Perjalanan yang belum selesai (336)
(Bagian ke tiga
ratus tiga puluh enam), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 07 Agustus 2015, 14.55 WIB).
Merencanakan masa depan pendidikan anak.
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya nanti kelak
menjadi anak yang salehah (perempuan) atau saleh (laki-laki).
Banyak orang tua memasukkan anak-anaknya ke sekolah, ke
sekolah umum atau pesantren (sekolah agama yang masuk dan tinggal di asrama)
dari sejak awal putra-putra mereka masuk sekolah.
Dengan kemajuan fasilitas yang dimiliki sekolah agama
(pesantren) dewasa ini anak didik juga dilengkapi dengan berbagai pelajaran
selain ilmu dunia yang bersifat ilmiah/empiris, namun juga ilmu agama.
Seperti ilmu komputer, matematika, biologi, ilmu
pertanian, ilmu perdagangan, dan ilmu agama antara lain ilmu membaca al-qur-an
dan mempelajari Hadist (Al Hikmah), serta ilmu lain yang terkait dan bermanfaat
bagi anak didik bagi kebaikan mereka untuk bekal kebahagiaan dan keselamatan
hidup di dunia dan akherat
Walaupun hidup di dunia itu singkat (rata-rata 60 tahun)
dibandingkan di akherat (abadi), namun kita harus mempersiapkan pendidikan
anak-anak kita agar mereka nantinya memberikan kontibusinya bagi kebaikan
kehidupan mahluk hidup di dunia. Sesuai dengan keperluannya dan speialisasi
kehidupan di dunia, ada diantara anak-anak kita yang bercita-cita ingin menjadi
dokter, pedagang, arsitek, ustad (guru agama/ulama), atau profesi lain , selama
profesi itu dibenarkan agama (Al- Qur-an dan sunnah/hadist/al-hikmah).
Yang penting jangan sampai kita dan anak-anak kita
menyianyiakan hidup yang sementara serta singkat di dunia.
Betapa singkatnya hidup di dunia ini, barusan saja kita
menikmati bulan madu bersama istri, kini tidak terasa usia sudah hampir 60
tahun, rambut sudah ubanan memutih, tulang mulai merapuh, badan mulai bungkuk,
mulai sakit-sakitan, jalan pun sudah menggunakan rongkat atau kursi roda,
padahal bulan madu baru saja berlalu.
Kini karena musibah sakit-sakitan, badan mulai sekarat
dan menanti maut (kematian). Jangan sampai kita seperti digambarkan Allah dalam
surat Wal Ashr :
Allah ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ (3)
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih
dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya
menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).
Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an
yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun
sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya.
Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang
sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya
hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi
manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman,
beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau
tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan
seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca
surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian
dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini,
yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran
(berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].
Iman yang Dilandasi dengan Ilmu
Dalam surat ini Allah ta’ala menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar
berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat
mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan
kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami
kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah
mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka
yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal.
934].
Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan
keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang
dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu
agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang
dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti
prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib
dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam
mu’amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ
”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah
nomor 224 dengan sanad shahih).
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ
”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa membuat dirinya mampu menegakkan agama.” [Al Furu’ 1/525].
Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk
mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang
berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan
seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu
meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala berfirman,
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ
جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ
مِنْ عِبَادِنَا
”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu
dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu
cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).
Mengamalkan Ilmu
Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia
berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya, seseorang dapat mengubah ilmu yang telah
dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran
dan amalnya.
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin
‘Iyadh rahimahullah
لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ
فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا
”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh
sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia
menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).
Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila
seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada
hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia
dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.
Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal
tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu
malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ
عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
,”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada
hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia
amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).
Berdakwah kepada Allah
Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah
tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka
dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ
أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan
Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ
صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang
yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
“Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat :
33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ
مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada
seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah”
(HR. Bukhari nomor 2783).
Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda
nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah
dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk
memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.
Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang
telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan
pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban
dakwah yang besar ini.
Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah
masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan
mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya
mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana
cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak
mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan
ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan
dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِهِ
”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian,
hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.”
(HR. Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan
berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan
Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah
seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.
Bersabar dalam Dakwah
Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang
dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan
Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini
dikarenakan para dai’ menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu
(syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at
[Hushulul ma’mul hal. 20].
Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala
berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala
berfirman,
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا
كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ
وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)
”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul
sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan
(yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap
mereka” (QS. Al-An’am : 34).
Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak
menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan
bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat
Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),
”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).
Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman
As-Sa’di rahimahullah berkata,
فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ،
وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ
اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ
[الْعَظِيْمِ]
”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal),
manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang
terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan
dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari
kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir Rohmaan hal.
934].
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk
menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang
besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.
KAIDAH-KAIDAH MEMILIH ANTARA MASLAHAT DAN MUDARAT
Oleh
Ustadz Dr Erwandi Tarmidzi MA
Kehidupan penuh dengan pilihan antara yang baik dan
buruk, antara maslahat dan mafsadat. Dan sangat banyak sekali kaidah-kaidah
syar'i yang membantu kita untuk menentukan pilihan.
Berikut ini kami ringkaskan kaidah-kaidah dalam memilih
yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Makalah ini diringkas dari disertasi pada jurusan Ushul
Fiqih Universitas Islam Muhammad Ibnu Saud, Riyadh KSA.
KAIDAH-KAIDAH MEMILIH ANTARA MASHLAHAT DAN MUDHARAT
Kaidah Pertama :
مَصْلَحَةُ أَدَاءِ الْوَاجِبِ أَعْظَمُ مِنْ مَفْسَدَةِ الْوُقُوْعِ
فِي الشُّبْهَةِ
Maslahat melakukan hal yang wajib lebih besar dari pada
mafsadat (kerusakan akibat) terjatuh dalam syubhat
Syubhat adalah suatu hal yang berada diantara yang haram
dan yang mubah. Bila syubhat bertentangan dengan meninggalkan hal yang wajib
dan kondisi menuntut kita harus menentukan pilihan antara meninggalkan hal yang
wajib atau jatuh dalam syubhat. Dalam kondisi seperti ini, pilihan yang diambil
adalah melakukan hal yang wajib sekalipun akan terjerumus dalam hal yang
syubhat.
Namun apabila pertentangan itu antara syubhat dan haram
maka pilihan yang diambil adalah melakukan syubhat agar tidak jatuh dalam hal
yang haram, karena mafsadat (kerusakan) yang haram lebih berat.
Aplikasi Kaidah :
1. Seseorang yang diundang oleh kerabatnya untuk
menghadiri walimah yang pembuat acara walimah memiliki harta syubhat. Dan yang
diundang khawatir bila dia tidak datang akan menyebabkan terputusnya hubungan
kerabat (silaturrahim) maka pilihannya adalah wajib dia menghadirinya. Karena
mempererat silaturrahim hukumnya wajib, sedangkan untuk tidak hadir hanyalah
karena ada syubhat.
2. Seseorang yang wafat dan memiliki utang ke pihak lain
dan harta yang ditinggalkannya terdapat harta syubhat maka pilihannya hendaklah
utangnya dibayarkan dari harta yang syubhat, karena maslahat membayar utang
lebih besar daripada mafsadat (kerusakan) harta syubhat.
Kaidah Kedua :
مَا كَانَ مُحَرَّمًا لِسَدِّ الذَّرِيْعَةِ أُبِيْحَ لِلْمَصْلَحَةِ
الرَّاجِحَةِ
Sesuatu yang diharamkan dengan tujuan sadduz zarî'ah
menjadi boleh bila terdapat maslahat yang kuat
Seluruh perbuatan yang sering menghantarkan kepada
perbuatan yang haram maka perbuatan tersebut diharamkan. Namun terkadang,
perbuatan yang diharamkan tersebut memiliki maslahat yang kuat seperti hajat
(kebutuhan) maka hukumnya dapat dibolehkan.
