Perjalanan yang belum selesai (227)
(Bagian ke dua ratus dua puluh tujuh, Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 27 Februari 2015, 02.39 WIB)
Raja Firaun |
Iblis Berjuang menggoda manusia sampai nafas di
kerongkongan.
Banyak sekali keterangan baik di Al Quran maupun Hadist
Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan bahwa musuh nomer satu manusia dan jin yang
menjadi khalifah di bumi adalah iblis atau syaitan.
Bahkan iblis ini menjadi musuh nomer satu sejak awal nabi
adam hidup di Sorga Jannah dengan siti Hawa.
Namun berkat godaan iblis yang membujuk adam untuk
memakan buah quldi, yang dilarang Allah memakan buah kuldi, maka Adam terbujuk
rayu Iblis akhirnya memakan buah kuldi, yang akhirnya Adam dan hawa diusir
Allah untuk tidak lagi tinggal di sorga, tapi di bumi.
Nah ketika Adam diciptakan, ketika semua mahluk ciptaan
Allah disuruh Allah bersujud pada Adam hanya iblis lah yang menolak, karena
Iblis angkuh merasa dia lebih mulia karena diciptakan Allah dari Api, sedangkan
Adam dari tanah liat.
Karena kesombongan dan penolakan inilah akhirnya
diputuskan Iblis akan masuk neraka.
Namun Iblis memohon permintaan terakhir pada Allah sebelum
dijebloskan ke neraka, dia minta dispensasi agar iblis dan keturunannya bisa
hidup panjang umur sampai hari kiamat agar bisa membujuk manusia dan jin agar
berbuat maksiat agar bisa menemani iblis agar bersama-sama masuk neraka.
Permohonan ini dikabulkan, dan mulailah iblis beroperasi,
dan korban pertama adalah Adam dan Hawa di Sorga, dan korban kedua di bumi
adalah anak adam ketika qabil dan habil saling bunuh-bunuhan.
Itulah saling bunuh-bunuhan ini selalu menyertai sejarah
manusia mulai dari perang perebutan kekuasan dan wilayah antar kerajaan kuno di
Cina, Eropa, India, dan di Indonesia.
saling bunuh pada perang dunia pertama, dan kerasukan
syahwat iblis pada seorang pemimpin Jerman Hitler, pemimpin Italia, Mussolini,
kaisar Jepang Hiro Hito yang ingin mengusai dunia yang puncaknya pada perang
dunia kedua yang menewaskan puluhan juta manusia.
Usai perang dunia II, terjadi lagi pada berbagai perang ,
perang Vietnam, perang Korea, perang Afganistan, perang Iran-Irak, perang
Malvinas, perang di Chehya, perang di Filipina Selatan, Thailand Selatan di
Myannar pembantaian suku –suku minoritas, perang di Irak, kini antara Negara
Islam Irak dan Suriah dan Syam/Islamic State of Iraq and Syria and Levan/ISIL)
yang dikeroyok 80 negara yang dimotori Amerika Serikat, Negara Eropa termasuk Arab
Saudi, Qatar dan Jordania.
Juga syahwat iblis ada pada hati seorang Geng His Khan,
penguasa Mongolia,sehingga membunuh rakyat negeri yang ditaklukkannya mulai
dari Cina, India, sampai di Hongaria dan Irak.
Allah dalam firmannya memberi tahu manusia, nanti di alam
akherat, ketika azab terhadap manusia telah dihitung, dan penghuni sorga dan
neraka telah dikumpulkan, maka ada khutbah iblis di depan pintu neraka jahannam
Pidato Iblis ini, kata Allah, hanya di dengar calon
penghuni neraka.
Dalam khotbah ,
kata Iblis, saya sebenarnya mengakui keesaan Allah, hanya saja saya mencoba
membujuk kalian agar bisa menemani saya di neraka, karena sudah menjadi hukuman
terhadap saya sejak awal, saya tidak pernah mengingkari keputusan Allah, hanya
saja kalian lah yang lalai hingga termakan bujuk rayu saya dan keturunan saya agar
menemani kami masuk neraka melalui kehidupan kesenangan yang menipu dan penuh
sandiwara di dunia, jadi jangan salahkan saya kata Iblis, bukankah Allah telah
memberikan penangkalnya agar manusia bisa masuk sorga, dan mampu menghindar
dari bujuk iblis.
Bukankah, Allah telah mengutus nabi dan rasulnya di bumi
untuk memberi peringatan pada manusia.
Memang khotbah iblis di depan pintu neraka jahannam ini
membuat hati calon penghuni neraka itu tersentuh, dan sedih dan penuh
penyesalan, namun tiada guna, karena hisab sudah dihitung, ada dinding penyekat
sehingga manusia tidak bisa kembali ke dunia.
Ketika itu calon penghuni neraka memohon pada Allah agar
diberi kesempatan untuk hidup kembali walaupun sekejap, agar mereka bisa
menyedekahkan seluruh hartanya dan bertaubat. Tapi tdak bisa, tidak ada
kesempatan hidup kedua di dunia.
Upaya iblis untuk menggoda manusia sangat halus, sehingga
tidak disadari itu adalah bujuk rayu Iblis, seperti acara pesta pora valentine
day, dibalut pesta kasih kayang, yang diiringi pesta memabukkan, setelah mabuk,
kita kehilangan kesadaran , yang ada hanya hawa nafsu sahwat, sehingga kita
menyentuh dan berjinah dengan lawan jenis yang belum jadi Mahrom kita.
Banyak lagi, misalnya dengan kekayaan uang yang kita
miliki membuat kita sombong dan melupakan ibadah, hanya bersenang-senang, pesta
pora, jalan-jalan keliling dunia menikmati syahwat mata, dan syahwat lain, melupakan
perjalanan yang diwajibkan seperti naik haji dan Umroh, semakin pelit dan
melupakan sedekah pada mereka yang tengah mengalami kesulitan hidup, baik
kekurangan makan, sakit, seperti menyantuni kedua orang tuanya, saudara-
saudara, baik saudara kandung , maupun saudara seagama.
Orang pelit merasa setiap sen yang dikeluarkan akan
memiskinkan mereka.
Padahal kata Nabi dalam sabdanya: setiap pagi (subuh)
Allah mengutus dua jenis malaikat ke bumi, satu jenis malaikat berdoa pada
Allah meminta agar orang yang bersedekah itu diganti dan dilipatgandakan
rezekinya, satu golongan malaikat lagi memohon pada Allah agar melaknat orang
yang pelit agar seluruh hartanya diambil kembali (dimusnahkan) dan disempitkan
rejekinya.
Banyak cara Allah menyempitkan rejeki hambanya yang pelit
. bisa musibah terbakar toko, rumahnya, anaknya sulit mencari pekerjaan, atau
ribuan cara Allah yang lain.
Sebaliknya orang gemar bersedekah akan dilipatgandakan
rezekinya. Dilipatkan gandakan rejeki tidak melulu dalam bentuk harta benda,
bisa juga kekayaan dalam bentuk kekayaan di hati semakin tebal ketakwaan kita,
dan kebahagiaan fisik nanti akan diberi pada saat yang tepat, baik di dunia,
maupun akherat.
Itulah sebabnya Allah berfirman jihad sesungguhnya bagi
manusia antara lain jihad melawan hawa nafsu iblis melalui kesabaran dan
ketakwaan,
Banyak sekali resep –resep Allah di Al Quran dan Hadist
agar kita dijauhi dan berhasil menghalau godaan Iblis.
Yang Pasti Iblis terus mencari celah dan kelengahan
manusia agar manusia tergoda sejak manusia akil balik sampai manusia mendekati
sakratul maut (sekarat) Iblis tidak ingin manusia meninggal dalam keadaan
khusnul khotimah.
Itulah yang dilakukan iblis pada raja Namrud Firaun,
sampai nyawa di kerongkongan Iblis tetap membuat Firaun sombong tidak mengakui
kesesaan Allah, Tuhannya Nabi Musa. Setelah nyawanya dijung tanduk kerongkongan
akibat ditenggelamkan Allah di laut, baru Firaun sadar bahwa ada Allah yang
maha kuasa, bukan dirinya yang hanya manusia yang lemah dan bisa mati.
