Perjalanan yang belum selesai (334)
(Bagian ke tiga
ratus tiga puluh empat), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 05 Agustus 2015, 18.23 WIB).
Ingin masuk surga, perlu kunci ?
Setiap manusia pasti ingin masuk surga, tempat yang
disediakan Allah bagi mereka yang beriman.
Untuk membuka pintu surga tentu saja kita memerlukan
kunci, dan kunci untuk masuk surga adalah pengakuan Keesaan Allah ,
Laillahaillaulah (Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), dan
Melengkapinya dengan pengakuan Muhammadarasulaulah (Nabi Muhammad adalah Utusan
Allah). Pengakuan Tauhid ini adalah yang terpenting dari lima rukun Islam.
Setiap kunci memerlukan gerigi, agar kita mudah memasuki
pintu surga, gerigi pentu surga itu adalah kita secara ikhlas dan konsisten
serta bertawakal melaksanakan lima rukun Islam, pertama mengucapkan
Laillahaillaulah Muhammadarasulaulah (Tiada Tuhan yang berhak di sembah,
kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah).
Kedua, melaksanakan sholat wajib, kedua berpuasa pada
bulan Ramadhan, ketiga membayar zakat, keempat pergi Haji ke Mekah, Arab Saudi,
bila mampu.
Selain itu kita banyak beramal dan beribadah sesuai
perintah Allah di Al Qur-an dan Hadist (sunnah/al-hikmah) seperti yang
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya, bukan ibadah dengan cara
selain mereka.
Kalau kita beribadah dengan cara selain yang dicontohkan
Nabi Muhammad dan para sahabatnya kita akan tersesat dan bisa terjerumus
mngikuti ajaran sesat firqah lain seperti aliran Syiah, khawarij, murjiah,
sufiyah dan firqah lain yang sesat.
Khusus aliran shiah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak
Ketua Umumnya dijabat Prof.Dr. Hamka mengeluarkan fatwa, bahwa aliran shiah
adalah aliran sesat, ada sepuluh alasan mengapa MUI mengkategorikan Shiah
sesat, diantaranya mereka mengkafirkan para sahabat Nabi Muhammad, suatu ajaran
yang sangat bertentangan dengan Al Quran dan Hadist.
Jad
tidak ditemukan pada kelompok-kelompok sempalan umat Islam yang sesuai dengan
para sahabat kecuali Ahlul Sunnah wal Jama'ah dari kalangan pengikut As-Salaf
Ash-Shalih Ahlul Hadits.
Adapun Mu'tazilah bagaimana bisa sesuai dengan para sahabat sedangkan tokoh-tokoh besar mereka mencela tokoh besar sahabat dan merendahkan keadilan mereka serta menuduh mereka sesat seperti Al-Washil bin Atho' yang menyatakan : Seandainya Ali, Tholhah dan Az-Zubair bersaksi maka saya tidak menghukum karena persaksian mereka.[Lihat Al-Farqu Bainal Firaq hal.119-120]
Adapun Khawarij telah keluar dari agama dan menyempal dari jama'ah kaum muslimin karena diantara pokok-pokok dasar ajaran mereka adalah mengkafirkan Ali dan anaknya, Ibnul Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah dan Mu'awiyah dan tidaklah berada diatas sifat-sifat para sahabat orang yang melecehkan dan mengkafirkan mereka.
Adapun Shufiyah, mereka meremehkan warisan para Nabi dan merendahkan para penyampai Al-Kitab dan As-Sunnah serta mensifatkan mereka sebagai para mayit. Seorang tokoh besar mereka berkata : Kalian mengambil ilmu kalian, dari mayit sedangkan kami mengambil ilmu kami dari yang maha hidup yang tidak mati (Allah) langsung. Oleh karena itu mereka mengatakan -dengan mulut-mulut mereka untuk menolak sanad hadits- : Telah mengkhabarkan kepada saya hati saya dari Rabb.
Adapun Syi'ah, mereka telah meyakini bahwa para sahabat telah murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja, lihatlah Al-Kisyiy -salah seorang imam mereka- meriwayatkan satu riwayat dalam kitab Rijalnya hal. 12,13 dari Abu Ja'far, bahwa dia telah menyatakan : Semua orang murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali tiga, saya berkata : Siapakah ketiga orang tersebut ? Beliau jawab : Al-Miqdaad bin Al-Aswaad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisiy.