Dalam hal ini terdapat dua pilihan antara maslahat yang
besar dan mudharat yang sering terjadi. Dalam kondisi seperti ini, maka pilihan
jatuh kepada melakukan perbuatan tersebut karena maslahatnya lebih besar.
Dalam kasus seperti ini, seorang ahli fikih hendaknya
memiliki kemampuan yang cukup untuk mencari tahu mana perbuatan yang diharamkan
dengan sebab berpotensi menghantarkan kepada hal yang haram dan mana yang
diharamkan dengan sebab zatnya. Untuk yang pertama, hukum haram tersebut bisa
berubah menjadi boleh bila ada maslahat yang kuat. Sedangkan untuk yang kedua,
yaitu yang diharamkan dengan sebab zatnya, maka hukum haram tersebut tidak bisa
berubah dengan alasan adanya maslahat.
Aplikasi kaidah :
1. Memandang wanita yang bukan mahram hukumnya adalah
haram. Akan tetapi hukum haram ini bisa berubah menjadi boleh bila ada maslahat
yang besar seperti seseorang yang ingin meminang seorang wanita. Orang ini
biperbolehkan memandang wanita yang akan dipinangnya.
2. Pada dasarnya setiap hal yang melalaikan hukumnya
batil. Karena hal tersebut dapat menyita perhatian sehingga tidak melakukan hal
berguna. Ini merupakan salah satu alasan yang menyebabkan suatu perbuatan
diharamkan. Akan tetapi beberapa bentuk hal yang melalaikan itu terkadang
berguna untuk menolak mudharat yang lebih besar. Ketika kondisi seperti ini,
maka perbuatan ini dibolehkan bahkan dianjurkan.
Contoh : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan
wanita dan anak-anak bernyanyi (tanpa musik) dalam acara walimah dan hari raya.
Catatan: tentunya nyanyian ini tidak dimaksudkan untuk
sarana dakwah taqarrub kepada Allâh Azza wa Jalla. Karena perbuatan ini masih
dalam ranah hal yang melalaikan, akan tetapi dibolehkan karena ada manfaat yang
kuat.
Kaidah Ketiga :
مَا حُرِّمَ مُطْلَقًا لَمْ تُبِحْهُ الضَّرُوْرَةُ، وَمَا حُرِّمَ
أَكْلُهُ وَشُرْبُهُ لَمْ يُبَحْ إِلاَّ لِضَرُوْرَةٍ، وَمَا حُرِّمَ مُبَاشَرَتُهُ
ظَاهِرًا أَبِيْحَ لِلْحَاجَةِ
Sesuatu yang diharamkan secara mutlak maka tidak ada yang
dapat membolehkannya sekalipun darurat. Sesuatu yang haram untuk dimakan atau
diminum maka darurat dapat merubah hukumnya menjadi boleh. Sesuatu yang
dilarang untuk dipakai langsung maka hajat dapat membolehkannya
Sesuatu yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla secara mutlak
seperti hal-hal yang jelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah (wahai Muhammad), "Rabbku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji (zina), baik yang nampak ataupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allâh dengan sesuatu yang Allâh tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allâh apa yang
tidak kamu ketahui." [al-Arâf/7:33]
Empat yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam ayat
ini tidak akan berubah hukumnya menjadi “boleh” dalam kondisi apapun karena
mafsadatnya murni, yaitu; zina, zhalim, syirik dan mengada-ada atas nama Allâh
Azza wa Jalla .
Kecuali dalam keadaan seseorang dipaksa untuk
melakukannya dibawah ancaman maka dosanya dihapuskan. Sebagaimana dalam firman
Allâh Azza wa Jalla :
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ
غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﮈ
Barangsiapa kafir kepada Allâh sesudah dia beriman (dia
akan mendapat kemurkaan Allâh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar. [an-Nahl/16:106]
Adapun sesuatu yang diharamkan dalam bentuk makanan atau
merusak akal atau tubuh maka adakalanya bisa berubah hukumnya menjadi “boleh”
dalam kondisi darurat, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ
طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ
خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi,
karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allâh. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang" [al-An’âm/6:145]
Adapun sesuatu yang diharamkan untuk dipakai seperti emas
dan sutera bagi laki-laki maka bila ada hajat yang sekalipun tidak sampai
kondisi darurat tetap dibolehkan sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membolehkan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu memakai sutera karena
menderita penyakit kulit (gatal).