Iblis karena kekuatannya yang diberikan Allah tentu saja
tidak mengenal kata menyerah. Istri Nabi Nuh dan istri nabi Luth sendiri
dibuatnya masuk neraka, walaupun Nabi Nuh berdakwah pada istri, keluarga dan
kaumnya selama 950 tahun tapi kaumnya dan istrinya tetap ingkar sampai banjir besar
menelan bumi, hanya Nabi Nuh dan segelintir orang beriman dan mahluk hidup lain
sepasang binatang yang diselamatkan Nuh, agar nanti setelah banjir surut bisa
meneruskan kehidupannya di dunia.
Maka wahai teman-teman baik dari sabang sampai Merauke
dari Kutub Selatan sampai kutub Utara bertaubatlah sebelum nyawa sampai
dikerongkongan, Hentikanlah perang dan saling bunuh bunuhan yang merupakan
bujuk rayu iblis. Pelajarilah Al Quran dan Hadist (bisa memperbanyak Tauziah di
Radio Rodja tinggal di Click di website situs ini, dalam bahasa Indonesia juga
di Website www.almanhaj,or,id, bisa
anda terjemahkan melalui google ke bahasa anda di Afrika, Amerika Latin atau ke
bahasa Cina, Urdu atau Rusia atau bahasa yang anda mengerti, berusahalah
belajar, agar kita bisa bisa lebih dekat pada Allah dan selamat hidup di dunia
dan akherat).
Islam Satu-Satunya Agama Yang Benar
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Setiap Muslim yakin sepenuhnya bahwa karunia Allâh Azza
wa Jalla yang terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang Muslim wajib
bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat-Nya yang telah memberikan
hidayah Islam. Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa nikmat Islam adalah karunia
yang terbesar, sebagaimana firman-Nya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu,
dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu...” [al-Mâidah/5:3]
Sebagai bukti syukur seorang Muslim atas nikmat ini
adalah dengan menjadikan dirinya sebagai seorang Muslim yang ridha Allâh
sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Rasûlullâh Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya. Seorang Muslim harus menerima dan meyakini
agama Islam dengan sepenuh hati. Artinya ia dengan penuh kesadaran dan
keyakinan menerima apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan mengamalkan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam. Jika seseorang ingin menjadi Muslim sejati, pengikut Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang setia, maka ia harus meyakini Islam
sebagai satu-satunya agama yang haq (benar). Ia harus belajar agama Islam
dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan Islam dengan ikhlas karena Allâh Azza wa
Jalla dengan mengikuti contoh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kondisi sebagian umat Islam yang kita lihat sekarang ini
sangat menyedihkan. Mereka mengaku Islam, KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka
Islam, mereka semua mengaku sebagai Muslim, tetapi ironinya mereka tidak
mengetahui tentang Islam, tidak berusaha untuk mengamalkan Islam. Bahkan ada
sebagian ritual keagamaan yang mereka amalkan hanya ikut-ikutan saja. Penilaian
baik dan tidaknya seseorang sebagai Muslim bukan dengan pengakuan dan KTP,
tetapi berdasarkan ilmu dan amal. Allâh Azza wa Jalla tidak memberikan
penilaian berdasarkan keaslian KTP yang dikeluarkan pemerintah, juga tidak
kepada rupa dan bentuk tubuh, tetapi Allâh melihat kepada hati dan amal.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَـى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ،
وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَـى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allâh tidak memandang kepada rupa kalian,
tidak juga kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal
kalian.[1]
Seorang Muslim wajib belajar tentang Islam yang
berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah Nabi n yang shahih sesuai dengan pemahaman
para Shahabat Radhiyallahu anhum . al-Qur'ân diturunkan oleh Allâh Azza wa
Jalla agar dibaca, dipahami isinya dan diamalkan petunjuknya. al-Qur'ân dan
as-Sunnah merupakan pedoman hidup abadi dan terpelihara, yang harus dipelajari
dan diamalkan. Seorang Muslim tidak akan sesat selama mereka berpegang kepada
al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum .
al-Qur'ân adalah petunjuk hidup, penawar, rahmat,
penyembuh, dan sumber kebahagiaan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ﴿٥٧﴾ قُلْ بِفَضْلِ
اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran
(al-Qur'ân) dari Rabb-mu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan
petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. Katakanlah (wahai Muhammad),
‘Dengan karunia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Karunia dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ [
Yunus/10:57-58]
ISLAM ADALAH SATU-SATUNYA AGAMA YANG BENAR
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama di sisi Allâh ialah Islam… [Ali
‘Imrân/3:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ
مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia
tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. [Ali
‘Imrân/3:85]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ
تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ
وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha
kepada kamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah,
‘Sesungguhnya petunjuk Allâh itulah petunjuk (yang sebenarnya).’ Dan jika
engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu,
maka tidak akan ada bagimu Pelindung dan Penolong dari Allâh.
[al-Baqarah/2:120]
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Islam satu-satunya
agama yang benar, adapun selain Islam tidak benar dan tidak diterima oleh Allâh
Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, agama selain Islam, tidak akan
diterima oleh Allâh Azza wa Jalla , karena agama-agama tersebut telah mengalami
penyimpangan yang fatal dan telah dicampuri dengan tangan-tangan kotor manusia.
Setelah diutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka orang Yahudi,
Nasrani dan yang lainnya wajib masuk ke dalam Islam, mengikuti Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kemudian ayat-ayat di atas juga menjelaskan bahwa orang
Yahudi dan Nasrani tidak senang kepada Islam serta mereka tidak ridha sampai
umat Islam mengikuti mereka. Mereka berusaha untuk menyesatkan umat Islam dan
memurtadkan umat Islam dengan berbagai cara. Saat ini gencar sekali dihembuskan
propaganda penyatuan agama, yang menyatakan konsep satu Tuhan tiga agama. Hal
ini tidak bisa diterima, baik secara nash (dalil al-Qur'ân dan as-Sunnah)
maupun akal. Ini hanyalah angan-angan semu belaka.
Kesesatan ini telah dibantah oleh Allâh Azza wa Jalla
dalam al-Qur'ân :
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا
أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ﴿١١١﴾بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ
عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Tidak akan
masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.’ Itu (hanya) angan-angan
mereka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang
yang benar. Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allâh, dan ia
berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut
pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.’ [al-Baqarah/2:111-112]
Orang Yahudi dan Nasrani mengadakan propaganda berupa
tipuan agar kaum Muslimin keluar dari ke-Islamannya dan mengikuti mereka.
Bahkan mereka memberikan iming-iming bahwa dengan mengikuti agama mereka, maka
orang Islam akan mendapat petunjuk. Padahal, Allâh Azza wa Jalla telah
memerintahkan kita untuk mengikuti agama Ibrahim q yang lurus, agama tauhid
yang terpelihara. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ
بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Dan mereka berkata, ‘Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau
Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.’ Katakanlah, ‘(Tidak!) tetapi (kami
mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan dia tidak termasuk orang yang
mempersekutukan Allâh. [al-Baqarah/2:135]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan
kebathilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu
mengetahuinya. [al-Baqarah/2:42]
Berkenaan dengan tafsir ayat ini, “Dan janganlah kalian
campuradukkan yang haq dengan yang bathil,” Imam Ibnu Jarîr t membawakan
pernyataan Imam Mujâhid rahimahullah yang mengatakan, “Janganlah kalian
mencampuradukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam.”
Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Imam Qatâdah
rahimahullah berkata, “Janganlah kalian campur-adukkan agama Yahudi dan Nasrani
dengan agama Islam, karena sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allâh Azza
wa Jalla hanyalah Islam. Sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah bid’ah bukan dari
Allâh Azza wa Jalla !”
Sungguh, tafsir ini merupakan khazanah fiqih yang sangat
agung dalam memahami Al-Qur-an.
