Eksekusi mati terpidana nakoba menunggu Ramadan usai
Serge Atlaoui ditangkap di sebuah tempat pembuatan
ekstasi di Tangerang pada 2005 lalu.
Kejaksaan Agung menyatakan eksekusi terpidana mati kasus
narkoba asal Prancis, Serge Atlaoui, akan menunggu bulan Ramadan usai.
Rencana itu dikemukakan setelah Pengadilan Tata Usaha
Negara di Jakarta menolak gugatan Serge, pada Senin (22/06).
Pembacaan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara yang diketuai Ujang Abdullah menandai penolakan gugatan terpidana mati
kasus narkoba asal Prancis, Serge Atlaoui.
Sebelumnya Serge menggugat Surat Keputusan Presiden Joko
Widodo No 71/G/2015 yang menolak pengajuan grasinya.
Setelah langkah hukum Serge dipastikan menemui jalan
buntu, juru bicara Kejaksaan Agung, Tony Spontana, mengatakan pria yang
ditangkap di pabrik ekstasi di Tangerang pada 2005 tersebut bakal dieksekusi.
Hanya saja pelaksanaannya menunggu bulan Ramadan usai.
"Untuk pelaksanaan eksekusinya, kami bisa pastikan
tidak dalam waktu dekat, tidak dalam bulan Ramadan ini. Menurut Anda, wise
[bijak] tidak mengeksekusi di bulan Ramadan? Nggak kan? Ya kita tunggulah
setelah bulan puasa ini ya," kata Tony kepada wartawan BBC Indonesia,
Jerome Wirawan.
Soal apakah Serge Atlaoui dieksekusi bersama kelompok
terpidana mati selanjutnya, Tony tidak menutup kemungkinan.
"Kami sekarang mengumpulkan dan menginventarisir
terpidana mati lainnya yang proses hukumnya sudah selesai, kemudian hak-haknya
sudah diberikan, Peninjauan Kembali sudah, penolakan grasi sudah. Mungkin kita
jadikan satu pelaksanaan eksekusinya," ujarnya.
null
Serge Atlaoui dan Mary Jane Veloso semula akan dieksekusi
di Nusakambangan bersama terpidana mati lainnya pada April lalu.
Ambiguitas
Sikap tersebut, menurut Poengky Indarti dari lembaga
Imparsial yang memperjuangkan penghapusan hukuman mati, mencerminkan
ambiguitas.
Poengky merujuk kenyataan bahwa pada satu sisi pemerintah
menggunakan kaidah agama saat memutuskan tidak mengeksekusi demi menjaga
kesucian bulan Ramadan. Namun pada sisi lain tindakan pemerintah dalam menghilangkan
nyawa orang bertentangan dengan ajaran agama.
"Bila menggunakan dalih agama, seharusnya pemerintah
tidak melakukan eksekusi," kata Poengky.
Poengky menambahkan, kasus Mary Jane Veloso seharusnya
menjadi pelajaran bagi aparat hukum Indonesia, termasuk Presiden Joko Widodo,
untuk tidak gegabah menjalankan hukuman mati dan menolak memberikan grasi.
"Makanya kami mempermasalahkan penolakan grasi.
Sebab, presiden tidak ada alasan, tidak ada pertimbangan apapun, langsung tanda
tangan. Seolah-olah ini masalah administrasi saja. Padahal, ada begitu banyak
permasalahan seputar kasus-kasus itu," kata Poengky.
null
Eksekusi Mary Jane Veloso ditunda setelah seorang
perempuan di Filipina bahwa ia menjebak Mary Jane untuk menjadi kurir narkoba.
Merujuk kasus Mary Jane Veloso, dia mengingatkan jangan
sampai orang tidak bersalah atau orang yang kesalahannya tidak harus dihukum
dengan eksekusi mati, harus kehilangan nyawanya.
"Padahal, yang bersalah tidak diapa-apain. Coba
lihat kasus Serge Atlaoui, bandarnya sendiri atau pemilik pabrik narkobanya
sendiri justru belum dieksekusi kan?"
Serge ditangkap di Cikande, Tangerang, pada 2005 lalu dan
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Tangerang dan
diperkuat oleh Pengadilan Tinggi. Tetapi di tingkat kasasi, hakim MA justru
menjatuhkan hukuman mati sementara grasinya pun telah ditolak Presiden Joko
Widodo, Januari lalu.