Dan meriwayatkan dalam hal.13 dari Abu Ja'far, dia berkata : Kaum Muhajirin dan Anshor telah keluar (dari agama) kecuali tiga. [Lihat Al-Kaafiy karya Al-Kulaniy, hal.115]
Lihat juga Khumaini (yang menggulingkan /kudeta Raja Reza Pahlevi )-tokoh besar mereka di zaman ini- mencela dan melaknat Abu Bakar dan Umar dalam kitabnya Kasyful Asroor hal, 131, dia menyatakan : Sesungguhnya syaikhani (Abu Bakar dan Umar) ... dan dari sini kita dapati diri kita terpaksa menyampaikan bukti-bukti penyimpangan mereka berdua yang sangat jelas terhadap Al-Qur'an dalam rangka membuktikan bahwa kedua telah menyelisihinya.
Dan berkata lagi hal 137 : ... dan Nabi menutup matanya (wafat) sedangkan kedua telinga beliau ada ucapan-ucapan Ibnul Khaththab yang tegak diatas kedustaan dan bersumber dari amalan kekufuran, kezindikan dan penyelisihan terhadap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur'an yang mulia.
Adapun Murji'ah, mereka berkeyakinan bahwa iman orang-orang munafiq yang berada dalam kenifakan sama seperti imannya Assabiqunal Awalun (orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Bagaimana mereka semua ini bersesuaian dengan para sahabat sedangkan mereka :
Mengkafirkan orang-orang pilihan dari kalangan mereka
Tidak menerima sedikitpun yang mereka riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah dan hukum syari'at.
Mengikuti peradaban Rumawi dan filsafat Yunani
Kesimpulannya
Kelompok-kelompok ini semua ingin menolak para saksi kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan mencela mereka sedangkan mereka lebih pantas dicela dan mereka ini adalah kaum zindiq.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemahaman salaf adalah manhaj Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dalam konsep pemahaman, penerimaan dan Istidlal (pengambilan hukum).
Sedangkan orang-orang yang mencontoh para sahabat adalah orang-orang yang beramal dengan riwayat-riwayat (hadits) yang shahih dan otentik dalah hukum syariat, dengan jalan dan pemahaman sahabat, dan ini merupakan jalan hidupnya Ahlul Hadits, bukan jalannya ahlul bid'ah dan hawa. Sehingga benar dan kuatlah apa yang telah kami paparkan ketika kami jelaskan wujud keberhasilan mereka dalam berhukum kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keberhasilan orang yang mengambil sunnah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnahnya para Khulafaur Rasyidin setelah beliau.
Adapun Mu'tazilah bagaimana bisa sesuai dengan para sahabat sedangkan tokoh-tokoh besar mereka mencela tokoh besar sahabat dan merendahkan keadilan mereka serta menuduh mereka sesat seperti Al-Washil bin Atho' yang menyatakan : Seandainya Ali, Tholhah dan Az-Zubair bersaksi maka saya tidak menghukum karena persaksian mereka.[Lihat Al-Farqu Bainal Firaq hal.119-120]
Adapun Khawarij telah keluar dari agama dan menyempal dari jama'ah kaum muslimin karena diantara pokok-pokok dasar ajaran mereka adalah mengkafirkan Ali dan anaknya, Ibnul Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah dan Mu'awiyah dan tidaklah berada diatas sifat-sifat para sahabat orang yang melecehkan dan mengkafirkan mereka.
Adapun Shufiyah, mereka meremehkan warisan para Nabi dan merendahkan para penyampai Al-Kitab dan As-Sunnah serta mensifatkan mereka sebagai para mayit. Seorang tokoh besar mereka berkata : Kalian mengambil ilmu kalian, dari mayit sedangkan kami mengambil ilmu kami dari yang maha hidup yang tidak mati (Allah) langsung. Oleh karena itu mereka mengatakan -dengan mulut-mulut mereka untuk menolak sanad hadits- : Telah mengkhabarkan kepada saya hati saya dari Rabb.
