Perjalanan yang belum selesai (213)
Sebaik-baiknya safar (Perjalanan) adalah perjalanan untuk
Umroh dan Haji
Salah satu cara kami bersilaturakhim dengan saudara –saudara
kami, baik sesama Muslim maupun teman-teman non-Muslim yang sama-sama menjadi
pesakitan, karena harus cuci darah (HD) di rumah sakit Esnawan Antariksa, Halim
Perdana Kusumah Jakarta Timur seminggu dua kali adalah berbincang di ruang
tunggu.
Memang bagi kami pasien HD (Hemo dialysis) wisata kami
adalah dua kali berkunjung ke rumah sakit esnawan Antariksa, kita nikmati saja
rutinitas itu , istri yang membawa perbekalan lauk pauk, dan teh manis dalam
termos, bagi pasien yang senang praktis di rumah sakit juga ada kantin yang
menyediakan berbagai makanan.
Sambil makan siang kami
kerap berbincang dengan sesama pasien cuci darah. Biasanya yang berperan aktif
berbincang adalah dimotori Bapak Tio (Bapak Cecep) 62 tahun, yang sudah enam
tahun HD di RS ini, Bapak Cecep yang pensiunan kolonel angkatan udara itu luar
biasa semangat hidupnya.
Bila pada tahun awal HD dia
harus ditandu ke rs, kini dia sudah bisa membawa sendiri mobilnya, dan hanya
sekali-kali saja ditemani isterinya.’’Kalau ngak sibuk ngurus cucu, isteri saya
pasti ikut,cerita pak Tio.
Kadang saya berbincang
dengan Pak Supri, yang walaupun cuci darah pada shift pagi, kadang dia sejenak
istirahat dulu sebelum membonceng
isterinya pulang ke arah Pondok Gede, Jakarta Timur. Pak Supri ysng baru tahun
lalu pensiun dari angkatan udara sudah 17 tahun HD di rumah sakit Esnawan
Antariksa. Pasien terlama HD adalah seorang Ibu pensiunan Departemen Luar
Negeri sudah 20 tahun HD, yang termuda seorang mahasiswi berusia 23 tahun,
tertua seorang kakek berusia 81 tahun asal Jonggol, Jawa Barat.
Rumah sakit Esnawan
Antariksa memiliki dua ruangan besar
berkapasitas masing-masing sekitar 30 orang, terdiri dari tiga shift, pagi,
siang dan malam. Kini tengah dibangun ruangan baru, kabarnya untuk meniadakan
shift malam.
Sebelum pasien di HD di rumah
sakit ini biasanya pasien di periksa dokter penyakit Dalam dr Widodo , yang
dibantu suster Eta (kepala ruangan HD) melakukan pemasangan doblelement pada
pasien sebelum melakukan proses HD
Suatu ketika di ruang
tunggu, kami berbincang dengan pasien lainnya namnya Bapak Zaki. Dia bercerita,
bahwa di tengah sebagai pasien cuci darah, dia pernah melakukan ibadah Umroh ke
Mekah.
Sedangkan cuci darah
dilakukannya selama di Mekah. ‘’Kami melakukan cuci carah di Mekah, hanya di
Mekah cuci darah dilakukan sehari 3 jam dua hari berturut-turut. Semua gratis
tanpa bayar, kata Bapak Zaki.
Apa yang dilakukan Bapak Zaki adalah tepat, karena kata
Nabi Muhammad dalam sabdanya, sebaik-baik tempat untuk bersafar adalah
mengadakan perjalanan untuk naik haji atau Umroh ke Mekah.
Lagi pula Nabi juga bersabda: jihadnya seorang perempuan
dan orang sakit adalah naik haji atau Umroh ke Mekah.
Jadi, kalau kita sudah mampu secara financial dan fisik,
jangan tunda lagi untuk melakukan umroh atau naik haji, jangan karena berbagai
alasan yang tidak prinsip, karena belum tentu uang dan fisik kita selalu sehat,
apalagi kita tidak tahu kapan kita dipanggil Allah (meninggal).
Saya punya teman, dia cukup kaya dan sehat, punya banyak
mobil dan apartemen, belum bersedia naik haji dan Umroh, karena alasan anaknya
masih kecil.
