebut
melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla .
Senada dengan ayat di atas, firman Allâh Azza wa Jalla
berikut :
قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ
الشَّاكِرِينَ ﴿٦٣﴾ قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنْتُمْ
تُشْرِكُونَ
Katakanlah, "Siapakah yang dapat menyelamatkan
kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan
berendah diri dan suara yang lembut (dengan mengatakan), 'Sesungguhnya jika Dia
menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami akan menjadi orang-orang
yang bersyukur'. Katakan, "Allâhlah yang menyelamatkan kalian dari bencana
itu dan dari segala macam kesusahan. Lantas mengapa kalian kembali
mempersekutukan-Nya?!". [al-An'âm/6: 63-64]
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ
الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
Apapun nikmat yang ada dalam diri kalian, maka dari
Allâh-lah (datangnya). Dan bila kalian ditimpa marabahaya, maka hanya
kepada-Nya-lah (seharusnya) kalian meminta pertolongan [an-Nahl/16:53]
Dan masih banyak lagi firman Allâh yang semakna dengan
ayat-ayat di atas, yang menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan di dunia maupun
akhirat, hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang mendatangkannya. Sebagaimana
pula segala bentuk keburukan di dunia ataupun akhirat, hanyalah Allâh Azza wa
Jalla yang menghindarkannya dari diri kita.
Karena itulah, kita dapatkan qudwah kita, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencontohkan untuk selalu kembali kepada
Allâh Azza wa Jalla dalam segala urusan.
Mari kita cermati sebagian dari doa yang beliau baca :
اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا،
وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ
Ya Allâh, jadikanlah akhir dari seluruh urusan kami baik,
dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksaan akhirat [HR. Ibnu Hibbân
3/230 no. 949]
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ
لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ
Wahai Yang Maha hidup dan Yang terus menerus mengurus
makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu-lah aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh
keadaanku, dan janganlah Engkau jadikanku bergantung kepada diriku sendiri,
walaupun itu hanya sekejap mata [HR. al-Hâkim 1/739 no. 2051]
اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي
طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Ya Allâh, rahmat-Mu-lah yang kuharapkan. Maka janganlah
Engkau jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap
mata. Dan perbaikilah seluruh keadaanku. Tidak ada yang berhak diibadahi
melainkan Engkau. [HR. Abu Dâwud, 5/204 no. 5090 dari Abu Bakrah Radhiyallahu
anhu , dan dinilai sahîh oleh Ibn Hibbân (III/250 no. 970].
Lihatlah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menisbatkan seluruh urusan kepada Allâh Azza wa Jalla , dan memberi kita
teladan agar senantiasa mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allâh Azza wa
Jalla !. Pernahkah beliau -walaupun hanya sekali- mengajarkan kepada umatnya
agar bergantung kepada beliau?! Mustahil beliau mengarahkan demikian, sebab
beliau sendirilah yang berkata, "Janganlah Engkau (Ya Allâh) jadikan aku
bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata". Beliau
mencontohkan praktek tawakkal yang begitu tinggi, dimana beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak ingin bergantung pada diri sendiri, walaupun itu hanya
sesaat, sekedipan mata! Mengapa kita tidak meneladaninya dalam hal ini dan yang
lainnya?
Cermati pula doa terakhir!. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menutup doanya dengan kalimat thayyibah LA ILÂHA ILLALLÂH, yang
menunjukkan -wallahua'lam- bahwa seluruh permintaan di atas adalah bentuk
ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Allâh Azza wa Jalla .
MEMBACA SHALAWAT NARIYAH BERARTI MENGAGUNGKAN RASULULLAH
SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?
Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk
melegalkan pembacaan shalawat Nâriyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan
dalih pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka
mempertahankan shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang
berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi shalawat
Nâriyah tidak mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Ini
merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan.
Masalah pokok yang perlu diketahui pertama kali yaitu
mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam hukumnya wajib. Dan ini
merupakan salah satu cabang keimanan yang besar. Cabang keimanan ini berbeda
dengan cabang keimanan cinta kepada beliau[14] , bahkan pengagungan lebih
tinggi derajatnya dibanding cinta. Sebab tidak setiap yang mencintai sesuatu ia
pasti mengagungkannya. Contohnya, orang tua mencintai anaknya, namun
kecintaannya hanya akan mengantarkan untuk memuliakannya dan tidak mengantarkan
untuk mengagungkannya. Beda dengan kecintaan anak kepada orang tuanya, yang
akan mengantarkan untuk memuliakan dan mengagungkan mereka berdua.[15]
Di antara hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang harus ditunaikan oleh umatnya adalah pemuliaan, pengagungan dan
penghormatan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pengagungan,
pemuliaan dan penghormatan harus melebihi pemuliaan, pengagungan dan penghormatan
seorang anak terhadap orang tuanya atau budak terhadap majikannya. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا
النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an);
mereka itulah orang-orang yang beruntung. [al-A'râf/7:157]
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama, bahwa
yang dimaksud dengan "pemuliaan" dalam ayat di atas adalah
pengagungan.[16]
PENGAGUNGAN TERHADAP RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
BERTEMPAT DI HATI, LISAN DAN ANGGOTA TUBUH [17]
Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah
meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allâh. Keyakinan ini menyebabkan
seseorang mengedepanan kecintaannya kepada Rasulullah n dariapda kecintaannya
terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia.
Keyakinan ini juga menumbuhkan rasa betapa agung dan
wibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta meresapi kemuliaannya,
kedudukannya dan derajatnya yang tinggi.
Hati merupakan raja dari tubuh, manakala pengagungan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujam kuat dalam hati, niscaya
dampaknya secara lahiriah akan nampak jelas. Lisan akan senantiasa basah dengan
pujian kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan
kemuliaan-kemuliaannya. Begitu pula anggota tubuh akan tunduk menjalankan
segala tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , taat kepada syariat dan
ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menunaikan segala haknya.
Adapun pengagungan terhadap beliau dengan lisan,
maksudnya adalah memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang
berhak untuk dimilikinya, yaitu pujian yang Allâh dan Rasul-Nya n lantunkan
untuk beliau, tanpa mengandung unsur berlebihan atau sebaliknya. Dan di antara
pujian yang paling agung adalah membaca shalawat untuk beliau.[18]
Kata al-Halîmy (338-403 H), shalawat kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti pengagungan terhadap beliau di dunia,
dengan mengangkat namanya, menampakkan agamanya dan mengabadikan syariatnya.
Sedangkan di akhirat, maksudnya adalah permohonan agar limpahan pahala mengalir
padanya, syafaat beliau tercurah untuk umatnya dan kemuliaan beliau dengan
al-maqâm al-mahmûd terlihat jelas[19].
Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan yaitu beradab
saat menyebut beliau dengan lisan kita. Caranya adalah dengan menggandengkan
nama beliau dengan sebutan Nabi atau Rasûlullâh, lalu diakhiri dengan shalawat
kepada beliau. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ
بَعْضًا
Janganlah engkau jadikan panggilan Rasûlullâh di antara
kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain.
[an-Nûr/24:63]
Karena itulah para sahabat selalu memanggil Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan, "Wahai Rasûlullâh!"
atau "Wahai Nabiyullâh!".