Untuk itulah kewajiban kita bersikap hati-hati terhadap
propaganda-propaganda sesat, yang menyatakan bahwa, ‘Semua agama adalah baik’,
‘kebersamaan antar agama’, ‘satu tuhan tiga agama’, ‘persaudaraan antar agama’,
‘persatuan agama’, ‘perhimpunan agama samawi’, ‘Jaringan Islam Liberal (JIL)’,
dan lainnya. Bahkan mereka gunakan juga istilah HAM (Hak Asasi Manusia) untuk
menyesatkan kaum Muslimin dengan kebebasan beragama.
Semua slogan dan propaganda tersebut bertujuan untuk
menyesatkan umat Islam, dengan memberikan simpati atas agama Nasrani dan
Yahudi, mendangkalkan pengetahuan umat Islam tentang Islam yang haq, untuk
menghapus jihad, untuk menghilangkan ‘aqidah al-wala' wal bara’ (cinta/loyal
kepada kaum Mukminin dan berlepas diri dari selainnya), dan mengembangkan
pemikiran anti agama Islam. Dari semua sisi hal ini sangat merugikan Islam dan
umatnya.
Semua propaganda sesat tersebut merusak ‘aqidah Islam.
Sedangkan ‘aqidah merupakan hal yang paling pokok dan asas dalam agama Islam
ini, karena agama yang mengajarkan prinsip ibadah yang benar kepada Allâh Azza
wa Jalla saja, hanyalah agama Islam.
Rasûlullâh, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
adalah Rasul terakhir dan Rasul penutup. Syari’at beliau n adalah penghapus
bagi syari’at sebelumnya. Dan Allâh Azza wa Jalla tidak menerima syari’at lain
dari seorang hamba selain syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
(Islam). Islam adalah syari’at penutup yang kekal dan terpelihara dari
penyimpangan yang terjadi pada syari’at-syari’at sebelumnya, dan seluruh
manusia diwajibkan untuk mengemban syari’at ini.
Setiap Muslim wajib berpegang teguh kepada agama Islam,
dan janganlah ia mati melainkan dalam keadaan Islam. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh
sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam. [Ali ‘Imrân/3:102]
Maka siapa saja yang tidak masuk Islam sesudah diutusnya
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mati dalam keadaan kafir
maka ia menjadi penghuni Neraka. Wal ‘iyâdzubillâh.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُـحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ بِـي أَحَدٌ
مِنْ هـٰذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِـيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Rabb yang diri Muhammad berada di tangan-Nya,
tidaklah seorang dari umat Yahudi dan Nasrani yang mendengar diutusnya aku
(Muhammad), lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku
diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni Neraka.[3]
AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK
Setiap orang yang beragama Islam wajib mentauhidkan Allâh
Azza wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Dan seorang Muslim
juga mesti memahami pengertian tauhid, makna syahadat, rukun syahadat dan
syarat-syaratnya, supaya ia benar-benar bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla .
Tauhid menurut etimologi (bahasa) diambil dari kata: وَحَّدَ،
يُوَحِّدُ، تَوْحِيْدًا artinya menjadikan sesuatu itu satu.
Sedangkan menurut terminologi (istilah ilmu syar’i),
tauhid berarti mengesakan Allâh Azza wa Jalla pada segala sesuatu yang khusus
bagi-Nya. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dalam ketiga macam tauhid, yaitu
Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah, maupun Asma' dan Sifat-Nya. Dengan kata
lain, Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja.
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang
dikerjakan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki,
menghidupkan dan mematikan. Allâh Azza wa Jalla adalah Raja, Penguasa dan Rabb
yang mengatur segala sesuatu.
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allâh Allâh Subhanahu
wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa
mendekatkan diri kepada Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu
disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah
(cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’ânah (minta pertolongan),
istighâtsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’âdzah (meminta
perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allâh Azza wa
Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini
dan lainnya harus dilakukan hanya untuk Allâh semata dan ikhlas karena-Nya. Dan
ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allâh.
Tauhid Asma’ wa Shifat artinya menetapkan Nama-Nama
maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang Allâh Allâh Subhanahu
wa Ta’ala telah tetapkan atas diri-Nya dan yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya
n , serta mensucikan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa
Ta’ala dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan
oleh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n . Dan kaum Muslimin wajib
menetapkan Sifat-Sifat Allâh Azza wa Jalla , baik yang terdapat di dalam
al-Qur'ân maupun dalam as-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil. Allâh Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ
الرَّحِيمُ
Dan Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa; Tidak ada Ilah
melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:163]
Syaikh al-‘Allâmah ‘Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di
rahimahullah (wafat th. 1376 H) berkata, “Allâh Azza wa Jalla itu tunggal dalam
Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Tidak
ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, dan Sifat-Sifat-Nya.
Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara
dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam
semesta ini kecuali hanya Allâh Azza wa Jalla . Apabila demikian, maka Dia
adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allâh tidak boleh
disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.”[3]
Inilah inti ajaran Islam, yaitu mentauhidkan Allâh Azza
wa Jalla . Seorang Muslim wajib mentauhidkan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala
dan melaksanakan konsekuensi dari kalimat syahadat لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
sebagai wujud rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa yang
bertauhid kepada Allâh dan tidak berbuat syirik kepada-Nya, maka baginya Surga
dan diharamkan masuk Neraka.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ
دَخَلَ الْـجَنَّةَ
Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan ia
mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain
Allâh, maka ia masuk Surga. [5]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ
مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ
Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah
(sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh dan bahwa Muhammad
adalah Rasul Allâh, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allâh mengharamkannya
masuk Neraka[6]
Sebaliknya, orang-orang yang berbuat syirik kepada Allâh
Azza wa Jalla , maka diharamkan Surga bagi mereka dan tempat mereka adalah di
Neraka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allâh, maka sungguh Allâh mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya
ialah Neraka dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong
pun.” [al-Mâidah/5:72]
ISLAM ADALAH AGAMA YANG MUDAH
Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah
manusia.[7] Islam adalah agama yang tidak sulit. Allâh Azza wa Jalla
menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan
kepada mereka. Sebagaimana firman Allâh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“...Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu...” [al-Baqarah/2:185]
Juga firman-Nya :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“... Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam
agama ...” [Al-Hajj/22: 78]
Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fithrah
manusia, baik dalam hal ‘aqidah, syari’at, ibadah, muamalah dan lainnya. Allâh
Azza wa Jalla yang telah menciptakan manusia, tidak akan memberikan beban
kepada hamba-hamba-Nya apa yang mereka tidak sanggup lakukan, Allâh Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya... [Al-Baqarah/2: 286]
Tidak ada hal apa pun yang sulit dalam Islam. Allâh Azza
wa Jalla tidak akan membebankan sesuatu yang manusia tidak mampu
melaksanakannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا
غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغَدْوَةِ
وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْـجَةِ
Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang
mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak
dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah,
sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala)
serta mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan ibadah pada waktu pagi, petang
dan sebagian malam.[8]
Hanya saja ada sebagian orang yang menganggap Islam itu
berat, keras, dan sulit. Anggapan keliru ini muncul karena :
1. Ketidaktahuan tentang Islam. Mereka tidak belajar
al-Qur'ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Shahabat, dan tidak mau
menuntut ilmu syar’i.
2. Mengikuti hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsu
menggap semuanya susah dan berat kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. Jadi
yang mudah dalam pandangan mereka hanyalah yang sesuai dengan nafsu mereka
saja.
3. Banyak berbuat dosa dan maksiat, sebab dosa dan
maksiat menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan dan selalu merasa berat untuk
melakukannya.
4. Mengikuti agama nenek moyang dan mengikuti pendapat
orang banyak.
5. Mengikuti adat istiadat dan kebudayaan.
6. Mengikuti kelompok, madzhab, dan lainnya.
Syari’at Islam adalah mudah. Kemudahan syari’at Islam
berlaku dalam semua hal, baik dalam ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) maupun
furu’ (cabang), baik dalam ‘aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, jual beli,
pinjam-meminjam, pernikahan, hukuman dan lainnya.
Semua perintah dalam Islam mengandung banyak manfaat.
Sebaliknya, semua yang dilarang dalam Islam mengandung banyak kemudharatan.