Namun, ketika berwisata ke berbagai Negara, dia
sempatkan. Beberapa waktu kemudian dia jatuh sakit, setelah berobat di rumah
sakit terbaik di Indonesia dan luar Negeri, nyawanya tidak bisa ditolong.
Ajal, kalau sudah waktunya, walaupun ditolong para dokter
sehebat dan semahal berapa pun tidak bisa memperpanjang usia kita yang
takdirnya telah ditulis Allah di dalam kitab: "Lauh Mahfuzh" .
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima
puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no.
2653).
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.
(QS. Al-Hadid : 22).
Jadi untuk berbuat baik, kita jangan sampai kalah dengan
bisikan syaitan dan Iblis, yang sejak awal Nabi Adam dijadikan Khalifah dibumi
ditaqdirkan Allah menjadi musuh nyata manusia sampai kiamat, yang tidak ingin
manusia masuk sorga.
Jadi, walaupun kita kaya dan banyak uang, belum tentu
kita bisa melihat Rumah Allah (Kabah), yang pertama kali dibangun Nabi Adam,
dan dipugar Nabi Ibrahim itu.
Agar amanah harta dan usia yang diberikan Allah bisa kita
gunakan sesuai kehendak Allah kita harus konsisten sholat lima waktu dengan
ikhlas dan khusu, karena setiap bacaan sholat ada doa agar Allah memberi
petunjuk jalan yang lurus pada kita. Jangan lupa juga banyak bezikir dan
istighfar dan dalam seumur hidup kita pernah membaca surah Al Ikhlas 10 kali,
agar Allah membangun Istana untuk kita di Sorga. Lebih bagus lagi kalau kerap
dibaca.
Keutamaan Haji dan Umrah
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا،
وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa antara keduanya,
dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga.” [1]
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ
الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Iringilah antara ibadah haji dan umrah karena keduanya
meniadakan dosa dan kefakiran, sebagaimana alat peniup api menghilangkan
kotoran (karat) besi, emas dan perak, dan tidak ada balasan bagi haji mabrur
melainkan Surga.”[2]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Aku
mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَجَّ ِللهِ عزوجل فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ
كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.
‘Barangsiapa melakukan haji ikhlas karena Allah Azza wa
Jalla tanpa berbuat keji dan kefasiqan, maka ia kembali tanpa dosa sebagaimana
waktu ia dilahirkan oleh ibunya.’”[3]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْغَازِي فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ،
وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ. وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ.
“Orang yang berperang di jalan Allah dan orang yang
menunaikan haji dan umrah, adalah delegasi Allah. (ketika) Allah menyeru
mereka, maka mereka memenuhi panggilan-Nya. Dan (ketika) mereka meminta
kepada-Nya, maka Allah mengabulkan (pemintaan mereka).” [4]
Haji Beserta Umrah Adalah Kewajiban Yang Dilakukan Sekali
Dalam Seumur Hidup, Bagi Setiap Muslim, Baligh, Berakal, Merdeka Serta Mampu
Firman Allah Ta’ala:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا
وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ
كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun untuk
(tempat beribadah) manusia ialah Baitullah yang berada di Bakkah (Makkah) yang
diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Padanya terdapat tanda-tanda
yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah
itu) men-jadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Ali ‘Imran: 96-97]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di tengah-tengah kami,
beliau bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوْا،
فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ، حَتَّىٰ قَالَهَا ثَلاَثاً،
ثُمَّ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ قُلْتُ نَعَمْ، لَوَجَبَتْ،
وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَىٰ أَنْبِيَائِهِمْ،
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ
عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ.
