Perjalanan yang belum selesai (345)
(Bagian ke tiga ratus empat puluh lima), Depok, Jawa
Barat, Indonnesia, 14 Agustus 2015,
10.17 WIB).
Jihad utama melawan setan (iblis) dan hawa nafsu
Jihad yang paling utama adalah melawan musuh nomer satu
manusia, yaitu jihad melawan Setan (iblis) yang menyebabkan manusia pertama
Nabi Adam dan Siti Hawa harus terusir dari surga turun ke bumi, akibat bujukan
setan yang menyebabkan Adam dan Hawa memakan buah Quldi di surga.
Iblis juga sejak awal sudah menolak perintah Allah untuk
bersujud kepada Adam, sehingga mendapat hukuman dari Allah untuk masuk neraka.
Namun Iblis yang sudah ditetapkan masuk neraka minta
tangguh (panjang umur) hingga hari kiamat, agar bisa menggoda manusia agar
menjadi pengikut iblis bersama-sama masuk neraka. Namun Allah memberitahu
manusia, bahwa manusia yang beriman dan ikhlas tidak bisa digoda (diganggu
iblis), karena berkat perlindungan dari Allah manusia bisa melawan Iblis.
Selain jihad melawan iblis, manusia juga diwajibkan
melakukan jihad, seperti jihad melawan hawa nafsu, jihad mencari nafkah
(bekerja), mencari ilmu (belajar), jihad melawan serangan musuh (jika kita
diserang dalam rangka mempertahankan diri (jiwa/negara/bangsa dari penjajah,
agresor) dan jihad dijalan Allah lainnya.
Jihad melawan syaithan
Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari
Sadarkah kita, bahwa setiap diri ini memiliki musuh besar
? Musuh yang sangat menginginkan kita sesat dan celaka. Musuh yang tidak
terlihat, tapi memiliki banyak tipu-daya dan cara untuk mencapai tujuannya.
Itulah syaithan (setan).
Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan manusia agar
tidak tergoda olehnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ
أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ
Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu
oleh syaitan sebagaimana ia telah berhasil mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari
surga. [al-A’râf/7: 27]
Oleh karena itu, dengan rahmat-Nya, Allâh Azza wa Jalla
memerintahkan manusia untuk menjadikan syaithan sebagai musuh. karena memang
sebenarnya, syaithan musuh bagi manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ
إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh nyata bagimu, maka
jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak
golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.
[Fâthir/35:6]
Bagaimana sepak terjang musuh terhadap lawannya ? Semua
orang sudah tahu jawabannya yaitu berusaha sekuat tenaga agar lawannya ditimpa
segala keburukan dan terlepas dari semua kebaikan.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari ayat di atas,
“Perintah Allâh untuk menjadikan syaithan sebagai musuh ini sebagai peringatan
agar (manusia) mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi dan melawannya.
Sehingga syaithan itu seolah-olah musuh yang tidak pernah berhenti dan tidak
pernah lalai”. [Zâdul Ma’âd, III/6]
Dalam menjalankan aksinya menyesatkan dan membinasakan
manusia, syaithan memiliki dua senjata yaitu syubhat dan syahwat. Oleh karena
itu, orang yang ingin selamat harus berjihad melawan syaithan dengan
bersenjatakan ilmu dan mentazkiyah (membersihkan) jiwanya. Ilmu nafi’ (yang
yang bermanfaat) akan membuahkan rasa yakin, yang akan menolak syubhat.
Sedangkan tazkiyatun nafs akan melahirkan ketakwaan dan kesabaran, yang
membuatnya mampu mengendalikan syahwat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jihad melawan
syaithan memiliki dua tingkatan : Pertama, menolak syubhat dan keraguan yang
dilemparkan syaithan kepada hamba; Kedua, menolak syahwat dan keinginan-keinginan
jelek yang dilemparkan syaithan kepada hamba. Jihad yang pertama akan diakhiri
dengan keyakinan, sedangkan jihad yang kedua akan diakhiri dengan kesabaran.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا
صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah
mereka meyakini ayat-ayat Kami. [as-Sajdah/32:24]
Allâh Azza wa Jalla memberitakan bahwa kepemimpinan agama
hanya bisa diraih dengan kesabaran (dan keyakinan), kesabaran akan menolak
syahwat dan keinginan-keinginan jelek, dan keyakinan akan menolak keraguan dan
syubhat.” [Zâdul Ma’âd III/10]
Jadi senjata manusia untuk melawan syaithan adalah ilmu
dan kesabaran. Ilmu yang bersumber dari kitabullâh dan sunnah Rasul-Nya.
Kemudian mengamalkan ilmu tersebut sehingga jiwa menjadi bersih dan suci, dan
menumbuhkan kesabaran.
Itulah cara menghadapi tipu daya syaitan secara global,
sedangkan secara rinci adalah sebagai berikut :
1. Beriman Dan Mentauhidkan Allâh Dengan Benar
Sesungguhnya seluruh kekuatan, kekuasaan, kesempurnaan
hanyalah milik Allâh Azza wa Jalla. Oleh karena itu, seorang hamba yang
ditolong dan dilindungi oleh Allâh, tidak akan ada yang mampu mencelakainya.
