Perjalanan yang belum selesai (203)
(Bagian ke dua ratus tiga, Depok, Jawa Barat, Indonesia,
8 Februari 2015, 22.00 WIB)
Hidup itu singkat , manfaatkanlah
Manusia hidup di zaman Nabi Muhammad ini sekarang
rata-rata tidak akan lebih dari 100 tahun, bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri berusia
hanya 63 tahun.
Berbeda dengan manusia zaman purba, bisa mencapai ribuan
tahun, Nabi Nuh sendiri berdakwah sampai 950 tahun.
Jadi dibandingkan manusia awal (Purba) manusia kini hidup
lebih singkat, bahkan bila dibandingkan masa (waktu) di akherat, waktu kita
hidup dunia terasa singkat sekali.
Oleh sebab itu ALLAH dalam firmannya di surah wal ashr
(demi masa), bahwa manusia itu hidup dalam kerugian, karena kurang berhargai
waktu, bahkan cenderung banyak membuang waktu percuma.
Bagi kita hidup di kota Jakarta misalnya, tanpa sadar
kita telah tua di jalan (artinya banyak waktu tersita di jalan).
Bayangkan saja, kantor di pusat Jakarta, bila rumah kita
di kota Depok, Bekasi atau Tangrang saja, akibat jalan macet untuk sampai ke
kantor dari rumah bisa tiga jam , begitu juga sebaliknya , jadi pulang balik
rata-rata enam jam. Jadi delapan jam di kantor (pabrik) , enam jam di jalan,
sisa 10 jam di rumah, kalau persiapan berangkat ke kantor 1 jam, dan persiapan
pulang dari kantor ke rumah satu jam, berarti sisa 8 jam di rumah, lalu usai
mandi sholat, makan malam sisa waktu ini kita gunakan untuk berbagai
kesempatan, baik membaca buku, maupun bercengkerama dengan keluarga, lalu tidur.
Begitulah rutin kita lakukan bertahun-tahun sampai usia pensiun
(58 tahun). Ini belum termasuk pekerja journalist (wartawan) berangkat pagi
hari sampai rumah kadang jam 3 (pagi) subuh, setelah istirahat sebentar.
Nah, kalau kita tidak memanfaatkan waktu kita selama dijalan
itu, dengan berzikir, mendengarkan bacaan al quran melalui Radio, atau
istirahat (tidur), bagi mereka yang naik kendaraan umum, baik bis, kereta, atau
memiliki supir, maka kita akan terjebak seperti Firman Allah di surah Wal Ashr
(Demi masa).
Apalagi mengejar dunia (rezeki) harta, kadang kita lalai
dalam Sholat dan zikir, ini yang menyebabkan kita menghalalkan segala cara
dalam memperoleh rezeki, seperti menambah berat timbangan dengan solder timah ,
ini banyak saya temui di masa lalu, ketika saya membeli buah-buahan ketika
ditimbang ditempat misalnya beratnya 1 kg, sampai di rumah kalau kita timbang
lagi hanya sekitar ¾ kg.
Saya pernah ikut seorang konsultan yang ke sana kemari
melakukan presentasi menawarkan jasanya kepada calon Gubernur, Bupati,
Walikota. Dalam presentasi dia selalu mengaku telah berhasil membuat calon
gunernur, Bupati dan Walikota terpilih dan memenangkan Pemilihan Daerah
(Pilkada), dia bahkan berani memberikan contoh Gubernur yang telah sukses
dibantu oleh perusahaan konsultannya, Padahal perusahaan konsultannya sama
sekali tidak memiliki rekor pernah kontrak melakukan jasa konsultan untuk salah
satu calon.
Namun karena kelihaian berbicara (tipuannya) dia berhasil
memikat salah satu calon bupati.
Karena calon Bupati ini tidak cerdas, karena lulus SMP
dan SMA menggunakan ujian kesetaraan (ini pun banyak diragukan, bekas teman
kecilnya yang menyatakan calon Bupati ini tidak pernah sekolah, maka asal pilih
jasa konsultan ini, karena dengan tarif paling murah dibandingkan jasa
konsultan lain yang lebih professional.
Calon Bupati ini ingin jadi calon Bupati karena merasa
punya sumberdaya harta (punya ijin) puluhan tambang batubara, satu diantaranya
sudah beroperasi.
Pada bulan pertama , konsultan ini bekerja seperti professional
menggunakan enam tenaga peneliti untuk menyebarkan kuesioner, untuk mengetahui
pemetaan profil sang calon Bupati dibandingkan para pesaingnya.
Namun saya lihat objek sumber orang dilakukan interview,
terlalu serampangan kurang menggunakan metode penelitian yang ilmiah, akhirnya
hail kuesioner yang ada agak sia-sia, karena sang konsultan dalam laporan ke
calon Bupati hanya yang positif saja.
Padahal sebagian besar masyarakat yang saya temui
menganggap calon bupati yang saya usung memiliki citra negatif, maklum yang
bersangkutan pernah dipenjara 1 tahun akibat keterlibatannya dalam illegal
loging (kayu curian di hutan/ tanpa ijin), hasil illegal lodging inilah menjadi
modal awal sang calon Bupati hingga kini memiliki puluhan ijin kontrak karya
tambang batubara.
Selain itu ambisi sang calon Bupati juga terasa janggal. ‘’saya
ingin merampas harta kekayaan yang dimiliki Bupati ini (Bupati yang sudah 10
tahun menjabat) yang tidak boleh lagi mencalonkan diri jadi Bupati lagi. Bupati
ini sangat kaya, punya banyak mobil mewah, dan lebih banyak waktunya (berkerja)
di luar kota (bukan di kota tempat dia memimpin.
Jabatan Bupati memang banyak menjadi banyak incaran banyak
orang, walaupun dia mengeluarkan banyak uang (smpai Rp25 milia) untuk petinggi
partai, agar dia dapat dicalonkan jadi Bupati olah Partai pengusung,
Salah satu cara Bupati memperoleh kekayaan, konon untuk
satu ijin usaha kontak pertambangan dia memperolah minimal Rp 1 miliar, Kalu 50
ijin usaha tambang yang dia keluarkan dia bisa memperoleh uang ke kantong
pribadi Rp 50 miliar.