Maka, kewajiban atas kita untuk sungguh-sungguh memegang teguh syari’at Islam
dan mengamalkannya. Apabila kita mengikuti al-Qur'ân dan as-Sunnah dan
mengamalkannya maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan hidayah (petunjuk) dan
kita dimudahkan dalam melaksanakan agama Islam ini.
ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan
dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu,
dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu...” [al-Mâidah/5:3]
Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam al-Qur'ân
tentang ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) dan furu’ (cabang-cabang) agama
Islam. Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala
macam-macamnya. Islam menjelaskan tentang beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla
dengan benar, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , menjauhkan syirik, bagaimana
shalat yang benar, zakat, puasa, haji, bagaimana melaksanakan hari raya,
bergaul dengan manusia dengan batas-batasnya sampai tentang cara buang air
besar pun diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ سَلْمَانَ z قَـالَ: قَـالَ لَنَـا الْمُشْـرِكُوْنَ: قَدْ
عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْـخِرَاءَةَ ! فَقَالَ: أَجَلْ !
Dari Salmân Radhiyallahu anhu, beliau berkata,
“Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian
sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air
besar!’ Maka, Salman Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Ya!’”[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan kepada manusia apa saja yang membawa manusia ke Surga dan apa saja
yang membawa manusia ke Neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
عَنْ أَبِـى ذَرٍّ z قَالَ: تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ j وَمَا
طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِـي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا.
قَالَ: فَقَالَ j: مَا بَقِـيَ شَـيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْـجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ
النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.
Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu , ia
mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan
kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua
sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu anhu ,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal
sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan
telah dijelaskan semuanya kepada kalian.’” [10]
Setiap Muslim wajib mengembalikan apa yang mereka
perselisihkan kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allâh dan
ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh
(al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh
dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. [an-Nisâ’/4:59]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا
شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ’/4:65]
Wallaahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun
XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Golongan Yang Selamat Hanya Satu
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(( اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى
إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ،
وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ
فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ
أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ
وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ )) قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: ( اَلْجَمَاعَةُ
).
Dari Sahabat ‘Auf bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu , ia
berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ummat Yahudi
berpecah-belah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, maka hanya satu golongan
yang masuk surga dan 70 (tujuh puluh) golongan masuk neraka. Ummat Nasrani
berpecah-belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan 71 (tujuh puluh satu)
golongan masuk neraka dan hanya satu golongan yang masuk surga. Dan demi jiwa
Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh akan berpecah-belah ummatku menjadi
73 (tujuh puluh tiga) golongan, hanya satu (golongan) masuk surga dan 72 (tujuh
puluh dua) golongan masuk neraka.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanya, ‘Wahai Rasûlullâh, 'Siapakah mereka (satu golongan yang selamat) itu
?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘al-Jamâ’ah.’”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Ibnu Mâjah dan lafazh ini miliknya, dalam Kitâbul Fitan,
Bâb Iftirâqul Umam (no. 3992).
2. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitâbus Sunnah (no. 63).
3. al-Lalika-i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah
wal Jamâ’ah (no. 149).
Hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah
(no. 1492).
Dalam riwayat lain disebutkan tentang golongan yang
selamat yaitu orang yang mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para shahabatnya Radhiyallahu anhum. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
...كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً: مَا أَنَا
عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.
“...Semua golongan tersebut tempatnya di neraka, kecuali
satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya.”[1]
SYARAH HADITS
Islam yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepada kita,
yang harus kita pelajari, fahami, dan amalkan adalah Islam yang bersumber dari
al-Qur'ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Sahabat (Salafush
Shalih). Pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum yang merupakan aplikasi
(penerapan langsung) dari apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya pemahaman yang benar. Aqidah serta manhaj
mereka adalah satu-satunya yang benar. Sesungguhnya jalan kebenaran menuju
kepada Allâh hanya satu, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits di atas.
Satu golongan dari ummat Yahudi yang masuk Surga adalah
mereka yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kepada Nabi Musa
Alaihissallam serta mati dalam keadaan beriman. Dan begitu juga satu golongan
Nasrani yang masuk surga adalah mereka yang beriman kepada Allâh dan kepada
Nabi ‘Isa Alaihissallam sebagai Nabi, Rasul dan hamba Allâh serta mati dalam
keadaan beriman.[2] Adapun setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , maka semua ummat Yahudi dan Nasrani wajib masuk Islam, yaitu agama
yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para
Nabi. Prinsip ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ
مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.
Demi (Rabb) yang diri Muhammad ada di tangan-Nya,
tidaklah seorang dari ummat Yahudi dan Nasrani yang mendengar tentangku (Muhammad),
kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa,
niscaya ia termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim (no. 153), dari Sahabat Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
‘Abdullah bin Mas‘ûd Radhiyallahu ‘anhu berkata :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًـا، وَخَطَّ خُطُوْطًا
عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَـالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ ]مُتَفَـِرّقَةٌ[ لَيْسَ
مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ
تَعَالَـى: وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis
dengan tangannya kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allâh yang lurus.’ Lalu beliau
membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah
jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satupun dari jalan-jalan ini
kecuali disana ada setan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa Jalla , “Dan
sungguh, inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti
jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.
Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” [al-An’âm/6:153]
[3]
Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan ayat dalam surat al-An’âm bahwa jalan menuju Allâh Azza wa Jalla
hanya satu, sedangkan jalan-jalan menuju kesesatan banyak sekali. Jadi wajib
bagi kita mengikuti shiratal mustaqim dan tidak boleh mengikuti jalan, aliran,
golongan, dan pemahaman-pemahaman yang sesat, karena dalam semua itu ada setan
yang mengajak kepada kesesatan.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat tahun 751 H)
berkata, “Hal ini disebabkan karena jalan menuju Allâh Subhanahu wa Ta’ala
hanya satu. Jalan itu adalah ajaran yang telah Allâh Azza wa Jalla wahyukan
kepada para rasul -Nya dan Kitab-kitab yang telah diturunkan kepada mereka.
Tidak ada seorang pun yang bisa sampai kepada-Nya tanpa melalui jalan tersebut.
Sekiranya ummat manusia mencoba seluruh jalan yang ada dan berusaha mengetuk
seluruh pintu yang ada, maka seluruh jalan itu tertutup dan seluruh pintu itu
terkunci kecuali dari jalan yang satu itu. Jalan itulah yang berhubungan
langsung kepada Allâh dan menyampaikan mereka kepada-Nya.”[4]
Akan tetapi, faktor yang membuat kelompok-kelompok dalam
Islam itu menyimpang dari jalan yang lurus adalah kelalaian mereka terhadap rukun
ketiga yang sebenarnya telah diisyaratkan dalam al-Qur'ân dan as-Sunnah, yakni
memahami al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman assalafush shalih. Surat
al-Fâtihah secara gamblang telah menjelaskan ketiga rukun tersebut, Allâh Azza
wa Jalla berfirman :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. [al-Fâtihah/1:6]
Ayat ini mencakup rukun pertama (al-Qur'ân) dan rukun
kedua (as-Sunnah), yakni merujuk kepada al-Qur'ân dan As-Sunnah, sebagaimana
telah dijelaskan di atas.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.” [al-Fâtihah/1:7]
Ayat ini mencakup rukun ketiga, yakni merujuk kepada
pemahaman assalafush shalih dalam meniti jalan yang lurus tersebut. Padahal
sudah tidak diragukan bahwa siapa saja yang berpegang teguh dengan al-Qur'ân
dan as-Sunnah pasti telah mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus. Disebabkan
metode manusia dalam memahami al-Qur'ân dan as-Sunnah berbeda-beda, ada yang
benar dan ada yang salah, maka wajib memenuhi rukun ketiga untuk menghilangkan
perbedaan tersebut, yakni merujuk kepada pemahaman assalafush shalih.[5]
Tentang wajibnya mengikuti pemahaman para sahabat, Allâh
Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin,
Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan
dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”
[an-Nisâ’/4:115]
Uraian di atas merupakan penegasan bahwa generasi yang
paling utama yang dikaruniai ilmu dan amal shalih oleh Allâh Azza wa Jalla
adalah para Shahabat Rasul n . Hal itu karena mereka telah menyaksikan langsung
turunnya al-Qur'ân, menyaksikan sendiri penafsiran yang shahih yang mereka
fahami dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
Karena itu wajib bagi kita mengikuti pemahaman mereka.