Inilah senjata pertama dan utama seorang mukmin dalam menghadapi syaithan yaitu
beriman dengan benar kepada Allâh, beribadah dengan ikhlas kepada-Nya, bertawakkal
hanya kepadaNya dan beramal shalih sesuai aturan-Nya. Allâh Azza wa Jalla
memberitakan bahwa syaithan tidak memiliki daya terhadap hamba-hamba Allâh yang
beriman dan mentauhidkan-Nya. Allâh berfirman.
إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ
رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada memliki kekuasaan
atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. [an-Nahl/16: 99]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ketika Iblis tahu
bahwa dia tidak memiliki jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia
mengecualikan mereka dari sumpahnya yang bersyarat untuk menyesatkan dan
membinasakan (manusia). Iblis mengatakan,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ﴿٨٢﴾إِلَّا
عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
“Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya,
kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlash [Shâd/38: 82-83]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلاَّ مَنِ
اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ
Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu
(Iblis) terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti-mu, yaitu
orang-orang yang sesat. [al-Hijr/15:42]
Maka ikhlas adalah jalan kebebasan, islam adalah
kendaraan keselamatan, dan iman adalah penutup keamanan. [al-‘Ilmu, Fadhluhu Wa
Syarafuhu, hlm. 72-74, tansiq: Syeikh Ali bin Hasan Al-Halabi]
2. Berpegang Teguh Kepada Al-Kitab Dan As-Sunnah Dengan
Pemahaman As-Salafush Shalih
Ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan manusia di muka
bumi, sesungguhnya Dia menyertakan petunjuk untuk mereka. Sehingga manusia
hidup di dunia ini tidak dibiarkan begitu saja, tanpa bimbingan, perintah dan
larangan. Allâh Azza wa Jalla menurunkan kitab suci dan mengutus para Rasul
yang membawa peringatan, penjelasan dan bukti-bukti. Barangsiapa berpaling dari
peringatan Allâh, maka dia akan menjadi mangsa syaithan dan dijerumuskan ke
dalam kecelakaan abadi. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا
فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb yang
Maha Pemurah (al-Qur’ân), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka
syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. [az-Zukhruf/43: 36]
Oleh karena itu, jalan selamat dari tipu daya syaithan
adalah dengan mengikuti jalan Allâh, mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah dengan
pemahaman as-salafush shâlih. Allâh Azza wa Jalla berfirman
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min (yaitu jalan
para sahabat), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali. [an-Nisâ’/4: 115]
3. Berlindung Kepada Allâh Dari Gangguan Syaithan.
Inilah sebaik-baik jalan untuk menyelamatkan diri dari
syaithan dan tentaranya, memohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla ,
karena Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Berkuasa.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Makna “aku
berlindung kepada Allâh dari syaithan yang dilaknat” yaitu aku meminta
perlindungan kepada Allâh dari syaithan yang dilaknat yang menggangguku pada
agamaku atau pada duniaku, atau menghalangiku dari melakukan sesuatu yang
diperintahkan (Allah Azza wa Jalla) kepadaku, atau mendorongku melakukan apa
terlarang bagiku. Karena tidak ada yang bisa mencegah syaithan dari manusia
kecuali Allâh.
Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk
mengambil hati dan bersikap lembut kepada syaithan manusia, dengan melakukan
kebaikan kepadanya, agar tabi’atnya (yang baik) menolaknya dari gangguan (yang
dia lakukan).
Dan Allâh memerintahkan agar (manusia) berlindung
kepada-Nya dari syaithan jin, karena dia tidak menerima suap dan perbuatan
kebaikan tidak akan mempengaruhinya, karena dia memiliki tabi’at yang jahat,
dan tidak akan mencegahnya darimu kecuali Yang telah menciptakannya.” [Tafsir
Ibnu Katsir, 1/14, penerbit: Darul Jiil, Beirut, tanpa tahun]
Memohon perlindungan ini dilakukan secara umum pada
setiap waktu, pada setiap diganggu oleh syaithan, dan juga dilakukan pada
waktu-waktu tertentu yang dituntunkan oleh Allâh dan Rasul-Nya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ
بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka
berlindunglah kepada Allâh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. [al-A’râf/7:200]
Adapun waktu-waktu tertentu yang dituntunkan untuk
beristi’adzah antara lain yaitu saat diganggu syaithan; adanya bisikan jahat;
gangguan dalam shalat; saat marah; mimpi buruk; akan membaca al-Qur’an; akan
masuk masjid; akan masuk tempat buang hajat; saat mendengar lolongan anjing dan
ringkikan keledai; ketika akan berjima’; waktu pagi dan petang; isti’adzah
untuk anak-anak dan keluarga; ketika singgah di suatu tempat; ketika akan
tidur; dan lain-lain. Perincian dalil-dalil ini semua terdapat di dalam
hadits-hadits yang shahih.