“Telah diwajibkan atas kalian ibadah haji, maka
tunaikanlah (ibadah haji tersebut).” Lalu ada seorang berkata, “Apakah setiap
tahun, wahai Rasulullah?” Lalu beliau diam sampai orang tersebut mengatakannya
tiga kali, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Andaikata aku menjawab ya, niscaya akan menjadi suatu kewajiban dan niscaya
kalian tidak akan mampu (melaksanakannya).” Kemudian beliau bersabda,
“Biarkanlah aku sebagaimana aku membiarkan kalian. Sesungguhnya yang membinasakan
orang-orang sebelum kalian ialah banyak bertanya dan banyak berselisih dengan
Nabi mereka. Apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka
laksanakanlah semampu kalian. Dan apabila aku melarang sesuatu, maka
tinggalkanlah.” [5]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ
إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
‘Islam dibangun atas lima pilar: (1) Persaksian bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4)
haji ke Baitullah, dan (5) berpuasa Ramadhan.’” [6]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
هَذِهِ عُمْرَةٌ اسْتَمْتَعْنَا بِهَا، فَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ
الْهَدْيُ فَلْيَحِلَّ الْحِلَّ كُلَّهُ، فَإِنَّ الْعُمْرَةَ قَدْ دَخَلَتْ فِي الْحَجِّ
إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
“Ini adalah ibadah umrah yang kita bersenang-senang
dengannya. Barangsiapa yang tidak memiliki hadyu (binatang kurban), maka
hendaknya ia bertahallul secara keseluruhan, karena ibadah umrah telah masuk
kepada ibadah haji sampai hari Kiamat.” [7]
Dari Shabi bin Ma’bad, ia berkata, “Aku pergi menemui
‘Umar, lalu aku berkata kepadanya:
يَا أَمِيْرَ الْمُؤمِنِيْنَ، إِنِّي أَسْلَمْتُ، وَإِنِّي وَجَدْتُ
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ مَكْتُوبَيْنَ عَلَيَّ، فأَهْلَلْتُ بِهِمَا، فَقَالَ: هُدِيْتَ
لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ.
"Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku telah masuk
Islam, dan aku yakin bahwa diriku telah wajib menunaikan ibadah haji dan umrah,
lalu aku mulai mengerjakan kedua ibadah tersebut.’ Lalu beliau berkata, ‘Engkau
telah mendapat-kan petunjuk untuk melaksanakan Sunnah Nabimu.’” [8]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
SUNAH-SUNAH HAJI
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Haji Adalah Salah Satu Ibadah dari Sekian Banyak Ibadah,
Mempunyai Rukun, Hal-Hal yang Wajib dan Hal-Hal yang Sunnah
I. Sunah-Sunnah Haji
A. Sunah-Sunnah Ihram:
1. Mandi ketika ihram
Berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau
melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengganti pakaiannya untuk ihram
lalu mandi.[1]
2. Memakai minyak wangi di badan sebelum ihram
Berdasarkan hadits ‘Aisyah ia berkata, “Aku pernah
memberi wewangian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk ihramnya
sebelum berihram dan untuk tahallulnya sebelum melakukan thawaf di Ka’bah.” [2]
3. Berihram dengan kain ihram (baik yang atas maupun yang
bawah) yang berwarna putih
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat dari Madinah setelah beliau menyisir
rambut dan memakai minyak, lalu beliau dan para Sahabat memakai rida’ dan izar
(kain ihram yang atas dan yang bawah).
Adapun disunnahkannya yang berwarna putih berdasarkan
hadits Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
اِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضِّ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ
ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ.
“Pakailah pakaianmu yang putih, sesungguhnya pakaian yang
putih adalah pakaianmu yang terbaik dan kafankanlah orang-orang yang wafat di
antara kalian dengannya.” [3]
4. Shalat di lembah ‘Aqiq bagi orang yang melewatinya
Berdasarkan hadits ‘Umar, ia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di lembah ‘Aqiq:
أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا
الْوَادِي الْمُبَارَكِ، وَقُلْ: عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ
"Tadi malam, telah datang kepadaku utusan Rabb-ku
dan berkata, ‘Shalatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan (niatkan)
umrah dalam haji.’”
5. Mengangkat suara ketika membaca talbiyah
Berdasarkan hadits as-Saib bin Khalladi, ia berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَتَانِي جِبْرِيْلُ فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَ أَصْحَابِي أَنْ
يَرْفَعُوْا أَصْوَاتَهُمْ بِاْلإِهْلاَلِ أَوِ التَّلْبِيَةِ.
“Telah datang kepadaku Jibril dan memerintahkan kepadaku
agar aku memerintahkan para Sahabatku supaya mereka mengeraskan suara mereka
ketika membaca talbiyah.” [4]
Oleh karena itu, dulu para Sahabat Rasulullah berteriak.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Dulu ketika Sahabat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berihram suara mereka telah parau sebelum mencapai Rauha.”