Setiap Muslim dan Muslimah dalam sehari semalam minimal
17 (tujuh belas) kali membaca ayat :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ﴿٦﴾صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [al-Fâtihah/1:6-7]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perhatikanlah hikmah
berharga yang terkandung dalam penyebutan sebab dan akibat ketiga kelompok
manusia (yang tersebut di akhir surat al-Fâtihah) dengan ungkapan yang sangat
ringkas. Nikmat yang dicurahkan kepada kelompok pertama adalah nikmat hidayah,
yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.”[6]
Permohonan dan do’a seorang Muslim setiap hari agar
diberikan petunjuk ke jalan yang lurus harus direalisasikan dengan menuntut
ilmu syar’i, belajar agama Islam yang benar berdasarkan al-Qur'ân dan as-Sunnah
yang shahih menurut pemahaman para shahabat (pemahaman assalafush shalih), dan
mengamalkannya sesuai dengan pengamalan mereka. Artinya, ummat Islam harus
melaksanakan agama yang benar menurut cara beragamanya para shahabat, karena
sesungguhnya mereka adalah orang yang mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan benar.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam
hadits ‘Irbadh Bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu tentang akan terjadinya
perselisihan dan perpecahan di tengah kaum Muslimin. Kemudian Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar yang terbaik yaitu,
berpegang kepada sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah
khulafâ-ur Rasyidin Radhiyallahu anhum serta menjauhkan semua bid’ah dalam
agama yang diada-adakan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
...فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا
كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاء الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ،
عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“…Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian
sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, karenanya
hendaklah kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur
Rasyidin. Peganglah erat-erat Sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham
kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena
sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat.’”[7]
Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Tidakkah
kalian mendengar apa yang disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
?’ Mereka berkata, ‘Apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan?’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ، فَقَالُوْا : فَكَيْفَ لَنَا
يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ وَكَيْفَ نَصْنَعُ ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْنَ إِلَى أَمْرِكُمُ الْأَوَّل
Sungguh akan terjadi fitnah”, Mereka berkata, ‘Bagaimana
dengan kita, wahai Rasûlullâh ? Apa yang kita perbuat?’ Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya kalian kembali kepada urusan kalian yang
pertama kali.”[8]
Apabila ummat Islam kembali kepada al-Qur'ân dan
as-Sunnah dan mereka memahami Islam menurut pemahaman Salaf dan mengamalkannya
menurut cara yang dilaksanakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya, maka ummat Islam akan mendapatkan hidayah (petunjuk), barakah,
ketenangan hati, terhindar dari berbagai macam fitnah, perpecahan,
perselisihan, bid’ah-bid’ah, pemahaman-pemahaman dan aliran yang sesat. Bila
umat Islam berpegang teguh dengan aqidah, manhaj, pemahaman, dan cara beragama
yang dilaksanakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Sahabatnya Radhiyallahu anhum maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kepada
kaum Muslimin keselamatan, kemuliaan, kejayaan dunia dan akhirat serta
diberikan pertolongan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk mengalahkan musuh-musuh
Islam dari kalangan orang-orang kafir dan munafiqin.
Realita kondisi ummat Islam yang kita lihat sekarang ini
adalah ummat Islam mengalami kemunduran, terpecah belah dan mendapatkan
berbagai musibah dan petaka, dikarenakan mereka tidak berpegang teguh kepada
‘aqidah dan manhaj yang benar dan tidak melaksanakan syari’at Islam sesuai
dengan pemahaman Shahabat, serta banyak dari mereka yang masih berbuat syirik
dan menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
... وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
“... Dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang-orang
yang menyelisihi Sunnahku. Dan barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk golongan mereka.”[9]
Pertama kali yang harus diluruskan dan diperbaiki adalah
‘aqidah dan manhaj[10] umat Islam dalam meyakini dan melaksanakan agama Islam.
Hal ini merupakan upaya untuk mengembalikan jati diri umat Islam untuk
mendapatkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan kemuliaan di dunia dan di akhirat.
FAWA-ID HADITS
1. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah
orang-orang mulia yang paling dalam ilmu dan hujjahnya. (lihat Saba'/34:6 ;
Muhammad/47:16)
2. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum sebagai sumber
rujukan saat perselisihan dan sebagai pedoman dalam memahami al-Qur'ân dan
As-Sunnah.
3. Mengikuti manhaj Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum
adalah jaminan mendapat keselamatan dunia dan akhirat. (lihat an-Nisâ'/4: 115)
4. Mencintai para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berarti iman, sedang membenci mereka berarti kemunafikan.
5. Kesepakatan (ijma’) para Sahabat Nabi Radhiyallahu
anhum adalah hujjah yang wajib diikuti setelah al-Qur'ân dan as-Sunnah. (lihat
an-Nisâ'/4:115 dan hadits al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu )
6. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah
orang-orang yang berpegang teguh kepada agama Islam yang berarti mereka telah
mendapat petunjuk, dengan demikian mengikuti mereka adalah wajib.
7. Keridhaan Allâh Azza wa Jalla dapat diperoleh dengan
mengikuti para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum , baik secara kelompok maupun
individu. (lihat at-Taubah/9:100)
8. Para Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah
orang-orang yang menyaksikan perbuatan, keadaan, dan perjalanan hidup Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mendengar sabda beliau, mengetahui maksudnya,
menyaksikan turunnya wahyu, dan menyaksikan penafsiran wahyu dengan perbuatan
beliau sehingga mereka memahami apa yang tidak kita pahami.
9. Mengikuti para Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah
jaminan mendapatkan pertolongan Allâh Azza wa Jalla , kemuliaan, kejayaan dan
kemenangan.
10. Mengikuti pemahaman assalaufus shalih adalah pembeda
antara manhaj (cara beragama) yang haq dengan yang batil, antara golongan yang
selamat dan golongan-golongan yang sesat.
11. Hadits di atas menetapkan bahwa ijma’ para Sahabat
sebagai dasar hukum Islam yang ketiga. (an-Nisâ’/4: 115)
12. al-Qur'ân dan as-Sunnah wajib dipahami dengan
pemahaman para shahabat, kalau tidak maka pemahaman tersebut akan membawanya
pada kesesatan.
13. Kewajiban mengikuti manhaj-nya (cara beragamanya)
para shahabat.
14. Golongan-golongan dan aliran-aliran yang sesat itu
sangat banyak sedangkan kebenaran hanya satu.
15. Mereka yang menyelisihi manhaj para Sahabat pasti
akan tersesat dalam beragama,manhaj dan aqidah mereka.
16. Hakikat persatuan di dalam Islam adalah bersatu dalam
‘aqidah, manhaj, dan pemahaman yang benar.
17. Hadits di atas melarang kita berpecah belah di dalam
manhaj dan aqidah.
18. Perselisihan yang dimaksud dalam hadits di atas ialah
perselisihan dan perpecahan dalam manhaj dan aqidah. Adapun perselisihan yang
disebabkan karena tabi’at manusia dan tingkat keilmuan seseorang yang lebih
kurang, maka hal yang seperti ini tidak terlarang secara mutlak asalkan mereka
tetap berada di dalam satu manhaj. Seperti perselisihan dalam masalah fiqih dan
hukum, hal ini sudah ada sejak zaman Shahabat.
19. Para shahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang
yang telah mengamalkan sunnah-sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan benar dan mereka tidak berselisih tentang ‘aqidah dan manhaj, meskipun
ada perbedaan pendapat dalam masalah hukum dan ijtihad.
20. Orang banyak bukan ukuran kebenaran, karena hadits di
atas dan ayat al-Qur'ân menjelaskan kalau kita mengikuti orang banyak niscaya
orang banyak akan menyesatkan kita dari jalan kebenaran. (al-An’âm/6:116)
21. Tidak boleh membuat kelompok, golongan, aliran,
sekte, dan jama’ah atas nama Islam, yang didasari kepada wala’ (loyalitas) dan
bara’ (berlepas diri) atas nama kelompoknya tersebut. Karena hal tersebut dapat
membuat perpecahan.