4. Membaca Al-Qur’an
Sesungguhnya syaithan akan lari menjauh dengan sebab
bacaan Al-Qur’an, sebagaimana di dalam hadits sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ
يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: Janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan,
sesungguhnya syaithan lari dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah di
dalamnya”. [HR. Muslim, no: 780]
Syaithan telah membukakan salah satu rahasianya ini
kepada Abu Hurairah, yang hal itu dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Syaithan mengatakan:
إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ
( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الْآيَةَ
فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ
حَتَّى تُصْبِحَ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ
“Jika engkau menempati tempat tidurmu, maka bacalah ayat
kursi (Allohu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuum) sampai engkau menyelesaikan
ayat tersebut, maka sesungguhnya akan selalu ada padamu seorang penjaga dari
Allâh, dan syaithan tidak akan mendekatimu sampai engkau masuk waktu pagi”.
[HR. Bukhari]
5. Memperbanyak Dzikrulloh.
Dzikrullah adalah benteng yang sangat kokoh untuk
melindungi diri dari gangguan syaithan. Hal ini diketahui dari pemberitaan
Allâh Subhanahu wa Ta’alaewat para RasulNya, antara lain lewat lisan Nabi Yahya
Alaihissallam, sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ الْحَارِثِ الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ أَمَرَ يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ
أَنْ يَعْمَلَ بِهَا وَيَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَعْمَلُوا بِهَا...وَآمُرُكُمْ
أَنْ تَذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوُّ
فِي أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِينٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ
مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لَا يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا بِذِكْرِ
اللَّهِ
Dari Al-Harits Al-Asy’ari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allâh memerintahkan Yahya bin Zakaria q
dengan lima kalimat, agar beliau mengamalkannya dan memerintahkan Bani Israil
agar mereka mengamalkannya (di antaranya)…”Aku perintahkan kamu untuk
dzikrullah (mengingat/menyebut Allâh). Sesungguhnya perumpamaan itu seperti
perumpamaan seorang laki-laki yang dikejar oleh musuhnya dengan cepat, sehingga
apabila dia telah mendatangi benteng yang kokoh, kemudian dia menyelamatkan
dirinya dari mereka (dengan berlindung di dalam benteng tersebut). Demikianlah
seorang hamba tidak akan dapat melindungi dirinya dari syaithan kecuali dengan
dzikrullah”. [HR.Ahmad]
Maka jika anda ingin selamat dari tipu-daya dan gangguan
syaithan, hendaklah selalu membasahi lidah anda dengan dzikrullah disertai
konsentrasi dengan hati.
6. Tetap Bersama Jama’ah umat Muslimin
Bergabung dengan jama’ah umat Islam dalam melaksanakan
berbagai ibadah yang dituntunkan dengan berjama’ah, merupakan salah satu cara
menyelamatkan diri dari incaran syaithan. Karena sesungguhnya syaithan
merupakan serigala yang akan menerkam manusia, sebagaimana serigala akan
menerkam domba yang menyempal dari kelompoknya.
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ
لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ
بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ قَالَ زَائِدَةُ قَالَ
السَّائِبُ يَعْنِي بِالْجَمَاعَةِ الصَّلَاةَ فِي الْجَمَاعَةِ
Dari Abu Darda’, dia berkata: “Aku telah mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada tiga orang di
suatu desa atau padang, tidak didirikan shalat jama’ah pada mereka, kecuali
syaithan menguasai mereka. Maka bergabunglah dengan jama’ah, karena
sesungguhnya srigala itu akan memakan kambing yang menyendiri”. [HR. Abu Dawud,
no: 547]
7. Mengetahui Tipu-Daya Syaithan Sehingga Mewaspadainya.
Syaithan itu sangat berantusias menyesatkan manusia, ia
habiskan waktunya dan segala kemampuannya dikerahkan untuk merusak manusia.
Allâh Azza wa Jalla memperingatkan hamba-hambaNya yang beriman dari musuh
bebuyutan tersebut dengan firmanNya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti
langkah- langkah syaitan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah syaitan, maka
sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang
mungkar. [An-Nuur/24: 21]
Salah satu cara menghindari tipu daya syaithan yaitu
mengetahui dan membongkar tipu-daya itu sehingga dapat dihindari. Karena orang
yang tidak mengetahui keburukan, dia akan mudah terjerumus dalam keburukan
tersebut tanpa disadari.
8. Menyelisihi Syaithan Dan Menjauhi Sarana-Sarananya
Untuk Menyesatkan Manusia.
Syaithan adalah musuh manusia. Oleh karena itu, kita
wajib memposisikannya sebagai musuh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَيَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الْغُرُورُ
Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka
sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali
janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh. [
Fathir: 5]
Diantara realisasi dari hal diatas yaitu dengan
menyelisihi perbuatan syaithan. Misalnya:
• Syaithan makan dan minum dengan tangan kiri, maka
selisihi dia dengan makan dan minum dengan tangan kanan.
• Syaithan tidak melakukan qoilulah (istirahat di tengah
hari), maka kita selisihi dengan melakukan qoilulah.
• Tidak boros (tabdziir) karena orang yang berbuat tabdziir
adalah saudarasyaithan.