Bersama dengan Mary Jane Veloso, Serge Atlaoui ialah
salah satu terpidana mati yang pelaksanaan eksekusinya ditunda.
Namun, penundaan eksekusi Mary Jane Veloso bukan karena
dia masih menjalani proses hukum melainkan munculnya bukti baru. S eorang
perempuan di Filipina menyerahkan diri dan mengaku menjebak Mary Jane untuk
menjadi kurir narkoba.
PTUN tolak gugatan perlawanan napi narkoba Prancis
Serge melayangkan gugatan ke PTUN terhadap Surat
Keputusan (SK) Presiden Joko Widodo yang menolak pengajuan grasinya.
Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta, Senin (22/06),
menolak gugatan terpidana mati kasus narkoba asal Prancis, Serge Atlaoui.
Serge melayangkan gugatan perlawanan ke PTUN terhadap
Surat Keputusan (SK) Presiden Joko Widodo yang menolak pengajuan grasinya.
"Menolak gugatan perlawanan dari pelawan," kata
majelis hakim PTUN yang diketuai Ujang Abdullah, membacakan putusannya, Senin
(22/06) siang di PTUN Jakarta.
Dalam putusannya, majelis hakim sepakat mempertahankan SK
Presiden No 71/G/2015 yang berisi penolakan permohonan grasi Serge.
Sebelumnya, Serge Atlaoui telah dijatuhi hukuman penjara
seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Tangerang dan diperkuat oleh Pengadilan
Tinggi.
'Pabrik narkoba' Cikande
Pria Prancis ini ditangkap oleh aparat kepolisian di
‘pabrik narkoba’ Cikande, Tangerang, pada 2005 lalu.
Upaya kasasinya ke Mahkamah Agung ditolak dan dia malah
dijatuhi hukuman mati. Grasinya pun telah ditolak Presiden Joko Widodo pada
Desember 2014 lalu.
null
Dalam sidang Peninjauan Kembali pada Maret lalu, Serge
membantah terlibat dalam peracikan narkoba di Cikande, Tangerang.
Eksekuti mati terhadap dirinya ditunda pada akhir April
lalu, setelah Serge menggugat SK Presiden Joko Widodo yang menolak grasinya.
Dalam sidang Peninjauan Kembali pada Maret lalu, Serge membantah
terlibat dalam peracikan narkoba di Cikande, Tangerang.
Rencana pelaksanaan hukuman mati Indonesia terhadap Serge
dan sejumlah warga asing lainnya sempat menjadi polemik di dunia internasional
yang menuntut agar Indonesia membatalkannya.
Pelajaran Mary Jane Veloso untuk pembenahan hukum RI
Nada kesedihan koran-koran FIlipina di hari jelang jadwal
eksekusi, dengan foto Mary Jean Veloso.
Kasus Mary Jane Veloso membuktikan banyaknya kelemahan
dalam hukum Indonesia sehingga hukuman mati tak patut diterapkan. Presiden
Jokowi pun perlu meninjau lagi penolakan permohonan grasi yang dilakoni tanpa
memeriksa secara cermat, kata pengamat.
Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan bahwa memang benar
"ternyata ada fakta-fakta dan indikasi bahwa Mary Jane Veloso adalah
korban dari perdagangan manusia".
"Kemarin, ada orang yang menyerahkan diri kepada
polisi Filipina, mengaku bahwa dialah sebenarnya yang merekrut Mary Jane dengan
dalih untuk dipekerjakan di Malaysia, namun tiba-tiba dialihkan ke Indonesia,
mendarat di Yogya," papar Prasetyo kepada para wartawan.
Ditunda, bukan dibatalkan
Namun Prasetyo menegaskan, bahwa statusnya sekarang ini
adalah penundaan eksekusi, bukan pembatalan hukuman. Hal ini ditandaskan pula
oleh Presiden Jokowi sendiri dalam kesempatan lain.
Direktur Eksekutif LSM Imparsial, Poengky Indarti,
mengatakan paparan Prasetyo "menggambarkan buruknya hukum di Indonesia,
yang tidak ada prinsip kehati-hatian, tidak ada prinsip fair trial".
"Dan kasus Mary Jane menunjukkan jelas, kebiasaan
kebanyakan hakim di Indonesia, juga jaksa, yang tidak menggali permasalah dan
fakta-fakta. Mereka lebih suka mendasarkan proses pengadilan pada apa yang ada
di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disusun polisi. Mereka tidak teliti,
tidak cermat dalam memeriksa BAP itu," kata Poengky.
null
Rohaniwan Franz Magnis Suseno, dalam doa di depan Istana,
beberapa jam sebelum eksekusi.