22. Bahwa bid’ah dan ahli bid’ah merusak agama Islam dan
membuat perpecahan.
23. Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah
sesat.
24. Kaum Muslimin, terutama para penuntut ilmu dan para
da’i, wajib mengikuti jalan golongan yang selamat, belajar, memahami,
mengamalkan, dan mendakwahkan dakwah yang hak ini, yaitu dakwah salaf.[11]
25. Do’a yang kita minta setiap hari memohon petujuk ke
jalan yang lurus, maka harus dibuktikan dengan mengikuti jalan golongan yang
selamat, yaitu cara beragamanya para sahabat Radhiyallahu anhum.
Maraaji’:
1. al-Qur'ânul Karîm dan terjemahnya.
2. Kutubus sittah.
3. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.
4. Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, al-Lâlika-i.
5. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qayyim.
6. Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah.
7. Dirâsât fil Ahwâ’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifis
Salaf minha.
8. Madârikun Nazhar fis Siyâsah.
9. Mâ ana ‘alaihi wa Ash-hâbii.
10. Dar-ul Irtiyâb ‘an Hadîts Mâ Ana ‘alaihi wa Ash-hâbii
oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarur Rayah/ th. 1410 H.
11. Al-Arba’ûna Hadîtsan an-Nabawiyyah fii Minhâjid
Da’wah as-Salafiyyah oleh Sa’id (Muhammad Musa) Husain Idris as-Salafi.
12. Badâ’iut Tafsîr Al-Jami’ Limâ Fassarahul Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah.
13. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun
XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim
(I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , dan dihasankan oleh
Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyâb ‘an
Hadîts Mâ Ana ‘alaihi wa Ash-hâbii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet.
Daarur Rayah/ th. 1410 H.
[2]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan
al-Baqarah/2:62
[3]. Shahih: HR. Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68),
al-Hakim (II/318), Syarhus Sunnah lil Imâm al-Baghawy (no. 97), dihasankan oleh
Syaikh al-Albâni dalam As-Sunnah libni Abi ‘Ashim no. 17. Tafsir an-Nasa-i (no.
194). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).
[4]. Tafsîrul Qayyim libnil Qayyim (hlm. 14-15), Badâ’iut
Tafsîr Al-Jâmi’ Limâ Fassarahul Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (hlm. 88), cet.
Daar Ibnu Jauzi.
[5]. Lihat Madârikun Nazhar fis Siyâsah baina
Tathbîqâtisy Syar’iyyah wal Infi’âlâtil Hamâsiyyah (hlm. 36-37) karya ‘Abdul
Malik bin Ahmad bin al-Mubarak Ramadhani Aljazairi, cet. IX/ th. 1430 H, Darul
Furqan.
[6]. Madârijus Sâlikin (I/20, cet. Daarul Hadits, Kairo).
[7]. HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676),
dan lainnya. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”. Silahkan baca
penjelasan hadits ini dan fawa-idnya dalam buku penulis “Wasiat Perpisahan”,
Pustaka at-Taqwa.
[8]. Shahih: HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr
(no. 3307) dan al-Mu’jamul Ausath (no. 8674). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah (no. 3165).
[9]. HR. Ahmad (II/50, 92) dan Ibnu Abi Syaibah (V/575
no. 98) Kitâbul Jihâd, cet. Daarul Fikr, Fat-hul Bâri (VI/98) dari Sahabat
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma , dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir
rahimahullah dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad (no. 5667).
[10]. Manhaj artinya jalan atau metode. Dan manhaj yang
benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman
para Sahabat Radhiyallahu anhhum. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan
menjelaskan antara ‘aqidah dan manhaj, beliau berkata, “Manhaj lebih umum
daripada ‘aqidah. Manhaj diterapkan dalam ‘aqidah, suluk, akhlak, mu’amalah,
dan dalam semua kehidupan seorang Muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang
Muslim dikatakan manhaj. Adapun ‘aqidah yang dimaksud adalah pokok iman, makna
dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya, inilah ‘aqidah.” (Al-Ajwibatul
Mufîdah ‘an As-ilatil Manâhij al-Jadîdah, hlm. 123. Kumpulan jawaban Syaikh Dr.
Shalih bin Fauzan al-Fauzan atas berbagai pertanyaan seputar manhaj,
dikumpulkan oleh Jamal bin Furaihan al-Haritsi, cet. III, Daarul Manhaj/ th.
1424 H.)
[11]. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca buku penulis
“Mulia dengan Manhaj Salaf”, cet. V, Pustaka At-Taqwa.
Sumber
http://almanhaj.or.id/
Sabar Menurut Al-Qur'an dan Hadist
"Dalam diri kita terkadang begitu sulit untuk
bersabar untuk suatu hal, entah itu terkena musibah atau sedang di uji
oleh-Nya, banyak sekali Ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist Rasulullah S.A.W yang
menjelaskan tentang sabar, berikut ada sedikit uraian tentang makna sabar, semoga
artikel ini dapat menambah kesabaran kita dan bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin..."
Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala
urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat
kecuali hanya pada orang mu'min: Yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia
bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik
untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa
hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Muslim)
Sekilas Tentang Hadits
Hadits ini merupakan hadits shahih dengan sanad
sebagaimana di atas, melalui jalur Tsabit dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari
Suhaib dari Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh :
- Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Zuhud wa
Al-Raqa’iq, Bab Al-Mu’min Amruhu Kulluhu Khair, hadits no 2999.
- Imam Ahmad bin Hambal dalam empat tempat dalam
Musnadnya, yaitu hadits no 18455, 18360, 23406 & 23412.
- Diriwayatkan juga oleh Imam al-Darimi, dalam Sunannya,
Kitab Al-Riqaq, Bab Al-Mu’min Yu’jaru Fi Kulli Syai’, hadits no 2777.
Makna Hadits Secara Umum
Hadits singkat ini memiliki makna yang luas sekaligus
memberikan definisi mengenai sifat dan karakter orang yang beriman. Setiap
orang yang beriman digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang memiliki
pesona, yang digambarkan dengan istilah ‘ajaban’ ( عجبا ). Karena sifat dan
karakter ini akan mempesona siapa saja.
Kemudian Rasulullah SAW menggambarkan bahwa pesona
tersebut berpangkal dari adanya positif thinking setiap mu’min. Dimana ia
memandang segala persoalannya dari sudut pandang positif, dan bukan dari sudut
nagatifnya.
Sebagai contoh, ketika ia mendapatkan kebaikan,
kebahagian, rasa bahagia, kesenangan dan lain sebagainya, ia akan refleksikan
dalam bentuk penysukuran terhadap Allah SWT. Karena ia tahu dan faham bahwa hal
tersebut merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada dirinya. Dan tidaklah
Allah memberikan sesuatu kepadanya melainkan pasti sesuatu tersebut adalah
positif baginya.
Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu musibah, bencana,
rasa duka, sedih, kemalangan dan hal-hal negatif lainnya, ia akan bersabar.
Karena ia meyakini bahwa hal tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi
dirinya yang pasti memiliki rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga refleksinya
adalah dengan bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah SWT.
Urgensi Kesabaran
Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang yang
bertaqwa kepada Allah SWT. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran
merupakan setengahnya keimanan. Sabar memiliki kaitan yang tidak mungkin
dipisahkan dari keimanan: Kaitan antara sabar dengan iman, adalah seperti
kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran,
sebagaimana juga tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itulah
Rasulullah SAW menggambarkan tentang ciri dan keutamaan orang yang beriman
sebagaimana hadits di atas.
Namun kesabaran adalah bukan semata-mata memiliki
pengertian "nrimo", ketidak mampuan dan identik dengan ketertindasan.
Sabar sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang
terdapat dalam jiwa insan. Dalam berjihad, sabar diimplementasikan dengan
melawan hawa nafsu yang menginginkan agar dirinya duduk dengan santai dan
tenang di rumah. Justru ketika ia berdiam diri itulah, sesungguhnya ia belum
dapat bersabar melawan tantangan dan memenuhi panggilan ilahi.