• Melakukan sesuatu dengan tenang dan hati-hati, karena
sikap tergesa-gesa dari syaithan.
• Hendaklah kita berusaha sekuat tenaga agar tidak
menguap, karena itu dari syaithan.
Dalil-dalil yang kami sebutkan ini, terdapat di dalam
hadits-hadits yang shahih.
Diantara realisasi sikap permusuhan terhadap syaithan
adalah adalah menjauhi sarana-sarana yang digunakan oleh syaithan untuk
menyesatkan manusia, seperti: musik, lagu dan khamer.
9. Yakin Bahwa Tipu Daya Syaithan Itu Lemah
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.
[An-Nisa’: 76]
Bagaimanapun lihainya syaithan dalam menebarkan
perangkap-perangkapnya, kita harus yakin bahwa sebenarnya tipu daya syaithan
itu lemah. Asalkan kita selalu mentaati Allâh Yang Maha Perkasa. Di antara
kelemahan syaithan yaitu :
• Dia tidak bisa membuka pintu yang dikunci dengan
disertai doa (menyebut nama Allâh).
• Dia juga tidak dapat makan bersama orang yang
mengucapkan bismillah ketika hendak makan.
• Juga tidak dapat bermalam di rumah yang dimasuki oleh
penghuninya sambil membaca doa
10. Taubat Dan Istighfar.
Selama masih hidup, manusia senantiasa perlu bertaubat
dan istighfar kepada Allah Azza wa Jalla, diriwayatkan dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ إِبْلِيسَ قَالَ لِرَبِّهِ بِعِزَّتِكَ
وَجَلَالِكَ لَا أَبْرَحُ أُغْوِي بَنِي آدَمَ مَا دَامَتِ الْأَرْوَاحُ فِيهِمْ فَقَالَ
اللَّهُ فَبِعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَبْرَحُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata: Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iblis berkata kepada
Robbnya: “Demi kemuliaan dan keagunganMu, aku senantiasa akan menyesatkan
anak-anak Adam selama ruh masih ada pada mereka”. Maka Allâh berfirman: “Demi
kemuliaan dan keagunganMu, Aku senantiasa akan mengampuni mereka selama mereka
mohon ampun kepadaKu”. [HR. Ahmad]
Inilah sedikit keterangan tentang syaithan dan
tipu-dayanya, semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Wallahul Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun
XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
JIHAD, AMALAN YANG PALING UTAMA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى
DEFINISI JIHAD
Secara bahasa (etimologi), lafazh jihad diambil dari
kata:
جَهَدَ : اَلْـجَهْدُ، اَلْـجُهْدُ = اَلطَّاقَةُ، اَلْمَشَقَّةُ،
اَلْوُسْعُ.
Yang berarti kekuatan, usaha, susah payah, dan
kemampuan.[1]
Menurut ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah (wafat th.
425 H), bahwa اَلْـجَهْدُ berarti kesulitan dan اَلْـجُهْدُ berarti
kemampuan.[2]. Kata jihad ( اَلْـجِهَادُ ) diambil dari kata: جَاهَدَ - يُـجَاهِدُ
- جِهَادًا .
Menurut istilah (terminologi), arti jihad adalah:
اَلْـجِهَادُ : مُـحَارَبَةُ الْكُفَّارِ وَهُوَ الْمُغَالَبَةُ
وَاسْتِفْرَاغُ مَا فِـيْ الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ.
“Jihad adalah memerangi orang kafir, yaitu berusaha
dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan, baik berupa
perkataan atau perbuatan.” [3]
Dikatakan juga:
اَلْـجِهَادُ وَالْمُجَاهَدَةُ: اِسْتِفْرَاغُ الْوُسْعِ فِـيْ
مُدَافَعَةِ الْعَدُوِّ.
“Jihad artinya mencurahkan segala kemampuan untuk
memerangi musuh.”
JIHAD ADA TIGA MACAM
1. Jihad melawan musuh yang nyata.
2. Jihad melawan setan.
3. Jihad melawan hawa nafsu.
Tiga macam jihad ini termaktub di dalam Al-Qur-an, di
antaranya:
Firman Allah Azza wa Jalla,
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ
ۚ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا
عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ ۖ فَنِعْمَ الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ
النَّصِيرُ
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran
untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah
menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam
(Al-Qur-an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar
kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah shalat dan
tunaikanlah zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dia-lah Pelindungmu;
Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” [Al-Hajj/22 : 78]
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan
rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [At-Taubah/9: 41]
Juga firman-Nya.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ
مِنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا ۚ وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ
النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah
serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang
memberikan tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka
itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman
tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi
mereka, sampai mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan
kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan
kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka.
Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al-Anfaal/8: 72][4]
Menurut al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani
rahimahullah (wafat th. 852 H), “Jihad menurut syar’i adalah mencurahkan
seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.”[5]
Istilah jihad digunakan juga untuk melawan hawa nafsu,
melawan setan, dan melawan orang-orang fasik. Adapun melawan hawa nafsu yaitu dengan
belajar agama Islam (belajar dengan benar), lalu mengamalkannya, kemudian
mengajarkannya. Adapun jihad melawan setan dengan menolak segala syubhat dan
syahwat yang selalu dihiasi oleh setan. Jihad melawan orang kafir dengan
tangan, harta, lisan, dan hati. Adapun jihad melawan orang-orang fasiq dengan
tangan, lisan, dan hati.[6]
Perkataan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tersebut
sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
جَاهِدُوْا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
وَأَلْسِنَتِكُمْ.
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta,
jiwa, dan lisan kalian.”[7]
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
adalah, “Mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai apa yang dicintai Allah
Azza wa Jalla dan menolak semua yang dibenci Allah.”[8]
Definisi ini mencakup seluruh macam jihad yang
dilaksanakan seorang Muslim, yaitu meliputi ketaatannya kepada Allah Azza wa
Jalla dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhkan
larangan-larangan-Nya. Kesungguhan mengajak (mendakwahkan) orang lain untuk
melaksanakan ketaatan, yang dekat maupun jauh, Muslim atau orang kafir dan
bersungguh-sungguh memerangi orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat
Allah [9].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) berkata,
“Aku mendengar Syaikh kami (yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah)
berkata, ‘Jihad melawan hawa nafsu adalah prinsip (dasar yang dibangun di
atasnya) jihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Karena
sesungguhnya seseorang tidak akan mampu berjihad (melawan) orang kafir dan
munafik, sehingga dia berjihad melawan dirinya dan hawa nafsunya lebih dahulu
sebelum melawan mereka (orang kafir dan munafik).’”[10]
KEUTAMAAN JIHAD FI SABILILLAH
Allah Azza wa Jalla berfirman,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ
اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal
belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum
nyata orang-orang yang sabar.” [Ali ‘Imran/3: 142]
Ada beberapa hadits yang menunjukkan tentang keutamaan
jihad fii sabiilillaah, di antaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata,
قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا يَعْدِلُ
الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ قَالَ : « لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ
». قَالَ : فَأَعَادُوْا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا . كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ
: « لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ ». وَقَالَ فِيْ الثَّالِثَةِ : « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ
فِي سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللهِ . لَا
يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
تَعَالَى » .
Dikatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Amalan apa yang setara dengan jihad fii sabiilillah? Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan
jihad).” Para shahabat mengulangi pertanyaan tersebut dua kali atau tiga kali,
dan Nabi tetap menjawab: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara
dengan jihad).” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada kali
yang ketiga: “Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah itu seperti orang
yang berpuasa, shalat, dan khusyu’ dengan (membaca) ayat-ayat Allah. Dia tidak
berhenti dari puasa dan shalatnya sampai orang yang berjihad di jalan Allah
Ta’ala itu kembali.”[11]
... رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ
وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ فِـي سَبِيْلِ اللهِ.
“... Pokoknya perkara adalah Islam, tiangnya adalah
shalat, dan puncaknya adalah jihad fii sabiilillaah.” [12]
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ،
وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِيْ كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ
رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ.
“Orang yang menjaga di tapal batas[13] sehari semalam
lebih baik dari puasa dan shalat malam selama sebulan. Dan jika ia mati, maka
mengalirlah (pahala) amal yang biasa ia kerjakan, diberikan rizkinya, dan dia
dilindungi dari adzab (siksa) kubur dan fitnahnya.”[14]
عَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –تَبَارَكَ وَتَعَالَى-،
فَإِنَّ الْـجِهَادَ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ ، يُذْهِبُ
اللهُ بِهِ مِنَ الْهَمِّ وَالْغَمِّ.
“Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah Tabaaraka wa
Ta’ala, karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah satu pintu
dari pintu-pintu Surga, Allah akan menghilangkan dengannya dari kesedihan dan
kesusahan.”[15]
Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata,
إِنَّ أَفْضَلَ الْعَمَلِ بَعْدَ الصَّلَاةِ اَلْجِهَادُ فِيْ
سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى.
“Sesungguhnya seutama-utama amal sesudah shalat adalah
jihad di jalan Allah Ta’ala.”[16]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Orang-orang yang
berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla, mereka adalah tentara Allah. Dengan
mereka, Allah Azza wa Jalla menegakkan agama-Nya, melawan serangan
musuh-musuh-Nya, menjaga kehormatan Islam dan melindungi-nya. Merekalah adalah
orang-orang yang memerangi musuh-musuh Allah agar agama ini seluruhnya menjadi
milik Allah semata dan hanya kalimat Allah yang tertinggi. Mereka telah
mengorbankan diri mereka dalam rangka mencintai Allah Azza wa Jalla, membela
agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya serta melawan para musuh-Nya. Mereka
mendapat limpahan pahala dari setiap orang yang mereka lindungi dengan
pedang-pedang mereka dalam setiap perbuatan yang mereka kerjakan, walaupun
mereka tetap tinggal di dalam rumah mereka. Mereka mendapat pahala seperti
pahala orang yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, dengan sebab jihad dan
penaklukan mereka, karena mereka yang menyebabkan orang bisa beribadah kepada
Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla telah memposisikan penyebab ke
tingkatan pelaku dalam ganjaran dan dosa. Dan karena inilah masing-masing yang
mengajak kepada petunjuk yang benar (akan mendapat pahala yang besar) dan
seorang yang mengajak kepada kesesatan mendapat dosa yang semisal dari orang
yang mengikuti mereka.