Adapun Syi'ah, mereka telah meyakini bahwa para sahabat telah murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja, lihatlah Al-Kisyiy -salah seorang imam mereka- meriwayatkan satu riwayat dalam kitab Rijalnya hal. 12,13 dari Abu Ja'far, bahwa dia telah menyatakan : Semua orang murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali tiga, saya berkata : Siapakah ketiga orang tersebut ? Beliau jawab : Al-Miqdaad bin Al-Aswaad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisiy.
Dan meriwayatkan dalam hal.13 dari Abu Ja'far, dia berkata : Kaum Muhajirin dan Anshor telah keluar (dari agama) kecuali tiga. [Lihat Al-Kaafiy karya Al-Kulaniy, hal.115]
Lihat juga Khumaini (yang menggulingkan /kudeta Raja Reza Pahlevi )-tokoh besar mereka di zaman ini- mencela dan melaknat Abu Bakar dan Umar dalam kitabnya Kasyful Asroor hal, 131, dia menyatakan : Sesungguhnya syaikhani (Abu Bakar dan Umar) ... dan dari sini kita dapati diri kita terpaksa menyampaikan bukti-bukti penyimpangan mereka berdua yang sangat jelas terhadap Al-Qur'an dalam rangka membuktikan bahwa kedua telah menyelisihinya.
Dan berkata lagi hal 137 : ... dan Nabi menutup matanya (wafat) sedangkan kedua telinga beliau ada ucapan-ucapan Ibnul Khaththab yang tegak diatas kedustaan dan bersumber dari amalan kekufuran, kezindikan dan penyelisihan terhadap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur'an yang mulia.
Adapun Murji'ah, mereka berkeyakinan bahwa iman orang-orang munafiq yang berada dalam kenifakan sama seperti imannya Assabiqunal Awalun (orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Bagaimana mereka semua ini bersesuaian dengan para sahabat sedangkan mereka :
Mengkafirkan orang-orang pilihan dari kalangan mereka
Tidak menerima sedikitpun yang mereka riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah dan hukum syari'at.
Mengikuti peradaban Rumawi dan filsafat Yunani
Kesimpulannya
Kelompok-kelompok ini semua ingin menolak para saksi kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan mencela mereka sedangkan mereka lebih pantas dicela dan mereka ini adalah kaum zindiq.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemahaman salaf adalah manhaj Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dalam konsep pemahaman, penerimaan dan Istidlal (pengambilan hukum).
Sedangkan orang-orang yang mencontoh para sahabat adalah orang-orang yang beramal dengan riwayat-riwayat (hadits) yang shahih dan otentik dalah hukum syariat, dengan jalan dan pemahaman sahabat, dan ini merupakan jalan hidupnya Ahlul Hadits, bukan jalannya ahlul bid'ah dan hawa. Sehingga benar dan kuatlah apa yang telah kami paparkan ketika kami jelaskan wujud keberhasilan mereka dalam berhukum kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keberhasilan orang yang mengambil sunnah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnahnya para Khulafaur Rasyidin setelah beliau.
Kehebatan Tauhid, Menghapus semua dosa
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Apa rahasia kehebatan tauhid, sehingga mampu menghapus
segala dosa, sebesar apapun ? Seorang Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu
misalnya, tokoh yang sebelum masuk Islam terkenal paling menentang ajaran Islam
dan terkenal dengan kekafirannya serta pernah mengubur putrinya hidup-hidup.
Namun dengan masuk Islam, mentauhidkan peribadatan hanya kepada Allâh Subhanahu
wa Ta’ala saja, maka terhapuslah segala dosa dan kesalahannya yang menggunung.
Bahkan menjadi tokoh paling mulia di sisi Allâh sesudah Abu Bakar Radhiyallahu
anhu.
Apalagi jika kesalahan seseorang lebih kecil, tentu akan
lebih mudah terhapus dengan tauhid. Bahkan jika kesalahan serta kekufurannya
lebih besar dari Umar Radhiyallahu anhu sekalipun, tetap semua itu akan hapus
dan sirna dengan tauhid.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"...وَمَنْ لَقِيَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطِيْئَةً لاَيُشْرِكُ
بِي شَيْئًا، لَقِيْتُهُ بِمِثْلِهَا مَغْفِرَةً" رواه مسلم
Allâh Azza wa Jalla berfirman, "…Dan barangsiapa
menjumpai-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi dalam keadaan tidak
mempersekutukan sesuatupun dengan Aku, maka Aku akan menjumpainya dengan
ampunan yang sepenuh bumi pula". [HR. Muslim][1] .