Jadi cara-cara konsultan mencari rezeki tidak halal
(menipu), calon Bupati juga berniat bahkan mencarikekayaan yang tidak halal.
Hasilnya kita kasih makan anak isteri di rumah dari hasil tidak halal. Hasilnya
kita telah berbuat maksiat yang berkepanjangan, yang kadang tidak kita sadari,
Padahal kalau kita mencari nafkah yang halal, dan berniat ibadah karena Allah,
ini sama saja Jihad Fisabililah.
Ada empat (4) sifat yang dilakukan para Salaf terdahulu
(ahli sunnah waljamaah).
Kalau kita temui mereka, kalau tidak sedang membaca
al-qur’an, mereka tengah berzikir, atau temgah berdiskusi atau mengajari
tentang Ilmu (diskusi ilmiah tentang agama), dan atau mereka tengah membahas
apa tang diperlukan oleh kita tentang hidup (mencari nafkah), apakah itu
tentang cara berdagang, bercocok tanam, atau mencari ikan atau menuntut ilmu
untuk kehidupan yang lebih baik.
Dalam mengisi kekosongan waktu dengan membaca berita,
baik di telivisi , radio, Koran, kita juga sulit menemui berita yang objektif
terhadap seputar Islam, yang ada berita Islam dipandang keji (kejam) pembunuh ,
pelanggar Hak Asasi Manusia. Ini memang dimaklumi, mengingat media massa dunia
dikuasai non-Islam, baik Kristen maupun Yahudi atau Komunis (Xinhua , china)
Lihat saja televisi internasional CNN ABC, BBC, atau
kantor berita multi nasional, Associted Press (AP) Amerika Serikat, Reuters
(Inggris), Agence French Press (Prancis), DPA (Jerman).
Ada televisi dan media on line (Bahasa Inggris) multi
nasional milik Negara Islam (Abu Dhabi/Qatar) yaitu Alzazira. Seangkan lainnya
kecil-kecil, kantor berita dan televisi , lokal seperti Kantor Berita Nasional
Antara, dan televisi Nasional Republik Indonesia (TVRI) ini pun keduanya
merelai atau menerjemahkan berita dari CNN atau empat kantor berita
Multinasional itu.
Karena arus informasi dikuasai Negara Non Muslim, berita
yang datang kadang tidak objektif, dan demi kepentingan politik Negara Barat,
seperti Amerika Serikat dan Negara di Eropa. Jadi arus yang timpang ini membuat
citra islam buruk, sepertinya tidak ada satu pun yang positif yang bis diperbuat
orang Islam.
Salafiyyun Dan Daulah Islam
Oleh
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali hafizhahullahu
Pertanyaan.
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali ditanya : Bagaimana sikap
kita dalam menghadapi syubhat yang dilontarkan kepadaa as-Salafiyyun, bahwa
as-Salafiyyun tidak peduli dengan masalah Iqamatud Daulah atau Khilafah
Al-Islamiyah (Mendirikan atau membangun negara dan kekuasaan Islam)?
Jawaban
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah,
wa ‘ala alihi wa ash habihi wa man walah.
Sebagaimana yang tadi telah disebutkan oleh Syaikh Ali
Hafizhahullah bahwa syubhat-syubhat itu banyak sekali [1]. Sehingga menjawabnya
pun membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu beliau meringkasnya. Dan
apa yang telah beliau sampaikan sebenarnya sudah cukup.
Namun, tatkala permasalahan yang ditanyakan berkaitan
dengan masalah kenegaraan dan pemerintahan, maka permasalahan ini merupakan
permasalahan paling besar, dan merupakan sebab terbesar yang telah
membangkitkan dan mengobarkan para pemuda untuk sangat mudah melakukan takfir
(pengkafiran) dan pemberontakan atau demo-demo, dan bahkan perbuatan anarkis.
Sebagian permasalahan ini telah dijelaskan oleh Syaikh Ali Hafizhahullah dan
saya akan menjelaskan dari sisi lain, yang kaitannya lebih erat dengan
permasalahan politik atau kenegaraan secara ringkas pula, insya Allah.
Pertama kali yang semestinya kita pahami adalah, bahwa
negara yang penduduknya kaum Muslimin, di dalamnya dikumandangkan adzan,
ditegakkan shalat, mayoritas keadaan kaum muslimin berhukum dengan syari’at
Islam, maka negara ini adalah negara Islam. Karena perbedaan antara negara
Islam dengan negara kafir, sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Muzani dalam
kitab Ushulus Sunnah, adalah dikumandangkan adzan dan ditegakkan shalat di
dalamnya.
Oleh karena itu, terhadap orang-orang yang mengatakan
“kalian tidak peduli dengan iqamatud Daulatil Islamiyah (mendirikan negara
Islam)”, maka kita katakan kepada mereka sesungguhnya negara-negara Islam sudah
ada dan berdiri! Namun yang menjadi permasalahan, mayoritas hukum-hukum yang kini
diterapkan di sebagian negara-negara Islam, baik dalam bidang perekonomian,
politik, pendidikan, kebudayaan dan lain-lainnya, hampir secara keseluruhan
merupakan hukum-hukum buatan manusia, hukum-hukum import (yang di datangkan
dari negara-negara kafir,-red).
Para ulama telah menjelaskan secara terperinci tentang
permasalahan ini [2]. Yakni, tentang berhukum dengan hukum-hukum atau
undang-undang buatan manusia. Para ulama menerangkan, bahwa seseorang yang
berhukum dengan hukum selain hukum Allah, berarti ia telah melakukan sebuah
kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari agama Islam. Akan tetapi,
mungkin saja kekafiran kecil yang kecil ini mengeluarkannya kepada kekafiran
yang besar seperti yang telah saya terangkan secara rinci di Masjid Istiqlal
kemarin [3].Yaitu apabila ia menganggap dan berkeyakinan halal atau bolehnya
berhukum dengan selain hukum Allah ; atau ia berkata, saya tidak merasa wajib
atau harus berhukum dengan hukum Allah ; atau berkata berhukum dengan selain
hukum Allah lebih baik daripada berhukum dengan hukum Allah ; atau berkata,
hukum-hukum dan undang-undang lainnya sama saja dengan hukum Allah ; atau
berkata, saya bebas (terserah saya mau berhukum dengan hukum Allah atau
selainnya, sama saja) ; dan perkataan lainnya yang senada dengannya. Maka,
berarti ia –dengan kesepakatan ulama Ahlus Sunnah- telah melakukan kekafiran
yang besar (keluar dari Islam, red). Wal ‘iyadzu billahi tabaraka wa ta’ala.