Dan telah jelas ayat-ayat Al-Qur-an dan nash-nash hadits
yang mutawatir yang memerintahkan untuk berjihad. Dan pujian bagi orang-orang
yang berjihad juga kabar gembira bagi mereka bahwa di sisi Rabb mereka terdapat
berbagai macam kemuliaan dan pemberian-pemberian yang berlimpah. Dan cukuplah
dari dalil tersebut firman Allah Azza wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ
تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku
tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang
pedih?” [Ash-Shaff/61: 10]
Sehingga jiwa-jiwa menjadi rindu untuk mencapai
perniagaan yang menguntungkan ini yang ditunjukkan oleh Allah Rabb semesta alam
Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana yang berfirman,
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
“(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu...” [Ash-Shaff/61: 11]
Seakan-akan jiwa bersifat kikir terhadap kehidupannya dan
kelangsungan hidupnya, maka Allah Azza wa Jalla melanjutkan,
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“... Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahui.” [Ash-Shaff/61: 11]
Artinya bahwa jihad itu lebih baik bagi kalian dari pada
kesenangan kalian terhadap kehidupan dan kesehatan. Sepertinya jiwa berkata,
“Apa yang kami dapatkan dari jihad?” Allah Azza wa Jalla menjawab,
يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu...” [Ash-Shaff/61:
12]
Selain ampunan dari-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“... dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam Surga
‘Adn. Itulah kemenangan yang agung.” [Ash-Shaff: 12]
Seolah-olah jiwa bertanya, “Itu balasan di akhirat,
sedang di dunia apa balasan bagi kami?” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab
dengan berfirman,
وَأُخْرَىٰ تُحِبُّونَهَا ۖ نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ
ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu)
pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah
berita gembira kepada orang-orang mukmin.” [Ash-Shaff/61: 13]
Demi Allah, betapa manisnya untaian kata-kata di atas.
Betapa lekatnya di hati. Betapa kuat daya tariknya bagi hati. Betapa halusnya
masuk ke dalam hati seorang pecinta. Betapa agungnya kekayaan hati dan
kehidupannya ketika ia bersentuhan dengan makna ayat-ayat di atas. Kita berdo’a
meminta karunia dari Allah Ta’ala karena Dia Maha Dermawan dan Maha Mulia.”[17]
TUJUAN DISYARIATKANNYA JIHAD
Jihad memerangi musuh Islam tujuannya agar agama Allah
tegak di muka bumi, bukan sekedar membunuh mereka. Allah Azza wa Jalla
berfirman,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ
لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah,
dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi)
permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah: 193]
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310
H) berkata, “Perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan kepada
Allah, tidak ada penyembahan kepada berhala, kemusyrikan dan ilah-ilah lain.
Sehingga, ibadah dan ketaatan hanya ditujukan kepada Allah saja, tidak kepada
yang lain.”[18]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ...
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka
bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain
Allah...”[19]
Abu ‘Abdillah al-Qurthubi rahimahullah (wafat th. 671 H)
mengatakan, “Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa sebab qital (perang)
adalah kekufuran.”[20]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728
H) mengatakan, “Tujuan jihad adalah agar kalimat Allah tinggi, dan agar agama
semuanya milik Allah, yaitu maksud tujuannya agar agama Allah tegak (di muka
bumi).”[21]
Beliau rahimahullah juga berkata, “Tujuan
disyari’atkannya jihad agar (manusia dan jin meyakini bahwa) tidak ada yang
disembah dengan benar kecuali hanya Allah, tidak berdo’a kepada selain Allah,
tidak shalat kepada selain Allah, tidak sujud kepada selain Allah, tidak puasa
kepada selain-Nya, tidak ‘umrah dan haji kecuali ke Baitullah, tidak boleh ada
penyembelihan (Qurban) melainkan hanya karena Allah, tidak bernadzar melainkan
karena Allah, tidak bersumpah melainkan dengan nama Allah saja, tidak
bertawakkal melainkan hanya kepada-Nya, tidah takut melainkan hanya kepada-Nya,
tidak bertakwa melainkan hanya kepada-Nya, tidak ada yang mendatangkan semua
kebaikan melainkan hanya Allah, tidak ada yang dapat menolak semua kejelekan
melainkan hanya Allah, tidak ada yang menunjuki (ke jalan lurus) melainkan
hanya Allah, tidak ada yang menolong mereka kecuali hanya Allah, tidak ada yang
memberikan rezeki kepada mereka kecuali hanya Allah, tidak ada yang memberi
kecukupan kepada mereka kecuali hanya Allah dan tidak ada yang mengampuni
dosa-dosa mereka kecuali hanya Allah.”[22]
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
mengatakan, “Maksud dan tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar
menumpahkan darah orang kafir dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya
agar agama Islam ini tegak karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan
(mengenyahkan) semua bentuk kemusyrikan yang menghalangi tegaknya agama ini,
dan itu yang dimaksud dengan fitnah (syirik). Apabila fitnah (kesyirikan) itu
sudah hilang, tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan
perang.”[23]
Jadi, jihad disyari’atkan agar agama Allah tegak di muka
bumi. Karena itu, sebelum dimulai peperangan diperintahkan untuk berdakwah
kepada orang-orang kafir agar mereka masuk Islam.[24]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُقَاتِلْ قَوْمًا حَتَّى تَدْعُوَهُمْ.
