Perjalanan yang belum selesai (332)
(Bagian ke tiga
ratus tiga puluh dua), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 04 Agustus 2015, 20.45 WIB).
Allah itu satu, tidak ada sekutu baginya.
Allah di dalam firmannya melalui Al Quran dan banyak
hadits (sunnah/al-hikmah) Nabi Muhammad menegaskan bahwa Allah adalah Tuhan
Yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, dan dia tidak memiliki putra atau
sejenisnya seperti yang Allah tegaskan dalam Al Qur-an Surah Al Muminun ayat 91
Allah berfirman:
(91). مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ
مِنْ إِلَٰهٍ ۚإِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَٰهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَىٰ
بَعْضٍ ۚسُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali
tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya,
masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian
dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari
apa yang mereka sifatkan itu.
Juga banyak surah lain seperti di dalam surah Maryam,
Al-Ikhlas dan banyak lainnya.
Di dalam banyak surah Allah juga memperingatkan manusia
bila mereka berbuat syirik (menyekutukan Allah), maka bila dia mati dalam
keadaan belum bertaubat (minta ampun pada Allah/menyesal atas perbuatannya),
maka dia diancam masuk neraka.
Allah memperingatkan bila anak adam sebelum meninggal
minta ampun pada Allah, maka Allah akan mengampuni seluruh dosanya , kecuali
dosa berbuat syirik, karena dosa bebuat syirik yang bersangkutan harus
bertaubat (minta ampun pada Allah) selagi dia masih hidup.
Nabi Muhammad bersabda bila manusia (anak adam) meninggal
dalam keadaan tidak pernah berbuat syirik, maka Allah jamin dia masuk surga
(hanya mengakui Keesaan Allah).
HENDAKLAH KALIAN KEMBALI KEPADA URUSAN PERTAMA KALI
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنْ أَبِيْ وَاقِدٍ اَللَّيْثِي قَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ الله
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَنَحْنُ جُلُوْسٌ عَلَى بِسَاطٍ: (إِنَّهَا
سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ) قَالُوْا : وَكَيْفَ نَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَرُدَّ يَدَهُ
إِلَى الْبِسَاطِ فأَمْسَكَ بِهِ فَقَالَ: (تَفْعَلُوْنَ هَكَذَا) وَذَكَرَ لَهُمْ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا :(أَنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ)
فَلَمْ يَسْمَعْهُ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ ، فَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ: أَلاَ تَسْمَعُوْنَ
مَا يَقُوْلُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالُوْا: مَا
قَالَ؟ قَالَ: (إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ) فَقَالُوْا: فَكَيْفَ لَنَا يَا رَسُوْلَ
اللهِ؟ وَكَيْفَ نَصْنَعُ؟ قَالَ: (تَرْجِعُوْنَ إِلَى أَمْرِكُمُ الْأَوَّلِ)
Dari Abu Wâqid al-Laitsi Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, sementara kami
sedang duduk-duduk di atas sebuah hamparan (tikar), ‘Sesungguhnya akan terjadi
fitnah.’ Para Sahabat bertanya, ‘Apa yang harus kami perbuat?’ Lalu Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya ke tikar dan memegangnya
dengan kuat lalu bersabda, ‘Lakukanlah seperti ini!’ Suatu hari Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kepada para Sahabat nya,
‘Sesungguhnya akan terjadi fitnah.’ Tetapi kebanyakan Sahabat tidak
mendengarnya, maka Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu berkata, ‘Apakah kalian
tidak mendengar perkataan Rasûlullâh?’ Mereka bertanya, ‘Apa yang disabdakan
Rasûlullâh?’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya akan terjadi fitnah.’ Mereka
bertanya, ‘Bagaimana dengan kami wahai Rasûlullâh? Apa yang harus kami
lakukan?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian
kembali kepada urusan yang pertama kali.” [HR Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul
Kabîr (no. 3307) dan dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 8679). Ath--Thahawi dalam
Syarh Musykilil Âtsâr (III/221, no. 1184). Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 3165), Bashâ-iru Dzawi Syaraf bi Syarhi Marwiyâti Manhajis
Salaf (hlm. 146) karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali].