Dalam Sunan Tirmidzi, dari Anas Radhiyallahu anhu ,
beliau mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Allâh Tabaraka wa Ta'ala berfirman :
يَاابْنَ آدَمَ! إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأرْضِ
خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَتُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika engkau datang
menghadap kepada-Ku dengan membawa kesalahan-kesalahan sepenuh bumi, kemudian
engkau datang kepada-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan
Ku, maka Aku akan datang kepadanya dengan membawa ampunah sepenuh bumi pula[2].
Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aal asy-Syaikh (wafat th.
1285 H) menyebutkan bahwa al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah
mengatakan, "Barangsiapa yang datang dengan membawa tauhid (kepada Allâh),
meskipun memiliki kesalahan sepenuh bumi, niscaya Allâh akan menemuinya dengan
membawa ampunan sepenuh bumi pula"[3]
Maksudnya, hadits di atas menegaskan bahwa siapa yang
bertauhid dengan sempurna, maka bisa mendapat ampunan dari dosa-dosanya
meskipun dosa-dosa itu memenuhi bumi. Bukan hanya itu, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga menegaskan bahwa orang yang sempurna tauhidnya, tidak
akan diadzab oleh Allâh di akhirat.
Dalam hadits Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu tentang
hak dan kewajiban hamba kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ وَلاَيُشْرِكُوْا
بِهِ شَيْئاً، وَحَقُّ الْعِباَدِ عَلَى اللهِ : أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ
بِهِ شَيْئاً. قُلْتُ: ياَرَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ أُبَشِّر الناَّسَ؟ قَالَ : لاَتُبَشِّرْهُمْ
فَيَتَّكِلُوْا. أخرجاه
Hak Allâh yang menjadi kewajiban para hamba ialah agar
mereka beribadah kepada Allâh saja dan tidak mempersekutukan sesuatupun
(syirik) dengan Allâh. Sedangkan hak hamba yang akan diperoleh dari Allâh ialah
bahwa Allâh tidak akan mengadzab siapapun yang tidak mempersekutukan (syirik)
sesuatu dengan Allâh." Aku (mu'adz) berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, tidakkah
kabar gembira ini aku sampaikan kepada orang banyak ?’ Beliau menjawab,
"Jangan engkau kabarkan kepada mereka, sebab mereka akan bergantung (dengan
mengatakan: yang penting tidak syirik-pen) [HR. Bukhari dan Muslim][4]
Hadits ini menunjukkan, orang yang sama sekali tidak
berbuat syirik dalam beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , ia tidak akan
di adzab.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula :
مَنْ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ
لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ
اللهِ وَابْنُ أَمَتِهِ، وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ،
وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ الله مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ(وفى رواية: أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ
مِنَ الْعَمَلِ). أخرجاه
Siapa yang berkata: Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan
yang berhak diibadahi kecuali Allâh saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba
Allâh dan anak hamba (perempuan) Allâh, ia adalah manusia yang dicipta dengan
kalimat-Nya, lalu dimasukkan ke dalam diri Maryam, dan ia adalah ruh yang
dicipta oleh Allâh. Juga bersaksi bahwa sorga adalah benar adanya, dan
nerakapun benar adanya, maka Allâh pasti akan memasukannya ke dalam sorga, melalui
pintu mana saja yang dia kehendaki dari pintu-pintunya yang delapan. (Dalam
riwayat lain: maka Allâh pasti akan memasukannya ke dalam sorga, sesuai dengan
amal perbuatan yang dilakukannya). [HR. Bukhari dan Muslim][5]
Masih banyak nash lain yang menceritakan kehebatan
tauhid. Apa Rahasianya?