Berarti, selama negara-negara Islam kini sudah ada dan
tegak, yang dituntut untuk kita lakukan adalah memperbaiki keadaan
negara-negara Islam ini, dengan metode yang telah diajarkan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; baik dalam cara berdakwah, pembinaan umat
berdasarkan metode at-Tasfiyah wat-Tarbiyah (memurnikan umat dari kesyirikan,
bid’ah dan maksiat, kemudian membina membimbing mereka memahami Islam dengan
baik dan benar), bukan dengan cara-cara yang saat ini gencar dilakukan oleh
sebagian golongan-golongan atau partai-partai. Seperti melakukan kudeta-kudeta
militer, pemberontakan-pemberontakan, aksi-aksi mogok, atau bahkan lebih ironis
lagi mengadakan aliansi dengan negara-negara kafir, demi mnggulingkan
pemerintah negara Islam, atau usaha-usaha lainnya.
Ketahuilah ! Justru semua ini semakin menambah perpecahan
dan kelemahan kaum muslimin di banyak negara-negara Islam!
Jadi, yang kita lakukan ialah mengadakan
perbaikan-perbaikan pada pemerintah negara-negara Islam saat ini. Kita pun
berusaha menyatukan seluruh negara-negara Islam, agar mereka saling
bekerjasama, bersatu, menolong antara yang satu dengan yang lainnya ; dan
akhirnya mereka seperti firman Allah Azza wa Jalla berikut.
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…”
[at-Taubah/9: 71]
Hendaknya kita selalu ingat dan tidak lupa bahwa
orang-orang kafir, walaupun kekafiran mereka berbeda-beda, negara mereka pun
berbeda-beda, namun hendaknya kita tetap waspada dan siaga bahwasanya mereka
senantiasa melakukan penyatuan-penyatuan yang terorganisir sesama mereka, baik
dalam masalah politik, perekonomian, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Karena
(merekapun tahu) bahwa bersatu merupakan kekuatan.
Oleh karena itu, di antara tujuan kita (dalam mengadakan
perbaikan-perbaikan di segala bidang kehidupan) adalah seperti Syaikh kami
(Al-Albani rahimahullah) selalu menuliskan di dalam buku-buku beliau, berupaya
menuju kehidupan yang Islami.
Tentu saja, beliau tidak bermaksud bahwa kehidupan Islami
saat ini tidak ada sama sekali! Akan tetapi yang beliau maksud, bahwa kehidupan
Islami yang ada saat ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari agama
Allah Azza wa Jalla. Maka dari itu, kita harus berdakwah kepada manusia dan
kaum muslimin seluruhnya, menuju penegakkan syari’at Allah Azza wa Jalla dalam
seluruh bidang kehidupan mereka ; baik dalam bidang politik, perekonmian,
ataupun ilmu pengetahuan. Demikian pula dalam hubungan nasional maupun
internasional, baik bersama kawan atau pun lawan.
Inilah sekilas dan pandangan kita (tentang bernegara)
secara umum dan singkat. Metode kita ialah melakukan perbaikan-perbaikan dengan
cara berdakwah mengajak manusia kepada Allah Azza wa Jalla, memurnikan mereka
dari polusi kesyirikan, bid’ah, dan maksiat, lalu membimbing dan membina mereka
kepada pemahaman dan praktek Islam yang baik dan benar. Seperti firman Allah
Azza wa Jalla.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik….”
[an-Nahl/16: 125]
Kita juga jangan sampai melupakan, wahai
saudara-saudaraku, bahwa tegaknya daulah Islamiyah merupakan pemberian dan
karunia Allah semata bagi hamba-hambaNya yang shalih dan bertakwa. Jika kita
beramal, juga orang-orang shalih beramal, maka sesungguhnya kekuatan, kekuasaan
dan kejayaan Islam merupakan janji Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ
لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ
أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman
di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridahiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa,
mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
denganKu…”[an-Nur/24: 55]
Dan kami berikan kabar gembira kepada anda semua, bahwa
masa depan adalah milik Islam yang benar dan lurus, yang berada di atas manhaj
as-Salafush Shalih. Manhaj yang diberkahi Allah, yang mengikat menusia agar
senantiasa berhubungan dengan Allah dan melaksanakan sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang akan membawa mereka semua kepada keimanan,
keamanan dan kedamaian.
Kami memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan
taufiqNya selalu kepada setiap muslim.
(Diangkat dari ceramah Syaikh Salim bin Id Al-Hilali di
Jakarta Islamic Center, Ahad 23 Muharram 1428H/11 Februari 2007M)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun
XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858197]
______
Footnote
[1]. Lihat majalah As-Sunah, liputan edisi
01/XI/1428H/1427M, rubrik Manhaj, Salafiyyun Menepis Tuduhan Dusta, ceramah
Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari –haizhahumullahu, di
masjid Islamic center Jakarta, hari ahad 23 Muharam 1428H/11 Februari 2007M
[2]. Lihat risalah ilmiah Syaikh Salim bin Id Al-Hilali
yang menjelaskan masalah ini secara gamblang dan terperinci, Qurratu Uyun fi
Tash-hihi Tafsiri Abdillah Ibni Abbas Li Qaulihi Ta’ala : Wa Man lamYahkum bi
Ma Anzalalluhu fa Ula-ika Hummul Kafirun.
[3]. Ceramah di masjid Al-Istiqlal Jakarta, hari Sabtu,
22 Muharram 1428H/10 Februari 2007. Pembahasan yang dimaksud kami angkat pada
edisi ini dalam satu rangkaian rubrik Manhaj. Lihat jawaban Fadhilatusy Syaikh
Salim bin Id Al-Hilali hafizhahullahu tentang Kufrun Duna kufrin.