PENJELASAN
Yang dimaksud dengan, “Kembali kepada urusan yang pertama
kali” ialah kembali kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman para
Sahabat Radhiyallahu anhum.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan al-Qur'ân
dan as-Sunnah kepada umat Islam. Namun setiap firqah yang sesat mengakui bahwa
mereka berpegang kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah, baik Syi’ah, Khawarij,
Mu’tazilah, Murji’ah, dan firqah-firqah sesat lainnya.
Maka harus ada tolok ukur yang jelas dalam pernyataan
berpegang kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah tersebut menurut pemahaman siapa???
Karena kalau menurut pemahaman masing-masing golongan atau ra’yu atau pendapat
para tokoh, maka yang terjadi adalah seperti yang kita lihat saat ini, yaitu
akan timbul ratusan pemahaman bahkan bisa ribuan pemahaman dan perpecahan di
tengah kaum Muslimin, dan hal ini akan terus bertambah. Allâhul Musta’ân.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan
keluar dari fitnah itu dengan kembali kepada agama Islam, yang bersumber kepada
al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum. Oleh
karena itu, kita berusaha dalam dakwah ini untuk mengembalikan umat kepada
al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman as-salafush shâlih yang merupakan
satu-satunya pemahaman yang benar, karena di saat ini bertambah banyak
pemahaman yang menyimpang sehingga kaum Muslimin bertambah jauh dari agama yang
benar. Mereka bertambah bingung karena banyaknya pemahaman dan aliran yang
sesat. Akibatnya, terjadi perpecahan, perselisihan, pertikaian, dan malapetaka,
bahkan sampai kepada pertumpahan darah. Allâhul Musta’ân nas-alullâhal ‘afwa
wal ‘âfiyah!
Jalan menuju keselamatan dan kejayaan umat Islam telah
dijelaskan dalam al-Qur'ân dan as-Sunnah yaitu dengan mentauhidkan Allâh Azza
wa Jalla, menjauhkan syirik, melaksanakan dan menghidupkan Sunnah dan
menjauhkan bid’ah, melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya dan menjauhkan larangan-larangan-Nya. Dan tentunya untuk dapat
memahami Islam dengan benar, mentauhidkan Allâh dengan benar, dan melaksanakan
Sunnah dengan benar. Kita wajib kembali kepada pemahaman yang benar yang telah
mendapat jaminan dari Allâh dan Rasul-Nya. Kita wajib berpegang teguh dengan
pemahaman as-salafush shâlih. Kita wajib kembali kepada pemahaman generasi
terbaik dari umat ini yaitu pemahaman para Sahabat. Kita wajib beragama menurut
cara beragamanya para Sahabat , bukan beragama mengikuti nenek moyang, bukan
mengikuti tokoh-tokoh masyarakat, bukan mengikuti kyai, habib, ustadz, tuan
guru dan selainnya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kita untuk mengikuti pemahaman dan cara beragama para Sahabat . Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
... فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ
الرَّاشِدِيْنَ، تَـمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ
وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ
… Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku
dan Sunnah khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan
gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara
yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang
diada-adakan itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat[1].
Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas
terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Sunnah khulafâ-ur Râsyidîn Radhiyallahu anhum sepeninggal
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sunnah adalah jalan yang dilalui,
termasuk di dalamnya berpegang teguh dengan keyakinan-keyakinan,
perkataan-perkataan, serta perbuatan-perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para khulafâ-ur Râsyidîn Radhiyallahu anhum. Itulah Sunnah yang
paripurna. Oleh karena itu, generasi salaf dahulu tidak menamakan Sunnah,
kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini
diriwayatkan dari al-Hasan, al-Auzâ’i, dan Fudhail bin ‘Iyâdh.[2]
Keempat khalifah tersebut disebut Râsyidîn karena mereka
mengetahui kebenaran dan memutuskan segala perkara dengan kebenaran.
Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
mengikuti Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah khulafâ-ur
Râsyidîn setelah perintah mendengar dan taat kepada ulil amri adalah bukti
bahwa Sunnah para khulafâ-ur Râsyidîn harus diikuti sepertihalnya mengikuti
Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini tidak berlaku bagi Sunnah para
pemimpin selain khulafâ-ur Râsyidîn Radhiyallahu anhum.[3]
Ini menunjukkan bahwa kita wajib berpegang kepada
al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman as-salafush shâlih. Seseorang –siapa
pun dia– tidak boleh mengatakan, “Ya, boleh-boleh saja orang berpegang dengan
pemahaman apa saja.” Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita
untuk berpegang kepada Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah
khulafâ-ur Râsyidîn. Kewajiban kita adalah mengikuti manhaj (cara beragama)
para Sahabat Radhiyallahu anhum , karena Allâh Azza wa Jalla menyebutkan dalam
al-Qur'ân tentang wajibnya kita mengikuti mereka.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا
ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah
beriman kepadanya, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka
berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka
Allâh akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. [al-Baqarah/2:137]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami
masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat
kembali.[an-Nisâ'/4:115]
Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pemimpin sepeninggal beliau
telah menetapkan Sunnah-Sunnah. Mengambil Sunnah-Sunnah tersebut berarti
berpegang teguh kepada Kitabullâh dan kekuatan di atas agama Allâh. Siapa pun
tidak berhak untuk mengganti Sunnah-Sunnah tersebut, merubahnya, dan melihat
perkara-perkara yang bertentangan dengannya. Barangsiapa berpetunjuk
dengan-nya, ia mendapatkan petunjuk. Barangsiapa meminta pertolongan dengannya,
ia akan ditolong. Barangsiapa meninggalkannya dan mengikuti selain jalan kaum
Mukminin, Allâh Azza wa Jalla menguasakannya kepada apa yang Dia kuasakan
kepadanya dan memasukkannya ke dalam Neraka Jahannam yang merupakan tempat
kembali yang paling buruk.”[4]
Imam Ibnu Abi Jamrah rahimahullah mengatakan, “Para Ulama
telah berkata mengenai makna firman Allâh Azza wa Jalla , “Dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang yang beriman,” yang dimaksud adalah (jalan) para
Sahabat generasi pertama karena mereka adalah orang-orang yang mengambil khitab
wahyu langsung melalui diri-diri mereka dan mereka mengobati musykilah
(ketidakjelasan) yang terjadi dalam diri mereka dengan bertanya (kepada
Rasûlullâh) secara baik, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab
pertanyaan mereka dengan sebaik-baik jawaban dan menjelaskan kepada mereka
dengan penjelasan yang paling sempurna, sehingga mereka pun mendengarnya,
memahaminya, mengamalkannya, memperbaikinya, menghafalnya, menetapkannya,
menukilnya, dan membenarkannya. Mereka memiliki keutamaan yang agung atas kita.
Sebab, karena merekalah tali kita dihubungkan dengan tali Nabi Muhammad dan
dengan tali (Allah) Penolong kita .”[5]
Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalannya kaum
Mukminin sebagai sebab seseorang akan terjatuh ke dalam jalan-jalan kesesatan
dan diancam dengan masuk neraka Jahannam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa
mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar prinsip
dalam Islam yang berkonsekuensi wajibnya umat Islam untuk mengikuti jalannya
kaum Mukminin. Jalan kaum Mukminin pada ayat ini adalah keyakinan, perkataan,
dan perbuatan para Sahabat Radhiyallahu anhum. Karena, ketika turunnya wahyu
tidak ada orang yang beriman kecuali para Sahabat , seperti firman Allâh Azza
wa Jalla :
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ
Rasul telah beriman kepada al-Qur'ân yang diturunkan
kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang
beriman.”.[al-Baqarah/2:285]
Orang-orang Mukmin ketika itu hanyalah para Sahabat
Radhiyallahu anhum , tidak ada yang lain.