Juga hendaknya penyebutan nama beliau ditutup dengan
shalawat; "shallallahu'alaihi wa sallam" bukan hanya dengan singkatan
SAW atau yang semisal. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Orang yang pelit adalah orang yang tatkala namaku disebut
di hadapannya, ia tidak bershalawat padaku. [HR. Tirmidzi, no. 3546 dari Ali
bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi rahimahullah menyatakan hadits
ini "Hasan sahih gharib"].
Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan pula yaitu
menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
keistimewaan dan mukjizatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenalkan sunnah
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakat, mengingatkan mereka
terhadap kedudukan serta hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengajarkan
pada mereka akhlak dan sifat mulia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Menceritakan sejarah hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta
menjadikannya sebagai pujian, baik dengan bait-bait syair maupun bukan, namun
dengan syarat tidak melampaui batas ketentuan syariat, semisal pengagungan yang
berlebihan dan yang semisal.
Sedangkan pengagungan dengan anggota tubuh, berarti
mengamalkan syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meneladani
sunnahnya, mengikuti perintahnya secara lahir maupun batin dan berpegang kuat
dengannya. Ridha dan ikhlas dengan aturan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bawa, berusaha menebarkan tuntunannya, membela sunnahnya, melawan mereka yang
menentangnya serta membangun kecintaan dan kebencian di atasnya.
Menjauhi segala yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , tidak menyelisihi perintahnya dan bertaubat serta beristighfar
manakala terjerumus ke dalam penyimpangan.
"Taat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan konsekwensi keimanan kepada beliau dan keyakinan akan
kebenaran yang dibawanya dari Allâh. Sebab beliau tidaklah memerintahkan atau
melarang dari sesuatu, melainkan dengan seizin dari Allâh. Sebagaimana dalam
firman-Nya :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk
ditaati dengan seizin Allâh. [an-Nisâ'/4:64]
Dan makna ketaatan kepada Rasûlullâh adalah menjalankan
perintah-perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya."[20]
Kesimpulannya adalah pengagungan yang hakiki terhadap
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersimpulkan dalam empat kalimat yaitu
mempercayai berita yang bersumber dari beliau, mentaati perintahnya, menjauhi
larangannya dan beribadah dengan tata cara yang disyariatkannya.[21]
RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM MELARANG KITA
UNTUK BERLEBIHAN DALAM MENGAGUNGKANNYA
Secara garis besar, Allâh Azza wa Jalla telah melarang
kita dari sikap berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan
maupun amalan. Sebagaimana dalam Qur’an surat an-Nisâ'/4:171.
Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melarang secara khusus dari sikap berlebihan dalam memujinya. Sebagaimana dalam
sabdanya,
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ،
فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana
kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya,
maka ucapkanlah, "(Muhammad adalah) hamba Allâh dan Rasul-Nya" [HR.
Bukhâri (6/478 no. 3445 –al-Fath) dari Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu]
Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mengingkari para sahabatnya yang berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam , karena khawatir mereka akan melampaui batas, sehingga
terjerumus dalam hal yang terlarang. Juga demi menjaga kemurnian tauhid, agar
tidak ternodai dengan kotoran syirik dan bid'ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sangat berhati-hati dalam mengantisipasi hal tersebut, bahkan sampaipun dari
hal-hal yang barangkali tidak dikategorikan syirik atau bid'ah.
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: "يَا مُحَمَّدُ، يَا سَيِّدَنَا،
وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا، وَابْنَ خَيْرِنَا!" فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ،
وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُاللَّهِ
وَرَسُولُهُ، وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي
أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ".
(Suatu hari) ada seseorang yang berkata, "Wahai
Muhammad, wahai sayyiduna (pemimpin kami), putra sayyidina, wahai orang yang
terbaik di antara kami, putra orang terbaik di antara kami!". Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, "Wahai para manusia,
bertakwalah kalian! Jangan biarkan setan menyesatkan kalian. Aku adalah
Muhammad bin Abdullah; hamba Allâh dan Rasul-Nya. Demi Allâh, aku tidak suka
kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah Allâh tentukan untukku".
[HR. Ahmad (20/23 no. 12551) dan dinilai sahih oleh adh-Dhiyâ' al-Maqdisy (5/25
no. 1627) dan Ibn Hibbân (14/133 no. 6240].
Dengan keterangan di atas, insyaAllâh telah terlihat jelas,
mana bentuk pengagungan yang terpuji dan mana bentuk pengagungan yang tercela.
Penulis tutup makalah ini dengan nasehat yang disampaikan
Ibn Hajar al-Haitamy (909-974 H), manakala beliau menjelaskan bahwa pengagungan
terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dengan sesuatu yang ada
dalilnya dan yang diperbolehkan, jangan sampai melampaui batas tersebut.
Beliau berkata, "Wajib bagi setiap orang untuk tidak
mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan sesuatu yang
Allâh izinkan bagi umatnya, yaitu sesuatu yang layak untuk jenis manusia.
Sesungguhnya melampaui batas tersebut akan menjerumuskan kepada kekafiran,
na'udzubillahi min dzalik. Bahkan melampaui batas sesuatu yang telah
disyariatkan, pada asalnya akan mengakibatkan penyimpangan. Maka hendaknya kita
mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada dalilnya."[22]
Beliau rahimahullah menambahkan, "Ada dua kewajiban
yang harus dipenuhi:
Pertama, kewajiban untuk mengagungkan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mengangkat derajatnya di atas seluruh makhluk.
Kedua, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meyakini
bahwa Allâh Maha Esa dalam dzat dan perbuatan-Nya atas seluruh makhluk-Nya.
Barang siapa meyakini bahwa sesosok makhluk menyertai Allâh dalam hal tersebut;
maka ia telah berbuat syirik. Dan barang siapa merendahkan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah derajat (yang seharus)nya maka ia telah
berbuat maksiat atau kafir.
Namun barang siapa yang mengagungkan beliau dengan
berbagai jenis pengagungan dan tidak sampai menyamai sesuatu yang merupakan
kekhususan Allâh, maka ia telah menggapai kebenaran, dan berhasil menjaga
dimensi ketuhanan serta kerasulan. Inilah ideologi yang tidak mengandung unsur
ekstrim atau sebaliknya".[23] Wallahu a'lam
Makkah al-Mukarramah, 25 Sya'ban 1431 H / 6 Agustus 2010
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun
XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN
Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA
KEUTAMAAN MEMBACA SHALAWAT
Salah satu amalan istimewa dalam ajaran Islam yang
dijanjikan pahala berlipat ganda adalah membaca shalawat kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Banyak nash (dalil) dari al-Qur'ân maupun
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk memperbanyak
amalan mulia ini. Di antaranya :
Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ
ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allâh dan para malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi
dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya [al-Ahzâb/33: 56]
Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya[1] ,
"Allâh Azza wa Jalla memberitahukan kepada para hamba-Nya kedudukan
Rasûlullâh di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allâh Azza wa Jalla memuji
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mereka, begitu pula mereka
bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Allâh Azza wa
Jalla memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam
bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpadu pujian para penghuni
langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ."
Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa
bershalawat untukku satu kali, niscaya Allâh akan bershalawat untuknya sepuluh
kali [HR. Muslim 1/288-289 no. 384]
Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubârakfûri rahimahullah
menjelaskan bahwa maksud dari shalawat Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya
adalah Allâh merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya.
Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan keutamaan
membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena itulah,
tidak mengherankan jika dari dulu, para ulama Islam berlomba-lomba menulis buku
khusus guna memaparkan keutamaan membaca shalawat. Contohnya, Fadhlush Shalât
'alâ an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam Ismâ'il bin Ishâq
al-Qâdhi (199-282 H), Jalâ'ul Afhâm fî Fadhlish Shalât wa as-Salâm 'alâ
Muhammadin Khairil Anâm karya Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H) dan
lain-lain.[2]
IKHLAS DAN MENELADANI RASUL SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
DALAM BERSHALAWAT
Dari keterangan di atas, nampak begitu jelas bahwa
membaca shalawat merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Dan
sebagaimana telah diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur'ân dan Sunnah
serta keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allâh
Azza wa Jalla kalau memenuhi dua syarat. Yakni dijalankan secara ikhlas karena
Allâh dan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Fakhruddîn ar-Râzy (544-606 H) menyimpulkan dua syarat
sah ibadah tersebut dari firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha
melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin;
maka mereka itu adalah orang-orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.
[al-Isrâ'/17:19]
Kata beliau rahimahullah, "Syarat pertama,
mengharapkan pahala akhirat dari amalannya. Jika niat ini tidak ada maka dia
tidak akan memetik manfaat dari amalannya … Sebab Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. [HR. Bukhari,
1/9 no. 1 – al-Fath]
Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati
dengan mengenal Allâh serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika
seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allâh dan meraih ketaatan
pada-Nya.
Syarat kedua, ada dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang
artinya, "berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya"
maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada
akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan
suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah
dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan
melakukan amalan-amalan yang batil!"[3].
Imam Ibn Katsîr (700-774 H) mempertegas, "Agar
amalan diterima, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allâh
semata dan kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara
ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak
diterima. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak [HR. Muslim 3/1343 no. 1718
dari Aisyah Radhiyallahu anhuma]
Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat
secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allâh;
amalannya pun juga akan tertolak."[4]
Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih,
maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allâh Azza wa Jalla harus pula
terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ikhlas dalam bershalawat berarti:
1. Hanya mengharapkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan
pahala dari-Nya.
2. Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur
yang bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan
syirik dan kekufuran, semisal istighâtsah kepada selain Allâh Azza wa Jalla ,
menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allâh kepada selain-Nya dan yang
semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk
manusia, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, jika
teks shalawat itu bersumber dari sosok yang ma'shûm , Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , maka ini di luar konteks pembicaraan kita, lantaran tidak mungkin
Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu yang berisi
kesyirikan dan kekufuran.
Meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
bershalawat, maksdunya:
1. Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau dan tidak
melampaui batas sehingga memasuki ranah ghuluw (sikap berlebihan) dan lafaz
syirik.
2. Bershalawat untuk beliau pada momen-momen yang beliau
syariatkan.[5]
3. Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka
mengamalkan firman Allâh Azza wa Jalla dalam QS. al-Ahzâb/33:56 dan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas.
Setelah pemaparan mukadimah yang berisi beberapa kaidah
penting, saatnya kita memasuki inti pembahasan.
SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN
Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks
shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fâtih, shalawat Munjiyât, shalawat
Thibbul Qulûb, shalawat Wahidiyyah, dan -tidak lupa sorotan kita- shalawat
Nâriyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang dikarang
kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang diciptakan
kalangan kontemporer. Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun
1963 oleh salah satu penduduk Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid
Ma'rûf.[6]
Selain itu, mereka juga sangat 'kreatif' dalam membuat
aturan-aturan baca berbagai jenis shalawat tersebut, dari sisi jumlah bacaan,
waktu pembacaan, hingga fadhilah (keutamaan) yang akan diraih oleh pembacanya.
Seakan-akan itu semua ada landasannya dari syariat.
Shalawat Nâriyyah merupakan salah satu shalawat yang
paling masyhur di antara shalawat-shalawat bentukan manusia. Orang-orang
berlomba untuk mengamalkannya, baik dengan mengetahui maknanya, maupun tidak
memahami kandungannya. Bahkan justru barangkali orang jenis kedua ini yang
lebih dominan. Banyak orang serta merta mengamalkannya hanya karena diperintah
tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau tergiur dengan "fadhilah"
tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat tersebut, juga kandungan
makna yang terkandung di dalamnya.
Sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat ini, yang
juga terkadang dinamakan dengan Shalawat Tafrîjiyah Qurthubiyah, ada baiknya
dibawakan dahulu teks lengkapnya : [7]
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَماً تَامّاً
عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ، وَتَنْفَرِجُ بِهِ
الْكُرَبُ، وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ، وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ،
وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، فِيْ
كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan
curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad,
yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan
dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan
serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujan pun
turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap
detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau
SIAPAKAH PENCIPTA SHALAWAT NARIYAH?
Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan
isyarat yang menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang
bernama as-Sanusy.[8] Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah
nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami belum
mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang menciptakan
shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi ini merupakan
bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak tersebar di daerah Maroko,
tarekat as-Sanusiyyah.
BENARKAH PENGARANGNYA ADALAH SHABAT NABI SHALLALLAHU
ALAIHI WA SALLAM?
Di sebuah situs internet tertulis: "Sholawat Nariyah
adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syeikh Nariyah. Syekh yang satu ini
hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi.
Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja
keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allâh, mengajarkan tentang Islam, amal
saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa kepada Allâh memohon
keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa
disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi
yang disebut Sholawat Nariyah.
Suatu malam, Syekh Nariyah membaca sholawatnya sebanyak
4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allâh. Maka dalam
suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama
kali bersama Nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu
dan lantas minta didoakan yang sama seperti Syekh Nariyah. Namun Nabi
mengatakan tidak bisa karena Syekh Nariyah sudah minta terlebih dahulu.
Mengapa sahabat itu ditolak Nabi? Dan justru Syekh
Nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang
setiap malam diamalkan oleh Syekh Nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan
kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya
adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allâh sudah menjamin nabi-nabiNya
sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang
sangat kuat".[9]
Kesimpulan, pengarang Shalawat Nariyah konon seorang bernama
Syekh Nariyah, dan dia termasuk Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
telah dijamin masuk surga oleh beliau.
Sebagai seorang Muslim mestinya tidak begitu saja
menerima apa yang disampaikan padanya, tanpa klarifikasi dan penelitian, apalagi
jika berkenaan dengan permasalahan agama.
Sekurang-kurangnya ada dua poin yang perlu dicermati dari
cerita di atas :
1. Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang bernama Syekh Nâriyah ?
2. Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat' tersebut? Dan
adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya?
Adapun berkenaan dengan poin pertama, perlu diketahui
bahwa biografi para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mendapatkan perhatian ekstra dari para Ulama Islam. Begitu banyak kitab yang mereka
tulis untuk mengupas biografi para sahabat. Ada referensi yang ditulis untuk
memaparkan biografi para shahabat beserta para Ulama sesudah mereka hingga
zaman penulis, adapula referensi yang ditulis khusus untuk menceritakan
biografi para sahabat saja. Diantara contoh model pertama: Hilyatul Auliyâ'
karya al-Hâfizh Abu Nu'aim al-Asfahâni (336-430 H) dan Tahdzîbul Kamâl karya
al-Hâfizh Abul Hajjâj al-Mizzi (654-742 H). Adapun contoh model kedua, seperti:
al-Istî'âb fî Ma'rifatil Ash-hâb karya al-Hâfizh Ibn 'Abdil Bar (368-463 H) dan
al-Ishâbatu fî Tamyîzish Shahâbah karya al-Hâfizh Ibn Hajar al-'Asqalâni
(773-852 H).