Sabar juga memiliki dimensi untuk merubah sebuah kondisi,
baik yang bersifat pribadi maupun sosial, menuju perbaikan agar lebih baik dan
baik lagi. Bahkan seseorang dikatakan dapat dikatakan tidak sabar, jika ia
menerima kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja. Sabar dalam ibadah
diimplementasikan dalam bentuk melawan dan memaksa diri untuk bangkit dari tempat
tidur, kemudian berwudhu lalu berjalan menuju masjid dan malaksanakan shalat
secara berjamaah. Sehingga sabar tidak tepat jika hanya diartikan dengan sebuah
sifat pasif, namun ia memiliki nilai keseimbangan antara sifat aktif dengan
sifat pasif.
Makna Sabar
Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa
Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah
"Shobaro", yang membentuk infinitif (masdar) menjadi
"shabran". Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan
makna seperti ini adalah firman Allah dalam Al-Qur'an:
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang
menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi/ 18 : 28)
Perintah untuk bersabar pada ayat di atas, adalah untuk
menahan diri dari keingingan ‘keluar’ dari komunitas orang-orang yang menyeru
Rab nya serta selalu mengharap keridhaan-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus
juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan
orang-orang yang lalai dari mengingat Allah SWT.
Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah:
Menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi,
kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari
perbuatan yang tidak terarah.
Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan
bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada
juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahwa sabar adalah refleksi keteguhan
untuk merealisasikan al-Qur'an dan sunnah. Sehingga sesungguhnya sabar tidak
identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru orang yang seperti ini
memiliki indikasi adanya ketidak sabaran untuk merubah kondisi yang ada,
ketidak sabaran untuk berusaha, ketidak sabaran untuk berjuang dan lain sebagainya.
Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk sabar ketika
berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah, yang klimaksnya
adalah menggunakan senjata (perang). Artinya untuk berbuat seperti itu perlu
kesabaran untuk mengenyampingkan keiinginan jiwanya yang menginginkan rasa
santai, bermalas-malasan dan lain sebagainya. Sabar dalam jihad juga berarti
keteguhan untuk menghadapi musuh, serta tidak lari dari medan peperangan. Orang
yang lari dari medan peperangan karena takut, adalah salah satu indikasi tidak
sabar.
Sabar Sebagaimana Digambarkan Dalam Al-Qur'an
Dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang berbicara
mengenai kesabaran. Jika ditelusuri secara keseluruhan, terdapat 103 kali
disebut dalam al-Qur'an, kata-kata yang menggunakan kata dasar sabar; baik
berbentuk isim maupun fi'ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi
perhatian Allah SWT, yang Allah tekankan kepada hamba-hamba-Nya. Dari ayat-ayat
yang ada, para ulama mengklasifikasikan sabar dalam al-Qur'an menjadi beberapa macam;
1. Sabar merupakan perintah Allah SWT. Hal ini
sebagaimana yang terdapat dalam QS.2: 153: "Hai orang-orang yang beriman,
mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar."
Ayat-ayat lainnya yang serupa mengenai perintah untuk
bersabar sangat banyak terdapat dalam Al-Qur'an. Diantaranya adalah dalam QS.3:
200, 16: 127, 8: 46, 10:109, 11: 115 dsb.
2. Larangan isti'ja l(tergesa-gesa/ tidak sabar),
sebagaimana yang Allah firmankan (QS. Al-Ahqaf/ 46: 35): "Maka bersabarlah
kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan
janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka…"
3. Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar, sebagaimana
yang terdapat dalam QS. 2: 177: "…dan orang-orang yang bersabar dalam
kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa."
4. Allah SWT akan mencintai orang-orang yang sabar. Dalam
surat Ali Imran (3: 146) Allah SWT berfirman : "Dan Allah mencintai
orang-orang yang sabar."
5. Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar.
Artinya Allah SWT senantiasa akan menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar. Allah
berfirman (QS. 8: 46) ; "Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah
itu beserta orang-orang yang sabar."
6. Mendapatkan pahala surga dari Allah. Allah mengatakan
dalam al-Qur'an (13: 23 - 24); "(yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke
dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya
dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari
semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun `alaikum bima shabartum"
(keselamatan bagi kalian, atas kesabaran yang kalian lakukan). Maka alangkah
baiknya tempat kesudahan itu."
Inilah diantara gambaran Al-Qur'an mengenai kesabaran.
Gembaran-gambaran lain mengenai hal yang sama, masih sangat banyak, dan dapat
kita temukan pada buku-buku yang secara khusus membahas mengenai kesabaran.
Kesabaran Sebagaimana Digambarkan Dalam Hadits.
Sebagaimana dalam al-Qur'an, dalam hadits juga banyak
sekali sabda-sabda Rasulullah SAW yang menggambarkan mengenai kesabaran. Dalam
kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 29 hadits yang bertemakan
sabar. Secara garis besar, hadits-hadits tersebut menggambarkan kesabaran
sebagai berikut;
1. Kesabaran merupakan "dhiya' " (cahaya yang
amat terang). Karena dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap
kegelapan. Rasulullah SAW mengungkapkan, "…dan kesabaran merupakan cahaya
yang terang…" (HR. Muslim)
2. Kesabaran merupakan sesuatu yang perlu diusahakan dan
dilatih secara optimal. Rasulullah SAW pernah menggambarkan: "…barang
siapa yang mensabar-sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka Allah akan
menjadikannya seorang yang sabar…" (HR. Bukhari)
3. Kesabaran merupakan anugrah Allah yang paling baik.
Rasulullah SAW mengatakan, "…dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu
yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran." (Muttafaqun Alaih)
4. Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri
orang mu'min, sebagaimana hadits yang terdapat pada muqadimah; "Sungguh
menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik.
Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia mengatahui) bahwa hal
tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau
kesulitan, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah baik
baginya." (HR. Muslim)
5. Seseorang yang sabar akan mendapatkan pahala surga.
Dalam sebuah hadits digambarkan; Dari Anas bin Malik ra berkata, bahwa aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah berfirman, "Apabila
Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian dia bersabar, maka aku
gantikan surga baginya." (HR. Bukhari)
6. Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu Mas'ud dalam
sebuah riwayat pernah mengatakan: Dari Abdullan bin Mas'ud
berkata"Seakan-akan aku memandang Rasulullah SAW menceritakan salah
seorang nabi, yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudia ia mengusap
darah dari wajahnya seraya berkata, 'Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena
sesungguhnya mereka tidak mengetahui." (HR. Bukhari)
7. Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat. Rasulullah
SAW pernah menggambarkan dalam sebuah hadits; Dari Abu Hurairah ra berkata,
bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang kuat bukanlah yang pandai
bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika
marah." (HR. Bukhari)
8. Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah SAW
menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullan SAW
bersabda, "Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit,
kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang
menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal
tersebut." (HR. Bukhari & Muslim)
9. Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang
tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah
sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal
yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah SAW
mengatakan; Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya
kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya,
hendaklah ia berdoa, 'Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu
lebih baik unttukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik
bagiku." (HR. Bukhari Muslim)
Bentuk-Bentuk Kesabaran
Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga hal; sabar
dalam ketaatan kepada Allah, sabar untuk meninggalkan kemaksiatan dan sabar
menghadapi ujian dari Allah:
1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah. Merealisasikan
ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, karena secara tabiatnya, jiwa
manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya,
terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar. Pertama karena
malas, seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena bakhil (kikir),
seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya, (malas dan kikir),
seperti haji dan jihad.
Kemudian untuk dapat merealisasikan kesabaran dalam
ketaatan kepada Allah diperlukan beberapa hal,
(1) Dalam kondisi sebelum melakukan ibadah berupa
memperbaiki niat, yaitu kikhlasan. Ikhlas merupakan kesabaran menghadapi
duri-duri riya'.
(2) Kondisi ketika melaksanakan ibadah, agar jangan
sampai melupakan Allah di tengah melaksanakan ibadah tersebut, tidak malas
dalam merealisasikan adab dan sunah-sunahnya.