Aplikasi Kaidah Ini :
1. Seorang
wanita tidak boleh berzina dengan alasan untuk mencari makan. Karena zina tidak
dibolehkan kapanpun juga sekalipun dia mati kelaparan. Namun, dibolehkan dia
memakan bangkai jika memang dalam kondisi kelaparan.
2. Dalam keadaan
darurat yang diperkirakan akan membawa kepada kematian bila tidak mendapat obat
yang dimakan atau diminum selain yang terbuat dari bahan baku yang haram,
seperti babi dan turunannya atau khamar dan turunannya, maka diperbolehkan
untuk mengkonsumsi obat tersebut.
Kaidah Keempat:
كُلُّ عِبَادَةٍ كَانَ ضَرَرُهَا أَعْظَمَ مِنْ نَفْعِهَا نُهِيَ
عَنْهَا
Setiap ibadah yang mudharatnya lebih besar dari pada
manfaatnya maka ibadah tersebut dilarang
Pada dasarnya, suatu ibadah itu disyariatkan untuk
mendatangkan atau mewujudkan maslahat (kebaikan) dan menolak mudharat. Akan
tetapi pada kondisi-kondisi tertentu ibadah tersebut dapat mendatangkan
mudharat, bahkan mudharatnya lebih besar bila dibandingkan dengan manfaatnya.
Ketika seperti ini, maka ibadah itu terlarang.
Aplikasi Kaidah:
1. Pada prinsipnya shalat adalah ibadah yang dicintai
Allâh, akan tetapi pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari shalat dilarang
untuk didirikan. Karena mudharatnya lebih besar yaitu menyerupai ibadah para
penyembah matahari. Begitu juga dengan shalat di kuburan dilarang karena
mencegah terjadinya kesyirikan yang lebih besar mudharatnya dibandingkan shalat
sunat.
2. Apabila sebuah kemungkaran tidak dapat dihilankgan
kecuali dengan kemungkaran yang lebih besar atau berat daripada kemunkaran yang
sedang terjadi, maka menghilangkan kemunkaran dengan cara ini terlarang.
Contohnya: seseorang yang memerintahkan sebuah kebaikan sedangkan dia tidak
memiliki ilmu tentang kebaikan tersebut, maka kemudharatan yang dia timbulkan
lebih besar dari maslahat yang diinginkannya dengan mengingkari kemungkaran
tersebut.
Kaidah Kelima :
فَرْقٌ بَيْنَ مَا يَفْعَلُهُ الإِنْسَانُ فِي نَفْسِهِ، وَيَأْمُرُ
بِهِ، وَيُبِيْحُهُ، وَبَيْنَ مَا يَسْكُتُ عَنْ نَهْيِ غَيْرِهِ وَتَحْرِيْمِهِ عَلَيْهِ
Berbeda antara seseorang mengamalkan ilmunya dan mengajak
orang lain untuk mengamalkannya dengan sesuatu hal yang diamalkan orang lain
dan dia tidak melarang atau mengharamkannya. (Majmû Fatâwâ, 14/472)
Prinsip dasarnya bahwa yang baik adalah baik dan yang
buruk adalah buruk. Dan hukum syariat tidak membolehkan seseorang melakukan hal
yang buruk dan terlarang. Akan tetapi jika diketahui dengan pasti bahwa apabila
ada seseorang yang jika dia dilarang melakukan suatu yang mungkar maka dia
pasti akan meninggalkan perbuatan wajib yang lebih besar, maka sebaiknya dia
jangan dilarang untuk melakukan kemungkaran tersebut.
Sebagaimana Umar bin Khattab Radhiyaallahu anhu
mengangkat sebagian pegawainya dari orang yang tidak baik agamanya dengan pertimbangan
bahwa pegawai ini lebih besar maslahatnya untuk pekerjaan tersebut dan kemudian
dia memperbaiki agama orang tersebut dengan kekuatan dan keadilannya.