Setelah meneliti berbagai kitab di atas dan juga
referensi biografi lainnya, yang biasa diistilahkan para Ulama dengan kutubut
tarâjim wa ath-thabaqât, ternyata tidak dijumpai seorang pun di antara Sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Nâriyah. Bahkan sepengetahuan
kami, tidak ada seorang pun Ulama klasik yang memiliki nama tersebut. Lalu,
dari manakah orang tersebut berasal??
Sebenarnya, orang yang sedikit terbiasa membaca kitab
Ulama, hanya dengan melihat nama tersebut beserta 'gelar' syaikh di depannya,
akan langsung ragu bahwa orang tersebut benar-benar Sahabat Nabi. Karena
penyematan 'gelar' syaikh di depan nama Sahabat -sepengetahuan kami- bukanlah
kebiasaan para Ulama dan juga bukan istilah yang lazim mereka pakai, sehingga
terasa begitu janggal di telinga.
Kesimpulannya: berdasarkan penelaahan kami, tidak ada
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nariyah. Jadi
penisbatan shalawat tersebut terhadap Sahabat sangat perlu untuk dipertanyakan
dan amat diragukan keabsahannya.
Adapun poin kedua, amat disayangkan penulis makalah di
internet tersebut tidak menyebutkan sanad (mata rantai periwayatan) kisah yang
ia bawakan, atau minimal mengisyaratkan rujukannya dalam menukil kisah
tersebut. Andaikan ia mau menyebutkan salah satu dari dua hal di atas niscaya
kita akan berusaha melacak keabsahan kisah tersebut, dengan meneliti para
perawinya, atau merujuk kepada kitab aslinya. Atau barangkali kisah di atas
merupakan dongeng buah pena penulis tersebut ? Jika, ya, maka kisah tersebut
tidak ada nilainya; karena kisah fiksi, alias kisah yang tidak pernah terjadi !
Amat disayangkan, dalam hal yang berkaitan dengan agama,
tidak sedikit kaum Muslimin sering menelan mentah-mentah suatu kisah yang ia
temukan di sembarang buku dan internet, atau kisah yang diceritakan oleh
tetangga, teman, guru dan kenalan, tanpa merasa perlu untuk mengcrosscek
keabsahannya. Seakan-akan kisah itu mutlak benar terjadi! Padahal kenyataannya
seringkali tidak demikian.
Untuk memfilter kisah-kisah palsu dan yang lainnya, Islam
memiliki sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki agama lain, yaitu: Islam
memiliki sanad (mata rantai periwayatan). Demikian keterangan yang disampaikan
Ibn Hazm (384-456 H)[10] dalam al-Fishâl dan Ibnu Taimiyyah (661-728 H).[11]
Imam 'Abdullâh bin al-Mubârak (118-181 H) pernah berkata,
"Isnâd adalah bagian dari agama. Jika tidak ada isnâd, seseorang akan
bebas mengatakan apa yang dikehendakinya."[12]
KANDUNGAN MAKNA SHALAWAT NARIYAH
"Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan
curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad,
yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan
dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua hajat yang
didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia
hujanpun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para Sahabatnya, di
setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh
Engkau."
Bagian dari Shalawat Nâriyyah yang kami cetak tebal
itulah yang akan dicermati dalam tulisan singkat ini. Kalimat-kalimat tersebut
mengandung penisbatan terpecahkannya semua kesulitan, dilenyapkannya segala
kesusahan, ditunaikannya segala macam hajat, tercapainya segala keinginan dan
husnul khatimah, kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Dalam hal ini yang mereka
maksudkan yang melakukan itu semua adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Penisbatan ini merupakan sebuah kekeliruan fatal, sebab
bertolak-belakang dengan al-Qur'ân dan Sunnah, serta bisa mengantarkan
pelakunya kepada kekufuran. Pasalnya, semua perbuatan tersebut, hanya Allâh
Azza wa Jalla yang berkuasa melakukannya.
Mari kita cermati nash-nash berikut :
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam
kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang melenyapkan kesusahan serta
yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan selain
Allâh ? Amat sedikit kalian mengingat-Nya ! [an-Naml/27:62]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingatkan bahwa
hanya Dia-lah yang diseru saat terjadi kesusahan, dan Dia pula yang diharapkan
pertolongan-Nya saat musibah melanda. Demikian keterangan yang disampaikan Imam
Ibnu Katsir. [13]
Karena itulah, setelahnya Allâh Azza wa Jalla melontarkan
pertanyaan dalam konteks pengingkaran, "Adakah tuhan selain Allâh ?".
Hal ini mengisyaratkan, wallahu a'lam, bahwa orang yang tertimpa kesulitan dan
kesusahan lalu memohon pertolongan kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seakan
ia telah menjadikan dzat yang diserunya itu sebagai tuhan 'saingan' Allâh Azza
wa Jalla . Sebab tidak ada yang sanggup mengabulkan permohonan tersebut
melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla .
Senada dengan ayat di atas, firman Allâh Azza wa Jalla
berikut :
قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ
الشَّاكِرِينَ ﴿٦٣﴾ قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنْتُمْ
تُشْرِكُونَ
Katakanlah, "Siapakah yang dapat menyelamatkan
kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan
berendah diri dan suara yang lembut (dengan mengatakan), 'Sesungguhnya jika Dia
menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami akan menjadi orang-orang
yang bersyukur'. Katakan, "Allâhlah yang menyelamatkan kalian dari bencana
itu dan dari segala macam kesusahan. Lantas mengapa kalian kembali
mempersekutukan-Nya?!". [al-An'âm/6: 63-64]
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ
الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
Apapun nikmat yang ada dalam diri kalian, maka dari
Allâh-lah (datangnya). Dan bila kalian ditimpa marabahaya, maka hanya
kepada-Nya-lah (seharusnya) kalian meminta pertolongan [an-Nahl/16:53]
Dan masih banyak lagi firman Allâh yang semakna dengan
ayat-ayat di atas, yang menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan di dunia maupun
akhirat, hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang mendatangkannya. Sebagaimana
pula segala bentuk keburukan di dunia ataupun akhirat, hanyalah Allâh Azza wa
Jalla yang menghindarkannya dari diri kita.
Karena itulah, kita dapatkan qudwah kita, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencontohkan untuk selalu kembali kepada
Allâh Azza wa Jalla dalam segala urusan.
Mari kita cermati sebagian dari doa yang beliau baca :
اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا،
وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ
Ya Allâh, jadikanlah akhir dari seluruh urusan kami baik,
dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksaan akhirat [HR. Ibnu Hibbân
3/230 no. 949]
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ
لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ
Wahai Yang Maha hidup dan Yang terus menerus mengurus
makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu-lah aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh
keadaanku, dan janganlah Engkau jadikanku bergantung kepada diriku sendiri,
walaupun itu hanya sekejap mata [HR. al-Hâkim 1/739 no. 2051]
اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي
طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Ya Allâh, rahmat-Mu-lah yang kuharapkan. Maka janganlah
Engkau jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap
mata. Dan perbaikilah seluruh keadaanku. Tidak ada yang berhak diibadahi
melainkan Engkau. [HR. Abu Dâwud, 5/204 no. 5090 dari Abu Bakrah Radhiyallahu
anhu , dan dinilai sahîh oleh Ibn Hibbân (III/250 no. 970].