SIFAT AMANAH
MENURUT AL-QURAN
A. Latar
Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan
wahyu Allah yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui nabi Muhammad
saw. untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan ini. al-Qur’an berisi
ayat-ayat yang arti etimologisnya “tanda-tanda” dalam bentuk bahasa Arab[1]mengandung berbagai aspek kehidupan manusia dan tidak
hanya terbatas pada aspek keagamaan semata.
Sebagai intelektual
muslim dan pewaris para nabi,[2][2]ulama berkewajiban memperkenalkan
al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan dan menjelaskan nilai-nilai tersebut
sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat benar-benar
berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk menyampaikan nilai-nilai tersebut, ulama
menempuh beberapa metode, baik metode penulisan maupun metode pembahasan. Salah
satu metode pembahasan yang paling populer digunakan ulama atau cendekiawan
saat ini adalah metode maudhu’i (tematik) yaitu upaya
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan satu topik dan menyusunnya
sebagai sebuah kajian yang lengkap dari berbagai sisi permasalahannya.[3][3]
Kendatipun al-Qur’an
mengandung berbagai macam masalah, ternyata pembicaraannya tentang suatu
masalah tidak selalu tersusun secara sistematis sehingga perlu menggunakan
metode tematik tersebut. Salah satu topik yang paling sering menjadi bahan
pembicaraan dan termasuk permasalahan yang sentral dalam al-Qur’an adalah
amanah. Amanah merupakan aspek muamalah yang sangat penting karena terkait
dengan kewajiban. Dalam al-Qur’an dijelaskan betapa beratnya sebuah amanah.
Allah berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
Allah memberikan amanah
kepada langit tapi langit tidak mampu mengembannya kemudian diberikan kepada
bumi dan gunung ternyata semuanya tidak mampu memikul amanah tersebut. Namun,
hanya manusia yang berani menerima amanah itu. Amanah pada kenyataannya
tidak semudah yang dipikirkan karena dengan adanya amanah berarti ada
pembebanan atau tuntutan bagi yang bersangkutan untuk merealisasikan. Kajian
dalam makalah ini berusaha mengungkapkan makna amanah dan hal-hal yang terkait
dengan amanah meliputi objek amanah, bentuk-bentuk serta pandangan atau sikap
al-Qur’an terhadap amanah.
Berbagai metode
digunakan dalam mengungkap makna dan maksud dari term-term amanah baik dalam
bentuk fi’il atau isim . Dari situlah akan
muncul sebuah pemahaman yang komprehensif tentang amanah ditinjau dari berbagai
sudut pandang sehingga akan mengantarkan pada sikap untuk menjaga dan
menghargai semua amanah, karena dalam hadis disebutkan bahwaلاَ إِيمَانَ لِمَنْ
لاَ أَمَانَةَ لَه.[4][4]Tidak ada keimanan bagi orang yang
tidak melaksanakan amanah”. Oleh karena itu, mengkaji makna amanah dan aspeknya
dalam al-Qur’an sangatlah penting. Selain sebagai wawasan keagamaan juga
sebagai bentuk pengembangan kajian akademis.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan penjelasan
pada latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa sebenarnya pengertian amanah dalam al-Qur’an ?
2.
Apa saja sifat amanah dalam al-Qur’an ?
3. Bagaimana
Sikap al-Qur’an terhadap Amanah ?
4. Bagaimana
konsep Amanah dalam Al-Qur’an ?
BAB II
A. Pengertian
Amanah
Amanah salah satu bahasa
Indonesia yang telah disadur dari bahasa Arab. Dalam Kamus Bahasa Indonesia,
kata yang menunjuk makna kepercayaan menggunakan dua kata, yaitu amanah atau amanat.
Amanah memiliki beberapa arti, antara lain 1) pesan yang dititipkan kepada
orang lain untuk disampaikan. 2) keamanan: ketenteraman. 3) kepercayaan.[5][5]Sedangkan amanat diartikan sebagai 1)
sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain. 2) pesan. 3)
nasihat yang baik dan berguna dari orang tua-tua; petuah. 4) perintah (dari
atas). 5) wejangan (dari seorang pemimpin).[6][6] Sedangkan dalam bahasa Arab, kata
amanah diambil dari akar kata alif, mim dan nun yang
memiliki dua makna: 1) lawan kata khianat yaitu ketenangan dan ketenteraman
hati, 2) al-tas}diq yaitu pembenaran.[7][7]I brahim dkk., mengatakan bahwa amanah
dapat diartikan sebagai penetapan janji dan titipan.
Abu al-Baqa’ al-Kafumi
mengatakan bahwa amanah adalah segala kewajiban yang dibebankan kepada seorang
hamba, seperti shalat, zakat, puasa, bayar hutang dan segala kewajiban yang
lain.[8][8] Muhamamd Rasyid Rida mengatakan
bahwa amanah adalah kepercayaan yang diamanatkan kepada orang lain sehingga
muncul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali. [9][9]Fakhr al-Din al-Razi berpendapat bahwa
amanah adalah ungkapan tentang suatu hak yang wajib ditunaikan kepada orang
lain.[10][10]
Abu Hayyan al-Andalusi
mengatakan bahwa secara kasat mata, amanah adalah segala bentuk kepercayaan
yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk perintah maupun larangan,
baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Sehingga semua syariat Allah
adalah amanah.[11][11] Al-Qurtubi berpendapat bahwa
amanah adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia, baik sesuatu
terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait dengan perbuatan
maupun dengan perkataan di mana puncak amanah adalah penjagaan dan
pelaksanaannya.[12][12] Dalam
al-Qur’an lafaz yang mengarah pada makna amanah atau kepercayaan berulang
sebanyak 20 kali yang kesemuanya dalam bentuk isim, kecuali satu lafaz dalam
bentuk fi’il yaitu اؤتمن dalam QS. al-Baqarah/2: 283.
Namun untuk mengetahui
subtansi amanah, maka perlu dilihat dari tiga aspek yaitu: subjek, objek dan
predikat atau subtansi.
Subtansi amanah adalah
kepercayaan yang diberikan orang lain terhadapnya sehingga menimbulkan
ketenangan jiwa. Hal tersebut dapat terlihat dalam QS. al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
Terjemahnya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[13][13]
Jika dilihat dari sisi
subjeknya (pemberi amanah), maka amanah bisa datang dari Allah swt. sebagaimana
yang dipaparkan dalam QS. al-Ahzab: 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
Terjemahnya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[14][14]
Dan kadang amanah
tersebut datang dari manusia itu sendiri, sebagaimana yang tertera dalam QS.
al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ.
