Perjalanan yang belum selesai (294)
(Bagian ke dua ratus sembilan puluh empat, Depok, Jawa
Barat, Indonesia, 18 juni 2015, 20.02 WIB)
Rumah Allah (Kabah)
Kepada yth anak-cucu dan saudara-saudaraku.
Melalui surat ini saya lampirkan juga oleh-oleh sedikit
kurma, setelah saya melakukan perjalanan Haji/Umroh ke kota Mekah dan Madinah
di Arab Saudi.
Juga informasi mengenai kabah, agar saudara-saudaraku
bila ada rejeki dan kemampuan (sehat) menyempatkan diri berangkat Haji/Umroh.
Karena kata Allah di Al Quran dan Hadist, pahala
seseorang yang berangkat Haji/Umroh adalah
masuk Surga.
Menurut Abu Yahya Badrussalam Lc dalam tauziahnya di
Radio Rodja, Selasa petang, 2 Juni 2015,
Mengutip sebuah hadist, Rumah Allah (Masjid ) yang
pertama kali di bangun di bumi adalah Masjidil Haram (Kabah) di kota Mekah,
Arab Saudi.
Kabah, kata dia, dibangun oleh para Malaikat, letaknya
sejajar dengan Baitul Makmur yang ada di langit ke tujuh.
Baitul Makmur adalah Rumah Allah di langit ke tujuh yang
setiap harinya masuk 70.000 malaikat, yang setelah masuk tidak pernah kembali
keluar.
Menurut Badrussalam, setelah dibangunnya kabah, 40 tahun
kemudian, setelah Malaikat membangun Masjidil Haram (Kabah) yang belakangan di
pugar Nabi Ibrahim, Nabi Adam membangun Masjidil Aqsa di Jerusalem, Palestina.
Kota Mekah disebut kota Haram, karena di kota ini
dilarang berbuat haram, termasuk diharamkan menebang pohon, atau mencabut duri
pohon, atau membunuh semua mahluk, termasuk binatang.
Bila pahala sholat di Masjidil Haram setara 100.000 kali
lipat dibandingkan sholat di tempat lainnya, maka sebaliknya bila seseorang
berbuat maksiat juga dosanya dilipatgandakan.
Nabi Muhammad dalam sabdanya mengatakan sebaik-baiknya
safar (perjalanan/tour) bagi seorang Muslim adalah bersafar ke kota Mekah dan
Madinah (pergi Haji/Umroh).
Itu sebabnya di kedua kota ini, dewasa ini 24 jam penuh
tidak pernah sepi dari para peziarah yang datang dari seluruh dunia, baik dalam
rangka ibadah Umroh, maupun ibadah Haji.
Karena kata Allah, setiap orang yang melakukan Ibadah
Umroh dan Haji balasannya surga, dan dihapus segala dosa,bagai bayi yang baru
lahir
Kata Ustad di Radio Rodja (gelombang 756 AM/SW/
http://www.radiorodja.com
TV Rodja
www.almanhaj.or.id)
Untuk membuka pintu surga kita memerlukan kunci. Dan
kunci pintu surga itu adalah menyatakan: ‘’Laillahailaulah Muhamadarasullah’’
(Tiada Tuhan yang wajib disembah, kecuali Allah dan Muhammad adalah Utusan
Allah)
Namun, kata Ustad itu lagi, setiap kunci itu pasti ada
geriginya, agar membuka pintu dengan lancar.
Dan Gerigi pintu surga itu adalah, sholat wajib lima
waktu, berpuasa pada bulan ramadhan, membayar zakat, dan naik Haji/Umroh bila
mampu (ada dana dan sehat).
Sholat adalah yang sangat terpenting kedua setelah
kalimat Shahadat (Tauhid) dalam rukun Islam, itulah sebabnya kalau kita di
hisab baik di alam kubur maupun di hari kiamat (akherat), maka pertama kali
yang ditanya soal sholat.
Sholat sangat penting karena hukumnya wajib, bila
dilaksanakan pahalanya setara 50 rakaat sehari (ingat peristiwa Isra Mirad),
namun bila ditinggalkan (lalai tidak sholat) dosanya juga sangat besar jauh
lebih besar dari berbuat zina.
Setiap usai sholat, saya anjurkan banyak berzikir dan
istigfar, seperti Subhanallah (Maha suci Allah), Alhamdulillah (segala puji
bagi Allah), Laillahaillaulah (Tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah),
Allahu Akbar (Allah Maha Besar), Walakhauwalakuwataillabillah (tiada sesuatu
kekuatan yang bisa mengabulkan permintaan kita kecuali Allah),
Astaghfirullahallazim (Ya Allah ampunilah segala dosa hambamu ini).