Di sini perlu dikaji beberapa hal di antaranya:
PENGERTIAN TAUHID
Tauhid ialah meng-Esakan Allâh Azza wa Jalla dengan hanya
memberikan peribadatan kepada-Nya saja.[6] Artinya, agar orang beribadah
(menyembah) hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja serta tidak mempersekutukan
sesuatupun dengan-Nya (tidak syirik kepada-Nya). Dia beribadah hanya kepada
Allâh Azza wa Jalla dengan mencurahkan kecintaan, pengagungan, harapan dan rasa
cemas.[7]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah
menerangkan bahwa kata tauhid merupakan mashdar dari wahhada, yuwahhidu,
artinya menjadikan sesuatu menjadi satu-satunya. Dan ini tidak akan terjadi
kecuali dengan menggabungkan antara nafi (peniadaan) dan itsbât (penetapan). Meniadakan
(peribadatan) dari selain yang di Esakan, serta menetapkan (peribadatan) hanya
pada yang di Esakan.[8]
Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, "Tauhid yang di bawa Rasul Allâh sebagai ajarannya tidak lain
berisi penetapan bahwa sifat Uluhiyah (berhak disembah) hanyalah milik Allâh
Azza wa Jalla saja. Yaitu, ikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
diibadahi kecuali Allâh Azza wa Jalla , tidak ada yang boleh diibadahi kecuali
Dia, tidak diserahkan sikap tawakal kecuali hanya kepada-Nya, tidak ada
kecintaan kecuali karena-Nya, tidak dilakukan permusuhan kecuali karena-Nya dan
tidak dilakukan amal perbuatan kecuali dalam rangka ridha-Nya. Dan itu semua
mencakup penetapan nama-nama serta sifat-sifat-Nya sesuai dengan apa yang telah
Dia tetapkannya sendiri bagi diriNya".[9]
Selanjutnya beliau rahimahullah mengatakan,
"Bukanlah tauhid yang dimaksud sekedar Tauhid Rububiyah. Yaitu meyakini
bahwa Allâh adalah pencipta alam semesta satu-satunya".[10]
Itulah hakikat tauhid yang menjadi intisari dakwah serta
ajaran setiap Rasul Allâh, yaitu yang berisi dua hal pokok: Pertama, penolakan
terhadap setiap sesembahan selain Allâh, dan kedua, penetapan bahwa sesembahan
yang benar hanyalah Allâh Azza wa Jalla saja.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا
اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada
setiap umat untuk menyeru kepada umat masing-masing, “Beribadahlah kalian
kepada Allâh saja, dan jauhilah thaghut. [an-Nahl/16:36]
Dan banyak firman Allâh yang senada dengan ayat ini.
TUJUAN DICIPTAKANNYA MANUSIA
Adalah sangat naif dan dangkal jika orang berprasangka
bahwa hidup di dunia ini hanyalah untuk tujuan dunia, untuk membangun dunia
dengan segala gebyar serta teknologinya, dan untuk melakukan kebaikan-kebaikan
duniawi hanya demi kebaikan serta kesejahteraan dunia.
Orang hidup pasti akan mati dan meninggalkan dunia fana
ini menuju kehidupan lain. Dan pasti akan ada pertanggung jawaban dalam
kehidupan lain itu. Karenanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa
hidup di dunia ini memiliki tujuan agung yang bukan sekedar hidup, kemudian
mati, lalu selesai. Tujuan agung itu adalah peribadatan kepada Allâh Azza wa
Jalla . Firman-Nya :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya
mereka beribadah kepadaKu. [adz-Dzariyât/51:56]
Ibadah yang dimaksud adalah ibadah murni yang tidak
terkotori dengan peribadatan kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Jika seseorang
dalam peribadatannya melakukan perbuatan syirik, mempersekutukan makhluk dengan
Allâh, maka pasti Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan murka dan tidak akan
ridha.[11]
Di antara dalilnya ialah, firman Allâh Subhanahu wa
Ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا
دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا
عَظِيمًا
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik
(mempersukutukan) kepadaNya, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu
bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan Allâh, maka
sungguh, dia telah mengadakan dosa yang sangat besar. [an-Nisâ'/4:48]
Juga firman-Nya :
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya (dosa) syirik (mempersekutukan Allâh),
benar-benar merupakan kezaliman yang sangat besar. [Luqmân/31:13]
Demikian pula firman-Nya :
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allâh,
maka janganlah kamu memohon di dalamnya kepada siapapun, di samping kepada
Allâh. [al-Jin/72:18]
Jadi, bagaimana mungkin Allâh Azza wa Jalla tidak murka
jika Dia Yang Maha Perkasa dan Sempurna disejajarkan dengan makhluk-Nya yang
serba lemah dan kurang. Karena itulah, larangan terbesar dalam Islam adalah
syirik. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun [An-Nisâ/4:36]
Demikian juga maksud diturunkannya kitab-kitab Allâh Azza
wa Jalla serta diutusnya para rasul ialah agar para manusia beribadah hanya
kepada Allâh Azza wa Jalla saja.[12] Dalilnya sangat banyak, di antaranya
firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي
إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu
melainkan kami wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".