Terjemahnya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya”.[15][15]
Sedangkan jika dilihat
dari objeknya (orang yang melakasanakan amanah), maka amanah diberikan kepada
malaikat, jin, manusia, baik para nabi maupun bukan nabi sebagaimana penjelasan
selanjutnya. Berangkat dari ketiga unsur tersebut dan penafsiran para ulama
tafsir, dapat dipahami bahwa amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh
Allah swt, atau makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah
yang meliputi malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta.
Dengan demikian, amanah
yang datang dari Allah swt. terkait dengan segala bentuk perintah dan larangan
yang dibebankan kepada manusia. Sedangkan amanah dari manusia terkait dengan
segala bentuk kepercayaan, baik dalam bentuk harta benda, jabatan dan rahasia.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa amanah adalah amal saleh yang
paling agung, namun sangat berat dilaksanakan, sehingga wajar kemudian jika
langit, bumi dan gunung enggan menerima amanah dari Allah swt.,[16][16]bahkan manusia yang berani menerima
amanah dan tidak mampu melaksanakannya dianggap sebagai zalum jahul (penganiaya
dan bodoh).
Oleh karena itu, amanah
harus diberikan kepada orang yang ahli dalam bidangnya agar tidak menimbulkan
kekacauan yang digambarkan sebagai kiamat dalam hadis nabi.
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ
الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.[17][17]
Artinya: “Jika amanah telah disia-siakan maka tunggulah kiamat, sahabat
bertanya, bagaimana penyia-nyian amanah wahai Rasulullah saw.? Rasulullah
menjawab, jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya”.
Lebih jauh dari itu,
Nabi Muh}ammad saw. tidak mau memberikan amanah kepada Abu Zarr al-Gifari
ketika meminta jabatan, bahkan Nabi saw. mengatakan bahwa engkau terlalu lemah
untuk posisi tersebut.
عَنْ أَبِي ذَرِّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلُ
اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي؟ قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ
قَالَ (يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى
الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا).[18][18]
Artinya: “Dari Abu> Z|arr berkata, saya berkata kepada Rasulullah saw. wahai
Rasul, hendaklah engkau memberiku jabatan? Rasulullah saw. kemudian menepuk
punggungnya seraya berkata, wahai Abu> Z|arr, sesungguhnya engkau itu lemah
dan sungguh jabatan itu adalah amanah dan jabatan itu pada hari kiamat hanyalah
kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya secara benar dan
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”.
B. Sifat Amanah
dalam Alqur’an dan Al hadist
Sifat amanah adalah
sifat para nabi dan rasul yang Allah pikulkan tanggungjawab dalam menyampaikan risalah-Nya.
Selain itu amanah juga adalah sifat-sifat para malaikat yang mengerjakan
kebaikan, dan dari kalangan mereka adalah Jibril alaihissalam yang menurunkan
Al-Quran ke atas Nabi Muhammad shallahualaihiwasallam.Demikian juga sifat
amanah itu adalah dari sifat-sifat para hamba Allah Ta’ala yang beriman
daripada kalangan jin dan manusia.
1. Sifat Amanah Nabi
dan Rasul ALLAH S.W.T
Dalam al-Qur’an, makhluk
yang paling sering disifati dengan amanah adalah para nabi dan rasul, sehingga
dalam kitab-kitab ilmu kalam, para nabi dan rasul memiliki empat sifat yang
wajib bagi mereka, seperti al-tabli>g/ menyampaikan risalah
kepada umatnya, al-fat}a>nah/memiliki kecerdasan atau
intelegensia yang tinggi, al-s}idq/memiliki kejujuran dan
al-ama>nah/dapat dipercaya atau memiliki integritas yang tinggi.[19][19]Dengan demikian, sering ditemukan
dalam beberapa ayat, para rasul menyipati dirinya sebagai al-ami>n.
Nabi Nu>h} misalnya
ketika mengajak kaumnya untuk takut kepada siksaan Allah swt. atas kesyirikan
yang mereka lakukan, namun kaum Nu>h} itu tetap mendustakan dia dan
rasul-rasul sebelumnya, sehingga nabi Nu>h} mengatakan kepada kaumnya:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang
Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara>’: 106-107).[20][20]
Nabi Nu>h} mengatakan
hal tersebut di atas, sebagai bentuk keheranannya atas kesyirikan yang mereka
lakukan padahal sudah dilarang olehnya dan dia termasuk orang yang dikenal
terpercaya dan tidak pernah dicurigai oleh kaumnya.[21][21]
Senada dengan Nabi
Nu>h}, Nabi Hu>d juga mengajak kaumnya agar mengenal Allah swt. dan taat
kepada-Nya dengan melakukan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan
menjauhkan dari siksaan-Nya, namun mereka tetap inkar dan mendustakan Nabi
Hu>d dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nu>h}.
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang
Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara>’: 124-125).[22][22]
Bahkan pada ayat yang
lain, Nabi Hu>d disebutkan sebagai pemberi nasehat yang dapat dipercaya,
ketika kaumnya menolak ajakannya untuk menyembah Allah swt. dan takut
kepada-Nya, akan tetapi kaumnya kemudian mengejeknya dengan menuduhnya sebagai
orang bodoh dan pendusta, lalu Nabi Hu>d menyanggah ejekan itu dengan
mengatakan:
يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي
رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا
لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi
Aku Ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat
Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS.
al-A‘ra>f: 67-68).[23][23]
Menurut al-Ra>zi>,
maksud dari ungkapan na>s}ih} ami>n dalam ayat tersebut
sebagai 1) Sanggahan terhadap ungkapan kaumnya وِإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ
الكاذبين, 2) Pokok pembicaraan tentang risalah dan tabli>g adalah amanah,
sehingga ungkapan tersebut sebagai penguat terhadap risalah dan kenabian, 3)
penjelasan tentang integritas Nabi Hu>d sebelum menjadi rasul sebagai
seorang yang dikenal amanah oleh kaumnya. Oleh karena itu tidak seharusnya
kaumnya menganggapnya sebagai pembohong atau orang bodoh.[24][24]
Hal yang sama dilakukan
oleh Nabi S}a>lih}, Nabi lu>t} dan Nabi Syu’aib dengan mengatakan seperti
apa yang dikatakan oleh Nabi Nu>h} dan Nabi Hu>d, yaitu:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang
Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu”.[25][25]
Di samping nabi-nabi
yang telah disebutkan di atas, nabi yang juga disifati sebagai al-ami>nadalah
Nabi Mu>sa> as., bahkan Nabi Mu>sa> disebutkan dua kali
sebagai al-ami>n dalam al-Qur’an, yaitu pada QS.
al-Dukha>n: 18.