Nabi Muhammad sendiri selagi hidup, walaupun sudah
dijamin Allah masuk surga, karena Nabi dan Rasul Maksum (dijaga Allah dari
berbuat dosa), setiap harinya membaca Istighfar 100 kali sehari.
Selain zikir dan istighfar sebaiknya kita juga
membiasakan membaca surah Al-Ikhlas 10 kali. Karena kata Nabi Muhammad membaca
surah Al Ikhlas pahalanya setara membaca 2/3 Al Quran, padahal membaca Al Quran
terbata-bata saja (tidak lancar) satu hurufnya dapat dua pahala, kalau lancar
(dimengerti artinya) Malaikat beserta orang yang membacanya , mendoakan agar
yang membaca Al Quran itu masuk surga.
Nabi Muhammad juga bersabda, barangsiapa membaca surah Al
Ikhlas 10 kali, Allah akan beri istana bagi pembacanya di surga.
Karena kata Allah dia akan mengampuni seluruh dosa walau
setinggi langit (Kecuali berbuat syirik/menyekutukan Tuhan, pergi ke dukun/para
normal/kyai dukun, minta sesuatu ke kuburan kramat), dan hindarilah berbuat
dosa besar seperti riya, berzina, dan bakil/pelit.
Karena, kata Nabi Muhammad, setiap pagi (subuh) turun dua
jenis malaikat ke bumi, yang satu jenis selalu berdoa pada Allah agar orang
yang melakukan sadakoh (berbuat baik pada orang lain, terutama kedua orang
tuanya, saudara kerabat, dan tetangga dimintakan dilipat gandakan rezekinya.
Sementara satu jenis malaikat lainnya meminta pada Allah
agar membinasakan (mengambil kembali harta yang telah dititipkan kepada orang
Bakil/pelit tadi. Lagi pula perbuatan Bakil atau pelit adalah salah satu
perbuatan dosa besar.
Banyak berbuat yang mendatangkan pahala besar, seperti
silaturahim (menjenguk kedua orang tua dan sanak saudara/teman sejawat) dan
tengoklah saudara/teman mu yang lagi sakit, karena Malaikat bersama orang yang menjenguk saudaranya yang
tengah tertimpa ujian dari Allah, seperti musibah sakit, meninggal. Melawatlah
saudara/temanmu yang tengah tertimpa musibah meninggal, apalagi pahala orang
yang menyolatkan jenasah setara satu qirod (satu gunung uhud emas murni) dan
mengantarkan jenazah sampai ke liang lahat mendapat pahala dua qirod (setara
dua gunung uhud emas murni).
Kata Ustad itu lagi mengutip sebuah hadist sahih, ada
seorang sahabat bertanya pada Nabi Muhammad. Amalan apa yang membuat seseorang
masuk surga,’’ tanya sahabat, ‘’ Kemudian Nabi Muhammad menjawab, salah satu
penyebab seseorang masuk surga, kata Nabi, Allah mencintai seseorang yang
bermanfaat bagi orang lain’’.
Manfaat bagi orang lain, baik bagi kedua orang tuanya,
saudara-saudaranya, anak cucunya, atau bermanfaat bagi tetangganya, dan
bermanfaat bagi manusia lainnnya piada umumnya.
Manfaat bagi orang lain itu:
Pertama, manfaat yang paling penting bagaimana memiliki
andil agar orabg lain itu bisa hidup selamat dari azab Allah baik dari Azab
kubur, maupun di akherat, berupa nasehat atau contoh perilaku yang sesuai
dicontohkan Nabi Muhammad. Juga mendoakan agar orang lainnya itu mendapat
Rahmat dan Hidayah dari Allah, dan mendoakan kedua orang tua, atau kerabat yang
telah meninggal, agar mereka diampuni segala dosanya dari Allah.
Manfaat lainnya seperti mencari nafkah untuk anak istri,
membantu kedua orang tua, saudara-saudara yang miskin/ditimpa musibah.
Sekian sekilas pengantar oleh–oleh perjalanan Haji dan
Umroh dari saudaramu.