Lihatlah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menisbatkan seluruh urusan kepada Allâh Azza wa Jalla , dan memberi kita
teladan agar senantiasa mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allâh Azza wa
Jalla !. Pernahkah beliau -walaupun hanya sekali- mengajarkan kepada umatnya
agar bergantung kepada beliau?! Mustahil beliau mengarahkan demikian, sebab
beliau sendirilah yang berkata, "Janganlah Engkau (Ya Allâh) jadikan aku
bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata". Beliau
mencontohkan praktek tawakkal yang begitu tinggi, dimana beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak ingin bergantung pada diri sendiri, walaupun itu hanya
sesaat, sekedipan mata! Mengapa kita tidak meneladaninya dalam hal ini dan yang
lainnya?
Cermati pula doa terakhir!. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menutup doanya dengan kalimat thayyibah LA ILÂHA ILLALLÂH, yang
menunjukkan -wallahua'lam- bahwa seluruh permintaan di atas adalah bentuk
ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Allâh Azza wa Jalla .
MEMBACA SHALAWAT NARIYAH BERARTI MENGAGUNGKAN RASULULLAH
SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?
Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk
melegalkan pembacaan shalawat Nâriyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan
dalih pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka
mempertahankan shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang
berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi shalawat
Nâriyah tidak mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Ini
merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan.
Masalah pokok yang perlu diketahui pertama kali yaitu
mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam hukumnya wajib. Dan ini
merupakan salah satu cabang keimanan yang besar. Cabang keimanan ini berbeda
dengan cabang keimanan cinta kepada beliau[14] , bahkan pengagungan lebih
tinggi derajatnya dibanding cinta. Sebab tidak setiap yang mencintai sesuatu ia
pasti mengagungkannya. Contohnya, orang tua mencintai anaknya, namun
kecintaannya hanya akan mengantarkan untuk memuliakannya dan tidak mengantarkan
untuk mengagungkannya. Beda dengan kecintaan anak kepada orang tuanya, yang
akan mengantarkan untuk memuliakan dan mengagungkan mereka berdua.[15]
Di antara hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang harus ditunaikan oleh umatnya adalah pemuliaan, pengagungan dan
penghormatan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pengagungan,
pemuliaan dan penghormatan harus melebihi pemuliaan, pengagungan dan penghormatan
seorang anak terhadap orang tuanya atau budak terhadap majikannya. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا
النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an);
mereka itulah orang-orang yang beruntung. [al-A'râf/7:157]
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama, bahwa
yang dimaksud dengan "pemuliaan" dalam ayat di atas adalah
pengagungan.[16]
PENGAGUNGAN TERHADAP RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
BERTEMPAT DI HATI, LISAN DAN ANGGOTA TUBUH [17]
Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah
meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allâh. Keyakinan ini menyebabkan
seseorang mengedepanan kecintaannya kepada Rasulullah n dariapda kecintaannya
terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia.
Keyakinan ini juga menumbuhkan rasa betapa agung dan
wibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta meresapi kemuliaannya,
kedudukannya dan derajatnya yang tinggi.
Hati merupakan raja dari tubuh, manakala pengagungan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujam kuat dalam hati, niscaya
dampaknya secara lahiriah akan nampak jelas. Lisan akan senantiasa basah dengan
pujian kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan
kemuliaan-kemuliaannya. Begitu pula anggota tubuh akan tunduk menjalankan
segala tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , taat kepada syariat dan
ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menunaikan segala haknya.
Adapun pengagungan terhadap beliau dengan lisan,
maksudnya adalah memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang
berhak untuk dimilikinya, yaitu pujian yang Allâh dan Rasul-Nya n lantunkan
untuk beliau, tanpa mengandung unsur berlebihan atau sebaliknya. Dan di antara
pujian yang paling agung adalah membaca shalawat untuk beliau.[18]
Kata al-Halîmy (338-403 H), shalawat kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti pengagungan terhadap beliau di dunia,
dengan mengangkat namanya, menampakkan agamanya dan mengabadikan syariatnya.
Sedangkan di akhirat, maksudnya adalah permohonan agar limpahan pahala mengalir
padanya, syafaat beliau tercurah untuk umatnya dan kemuliaan beliau dengan
al-maqâm al-mahmûd terlihat jelas[19].
Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan yaitu beradab
saat menyebut beliau dengan lisan kita. Caranya adalah dengan menggandengkan
nama beliau dengan sebutan Nabi atau Rasûlullâh, lalu diakhiri dengan shalawat
kepada beliau. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ
بَعْضًا
Janganlah engkau jadikan panggilan Rasûlullâh di antara
kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain.
[an-Nûr/24:63]
Karena itulah para sahabat selalu memanggil Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan, "Wahai Rasûlullâh!"
atau "Wahai Nabiyullâh!".
Juga hendaknya penyebutan nama beliau ditutup dengan
shalawat; "shallallahu'alaihi wa sallam" bukan hanya dengan singkatan
SAW atau yang semisal. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Orang yang pelit adalah orang yang tatkala namaku disebut
di hadapannya, ia tidak bershalawat padaku. [HR. Tirmidzi, no. 3546 dari Ali
bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi rahimahullah menyatakan hadits
ini "Hasan sahih gharib"].
Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan pula yaitu
menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
keistimewaan dan mukjizatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenalkan sunnah
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakat, mengingatkan mereka
terhadap kedudukan serta hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengajarkan
pada mereka akhlak dan sifat mulia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Menceritakan sejarah hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta
menjadikannya sebagai pujian, baik dengan bait-bait syair maupun bukan, namun
dengan syarat tidak melampaui batas ketentuan syariat, semisal pengagungan yang
berlebihan dan yang semisal.
Sedangkan pengagungan dengan anggota tubuh, berarti
mengamalkan syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meneladani
sunnahnya, mengikuti perintahnya secara lahir maupun batin dan berpegang kuat
dengannya. Ridha dan ikhlas dengan aturan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bawa, berusaha menebarkan tuntunannya, membela sunnahnya, melawan mereka yang
menentangnya serta membangun kecintaan dan kebencian di atasnya.
Menjauhi segala yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , tidak menyelisihi perintahnya dan bertaubat serta beristighfar
manakala terjerumus ke dalam penyimpangan.
"Taat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan konsekwensi keimanan kepada beliau dan keyakinan akan
kebenaran yang dibawanya dari Allâh. Sebab beliau tidaklah memerintahkan atau
melarang dari sesuatu, melainkan dengan seizin dari Allâh. Sebagaimana dalam
firman-Nya :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk
ditaati dengan seizin Allâh. [an-Nisâ'/4:64]
Dan makna ketaatan kepada Rasûlullâh adalah menjalankan
perintah-perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya."[20]
Kesimpulannya adalah pengagungan yang hakiki terhadap
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersimpulkan dalam empat kalimat yaitu
mempercayai berita yang bersumber dari beliau, mentaati perintahnya, menjauhi
larangannya dan beribadah dengan tata cara yang disyariatkannya.[21]
RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM MELARANG KITA
UNTUK BERLEBIHAN DALAM MENGAGUNGKANNYA
Secara garis besar, Allâh Azza wa Jalla telah melarang
kita dari sikap berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan
maupun amalan. Sebagaimana dalam Qur’an surat an-Nisâ'/4:171.
Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melarang secara khusus dari sikap berlebihan dalam memujinya. Sebagaimana dalam
sabdanya,
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ،
فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana
kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya,
maka ucapkanlah, "(Muhammad adalah) hamba Allâh dan Rasul-Nya" [HR.
Bukhâri (6/478 no. 3445 –al-Fath) dari Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu]
Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mengingkari para sahabatnya yang berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam , karena khawatir mereka akan melampaui batas, sehingga
terjerumus dalam hal yang terlarang. Juga demi menjaga kemurnian tauhid, agar
tidak ternodai dengan kotoran syirik dan bid'ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sangat berhati-hati dalam mengantisipasi hal tersebut, bahkan sampaipun dari
hal-hal yang barangkali tidak dikategorikan syirik atau bid'ah.
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: "يَا مُحَمَّدُ، يَا سَيِّدَنَا،
وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا، وَابْنَ خَيْرِنَا!" فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ،
وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُاللَّهِ
وَرَسُولُهُ، وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي
أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ".
(Suatu hari) ada seseorang yang berkata, "Wahai
Muhammad, wahai sayyiduna (pemimpin kami), putra sayyidina, wahai orang yang
terbaik di antara kami, putra orang terbaik di antara kami!". Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, "Wahai para manusia,
bertakwalah kalian! Jangan biarkan setan menyesatkan kalian. Aku adalah
Muhammad bin Abdullah; hamba Allâh dan Rasul-Nya. Demi Allâh, aku tidak suka
kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah Allâh tentukan untukku".
[HR. Ahmad (20/23 no. 12551) dan dinilai sahih oleh adh-Dhiyâ' al-Maqdisy (5/25
no. 1627) dan Ibn Hibbân (14/133 no. 6240].
Dengan keterangan di atas, insyaAllâh telah terlihat jelas,
mana bentuk pengagungan yang terpuji dan mana bentuk pengagungan yang tercela.
Penulis tutup makalah ini dengan nasehat yang disampaikan
Ibn Hajar al-Haitamy (909-974 H), manakala beliau menjelaskan bahwa pengagungan
terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dengan sesuatu yang ada
dalilnya dan yang diperbolehkan, jangan sampai melampaui batas tersebut.
Beliau berkata, "Wajib bagi setiap orang untuk tidak
mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan sesuatu yang
Allâh izinkan bagi umatnya, yaitu sesuatu yang layak untuk jenis manusia.
Sesungguhnya melampaui batas tersebut akan menjerumuskan kepada kekafiran,
na'udzubillahi min dzalik. Bahkan melampaui batas sesuatu yang telah
disyariatkan, pada asalnya akan mengakibatkan penyimpangan. Maka hendaknya kita
mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada dalilnya."[22]
Beliau rahimahullah menambahkan, "Ada dua kewajiban
yang harus dipenuhi:
Pertama, kewajiban untuk mengagungkan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mengangkat derajatnya di atas seluruh makhluk.
Kedua, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meyakini
bahwa Allâh Maha Esa dalam dzat dan perbuatan-Nya atas seluruh makhluk-Nya.
Barang siapa meyakini bahwa sesosok makhluk menyertai Allâh dalam hal tersebut;
maka ia telah berbuat syirik. Dan barang siapa merendahkan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah derajat (yang seharus)nya maka ia telah
berbuat maksiat atau kafir.
Namun barang siapa yang mengagungkan beliau dengan
berbagai jenis pengagungan dan tidak sampai menyamai sesuatu yang merupakan
kekhususan Allâh, maka ia telah menggapai kebenaran, dan berhasil menjaga
dimensi ketuhanan serta kerasulan. Inilah ideologi yang tidak mengandung unsur
ekstrim atau sebaliknya".[23] Wallahu a'lam
Makkah al-Mukarramah, 25 Sya'ban 1431 H / 6 Agustus 2010
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun
XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
Surat Al-Ahzab: 56
Perintah Bershalawat kepada Nabi saw dan Keluarganya
Allah swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَ مَلَئكتَهُ يُصلُّونَ عَلى النَّبىِّ يَأَيهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا صلُّوا عَلَيْهِ وَ سلِّمُوا تَسلِيماً
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada
Nabi; wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepadanya dan ucapkan
salam kepadanya.” (Al-Ahzab/33: 56)
Ulama dari kalangan mazhab Ahlul bait (sa) sepakat bahwa
ayat ini diturunkan untuk menegaskan hak Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (sa),
yaitu perintah bershalawat kepada mereka dan cara bershalawat. Ulama
Ahlussunnah juga sepakat kecuali hanya beberapa penulis.
Cara bershalawat
Dalam shahih Bukhari, kitab doa, bab bershalawat kepada
Nabi saw:
Abdurrahman bin Abi Layli berkata: Ka’b bin Ujrah menemui
aku lalu berkata: Tidakkah kamu diberi hadiah? Nabi saw datang kepada kami,
lalu kami berkata: Ya Rasulallah, engkau telah mengajari kami cara mengucapkan
salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab:
Kalian ucapkan:
اللهمّ صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد، كما صلّيت على آل إبراهيم
إنك حميد مجيد، اللّهمّ بارك على محمّد وعلى آل محمّد، كما باركت على إبراهيم إنك حميد
مجيد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim,
sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berkahi Muhammad dan
keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji dan Maha Mulia.
Dalam Shihih Bukhari, kitab tafsir, bab ayat ini:
Abu Said Al-Khudri berkata, kami berkata: Ya Rasulallah,
ini adalah cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat
kepadamu? Beliau menjawab: kalian ucapkan:
اللّهمّ صلّ على محمّد عبدك ورسولك كما صلّيت على آل إبراهيم،
وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad hamba-Mu dan
Rasul-Mu sebagaimana Engkau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, dan
berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim.
Shahih Muslim, kitab shalawat kepada Nabi saw sesudah
tasyahhud:
Abu Mas’ud Al-Anshari berkata: Rasulullah saw pernah
mendatangi kami ketika kami berada di majlis Sa’d bin Ubadah. Kemudian Basyir
bin Sa’d berkata kepadanya: Allah Azza wa Jalla memerintahkan pada kami agar
bershalawat kepadamu ya Rasulallah, lalu bagaimana cara kami bershalawat
kepadamu? Lalu beliau diam sepertinya beliau menghendaki kami tidak bertanya
tentang hal itu. Kemudian beliau bersabda: Kalian ucapkan:
اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صليت على آل إبراهم،
وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على آل إبراهيم في العالمين إنك حميدٌ مجيد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, dan
berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi keluarga
Ibrahim di alam semesta, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Sunan An-Nasa’i 1/190, bab 52, hadis ke 1289:
Musa bin Thalhah dari ayahnya, ia berkata: kami berkata,
ya Rasulallah, bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: Kalian
ucapkan:
اللّهمّ صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صلّيت على إبراهيم
وآل إبراهيم إنك حميد مجيد ، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم
وآل إبراهيم إنك حميد مجيد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga
Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia; berkahi Muhammad dan
keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim,
sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Sunan An-Nasa’i 1: 190, bab 52, hadis ke 1291:
Musa bin Thalhah berkata, aku bertanya kepada Zaid bin
Kharijah, ia berkata, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Kemudian
beliau bersabda: Bershalawatlah kalian kepadaku dan bersungguh-sungguhlah
kalian dalam berdoa, dan kalian ucapkan:
اللّهم صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad.