وَلَقَدْ فَتَنَّا قَبْلَهُمْ قَوْمَ فِرْعَوْنَ
وَجَاءَهُمْ رَسُولٌ كَرِيمٌ. أَنْ أَدُّوا إِلَيَّ عِبَادَ اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ
رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Sesungguhnya sebelum mereka Telah kami uji kaum Fir’aun dan Telah
datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia. (dengan berkata): “Serahkanlah
kepadaku hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya Aku
adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu”.[26][26]
Kata rasu>l
al-ami>n dalam ayat tersebut sebagai dasar ajakan Nabi Mu>sa>
terhadap kaumnya agar beribadah kepada Allah swt. pengakuan Nabi Mu>sa>
as. diperkuat oleh mukjizat yang dimilikinya.
Sedangkan al-ami>n kedua
yang diberikan kepada Nabi Mu>sa> terjadi bukan dalam masalah risalah,
akan tetapi tentang penilaian putri Nabi Syu’aib kepada Nabi Mu>sa> as.
dengan mengatakan:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ.
Terjemahnya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat
lagi dapat dipercaya” (QS. al-Qas}as}: 26).[27][27]
Dalam tafsir al-T}abari>dijelaskan
bahwa penilaian salah satu putri Nabi Syu’aib terhadap Nabi Mu>sa> bahwa
dia sangat kuat dan dapat dipercaya karena apa yang dilihatnya pada saat Nabi
Mu>sa> memberi minum terhadap hewan ternak mereka, sedangkan penilaian
amanah terjadi karena keterjagaan pandangan Nabi Mu>sa> terhadap kedua
putri Nabi Syu’aib dalam perjalanan ke rumah mereka.[28][28]
2. Malaikat
Di antara makhluk yang
menjadi objek amanah adalah malaikat. Malaikat terkadang disifati sebagai al-ami>n oleh
Allah swt., khususnya Jibri>l pembawa wahyu kepada para nabi.
وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ. نزلَ
بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ.
Terjemahnya: “Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta Alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan” (QS. al-Syu’ara>’: 192-194).[29][29]
Menurut Ibn
‘A<syu>r, yang dimaksud dengan al-ru>h} al-ami>n dalam
ayat tersebut adalah Jibri>l as. Menurutnya, Jibri>l as. dinamakan al-ru>h} karena
malaikat berasal dari alam ruhaniyah, sedangkan al-amin diberikan
sebagai kepercayaan Allah swt. terhadap Jibri>l untuk menyampaikan
wahyu-Nya.[30][30]
Lain halnya dengan
al-Sya’ra>wi>, menurutnya Jibri>l as. disebut al-ru>h} karena
dengan ruh seseorang akan hidup dan para malaikat itu hidup meskipun tidak
memiliki jasad. Sedangkan al-ami>n diberikan kepadanya
karena dia terpelihara di sisi Allah swt., terpelihara di sisi al-Qur’an dan
terpelihara di sisi Nabi saw.[31][31]
Dengan demikian,
mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud al-ru>h}
al-ami>ndalam ayat tersebut adalah Jibri>l as.[32][32]karena hal itu diperkuat oleh ayat
lain dalam QS. al-Baqarah: 97 yang menyebutkan nama Jibri>l as.
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ
نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ…
Terjemahnya: “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril
itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah”.[33][33]
Ayat lain yang
menjelaskan tentang malaikat disifati dengan amanah adalah QS. al-Takwi>r:
21-22:
مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ. وَمَا صَاحِبُكُمْ
بِمَجْنُونٍ.
Terjemahnya: “Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan
temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila”.[34][34]
Ayat tersebut di atas
dan ayat sebelumnya menjelaskan beberapa sifat mulya malaikat Jibri>l as. di
antaranya kari>m/mulya karena diberikan tugas yang paling mulya
yaitu menyampaikan wahyu kepada para nabi, z\i> quwwah/memiliki
kekuatan dalam menjaga dan dijauhkan dari kelupaan dan kesalahan, z\i>
al-‘arsy maki>n/mempunyai posisi yang tinggi di sisi Allah swt. karena
dia diberi apa yang dimintanya, mut}a>’in/yang ditaati di alam
malaikat karena pendapatnya menjadi rujukan para malaikat, ami>n/dipercaya
membawakan wahyu dan risalah Allah swt. terhadap para nabi-Nya.[35][35]
Dari kedua ayat
tersebut, diketahui bahwa amanah bukan saja diberikan kepada manusia, akan
tetapi amanah juga dapat disematkan kepada para malaikat, khususnya malaikat
Jibri<l as. selaku penghubung Allah swt. dengan para nabi-Nya.
3. Jin
Jin meskipun sering
dikonotasikan sebagai makhluk durhaka, akan tetapi dalam al-Qur’an sebagian jin
ada yang beriman kepada Allah swt.[36][36] bahkan ‘Ifri>t dari golongan
jin yang hidup pada masa nabi Sulaima>n berkenan membantu nabi Sulaima>n
dengan berusaha memindahkan singgasana ratu Balqi>s, sebagaimana dalam
QS. al-Naml: 39:
قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ
قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari
golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu
sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat
untuk membawanya lagi dapat dipercaya”.[37][37]
Ayat tersebut menegaskan
tentang kemampuan ‘Ifri>t memindahkan singgasana ratu Balqi>s pada saat
itu dalam waktu singkat. ‘Ifri>t juga menjamin bahwa dia dapat dipercaya
dalam melaksanakan tugas tersebut.