“Janganlah engkau perangi suatu kaum sampai engkau
mendakwahkan mereka (untuk masuk ke dalam Islam).”[25]
HUKUM JIHAD
Hukum jihad adalah fardhu (wajib) dengan dasar firman
Allah Azza wa Jalla dalam surat Al-Baqarah ayat ke 216.
Hukum jihad memerangi orang kafir adalah fardhu kifayah
[26] berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur-an dan al-Hadits yang shahih serta
penjelasan ulama Ahlus Sunnah. Apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya,
maka gugur kewajiban atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya,
maka berdosa semuanya.
Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain
pada tiga kondisi:
Pertama: Apabila pasukan Muslimin dan pasukan orang-orang
kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh
seseorang mundur atau berbalik. Dalilnya adalah surat Al-Anfaala ayat ke 16.
Kedua: Apabila musuh menyerang dan mengepung suatu negeri
kaum Muslimin yang aman, maka wajib bagi penduduk negeri tersebut untuk keluar
memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan
anak-anak.
Ketiga: Apabila Imam meminta suatu kaum atau menentukan
beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Lihat, At-Taubah
ayat ke 38-39.[27]
KAIDAH-KAIDAH JIHAD
1. Jihad harus dibangun di atas dua syarat yang merupakan
dasar dari setiap amal shalih yang diterima, yaitu ikhlas dan mutaba’ah.
2. Jihad harus sesuai dengan maksud dan tujuan
disyari’atkannya jihad, yaitu seorang muslim berjihad agar agama Islam ini
tegak dan agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, seperti dalam hadits
bahwa dikatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلرَّجُلُ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ
حَمِيَّةً، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، فَأَيُّ ذَلِكَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ فَقَالَ: مَنْ
قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةَ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
“Wahai Rasulullah, seseorang berperang (karena ingin
dikatakan) berani, seorang (lagi) berperang (karena ingin dikatakan) gagah,
seorang (lagi) berperang karena riya’ (ingin dilihat orang), maka yang mana
yang termasuk jihad di jalan Allah?” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallamberkata, “Barangsiapa yang berperang (dengan tujuan) untuk menjadikan
kalimat Allah yang paling tinggi, maka ia (berada) fii sabiilillaah (di jalan
Allah).”[28]
3. Jihad harus dengan ilmu dan pemahaman tentang agama,
karena jihad ini termasuk ibadah yang paling agung dan ketaatan yang paling
mulia.
4. Jihad harus dengan keadilan dan menjauhi permusuhan.
5. Jihad harus bersama Imam kaum muslimin atau dengan
izinnya, yang baik maupun yang jahat.
Ini termasuk kaidah yang paling penting yang harus ada
dalam jihad fii sabiilillaah. Karena jihad –terutama jihad melawan musuh dengan
jiwa- tidak sempurna kecuali dengan kekuatan, dan kekuatan tidak ada kecuali
dengan perkumpulan, dan perkumpulan tidak terealisasi kecuali dengan adanya
kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak benar kecuali dengan patuh dan taat. Semua
perkara yang disebutkan ini wajib, tidak sempurna dan tidak tegak sebagiannya
tanpa sebagian yang lain, bahkan tidak tegak agama dan dunia kecuali dengannya.[29]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى
بِهِ، فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَعَدْلٍ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا، وَإِنْ
أَمَرَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ وِزْرًا.
“Sesungguhnya imam itu adalah perisai, ia akan diperangi
dari belakangnya [30] dan dia menjadi perisai (dari depan) [31] . Jika imam itu
menyuruh untuk bertakwa kepada Allah dan berbuat adil, maka dia mendapat
pahala. Tetapi jika dia menyuruh kepada selain itu, maka dia mendapat
dosa.”[32]
Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
berkata: Shalat itu boleh di belakang setiap orang yang baik maupun yang jahat,
jihad bersama semua khalifah (pemimpin yang baik maupun jahat), tidak
membangkang kepada penguasa dengan pedang, dan mendo’akan mereka dengan kebaikan,
maka dia telah keluar dari perkataan Khawarij yang pertama dan yang
terakhir.”[33]
Imam Abu Ja’far at-Thahawi rahimahullah berkata,
...وَالْـحَجُّ وَالْـجِهَادُ مَعَ أُوْلِـى الْأَمْرِ مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ، بَرُّهُمْ وَفَاجِرُهُمْ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ، لَا يُبْطِلُهَا
شَيْءٌ وَلَا يَنْقُضُهُمَا.