Yang mengerikan, tambah Poengky, proses hukum yang jauh
dari prinsip kehati-hatian itu juga terjadi untuk kasus-kasus yang ancamannya
hukuman mati.
Sehingga membuka kemungkinan yang sangat besar, bahwa
terdakwa dihukum mati, dan akhirnya dieksekusi, padahal tidak bersalah atau
perbuatan pidananya tidak cukup berat untuk divonis dengan hukum mati.
Sebagaimana terjadi pada Mary Jane Veloso. Juga sebagaimana
terjadi pada Zainal Abidin, warga Indonesia yang dieksekusi Rabu dini hari lalu
bersama tujuh orang lain.
null
Ledakan kegembiraan di Filipina, setelah muncul kabar
penundaan eksekusi Mary Jane Veloso.
Menurut Poengky, hakim di berbagai tingkat tidak
mempedulikan fakta bahwa Zainal Abidin disiksa dalam pemeriksaan agar mengaku,
padahal ia hanya dijebak temannya sendiri.
Mary Jane Veloso sedikit lebih beruntung, karena di
saat-saat akhir Presiden Jokowi berhasil diyakinkan tentang fakta-fakta di luar
putusan pengadilan, khususnya setelah ada pengakuan orang yang menjebak
"perempuan miskin" beranak dua itu.
Ledakan kegembiraan
Di Filipina, penundaan eksekusi Mary Jane Veloso disambut
luar biasa gembira oleh ratusan orang yang berkumpul di depan Kedubes RI di
Manila, dan di berbagai tempat di seluruh negeri.
Ivanka Custodio di Quezon City menjelaskan kepada BBC,
"Orang-orang Filipina sangat senang dengan penundaan eksekusi ini. Kami
menganggapnya sebagai semacam kemenangan, karena hampir semua yakin bahwa Mary
Jane Veloso adalah korban dari perdagangan manusia, dan ia semestinya
diperlakukan seperti itu."
null
Polisi membubarkan doa bersama kelompok perempuan dan
buruh migran depan Istana Negara
Ia melanjutkan, apa yang terjadi pada Mary Jane Veloso
seharusnya membuat berbagai pihak di Indonesia mendiskusikan lagi berbagai
persoalan, baik tentang hukuman mati, pemberantasan obat bius, penegakkan hukum
dan sistem pemerintahan yang bersih.
Senada dengan itu, Poengky Indarti mengingatkan begitu
banyak orang tak berdaya dan naif seperti Mary Jane Veloso yang bisa diperalat
sindikat obat bius dan kejahatan terorganisasi lain untuk iming-iming uang tak
seberapa, karena kemiskinan.
null
Berbagai kalangan di Jakarta mendoakan para terpidana
mati dan mengharapkan pembatalan eksekusi.
Menjadi malapetaka besar jika orang-orang seperti itu
jadi korban, dieksekusi mati atas nama ketegasan dan kedaulatan hukum sementara
hukum tak bisa menjamah gembong besar yang biasanya dilindungi oleh aparat dan
pejabat penting dan melibatkan orang-orang penting.
Poengky menegaskan yang tak bisa ditawar-tawar adalah
menghapuskan hukuman mati, atau setidak-tidaknya menghentikan penerapannya,
karena selalu bisa salah sasaran.
Poengky pun mengingatkan, Presiden Joko Widodo perlu
mengubah pendekatannya dalam menolak permohonan grasi.
null
Kelegaan di Manila. Kendati eksekusi Mary Jean Veloso
hanya ditunda, bukan dibatalkan.
"Grasi itu hak istimewa presiden yang harus
dijalankan dengan sangat cermat dan hati-hati. Setiap keputusan menolak harus
didasari pertimbangan yang cermat, bukan dengan prasangka sejak awal,"
kata Poengky.
Namun ia menegaskan, Presiden Jokowi mengambil langkah
yang benar dengan memerintahkan penundaan eksekusi terhadap Mary Jane.
Ini, kata Poengky, bisa menjadi pintu bagi presiden
Jokowi untuk menempuh pendekatan berbeda dalam mengambil kebijakan dan
keputusan di kemudian hari
No comments:
Post a Comment