UMRAH DAN HAJI SEBAGAI PENEBUS DOSA
Oleh
Ustadz Nur Kholis bin Kurdian
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ﴿العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ
لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ﴾.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anh berkata, “Sesungguhnya
Rasûlullâh shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Umrah satu ke Umrah lainnya
adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala
baginya selain Surga.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini sahih diriwayatkan oleh:
1. al-Bukhari dalam Sahîh-nya Bab Wujûb al-‘Umrah wa
Fadhluha (no. 1773) dari jalur Malik bin Anas.[1]
2. Muslim dalam Sahih-nya pada Bab Fadhl al-Hajj wa
al-‘Umrah (no. 437) dari jalur Malik bin Anas.[2]
3. al-Tirmidzi dalam Sunan-nya pada Bab Maa Dzukir fi
Fadhl al-‘Umrah (no. 933) dari jalur Sufyan al-Tsauri.[3]
4. al-Nasa’i dalam Sunan-nya pada Bab Fadhl al-Hajj
al-Mabrûr (no. 2622) dari jalur Suhail bin Abi Saleh,[4] dan pada Bab Fadhl
al-‘Umrah (no. 2629) dari jalur Malik bin Anas.[5]
5. Ibn Majah dalam Sunan-nya pada Bab Fadhl al-Hajj wa
al-‘Umrah (no. 2888) dari jalur Malik bin Anas.[6]
Mereka semuanya dari Sumaiy dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anh marfu’an.
MAKNA MUFRADAT
كَفَّارَةٌ (Kaffarah) artinya penebus dosa
الحَجُّ المَبْرُورُ (al-Hajj al-Mabrur) artinya Haji yang
tidak tercampuri dengan dosa,[7] karena al-Mabrur dari kata al-Birr yang
artinya ketaatan. Dan ada yang mengartikan sebagai haji yang diterima.[8]
KEUTAMAAN UMRAH
Dalam hadits di atas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan keutamaan umrah dan haji. Yaitu umrah dapat menebus dosa
antara dua umrah. Penebus dosa semacam ini digolongkan oleh para Ulama dalam
kategori amal shaleh atau ketaatan. Akan tetapi amal shaleh tersebut menurut
Jumhur ahlus sunnah hanya dapat menebus dosa kecil saja, itupun dengan syarat
menjauhi dosa-dosa besar.[9] Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam beberapa hadis, diantaranya :
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ
إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
Shalat lima waktu, dan Jum’at satu ke Jum’at lainnya, dan
Ramadhan satu ke Ramadhan lainnya adalah penebus dosa antara kesemuanya itu
selagi seseorang menjauhi dosa-dosa besar.[10]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا مِنَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ
وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا، إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا
مِنَ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ»
Tidaklah seorang Muslim kedatangan waktu shalat fardhu
kemudian ia membaguskan wudhunya, membaguskan khusyuknya dan rukuknya kecuali
hal itu sebagai penebus dosa yang telah ia lakukan sebelumnya selagi ia tidak
melakukan dosa besar, dan penebusan dosa itu berlangsung sepanjang zaman.[11]
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Semua dosa itu dapat
diampuni dengan sebab amal shaleh kecuali dosa besar karena dosa besar itu
hanya dapat ditebus dengan taubat.
Al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah berkata, “Ampunan yang
disebutkan dalam hadis ini adalah selagi yang bersangkutan tidak melakukan dosa
besar dan ini adalah pendapat ahlus sunnah, dan dosa besar itu hanya dapat
ditebus dengan taubat atau rahmat dan keutamaan dari Allâh ta'ala.[12]
Kemudian ada satu pertanyaan, “Jika seseorang tidak
memiliki dosa kecil, karena dosa-dosa kecilnya telah tertebus dengan amal saleh
lainnya seperti shalat lima waktu, Jum’at, puasa Arafah dan lain-lain, dosa
apakah yang akan ditebus oleh umrah tersebut ?”
Jawabannya adalah, “Jika seseorang tidak memiliki dosa
kecil dan dosa besar, maka umrah satu ke umrah lainnya tersebut dicatat sebagai
amal shaleh yang dengannya derajat seorang hamba menjadi tinggi. Dan jika ia
tidak memiliki dosa kecil akan tetapi memiliki dosa besar maka diharapkan
semoga dapat meringankannya.”
Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh as-Suyuthi
rahimahullah pada salah satu faidah yang beliau rahimahullah nukil dari Imam
Nawawi rahimahullah bahwasannya jika ada yang mengatakan, “Jika wudhu itu
penebus dosa maka dosa apa yang akan ditebus oleh shalat ? Dan jika shalat itu
penebus dosa maka dosa apa yang akan ditebus oleh puasa Arafah, puasa ‘Asyura’
dan ucapan amin seorang Makmum yang bertepatan dengan ucapan amin Para Malaikat
? yang mana semua itu adalah penebus dosa sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam hadits Nabi. Maka jawabannya adalah sebagaimana jawaban para Ulama yaitu
semua amal shaleh itu adalah penebus dosa kecil jika dosa itu ada pada diri
seorang hamba, dan jika pada dirinya tidak terdapat dosa besar atau kecil, maka
semua amal shaleh itu ditulis sebagai kebaikan yang dengannya derajat seorang
hamba ditinggikan, dan jika pada dirinya tidak ada dosa kecil, akan tetapi
terdapat dosa besar maka kami berharap dapat memperingannya.[13]
Kemudian apakah wujud penebusan dosa tersebut berupa
penambahan berat timbangan kebaikan nanti pada hari kiamat atau penghapusan
dosa ?
Jawabannya adalah penebusan dosa tersebut berupa
penghapusan dosa, sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebutkan dalam hadits lain bahwa amal kebaikan itu dapat menghapus dosa seorang
hamba. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا
Dan iringilah perbutan jelek dengan perbuatan baik, maka
perbuatan baik tersebut akan menghapusnya.[14]
Seorang hamba ketika meninggalkan dunia ini dalam keadaan
berbeda-beda, ada yang tidak memiliki dosa sama sekali, karena ia telah diberi
taufik oleh Allâh Azza wa Jalla untuk melakukan amal shaleh dan bertaubat
kepada-Nya dari semua dosa-dosa besarnya, ada pula yang membawa amal shaleh dan
membawa dosa besar selain syirik. Jika Allâh Azza wa Jalla menghendaki
pengampunan maka dosa besar seorang hamba akan diampuni-Nya, dan jika tidak,
maka Allâh Azza wa Jalla akan melakukan timbangan amal untuk menentukan salah
satu dari keduanya mana yang berat.
Oleh karena itu hendaknya seorang Muslim senantiasa
waspada ! Jika ia terjatuh kedalam kubangan dosa kecil maka hendaknya ia segera
melakukan amal shaleh agar dosa akibat perbuatannya itu terhapus dengan amal
shaleh yang dilakukannya. Sedangkan, jika ia terjatuh pada kubangan dosa besar
maka hendaknya ia segera bertaubat sebelum ia lupa dan sebelum datang kematian
menghampirinya.
KEUTAMAAN HAJI MABRUR
Dalam hadits di atas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga menyebutkan keutamaan haji mabrûr yakni haji yang tidak tercampuri
dengan dosa. Balasan bagi orang yang hajinya mabrûr tiada lain kecuali surga.
Imam Nawawi rahimahullah menambahkan bahwa balasan bagi orang yang hajinya
mabrur itu tidak hanya diampuni dosa-dosanya akan tetapi juga dimasukkan ke
dalam surga.[15]
Ada suatu pertanyaan, “Apakah kriteria haji mabrûr itu ?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
menyebutkan empat kriteria haji mabrûr, yaitu :
1. Ikhlâs karena Allâh Azza wa Jalla, bukan karena riyâ’
seperti ingin mendapatkan pujian dan penghormatan dari masyarakat, dan juga
bukan karena sum’ah seperti menceritakan bahwa ia sudah pernah berhaji dengan
tujuan agar dipanggil Pak haji atau Bu hajah.
2. Mutâba’ah mengikuti tuntunan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam manasiknya,[16] sebagaimana sabda Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ
Hendaknya engkau ambil dariku tuntunan manasik
kalian.[17]
3. Dari harta yang halal, bukan dari harta yang haram
seperti riba, hasil dari perjudian atau hasil dari merampas hak orang lain,[18]
atau hasil korupsi dan lain sebagainya, sebagaimana sabda Nabi:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا
طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ [المؤمنون: 51] وَقَالَ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ [البقرة: 172] ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ
أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ
حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى
يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟ "
Wahai manusia, sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla itu baik
dan tidak menerima kecuali yang baik pula. Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa
Ta'ala memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada
para rasul. maka, Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Wahai para rasul! Makanlah
dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ (al-Mu'minûn/23:51).
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman,’Wahai orang-orang yang beriman, makanlah
dari rizki yang baik yang Kami berikan kepada kamu’ (al-Baqarah/2:172).