(3) Kondisi ketika telah selesai melaksanakan ibadah,
yaitu untuk tidak membicarakan ibadah yang telah dilakukannya supaya diketahui
atau dipuji orang lain.
2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Meninggalkan
kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan
yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta,
memandang sesuatu yang haram dsb. Karena kecendrungan jiwa insan, suka pada
hal-hal yang buruk dan "menyenangkan". Dan perbuatan maksiat identik
dengan hal-hal yang "menyenangkan".
3. Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah,
seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri;
misalnya kehilangan harta, kehilangan orang yang dicintai dsb.
Aspek-Aspek Kesabaran sebagaimana yang Digambarkan dalam
Hadits
Dalam hadits-hadits Rasulullah SAW, terdapat beberapa
hadits yang secara spesifik menggambarkan aspek-aspek ataupun kondisi-kondisi
seseroang diharuskan untuk bersabar. Meskipun aspek-aspek tersebut bukan
merupakan ‘pembatasan’ pada bidang-bidang kesabaran, melainkan hanya sebagai
contoh dan penekanan yang memiliki nilai motivasi untuk lebih bersabar dalam
menghadapi berbagai permasalahan lainnya. Diantara kondisi-kondisi yang
ditekankan agar kita bersabar adalah :
1. Sabar terhadap musibah.
Sabar terhadap musibah merupakan aspek kesabaran yang
paling sering dinasehatkan banyak orang. Karena sabar dalam aspek ini merupakan
bentuk sabar yang Dalam sebuah hadits diriwayatkan, :
Dari Anas bin Malik ra, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW
melewati seorang wanita yang sedang menangis di dekat sebuah kuburan. Kemudian
Rasulullah SAW bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah, dan bersabarlah.’ Wanita
tersebut menjawab, ‘Menjauhlah dariku, karena sesungguhnya engkau tidak
mengetahui dan tidak bisa merasakan musibah yang menimpaku.’ Kemudian
diberitahukan kepada wanita tersebut, bahwa orang yang menegurnya tadi adalah
Rasulullah SAW. Lalu ia mendatangi pintu Rasulullah SAW dan ia tidak
mendapatkan penjaganya. Kemudian ia berkata kepada Rasulullah SAW, ‘(maaf) aku
tadi tidak mengetahui engkau wahai Rasulullah SAW.’ Rasulullah bersabda,
‘Sesungguhnya sabar itu terdapat pada hentakan pertama.’ (HR. Bukhari Muslim)
2. Sabar ketika menghadapi musuh (dalam berjihad).
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda : Dari Abu
Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian
berangan-angan untuk menghadapi musuh. Namun jika kalian sudah menghadapinya
maka bersabarlah (untuk menghadapinya).” HR. Muslim.
3. Sabar berjamaah, terhadap amir yang tidak disukai.
Dalam sebuah riwayat digambarkan; Dari Ibnu Abbas ra
beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melihat
pada amir (pemimpinnya) sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah ia
bersabar. Karena siapa yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal, kemudian
ia mati. Maka ia mati dalam kondisi kematian jahiliyah. (HR. Muslim)
4. Sabar terhadap jabatan & kedudukan.
Dalam sebuah riwayat digambarkan : Dari Usaid bin Hudhair
bahwa seseorang dari kaum Anshar berkata kepada Rasulullah SAW; ‘Wahai Rasulullah,
engkau mengangkat (memberi kedudukan) si Fulan, namun tidak mengangkat (memberi
kedudukan kepadaku). Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya kalian akan melihat
setelahku ‘atsaratan’ (yaitu setiap orang menganggap lebih baik dari yang
lainnya), maka bersabarlah kalian hingga kalian menemuiku pada telagaku
(kelak). (HR. Turmudzi).
5. Sabar dalam kehidupan sosial dan interaksi dengan
masyarakat.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, Rasulullah SAW
bersabda, ‘Seorang muslim apabila ia berinteraksi dengan masyarakat serta
bersabar terhadap dampak negatif mereka adalah lebih baik dari pada seorang
muslim yang tidak berinteraksi dengan masyarakat serta tidak bersabar atas
kenegatifan mereka. (HR. Turmudzi)
6. Sabar dalam kerasnya kehidupan dan himpitan ekonomi
Dalam sebuah riwayat digambarkan; ‘Dari Abdullah bin Umar
ra berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Barang siapa yang bersabar
atas kesulitan dan himpitan kehidupannya, maka aku akan menjadi saksi atau
pemberi syafaat baginya pada hari kiamat. (HR. Turmudzi).
Kiat-kiat Untuk Meningkatkan Kesabaran
Ketidaksabaran (baca; isti'jal) merupakan salah satu
penyakit hati, yang seyogyanya diantisipasi dan diterapi sejak dini. Karena hal
ini memilki dampak negatif dari amalan yang dilakukan seorang insan. Seperti
hasil yang tidak maksimal, terjerumus kedalam kemaksiatan, enggan untuk
melaksanakan ibadah kepada Allah dsb. Oleh karena itulah, diperlukan beberapa
kiat, guna meningkatkan kesabaran. Diantara kiat-kiat tersebut adalah;
1. Mengkikhlaskan niat kepada Allah SWT, bahwa ia
semata-mata berbuat hanya untuk-Nya. Dengan adanya niatan seperti ini, akan
sangat menunjang munculnya kesabaran kepada Allah SWT.
2. Memperbanyak tilawah (baca; membaca) al-Qur'an, baik
pada pagi, siang, sore ataupun malam hari. Akan lebih optimal lagi manakala
bacaan tersebut disertai perenungan dan pentadaburan makna-makna yang
dikandungnya. Karena al-Qur'an merupakan obat bagi hati insan. Masuk dalam
kategori ini juga dzikir kepada Allah.
3. Memperbanyak puasa sunnah. Karena puasa merupakan hal
yang dapat mengurangi hawa nafsu terutama yang bersifat syahwati dengan lawan
jenisnya. Puasa juga merupakan ibadah yang memang secara khusus dapat melatih
kesabaran.
4. Mujahadatun Nafs, yaitu sebuah usaha yang dilakukan
insan untuk berusaha secara giat dan maksimal guna mengalahkan
keinginan-keinginan jiwa yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti
malas, marah, kikir, dsb.
5. Mengingat-ingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena
hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna. Sedangkan
ketidaksabaran (isti'jal), memiliki prosentase yang cukup besar untuk
menjadikan amalan seseorang tidak optimal. Apalagi jika merenungkan bahwa
sesungguhnya Allah akan melihat "amalan" seseorang yang dilakukannya,
dan bukan melihat pada hasilnya. (Lihat QS. 9 : 105)
6. Perlu mengadakan latihan-latihan untuk sabar secara
pribadi. Seperti ketika sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk
beramal ibadah dari pada menyaksikan televisi misalnya. Kemudian melatih diri
untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fi sabilillah, dsb.
7. Membaca-baca kisah-kisah kesabaran para sahabat,
tabi'in maupun tokoh-tokoh Islam lainnya. Karena hal ini juga akan menanamkan
keteladanan yang patut dicontoh dalam kehidupan nyata di dunia.
Penutup
Inilah sekelumit sketsa mengenai kesabaran. Pada intinya,
bahwa sabar mereupakan salah satu sifat dan karakter orang mu'min, yang
sesungguhnya sifat ini dapat dimiliki oleh setiap insan. Karena pada dasarnya
manusia memiliki potensi untuk mengembangkan sikap sabar ini dalam hidupnya.
Sabar tidak identik dengan kepasrahan dan menyerah pada
kondisi yang ada, atau identik dengan keterdzoliman. Justru sabar adalah sebuah
sikap aktif, untuk merubah kondisi yang ada, sehingga dapat menjadi lebih baik
dan baik lagi. Oleh karena itulah, marilah secara bersama kita berusaha untuk
menggapai sikap ini. Insya Allah, Allah akan memberikan jalan bagi
hamba-hamba-Nya yang berusaha di jalan-Nya.
Sumber: www.eramuslim.com
No comments:
Post a Comment