Maka kaidah ini sangat penting yaitu "berbeda antara
seorang alim meninggalkan sebuah perbuatan dengan melarang orang-orang
melakukan sebuah perbuatan apabila dalam pelarangan tersebut terdapat mudharat
yang lebih besar dengan ia mengizinkan perbuatan tersebut". Artinya
seorang alim yang mendiamkan sebuah perbuatan yang tidak baik bukan berarti dia
menyetujui atau mengizinkan perbuatan tersebut.
Dalam hal ini kondisinya akan berbeda sesuai dengan
kemaslahatan yang ditimbang oleh seorang yang alim. Mungkin dalam suatu
kesempatan dia wajib menyatakan bahwa perbuatan tersebut terlarang; baik dengan
cara menjelaskan hukumnya atau sikap pribadinya atau harapan bahwa perbuatan
tersebut ditinggalkan atau dengan menjelaskan dalilnya. Ini dapat kita lihat
dalam sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kemungkaran; terkadang
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah, terkadang Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam maafkan.
Karena kita hidup dimana kebanyakan kaum Muslimin begitu
jauh dari ajaran agama mereka, mencampur adukkan antara kebaikan dan
kemungkaran, maka sikap yang harus diambil oleh seseorang yang ingin
menyelamatkan dirinya adalah :
a. Selalu berusaha berpegang teguh mengamalkan sunnah,
baik yang zahir dan batin untuk diri, keluarga dan orang-orang terdekatnya.
b. Mengajak orang-orang untuk melakukan sunah semampunya.
Apabila dia menemukan seseorang mengamalkan perbuatan yang bercampur antara
baik dan buruk dan bila diingatkan untuk meniggalkan yang buruk hampir bisa
dipastikan dia akan melakukan perbuatan yang lebih buruk lagi, maka hendaklah
si pemberi peringatan berhati-hati dalam menimbang mana lebih besar mudharat
dan maslahatnya.
Aplikasi Kaidah :
Orang yang masuk Islam melalui dakwah bid’ah lebih baik
dari pada mereka berada dalam kekafiran, akan tetapi apabila mungkin untuk
dipindahkan kepada jalan yang benar tentu lebih baik lagi.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmû
Fatâwâ 3/286 menjelaskan bahwa seseorang yang berada di sebuah komunitas Muslim
wajib melakukan shalat Jumat, ikut shalat berjamaah bersama mereka, loyal
kepada mereka dan tidak memusuhi mereka sekalipun dia tidak menyetujui bidah
atau perbuatan maksiat yang mereka lakukan. Dan sebaiknya dia diam jika tidak
mampu menjelaskannya kepada mereka.
Sebagian hartawan menghiasai masjid dengan
ornamen-ornamen mahal, sekalipun hal ini makrûh akan tetapi itu lebih baik dari
pada hartawan tersebut mengalihkan dananya untuk perbuatan-perbuatan maksiat.
(Ikhtiyârât, hlm. 137)
Kaidah Keenam:
مَفْسَدَةُ الْمُحَرَّمِ أَرْجَحُ مِنْ مَصْلَحَةِ الْمُسْتَحَبِّ
Mudharat perbuatan haram lebih besar daripada maslahat
perbuatan mustahab (sunat) (Lihat Minhâj Sunnah 4/154
Sebuah amalan sunat apabila menyebabkan perbuatan haram
maka perbuatan tersebut tidak lagi disunatkan akan tetapi berubah menjadi
perbuatan haram.
Aplikasi Kaidah:
Membaca al-Qur’ân dengan suara keras disunatkan akan
tetapi apabila menyebabkan gangguan terhadap orang lain maka perbuatan tersebut
menjadi terlarang.
Menyentuh serta mencium hajar aswad disunatkan, akan
tetapi apabila menimbulkan kemudharatan dengan saling dorong, saling menyikut
orang lain, bercampur baur antara laki dan wanita, maka amalan tersebut menjadi
terlarang.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 11/Tahun
XVII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57773 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
No comments:
Post a Comment