“Haji dan jihad tetap berlaku bersama ulil amri
(penguasa) kaum Muslimin, baik maupun jahat. Tidak ada yang dapat membatalkan
dan merusaknya.”[34]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
“Wajib diketahui bahwa mentaati ulil amri termasuk kewajiban agama yang paling
besar. Bahkan tidak tegak agama dan dunia kecuali dengannya. Karena
sesungguhnya tidak sempurna maslahat manusia kecuali dengan bermasyarakat untuk
keperluan sebagian mereka kepada sebagian yang lainnya. Dan wajib bagi mereka
ketika bermasyarakat ada ketua/pemimpin… karena Allah Ta’ala mewajibkan amar
ma’ruf nahi munkar, dan itu tidak sempurna kecuali dengan kekuatan dan
kepemimpinan. Begitu juga semua yang Allah wajibkan berupa jihad, keadilan,
pelaksanaan haji, shalat jum’at, shalat ‘ied, menolong orang yang terzhalimi,
menegakkan hukuman hadd, semuanya tidak sempurna kecuali dengan kekuatan dan
kepemimpinan. Karena inilah diriwayatkan bahwa penguasa itu naungan Allah di
muka bumi. Dan dikatakan: enam puluh tahun bersama imam yang zhalim lebih baik
dari pada sehari tidak ada penguasa. Penelitian telah membuktikannya… Maka yang
wajib adalah menjadikan kepemimpinan (atas dasar) agama dan sarana untuk mendekatkan
diri kepada Allah, karena pendekatan diri kepada-Nya dengan ketaatan kepada-Nya
dan taat kepada rasul-Nya termasuk mendekatkan diri (kepada Allah) yang paling
utama, karena sesungguhnya kepemimpinan itu merusak keadaan kebanyakan manusia
dengan menginginkan kekuasaan atau harta.”[35]
6. Jihad fii sabiilillaah dilakukan sesuai dengan keadaan
mereka, sedang lemah atau kuat.
Karena keadaan itu berubah-ubah sesuai waktu dan tempat.
Saat kondisi ummat Islam lemah sebagaimana saat ini, maka wajib bersabar,
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya ketika di Makkah.
7. Jihad itu harus menghasilkan kebaikan yang jelas, agar
tidak ada kerusakan yang lebih besar.
Karena jihad itu disyari’atkan untuk menghasilkan
kebaikan-kebaikan dan mencegah kerusakan didalam Islam dan kaum Muslimin, baik
bagi individu maupun masyarakat. Dan jihad itu senantiasa disyari’atkan jika
kaum Muslimin mengetahui dengan yakin atau bahwasanya dengan diadakannya jihad
akan menghasilkan kebaikan-kebaikan sesuai dengan tujuan syari’at. Tetapi jika
diyakini atau dikira bahwa dengan dilakukannya jihad akan terjadi kerusakan
yang lebih besar, maka ketika itu jihad tidak disyari’atkan dan tidak
diperintahkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
“Jihad dan amal shalih yang paling utama adalah yang paling ta’at kepada Rabb
dan paling bermanfaat bagi manusia. Tetapi jika (jihad dan amal shalih) itu
menghasilkan mudharat dan mencegah untuk mendapatkan yang lebih bermanfaat,
maka itu tidak menjadi amal shalih.” [36]
Kesimpulannya, wajib berhukum kepada al-Qur-an dan Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perkara yang kecil maupun
besar, dan itu mencakup empat hal, yakni keyakinan yang shahih, niat yang ikhlas,
tawakkal yang benar, dan mengikuti contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan baik.[37]
KESIMPULAN
1. Jihad adalah seutama-utama amalan.
2. Di dalam jihad terdapat kebaikan dunia dan akhirat,
dan meninggalkannya merupakan kerugian dunia dan akhirat.
3. Jihad di jalan Allah mengantarkan seseorang kepada
petunjuk jalan kepadanya, dan ditambah petunjuk.[38]
4. Dalam jihad terdapat kesempurnaan manfaat bagi
manusia.
5. Jihad mengangkat kezhaliman dari diri sendiri dan
orang lain.
6. Jihad mencakup semua macam ibadah yang zhahir maupun
yang bathin.
7. Orang yang berjihad dimuliakan di sisi Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
8. Menghidupkan kembali cara beragama yang benar dan
usaha itu harus tegak di atas jihad di jalan Allah.
9. Dalam jihad terdapat pengampunan dosa-dosa.
10. Jihad merupakan sebab tersingkirnya fanatisme
golongan, kelompok, partai, nasionalisme. Bahkan jihad menjadikan ummat
berusaha untuk mewujudkan tujuan yang satu, yaitu agar kalimat Allah tinggi.
11. Jihad merupakan puncaknya amal, dan terkumpul di
dalamnya amal-amal yang mulia.
12. Dalam jihad terdapat puncaknya tawakkal kepada Allah
Ta’ala dan puncaknya sabar.
13. Dalam jihad terdapat hakikat zuhud dalam kehidupan
dunia.
14. Dan faedah-faedah lainnya.[39]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun
XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
No comments:
Post a Comment