Shahih Ibnu Majah 65, kitab shalat, bab shalawat kepada
Nabi saw, hadis ke 906:
Abdullah bin Mas’ud berkata: Jika kalian bershalawat
kepada Rasulullah saw, hendaknya kalian memperbaiki shalawat kepadanya, karena
kalian tidak tahu kalau shalawat itu hukumnya wajib. Lalu dikatakan kepadanya:
ajarkan kepada kami (tentang cara bershalawat). Ia berkata: kalian ucapkan:
اللهم اجعل صلاتك ورحمتك وبركاتك على سيد المرسلين. اللّهم صلّ
على محمّد وعلى آل محمّد كما صلّيت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد ، اللهم
بارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد
Ya Allah, curahkan shalawat-Mu, rahmat-Mu dan
keberkahan-Mu kepada penghulu para Rasul. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada
Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada
Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Ya Allah, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi
Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Fathul Bari 13: 441, kitab doa, bab 32, hadis ke 6358:
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang shalawat ini, pada hari kiamat aku akan menjadi saksi baginya
dan memberi syafaat padanya:
اللهم صل على محمّد وعلى آل محمّد كما صليت على إبراهيم وعلى
آل إبراهيم ، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم
، وترحم على محمّد وعلى آل محمّد كما ترحمت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga
Ibrahim, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi
Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sayangi Muhammad dan keluarga Muhammad
sebagaimana Engkau sayangi Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i meriwayatkan dalam
Musnadnya:
Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw: Wahai
Rasulullah, bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Nabi saw menjawab: kalian
ucapkan:
اللّهم صل على محمد وآل محمد كما صليت على ابراهيم وبارك على
محمد وآل محمد كما باركت على ابراهيم وآل ابراهيم، ثم تسلمون علي
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga
Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau berkahi
Ibrahim dan keluarga Ibrahim; kemudian ucapkan salam kepadaku. (Musnad, jilid
2, halaman 97).
Ash-Sha’iqul Muhriqah, hlm 144:
Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa Ka’b bin Ujrah berkata:
ketika ayat ini turun kami bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulallah, kami
telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, tapi bagaimana cara
bershalawat kepadamu. Nabi saw menjawab: kalian ucapkan:
اللّهم صل على محمد وآل محمد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad. Kemudian beliau bersabda: Janganlah kalian bershalawat kepadaku
dengan shalawat yang batra’ (puntung). Lalu para sahabat bertanya: Apa shalawat
yang batra’ itu. Beliau menjawab: Kalian hanya mengucapkan:
اللّهم صل على محمد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad. Tetapi,
hendaknya kalian mengucapkan:
اللّهم صل على محمد وآل محمد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad.
Dalam tafsirnya Al-Qurthubi menyebutkan beberapa riwayat
bahwa ayat ini adalah keharusan menyertakan Ahlul bait ketika bershalawat
kepada Nabi saw. (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an 14: 233 dan 234).
Ibnul Arabi Al-Andalusi Al-Maliki juga menyebutkan
beberapa riwayat bahwa ayat ini diturunkan untuk menegaskan hak Nabi saw dan
keluarganya yang suci (sa). (Ahkamul Qur’an 2: 84).
Jabir (ra) berkata: Sekiranya kamu melakukan shalat dan
tidak bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, maka aku tidak melihat
shalatnya diterima. (Dzakhairul Uqba:19).
Al-Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan dalam Asy-Syifa’, dari Ibnu
Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat dan dalam
shalatnya tidak membaca shalawat kepadaku dan Ahlul baitku, maka shalatnya
tidak diterima.” (Al-Ghadir 2: 303).
Ibnu Hajar mengatakatan: Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi
meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat dan
dalam shalatnya tidak membaca shalawat kepadaku dan Ahlul baitku, maka
shalatnya tidak diterima.” (Ash-Shawaiqul Muhriqah: 139).
Ar-Razi mengatakan: Doa untuk keluarga Nabi saw
menunjukkan keagungan kedudukan mereka, karena doa ini ditempatkan di akhir
Tasyahhud dalam shalat, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa âli Muhammad,
warham Muhammadan wa âla Muhammad (Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad
dan keluarga Muhammad, dan sayangi Muhammad dan keluarga Muhammad). Pengagungan
ini tidak akan didapatkan pada selain keluarga Muhammad. Hal ini menunjukkan
bahwa mencintai keluarga Muhammad adalah wajib. Keagungan kedudukan Ahlul bait
Nabi saw terdapat dalam lima hal: Tasyahhud dalam shalat, salam, kesucian,
diharamkannya sedekah bagi mereka, dan kewajiban mencintai mereka. (Tafsir
Ar-Razi 7: 391).
Hadis-hadis tersebut dan yang semakna juga terdapat
dalam:
1. Shahih Bukhari, jilid 6, halaman 12.
2. Asbabun Nuzul, Al-Wahidi, halaman 271.
3. Ma’alim At-Tanzil, Al-Baghawi, catatan pinggir Tafsir
Al-Khazin, jilid 5, halaman 225.
4. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 148.
5. Tafsir Fakhrur Razi, jilid 25, halaman 226.
6. Al-Hafizh Abu Na’im Al-Isfahani, Akhbar Isfahan, jilid
1, halaman 131.
7. Al-Hafizh Abu Bakar Al-Khathib, Tarikh Baghdad, jilid
6, halaman 216.
8. Ibnu Abd Al-Birr Al-Andalusi, Tajrid At-Tamhid,
halaman 185.
9. Tafsir Ruh Al-Ma’ani, Al-Alusi, jilid 22, halaman 32.
10. Dzakhairul Uqba, Muhibuddin Ath-Thabari, halaman 19.
11. Riyadhush Shalihin, An-Nawawi, halaman 455.
12. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, halaman 506.
13. Tafsir Ath-Thabari, jilid 22, halaman 27.
14. Tafsir Al-Khazin, jilid 5, halaman 226.
15. Ad-Durrul Mantsur, As-Suyuthi, jilid 5, halaman 215.
16. Fathul Qadir, Asy-Syaukani, jilid 4, halaman 293.
Shalat tidak akan diterima tanpa shalawat
Sunan Al-Baihaqi 2: 379, kitab shalat, bab 471, hadis
3968:
Abu Mas’ud berkata: Sekiranya aku melakukan shalat tanpa
bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, niscaya aku memandang
shalatku tidak sempurna.
Dalam Sunan Ad-Daruquthni 136, kitab shalat, bab
kewajiban shalawat dalam tasyahhud, hadis ke 6:
Ibnu Mas’ud berkata bahwa Rasululah saw bersabda:
من صلى صلاة لم يصل فيها عليّ ولا على أهل بيتي لم تقبل منه
“Barangsiapa yang melakukan shalat, dan di dalamnya tidak
bershalawat kepada ku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.”
Dalam Dzakhair Al-‘Uqba 19, bab Fadhail Ahlul bait (sa):
Jabir berkata: Sekiranya aku melakukan shalat, dan di
dalamnya aku tidak bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, niscaya
aku memandang shalatku tidak diterima.
Dalam Syarah Al-Mawahib halaman 7:
Imam Syafi’i berkata:
يا آل بيت رسول الله حبكم فرض من الله في القرآن أنزله
كفا كم من عظيم القدر انكم من لم يصل عليكم لا صلاة له
Wahai Ahlul bait Rasulullah,
mencintaimu diwajibkan oleh Allah dalam Al-Qur’an yang
diturunkan
Cukuplah keagungan kedudukanmu
orang yang tidak bershalawat kepadamu (dalam shalatnya)
shalatnya tidak sah.