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang yang
bepergian dalam waktu lama; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya
ke langit, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram,
bagaimana doanya akan dikabulkan?”.[19]
4. Terbebas dari perbuatan rafats (jima’ atau perkataan
dan perbuatan yang mengarah ke sana), dan fusuq (kefasikan), serta jidal
(berdebat bukan dalam rangka menegakkan kebenaran).[20] Hal ini sebagaimana
penjelasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis belia Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ
كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barangsiapa melakukan haji ikhlas karena Allâh Subhanahu
wa Ta’ala tanpa berbuat keji dan kefasikan, maka ia kembali tanpa dosa
sebagaimana waktu ia dilahirkan oleh ibunya”.[21]
Ulama yang lain menyebutkan bahwa tanda haji mabrur
adalah amal perbuatan seseorang setelah menunaikan ibadah haji lebih baik
dibandingkan sebelumnya.[22]
FAWAID DARI HADITS
1. Amal shaleh dapat menebus dosa kecil, dan diantara
amalan shaleh itu adalah umrah dan haji.
2. Balasan haji mabrûr selain bisa menebus dosa juga bisa
menyebabkan masuk surga.
3. Harta yang halal merupakan salah satu syarat untuk
mendapatkan haji mabrûr.
4. Amal shaleh dapat mengangkat derajat seseorang di sisi
Allâh Azza wa Jalla .
5. Ikhlas dan mutâba’ah merupakan syarat dasar
diterimanya amal shaleh.
6. Taubat merupakan penebus dosa kecil dan besar.
7. Bagi seorang hamba jika ia terjatuh dalam dosa kecil
maka hendaknya ia segera melakukan amal shaleh sebagai kaffarah-nya, dan jika
ia terjatuh dalam dosa besar maka hendaknya ia lekas-lekas bertaubat sebelum ia
lupa atas dosa tersebut dan sebelum ajal menjemput nyawa.
8. Seorang Muslim dalam melakukan amal shaleh hendaknya
diniatkan untuk menebus dosa, kemudian diniatkan untuk mendapatkan pahala dan
ridha Allâh Azza wa Jalla .
9. Wujud dari penebusan dosa bagi seorang hamba adalah
terhapusnya dosa hamba yang bersangkutan.
10. Dosa besar selain kesyirikan itu tergantung pada
kehendak Allâh Subhanahu wa Ta’ala , jika Dia menghendaki pengampunan maka
diampuni dosa tersebut, dan jika tidak, maka dilakukan hisab.
MARAJI’
• Sahîh al-Bukhâri. Muhammad bin Isma’il. Beirut: Dar
Tauq al-Najah, 1422 H.
• Sahîh Muslim. Muslim bin Hajjaj. Beirut: Dar Ihya’
al-Turats al-‘Arabi, tanpa tahun.
• Sunan al-Tirmidzi. Muhammad bin ‘Isa. Mesir: Maktabah
Musthafa al-Baby al-Halabi, 1395 H.
• Sunan al-Nasâ’i. Ahmad bin Syu’aib. Halab: Maktab
al-Mathbu’at al-Islamiyyah, 1406 H.
• Sunan Ibn Mâjah. Muhammad bin Yazid. Tanpa tempat: Dar
Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tanpa tahun), hal. 964.
• Kitab al-‘Ain. al-Khalil bin Ahmad al-Bashri. Tanpa tempat:
Dar Maktabat al-Hilal, tanpa tahun.
• al-Muhkam wa al-Muhith al-A’dzam. Ibn Sidah. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1421 H.
• al-Nihâyâh fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar. Ibn
al-Atsir. Beirut: Maktabat al-‘Ilmiyyah, 1399 H.
• Tafsîr Gharîb Maa fi al-Shahihain al-Bukhari wa Muslim.
Muhammad bin Futuh al-Humaidi. Mesir: Maktabat al-Sunnah, 1415 H.
• Lawami’ al-Anwâr al-Bahiyyah. Muhammad bin Ahmad
al-Sifarini. Damaskus: Muassasat al-Khafiqain wa Maktabatiha, 1402 H.
• al-Minhaj Syarah Sahih Muslim bin Hajjaj. Yahya bin
Syaraf al-Nawawi. Beirut: Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1392 H.
• al-Dibaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj. Abdurrahman
al-Suyuthi. Arab Saudi: Dar Ibn ‘Affan, 1416 H.
• Syarh Riyâdh al-Shâlihin. Muhammad bin Saleh
al-‘Utsaimin. Riyadh: Dar al-Wathan, 1426 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun
XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
No comments:
Post a Comment