[Al-Anbiya’/21:25]
Nah, agar orang tidak kecewa kelak dalam kehidupan di
alam lain, ia harus tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh Penciptanya. Dan
Penciptanya ini telah menunjuk utusan kepercayaan-Nya untuk menyampaikan
risalah-Nya. Ia adalah Rasûlullâh, utusan-Nya.
BAGAIMANA CARA BERTAUHID?
Adalah jelas bahwa Islam dibangun berdasarkan pondasi
tauhid.[13] Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ
وَاحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya apa yang
diwahyukan kepadaku ialah bahwasanya sesembahan kamu adalah sesembahan yang
Esa, maka apakah kamu telah Islam (berserah diri) kepada-Nya"?
[al-Anbiyâ'/21:108]
Maka agar keislaman seseorang itu benar dan diterima di
sisi Allâh Azza wa Jalla , ia harus bertauhid dengan benar, yaitu hanya
memberikan peribadatan kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ikhlas dan tidak
memberikan sedikitpun dari macam-macam ibadah kepada selain Allâh Subhanahu wa
Ta’ala . Tidak berdoa dan tidak memohon kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala
, hal-hal yang hanya menjadi kekuasaan Allâh untuk memberinya; tidak kepada
malaikat, tidak kepada Nabi, tidak kepada wali, tidak kepada 'orang pintar',
tidak kepada pohon, batu, matahari, bulan, kuburan dan lain sebagainya.[14]
Jadi dalam bertauhid, orang harus menolak dan menyingkiri
segala yang disembah selain Allâh Azza wa Jalla , dan hanya mengakui,
menetapkan serta menjalankan bahwa peribadatan hanya merupakan hak Allâh saja,
Pencipta alam semesta.
Bertauhid bukan sekedar mengikrarkan bahwa Allâh adalah
satu-satunya Pencipta, Pemberi rizki, Pengatur serta Pemilik alam semesta.
Sebab tauhid semacam ini telah diikrarkan pula oleh kaum musyrikin Arab pada
zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[15] Tetapi bertauhid harus
direalisasikan dengan memberikan peribadatan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla ,
permohonan, doa dan kegiatan-kegiatan lain yang semakna, hanya kepada Allâh
saja.
Dengan demikian, agar tauhid berfungsi menghapus segala
dosa dan menghalangi masuk neraka, maka seseorang harus memurnikan tauhidnya
kepada Allâh Azza wa Jalla serta berupaya menyempurnakannya. Ia harus memenuhi
syarat-syarat tauhid, baik dengan hati, lidah maupun anggauta badannya. Atau
–minimal- dengan hati dan lidahnya pada saat meninggal dunia.[16]
Intinya, menyerahkan peribadatan, kehidupan dan kematian
hanya kepada Allâh, meninggalkan segala bentuk kemusyrikan serta segala pintu
yang dapat menjerumuskan ke dalam kemusyrikan, sebagaimana telah diterangkan
dalam ayat-ayat atau hadits-hadits di atas.
Demikian secara sangat ringkas gambaran tentang kehebatan
tauhid yang memiliki daya hapus luar biasa terhadap dosa-dosa. Karena itu
mengapa orang tidak tertarik memanfaatkan kesempatan ini ? yaitu dengan
bertaubat, kembali bertauhid serta memurnikan tauhidnya kepada Allâh Subhanahu
wa Ta’ala ? Dan mengapa tidak takut kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ?
Perlu disadari oleh setiap insan, bahwa kelak masing-masing
akan datang sendiri dan mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dihadapan Allâh
yang Maha adil keputusan hukumNya.
وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا
Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allâh
sendiri-sendiri pada hari Kiamat. [Maryam/19:95]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun
XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
No comments:
Post a Comment