[5]
6.Bertahmid, bertasbih dan bertakbir sebelum mulai ihram
Berdasarkan hadits Anas, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Zhuhur empat raka’at di Madinah sedangkan
kami bersama beliau, dan beliau shalat ‘Ashar di Dzul Hulaifah dua raka’at,
beliau menginap di sana sampai pagi, lalu menaiki kendaraan hingga sampai di
Baidha, kemudian beliau memuji Allah bertasbih dan bertakbir, lalu beliau
berihram untuk haji dan umrah.” [6]
7. Berihram menghadap Kiblat
Berdasarkan hadits Nafi’, ia berkata, “Dahulu ketika Ibnu
‘Umar selesai melaksanakan shalat Shubuh di Dzul Hulaifah, ia memerintahkan
agar rombongan mulai berjalan. Maka rombongan pun berjalan, lalu ia naik ke
kendaraan. Ketika rombongan telah sama rata, ia berdiri menghadap Kiblat dan
bertalbiyah... Ia mengi-ra dengan pasti bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengerjakan hal ini.” [7]
B. Sunnah-Sunnah Ketika Masuk Kota Makkah:
8, 9, 10. Menginap di Dzu Thuwa, mandi untuk memasuki
kota Makkah dan masuk kota Makkah pada siang hari
Dari Nafi’, ia berkata, “Dahulu ketika Ibnu ‘Umar telah
dekat dengan kota Makkah, ia menghentikan talbiyah, kemudian beliau menginap di
Dzu Thuwa, shalat Subuh di sana dan mandi. Beliau mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan hal ini.” [8]
11. Memasuki kota Makkah dari ats-Tsaniyah al-‘Ulya
(jalan atas)
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Dulu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki kota Makkah dari ats-Tsaniyah
al-‘ulya (jalan atas) dan keluar dari ats-Tsaniyah as-Sufla (jalan bawah).”[9]
12. Mendahulukan kaki kanan ketika masuk ke dalam masjid
haram dan membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَانِهِ
الْقَدِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى
مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ، اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.
“Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan
wajah-Nya Yang Mahamulia dan kekuasaan-Nya yang abadi, dari syaitan yang
terkutuk. Dengan Nama Allah dan semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Muhammad, Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu untukku.” [10]
13. Mengangkat tangan ketika melihat Ka’bah
Apabila ia melihat Ka’bah, mengangkat tangan jika mau,
karena hal ini benar shahih dari Ibnu ‘Abbas [11]. Kemudian berdo’a dengan do’a
yang mudah dan apabila ia mau berdoa dengan do’anya Umar juga baik, sebab do’a
ini pun shahih dari ‘Umar. Do’a beliau:
اَللّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا
رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ.
“Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan dan dari-Mu
keselamatan, serta hidupkanlah kami, wahai Rabb kami dengan keselamatan.”[12]
C. Sunah-Sunnah Thawaf
14. Al-Idhthiba’
Yaitu memasukkan tengah-tengah kain ihram di bawah ketiak
kanan dan menyelempangkan ujungnya di pundak kiri sehingga pundak kanan
terbuka, berdasarkan hadits Ya’la bin Umayyah bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam thawaf dengan idhthiba’.” [13]
15. Mengusap Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia
berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika tiba di
Makkah mengusap Hajar Aswad di awal thawaf, beliau thawaf sambil berlari-lari
kecil di tiga putaran pertama dari tujuh putaran thawaf.” [14]
16. Mencium Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Zaid bin Aslam dari ayahnya, ia
berkata, “Aku melihat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu mencium Hajar
As-wad dan berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” [15]
17. Sujud di atas Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku melihat
‘Umar bin al-Khaththab mencium Hajar Aswad lalu sujud di atasnya kemudian ia
kembali menciumnya dan sujud di atasnya, kemudian ia berkata, ‘Beginilah aku
melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’” [16]
18. Bertakbir setiap melewati Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam thawaf mengelilingi Ka’bah di atas untanya,
setiap beliau melewati Hajar Aswad beliau memberi isyarat dengan sesuatu yang
ada pada beliau kemudian bertakbir.” [17]
19. Berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf
yang pertama kali (thawaf qudum)
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, “Bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika thawaf mengitari Ka’bah, thawaf yang
pertama kali, beliau berlari-lari kecil tiga putaran dan berjalan empat
putaran, dimulai dari Hajar Aswad dan berakhir kembali di Hajar Aswad.”[18]
20. Mengusap rukun Yamani
Berdasarkan hadits Ibnu Umar, ia berkata, “Aku tidak
pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap Ka’bah kecuali
dua rukun Yamani (rukun Yamani dan Hajar Aswad).” [19]
21. Berdo’a di antara dua rukun (rukun Yamani dan Hajar
Aswad) dengan do’a sebagai berikut:
رَبَّنَآ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa Neraka.”[20]
22. Shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim setelah
thawaf
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Setelah tiba,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam thawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali,
kemudian beliau shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim dan sa’i antara
Shafa dan Marwah.” Selanjutnya beliau berkata:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ.