Al-Ma>wardi> dalam
tafsirnya menjalaskan bahwa yang dimaksud dengan al-ami>n dalam
ayat tersebut ada tiga pendapat, yaitu: 1) dia dapat dipercaya menjaga permata
dan berlian yang terdapat dalam istana tersebut, 2) dia dapat dipercaya
mendatangkan istana tersebut dan tidak menggantinya dengan istana lain, 3) dia
dapat dipercaya menjaga kehormatan ratu balqi>s.[38][38]
Namun mayoritas ulama
tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-ami>n dalam
ayat tersebut adalah jaminan kepercayaan yang diberikan oleh ‘Ifri>t untuk
membawa istana seperti sedia kala tanpa ada perubahan, pengurangan atau
penambahan, khususnya yang terkait dengan isi singgasana.
4. Manusia
Dalam al-Qur’an, manusia
satu-satunya makhluk yang dicela karena menerima amanah dari Allah swt. pada
saat makhluk lain menolaknya ketika ditawarkan kepadanya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا
وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
Terjemahnya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[39][39]
Al-Biqa>’i ketika
menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud al-insa>n adalah
mayoritas manusia, bukan setiap individu manusia. Oleh karena itu, manusia yang
khianat terhadap amanah jauh lebih banyak dari pada yang memegang amanah,
karena nafsu manusia pada dasarnya penuh dengan kekurangan dan keinginan. Oleh
sebab itu, Allah swt. menyifati manusia dengan z}alu>m jahu>l agar
manusia tidak sekedar melihat sifatnya yang al-ins/jinak dan
ramah, al-‘isyq/keinginan yang kuat, al-‘aql/akal
fikiran dan al-fahm/pemahaman sehingga seakan tidak memiliki
kekurangan.[40][40]
C. Sikap Al-Qur’an
terhadap Amanah
Untuk melihat seberapa
penting amanah dalam kehidupan sehari-hari, maka penting menjelaskan sikap
al-Qur’an terhadap amanah. Sikap al-Qur’an ketika menjelaskan ayat-ayat amanah
dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:
1. Perintah
Menjaga amanah
Banyak dijumpai dalam
al-Qur’an, ayat-ayat yang menyuruh melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya.
Dalam QS. al-Nisa>’: 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا
الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا….
Terjemahnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya”.
Meskipun ayat tersebut
turun dalam masalah ‘Us\ma>n ibn T}alh}ah al-H}ujubi> tentang kunci
Ka’bah yang diminta oleh al-‘Abba>s agar dia yang memegangnya, kemudian
Allah swt, menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memberikan amanah
kepada orang yang berhak.[41][51]
Namun menurut Wahbah al-Zuhaili>, ayat tersebut tetap berlaku bagi setiap
orang agar melaksanakan amanah yang menjadi tanggungannya, baik kepada khalayak
maupun kepada individu tertentu.[42][52]
Pada ayat lain, meskipun
tidak menggunakan fi’il amr/perintah secara langsung seperti pada
ayat di atas, akan tetapi tetap mengandung perintah untuk melaksanakan amanah
karena menggunakan fi’il mud}a>ri’ yang disertai lam
amr, seperti dalam QS. al-Baqarah: 283.
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
Terjemahnya: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[43][53]
Dalam ayat yang lain,
al-Qur’an datang dengan menggunakan jumlah ismiyah, agar mengandung makna bahwa
penjagaan terhadap amanah tidak terikat dengan waktu, akan tetapi amanah
merupakan sifat orang-orang yang beriman, seperti dalam QS. al-Mu’minu>n: 8
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ
رَاعُونَ.
Terjemahnya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya)
dan janjinya.[44][54]
Oleh karena itu, dalam
beberapa hadis Rasulullah saw. dijelaskan bahwa salah satu karakter orang
munafik adalah tidak amanah.
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.[45][55]
Artinya: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga. Jika dia berbicara maka dia
berdusta, jika dia berjanji maka dia ingkari dan jika dia dipercaya dia
berkhianat”.
Bahkan lebih dari itu,
Rasulullah saw. pernah mengungkapkan bahwa orang yang tidak memegang amanah
berarti dia tergolong orang yang tidak beriman.
لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ
دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ.[46][56]
Artinya: “Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak mempunyai/ melaksanakan
amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak melaksanakan janjinya”.
Dari ketiga ayat di atas
dengan berbagai redaksi yang digunakan dalam berbagai bentuk menunjukkan bahwa
amanah adalah tanggungjawab yang sangat besar yang harus dilaksanakan oleh
siapapun yang diberi amanah.
2. Larangan
Mengkhianati Amanah
Sebagai konsekwensi dari
kewajiban melaksanakan amanah, maka sudah barang tentu mengkhianati amanah
merupakan hal yang dilarang oleh agama. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang
larangan mengkhianati amanah antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا
اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui” (QS. al-Anfa>l: 27).[47][57]
Dalam ayat ini
dijelaskan bahwa khianat terhadap amanah sama dengan khianat kepada Allah dan
Rasulullah saw. Dengan demikian, diketahui betapa besar posisi amanah di sisi
Allah swt. karena khianat terhadap amanah disejajarkan dengan khianat kepada
Allah swt. dan rasul-Nya.
D.
KonsepdanImplementasiAmanahdalam Al- Qur’an danHadits
1. Amanah dalam Arti
Tanggung Jawab Personal Manusia kepada Allah SWT
Alasan penolakan alam
(bumi, langit dan sebagainya) terhadap amanah (QS.Al-Ahzab: 72) adalah karena
mereka tidak memiliki potensi kebebasan seperti manusia. Padahal untuk
menjalankan amanah diperlukan kebebasan yang diiringi dengan tanggung jawab.
Olehsebabitu, apapun yang dilakukan bumi, langit, gunung terhadap manusia,
walaupun sampai menimbulkan korban jiwa dan harta benda, tetap saja
“benda-benda alam” itu tidak dapat diminta pertanggung jawabannya oleh Allah.