Ayat di atas menunjukkan bahwa mengikuti jalan para
Sahabat dalam memahami syari’at adalah wajib dan menyalahinya adalah
kesesatan.[6]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا
تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah!
Janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain), yang akan mencerai-beraikan kamu
dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.”
[al-An’âm/6:153]
Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًـا، وَخَطَّ خُطُوْطًا
عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ ]مُتَفَـِرّقَةٌ[ لَيْسَ
مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَـرَأَ قَوْلَهُ
تَعَالَـى: وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ ﮌ ﮍ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis
dengan tangannya kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allâh yang lurus.’ Lalu Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian
bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satu pun dari
jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat setan yang menyeru kepadanya.’
Selanjutnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa
Jalla , “Dan sungguh, inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu
ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.
Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.”.[al-An’âm/2:153][7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata,“Apabila orang berakal yang menginginkan perjumpaan dengan Allâh Azza
wa Jalla memperhatikan permisalan ini dan memperhatikan keadaan semua kelompok
dari kalangan Khawârij, Mu’tazilah, Jahmiyyah, Râfidhah, serta ahli kalam yang
mendekati Ahlus Sunnah seperti Karramiyyah, Kullâbiyyah, al-Asy’ariyyah, dan
selain mereka, bahwa setiap dari mereka memiliki jalan yang keluar dari apa-apa
yang telah ditempuh oleh para Sahabat dan Ulama ahli hadits, dan setiap dari
mereka menyangka bahwa jalan merekalah yang benar, niscaya orang yang berakal
akan mendapati bahwa merekalah (firqah-firqah tersebut) yang dimaksud dalam
permisalan ini yang diumpamakan oleh al-ma’shûm (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ), yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbicara dari
hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.”[8]
Perkataan Syaikhul Islam ini menjelaskan bahwa setiap
firqah (golongan) yang menyimpang dan menyempal dari Shirathal Mustaqim, mereka
(setiap golongan itu) mendakwahkan dirinya di atas kebenaran dan setiap
golongan berbangga dengan golongannya. Sesungguhnya mereka pada hakikatnya
jelas-jelas tidak berada di atas jalan kebenaran karena prinsip ‘aqidah,
ibadah, dan manhaj mereka berbeda dengan prinsip dan manhajnya para Sahabat .
Sebagaimana disebutkan dalam atsar di atas ketika menjelaskan ayat di atas
bahwa setiap jalan yang telah ditempuh oleh setiap golongan mesti ada setan
yang mengajak kepadanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
hanya ada satu yang selamat, yang kita wajib mengikutinya yaitu jalan yang
telah ditempuh oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat
nya Radhiyallahu anhum. Itulah jalan golongan yang selamat.
Kita wajib kembali kepada urusan pertama kali yaitu kita
wajib beragama menurut cara beragamanya para Sahabat Radhiyallahu anhum .
Mereka adalah para as-salafush shâlih yang dijamin surga. Kalau kita ingin
masuk surga maka wajib mengikuti jejak, pemahaman, dan pengamalan para Sahabat
Radhiyallahu anhum.
Mengikuti pemahaman dan cara beragama para Sahabat
merupakan jalan keluar (solusi) dari berbagai macam fitnah, perpecahan,
perselisihan, pertikaian, dan permusuhan di antara kaum Muslimin. Mudah-mudahan
kita dijauhkan dari berbagai macam fitnah dan mudah-mudahan Allâh memberikan
kepada kita hidayah taufiq dan istiqamah di atas manhaj salaf.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 12/Tahun
XVII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57773 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
No comments:
Post a Comment