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat contoh
yang baik bagimu.” [21]
23. Sebelum shalat di belakang Maqam Ibrahim membaca:
وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّىٰ.
“Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim itu tempat
shalat.”
Kemudian membaca dalam shalat dua raka’at itu surat
al-Ikhlash dan surat al-Kaafirun, berdasarkan hadits Jabir bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau sampai di maqam Ibrahim
Alaihissallam beliau membaca:
وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيْمَ مُصَلًّىٰ.
“Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim itu tempat
shalat.”
Lalu beliau shalat dua raka’at, beliau membaca dalam
shalat dua raka’at itu { قُلْ هُوَ اللّهُ أَحَدٌ} dan{قُلْ يا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ}.
24. Iltizam tempat di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah
dengan cara menempelkan dada, wajah dan lengannya pada Ka’bah
Berdasarkan hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari
kakeknya, ia berkata, “Aku pernah thawaf bersama ‘Abdullah bin ‘Amr, ketika
kami telah selesai dari tujuh putaran tersebut kami shalat di belakang Ka’bah.
Lalu aku bertanya, ‘Apakah engkau tidak memohon perlindungan kepada Allah?’ Ia
menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah dari api Neraka.’”
Berkata (perawi), “Setelah itu ia pergi dan mengusap
Hajar Aswad. Lalu beliau berdiri di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah, beliau
menempelkan dada, tangannya dan pipinya ke dinding Ka’bah, kemudian berkata,
‘Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hal ini.’”[22]
25. Minum air zamzam dan mencuci kepala dengannya
Berdasarkan hadits Jabir bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan hal tersebut.
D. Sunnah-Sunnah Sa’i:
26. Mengusap Hajar Aswad (seperti yang telah lalu)
27. Membaca:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ
حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari
syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullaah atau
ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i di antara keduanya. Dan
barangsiapa yang mengerjakan suatu ke-bajikan dengan kerelaan hati, maka
sesungguhnya Allah Mahamen syukuri kebaikan lagi Mahamengetahui.” [Al-Baqarah:
158]
Kemudian membaca:
نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ.
“Kami mulai dengan apa yang dimulai oleh Allah.”
Bacaan ini dibaca setelah dekat dengan Shafa ketika mau
melakukan sa’i.[23]
28. Berdo’a di Shafa
Ketika berada di Shafa, menghadap Kiblat dan membaca:
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ،
وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ.
“Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain
Allah Yang Mahaesa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan, bagi-Nya
segala puji dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar selain Allah semata. Yang melaksanakan janji-Nya,
membela hamba-Nya (Muhammad) dan mengalahkan golongan musuh sendirian.”
29. Berlari-lari kecil dengan sungguh-sungguh antara dua
tanda hijau
30. Ketika berada di Marwah mengerjakan seperti apa yang
dilakukan di Shafa, baik menghadap Kiblat, bertakbir maupun berdo’a
E. Sunnah-Sunnah Ketika Keluar dari Mina:
31. Ihram untuk haji pada hari Tarwiyah dari tempat
tinggal masing-masing •
32. Shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya' di Mina
pada hari Tarwiyah, serta menginap di sana hingga shalat Shubuh dan matahari
telah terbit
33. Pada hari ‘Arafah, menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar
di Namirah
34. Tidak meninggalkan ‘Arafah sebelum matahari
tenggelam.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Sumber
http://almanhaj.or.id/
No comments:
Post a Comment