Berbeda dengan manusia. Apapun yang dilakukannya tetap dituntut pertanggung
jawaban. Manusia adalah khalifah fi al-ardh, oleh karena itu manusia
memiliki beban (tugas) untuk memakmurkan bumi (wasta’marakumalardh). Sebuah
tugas yang mahaberat, karena menuntut kesungguhan dan keseriusan kita dalam
menjalankannya. Bahkan tugas ini jauh lebih berat dari melaksanakan ibadah.
Secara sederhana dapat dikatakan sebagai seorang muslim, hidup tidak sekedar
menjalankan ibadah mahdzoh saja, lalu kita merasa nyaman. Hidup sesungguhnya
adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kebaikan. Jadi perbedaan manusia dari
makhluk lain adalah karena manusia telah diberi potensi kebebasan dan akal,
sehingga dengan potensi itu manusia mampu mengenal Rabbnya sendiri, mampu
menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri.
Semua yang dilakukan manusia adalah pilihannya sendiri, dengan mempergunakan
semua potensi dalam dirinya, sehingga manusia akan memikul akibat dari
pilihannya itu, dan balasan untuknya sesuai denganamalnya.
2. Amanah dalam Arti
Tanggung Jawab Sosial Manusia kepada Sesama
Dalam pandangan Islam
setiap orang adalah pemimpin, baik itu pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga,
masyarakat maupun yang lainnya. Sebab, manusia adalah makhluk sosial dan
mempunyai tanggung jawab sosial pula. Tentu saja semua itu akan dimintai
pertanggung jawaban. Rasulullah SAW bersabda:
كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته (رواه مسلم)
كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته (رواه مسلم)
Artinya:
”Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.” (H.R. Muslim).
”Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.” (H.R. Muslim).
Fenomena yang terjadi
saat ini adalah seringkali amanah dijadikan sebuah komoditi untuk meraih
kekuasaan atau materi (dunia). Sehingga saat ini banyak sekali orang yang
meminta amanah kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang tersebut
mempunyai kapabilitas untuk menjalankan amanah itu. Rasulullah mengancam akan
hancurnya sebuah bangsa.
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
“Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
“Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).
Amanah menempati posisi
‘strategis’ dalam syariat Islam.Rasulullah saw sendiri mendapat gelar Al Amin
(yang bisadipercaya). Amanah menjadi salah satu pembeda kaum muslim dengan kaum
munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Abu Hurairah:
آية المنافق ثلاث :- إذا حدث كذب ، وإذا أوعد أخلف ، وإذا أؤتمن خان (متفق عليه)
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia dusta; apabila berjanji, dia ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia berkhianat”. (HadistSohih). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) dalam hadits yang artinya: Barang siapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli dari padanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R. al-Hakim).
آية المنافق ثلاث :- إذا حدث كذب ، وإذا أوعد أخلف ، وإذا أؤتمن خان (متفق عليه)
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia dusta; apabila berjanji, dia ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia berkhianat”. (HadistSohih). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) dalam hadits yang artinya: Barang siapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli dari padanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R. al-Hakim).
Dengan demikian, meminta
jabatan (amanah) sebagai pemimpin merupakan perbuatan yang dicela. Amanah akan
menjadi penyesalan di akhirat kelak. Betapa tidak, jika seorang yang mendapat
amanah tidak menjalankan dengan baik, mengingkari janjinya dan menipu
saudaranya maka ia diharamkan masuk surga. Rasulullah mengancam pemimpin yang
menghianati dan menyelewengkan amanah yang telah di bebankan kepadanya dengan
ancaman berat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan
yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dibuat beberapa poin-poin penting
sebagai kesimpulan sebagai berikut:
1.
Amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau makhluk lain
untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah, baik dari kalangan malaikat,
jin dan manusia, atau bahkan alam semesta. Namun karena amanah sangat berat
dilaksanakan dan dijaga sehingga harus diberikan kepada orang yang profesional
di bidang tersebut.
2.
Amanah dilihat dari segi objek yang mendapatkan amanah, dapat diklasifikasi
dalam beberapa bagian, yaitu amanah bagi para nabi dan hal tersebut yang paling
banyak disebutkan dalam al-Qur’an karena amanah merupakan sifat wajib bagi para
rasul, amanah bagi malaikat, khususnya pembawa wahyu yaitu Jibri>>l as.,
amanah bagi jin yang hidup pada masa Nabi Sulaiman, amanah bagi manusia secara
umum dalam melaksanakan hal-hal yang terkait dengan kewajiban kepada Allah
swt., sesama manusia dan kepada dirinya sendiri, bahkan ada amanah yang
diberikan kepada wilayah/kampung yaitu kota Mekah.
3.
Amanah juga dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu amanah dalam bentuk
pekerjaan yang mencakup semua bentuk pekerjaan yang dipercayakan kepada
seseorang, baik dari Allah swt. maupun dari sesama manusia. Dan amanah dalam
bentuk hukum yang sebenarnya juga merupakan pekerjaan, akan tetapi khusus
disebutkan karena menjadi asas pemerintahan yang Islami.
4.
Sikap al-Qur’an terhadap amanah terlihat dari perintah Allah swt. kepada
manusia untuk menunaikan amanah tersebut. Perintah tersebut menggunakan fi’il
amr, fi’il mud}a>ri’ dan isimyang menunjukkan betapa
amanah tersebut harus dijaga dan dilaksanakan, bahkan al-Qur’an tidak cukup
sekedar memerintahkan akan tetapi juga melarang khianat terhadap amanah, bahkan
khianat terhadap amanah sejajar dengan khianat terhadap Allah dan rasul-Nya.
B. Implikasi
Amanah sangat penting
posisinya dalam kehidupan dunia, karena tanpa amanah berbagai macam aturan,
undang-undang dan sebagainya tidak dapat terlaksana dengan baik. Oleh karena
itu, wajarlah jika Allah memberikan amanah sebagai suatu bentuk ketaatan.
Amanah tidak hanya terkait dengan aspek diniyah seperti jabatan dan kekuasaan
tapi juga terkait dengan aspek ukhrawi seperti ibadah.
Hal ini juga terkait
dengan kondisi masa sekarang, yang mana sebagian besar orang mengabaikan
amanah. Mereka tidak menyadari apa makna dan hakekat amanah serta posisi amanah
yang begitu urgen dalam mengemban tugas sebagai khalifah fi al-ard}.
No comments:
Post a Comment