Perkataan Imam Syafi’i tersebut juga terdapat dalam:
1. Musnad Ahmad, jilid 6 halaman 323.
2. Ash-Shawaiqul Muhriqah, Ibnu hajar, halaman 88.
3. Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn Al-Abshar, Asy-Syablanji,
halaman 104, bab 2 manaqib Al-Hasan dan Al-Husayn.
Doa tidak akan diijabah tanpa shalawat
Dalam Kanzul Ummal 1: 173, pasal 2 Adab Doa:
Tidak ada suatupun doa kecuali ada hijab (penghalang)
antara doa itu dan Allah sehingga dibacakan shalawat. Ketika shalawat
dibacakan, maka robeklah hijab itu dan sampailah doa itu kepada Allah swt. Dan
jika tidak dibacakan shalawat, maka kembalilah doa itu.
Pernyataan ini diriwayatkan oleh Ad-daylami dari Ali bin
Abi Thalib (sa).
Dalam Ash-Shawaiq Al-Muhriqah haaman 88:
Ad-Daylami meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
الدعاء محجوب حتى يُصلّى على محمّد وأهل بيته ، اللّهم صلِّ
على محمّد وآله
“Doa itu akan terhijabi sehingga dibacakan shalawat
kepada Muhammad dan Ahlul baitnya, yaitu: Sampaikan shalawat kepada Muhammad
dan keluarganya.”
Dalam Faydh Al-Qadhir 5: 19, hadis ke 6303:
Ali bin Abi Thalib (sa) berkata:
كل دعاء محجوب حتى يُصلّى على محمّد وآل محمّد
“Semua doa akan terhalangi sehingga dibacakan shalawat
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.”
Al-Haitsami mengatakan: Tokoh-tokoh hadis tersebut dapat
dipercaya.
Al-Muttaqi Al-Hindi juga menyebutkan dalam kitabnya
Kanzul Ummal 1/314, mengutip dari Ubaidillah bin Abi Hafsh Al-‘Aysyi. Abdul
Qadir Ar-Rahawi menyebutkan dalam Al-Arbain, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir,
Al-Baihaqi dalam Syu’b Al-Iman.
Dalam Faydh Al-Qadir 3: 543:
Abu Syaikh meriwayatkan Ali bin Abi Thalib (sa):
الدعاء محجوب عن الله حتى يصلّى على محمّد وأهل بيته
“Doa itu akan terhijabi dari Allah sehingga dibacakan
shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya.”
Hadis ini juga diriwayatkan Al-Baihaqi dari Asy-Sya’b,
At-Tirmidzi dari Ibnu Umar.
Dalam Kanzul Ummal 1: 181:
Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib (sa):
Jika disedihkan oleh suatu persoalan, maka bacalah:
اللّهم احرسني بعينك التي لا تنام، واكنفني بكنفك الذي لا يرام.
أسألك أن تُصلّي على محمّد وعلى آل محمّد، وبك أدرأ في نحور الأعداء والجبابرة
“Ya Allah, jagalah daku dengan mata-Mu yang tak pernah
tidur, dan jagalah daku dengan benteng-Mu yang tak pernah hancur. Aku bermohon
pada-Mu sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dengan-Mu aku
berlindung dari permusuhan musuh-musuhku dan orang-orang yang sombong.”
Ali, Fatimah, Hasan dan Husein (sa) adalah keluarga Nabi
saw
Dalam Musnad Ahmad 6: 324, hadis ke 26206:
Ummu Salam berkata bahwa Rasulullah saw bersabda kepada
Fatimah (sa): “Bawalah kepadaku suamimu dan kedua anakmu.” Kemudian Fatimah
(sa) bersama mereka datang kepada Nabi saw. Lalu beliau memayungi mereka dengan
kain kisa’ dan meletakkan tangannya pada mereka, lalu bersabda:
اللّهم إن هؤلاء آل محمّد ، فاجعل صلواتك وبركاتك على محمّد
وعلى آل محمّد إنّك حميد مجيد
“Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah keluarga Muhammad,
curahkan shalawat-Mu dan keberkahan-Mu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad
sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”
Ummu Salamah berkata: Kemudian aku mengangkat kain kisa’
itu untuk berkumpul bersama mereka, kemudian Nabi saw menarik kain kisa’ itu
(melarang masuk ke dalam kain kisa’) dan bersabda: “Engkau adalah orang yang
baik.”
Dalam Mustadrak Al-Hakim 3: 147, kitab ma’rifah Shahabah:
Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berkata: Ketika
Rasulullah saw melihat rahmat Allah turun, beliau bersabda: “Datangkan padaku,
datangkan padaku.” Shafiyah bertanya: Siapa yang Rasulallah? Beliau menjawab: “Ahlul
baitku, yaitu Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husayn.” Lalu mereka datang kepada
Nabi saw, kemudian beliau memayungi mereka dengan kain kisa’, kemudian berdoa
dengan mengangkat tangannya:
اللّهمّ هؤلاء آلي ، فصلِّ على محمّد وعلى آل محمّد
“Ya Allah, mereka adalah keluargaku, curahkan shalawat
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.” Kemudian Allah Azza wa jalla menurunkan
surat Al-Ahzab: 33.
Al-Hakim mengatakan hadis ini shahih menurut persyaratan
Bukhari dan Muslim.
Hadis ini dan yang semakna juga terdapat dalam:
1. Kanzul Ummal, Al-Muttaqi Al-Hindi, jilid 7 halaman
103, bab Fadhail Ahlul bait, hadis ke 37629.
2. Musykil Al-Atsar, Ath-Thahawi, jilid 1 halaman 334.
3. Tafsir Ad-Durrul Mantsur, tentang surat Al-Ahzab: 33.
4. Musnad Ahmad, jilid 6 halaman 296.
5. Majma’ Az-Zawaid, Al-Haitsami, jilid 9 halaman 167,
bab keutamaan Ahlul bait (sa).
Larangan shalawat batra’ (terputus)
Shalawat ba’tra’ adalah shalawat yang tidak menyertakan
keluarga Nabi saw dalam bershalawat kepadanya.
Dalam Ash-Shawaiq Al-Muhriqah 87, bab 11:
Ibnu Hajar berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Janganlah
kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat batra’.” Kemudian sahabat bertanya:
Apakah shalawat batra’ itu? Nabi saw menjawab: Kalian hanya mengucapkan:
اللّهم صلِّ على محمّد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad. Tetapi
hendaknya kalian mengucapkan:
اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad.
Disini terdapat hal yang mengherankan: Mengapa umumnya
ummat Islam bershalawat kepada Nabi saw dengan shalawat batra’ yaitu
Shallallahu ‘alayhi wa sallam (semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam
kepada Muhammad). Padahal para ulama dan para imam ahli hadis dari Ahlussunnah
telah meriwayatkan hadis-hadis bahwa doa itu tidak diijabah tanpa bershalawat
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, shalat tidak diterima tanpa bershalawat
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, cara bershalawat kepada Muhammad dan
keluarga Muhammad, dan hadis-hadis bahwa Nabi saw melarang bershalawat dengan
shalawat batra’ (yang terputus).
No comments:
Post a Comment