!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Saturday, August 8, 2015

Pentingnya sholat.

Perjalanan yang belum selesai (337)

 (Bagian ke tiga ratus tiga puluh tujuh), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 08 Agustus  2015, 01.58 WIB).

Pentingnya sholat.

Sholat adalah paling penting kedua dari rukun Islam, sesudah pengakuan keesaan Allah , Laillahaillaulah (tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah), dengan sholatlah kita akan diselamatkan Allah agar termasuk golongan yang masuk surga. Karena kalau kita mati (meninggal) yang pertama kali di hisab (dimintai pertanggungjawaban) oleh Allah di Hari Pembalasan (kebangkitan/akherat) adalah tentang sholat, kalau sholatnya baik, maka baik pula amalan yang lain.

Kedudukan Shalat Dalam Islam


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Shalat wajib ada lima: Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya', dan Shubuh.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada malam Isra' (ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dinaikkan ke langit) diwajibkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat lima puluh waktu. Lalu dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian beliau diseru, 'Hai Muhammad, sesungguhnya keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah. Dan sesungguhnya bagimu (pahala) lima ini seperti (pahala) lima puluh'.”[1]

Dari Thalhah bin 'Ubaidillah Radhiyallahu anhu, ia menceritakan bahwa pernah seorang Arab Badui berambut acak-acakan mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku shalat apa yang diwajibkan Allah atasku." Beliau menjawab:

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا.

"Shalat lima waktu, kecuali jika engkau ingin menambah sesuatu (dari shalat sunnah)." [2]

Kedudukan Shalat Dalam Islam
Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْـلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.

"Islam dibangun atas lima (perkara): kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan." [3]

A. Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari wajibnya shalat, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Tetapi mereka berselisih tentang orang yang meninggalkan shalat dengan tetap meyakini kewajiban hukumnya. Sebab perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menamakan orang yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir, tanpa membedakan antara orang yang mengingkari dan yang bermalas-malasan mengerjakannya.

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.

“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [4]

Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَتُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

‘Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.’” [5]

Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama', bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak mengeluarkan dari agama. Ini adalah hasil kompromi antara hadits-hadits tersebut dengan beberapa hadits lain, di antaranya:

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَـادِ، مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضِيْعَ مِنْهُنَّ شَيْئًا اِسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَـانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.
‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena menganggap enteng, maka dia memiliki perjanjian de-ngan Allah untuk memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia mengadzabnya. Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya.’”[6]

Kita menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih di bawah derajat kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerahkan perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada kehendak Allah.

Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat adalah shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka ia selamat). Jika tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki shalat sunnah? Jika dia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya dihisab seperti halnya shalat tadi.’” [7]

Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Islam akan lenyap sebagaimana lenyapnya warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi diketahui apa itu puasa, shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah akan diangkat dalam satu malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah segolongan manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, 'Kami dapati bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat, puasa, qurban, dan shadaqah?”

Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi pertanyaannya tiga kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada kali yang ketiga, Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya tiga kali.” [8]

B. Kepada Siapa Diwajibkan?
Shalat itu diwajibkan kepada setiap muslim yang telah baligh dan berakal
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.

“Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur hingga terbangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang gila hingga kembali sadar.” [9]

Wajib atas orang tua untuk menyuruh anaknya mengerjakan shalat meskipun shalat tadi belum diwajibkan atasnya, agar ia terbiasa untuk mengerjakan shalat.

Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَـاءُ سَبْعَ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.

“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun. Serta pisahkanlah ranjang mereka.” [10]

WAKTU-WAKTU SHALAT

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah didatangi Jibril Alaihissallam lalu ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Bangun dan shalatlah!” Maka beliau shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat ‘Ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Ashar ketika bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Maghrib dan berkata, “Bangun dan shalatlah.” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Maghrib ketika matahari telah terbenam. Kemudian Jibril mendatanginya saat ‘Isya' dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat ‘Isya' ketika merah senja telah hilang. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Shubuh dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Shubuh ketika muncul fajar, atau Jabir berkata, “Ketika terbit fajar.”

Keesokan harinya Jibril kembali mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saat Zhuhur dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat Zhuhur ketika bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya. Kemudian dia mendatanginya saat ‘Ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat ‘Ashar ketika panjang bayangan semua benda dua kali panjang aslinya. Kemudian dia mendatanginya saat Maghrib pada waktu yang sama dengan kemarin dan tidak berubah. Kemudian dia mendatanginya saat ‘Isya' ketika pertengahan malam telah berlalu -atau Jibril mengatakan, sepertiga malam,- lalu beliau shalat ‘Isya'. Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saat hari sudah sangat terang dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat Shubuh kemudian berkata, ‘Di antara dua waktu tersebut adalah waktu shalat.’” [1]

At-Tirmidzi mengatakan bahwa Muhammad (yaitu Ibnu Isma'il al-Bukhari) berkata, “Riwayat paling shahih tentang waktu shalat adalah hadits Jabir.”

1. Zhuhur
Waktunya dari tergelincirnya matahari hingga bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya.

2. ‘Ashar
Waktunya dari saat bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya hingga terbenamnya matahari.

3. Maghrib
Waktunya dari terbenamnya matahari hingga hilangnya warna kemerah-merahan pada senja.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : “Waktu shalat Maghrib selama warna kemerah-merahan pada senja belum hilang.” [2]

4.‘Isya'
Waktunya dari hilangnya merah senja hingga pertengahan malam.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu a'alaihi wa sallam: “Waktu shalat ‘Isya' hingga pertengahan malam.”

5. Shubuh
Waktunya dari terbit fajar hingga terbit matahari.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ.

“Waktu shalat Shubuh dari terbitnya fajar hingga sebelum matahari terbit." [4]

A. Apakah yang Dimaksud dengan ash-Shalat al-Wustha (Pertengahan)?
Allah Ta'ala berfirman:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat Wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” [Al-Baqarah: 238].

Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa di hari terjadinya perang al-Ahzab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

شَغَّلُوْنَا عَنِ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى صَلاَةِ الْعَصْرِ، ملأَ اللهُ بُيُوْتَهُمْ وَقُبُوْرَهُمْ نَارًا.

"Mereka telah menyibukkan kita dari shalat al-Wustha (yaitu) shalat 'ashar. Semoga Allah memenuhi rumah-rumah dan kubur-kubur mereka dengan api."[5]

B. Disunnahkan Memajukan Shalat Zhuhur di Awal Waktu Ketika Hari Tidak Terlalu Panas.
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ.

"Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir (condong ke barat)." [6]

C. Jika Cuaca Sangat Panas, Disunnahkan Menunda Shalat Zhuhur sampai Cuaca Agak Dingin (Selama Tidak Keluar dari Waktunya-Ed.)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا بِالصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْـحِ جَهَنَّمَ.

"Jika hari sangat panas, maka tidaklah shalat hingga cuaca menjadi agak dingin. Sesungguhnya panas yang sangat itu merupakan bagian dari didihan Jahannam."[7]

D. Disunnahkan Menyegerakan Shalat 'Ashar
Dari Anas Radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J كَانَ يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ، فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلَى الْعَوَالِيْ فَيَأْتِي الْعَوَالِيْ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ.

"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat 'Ashar, sedangkan matahari masih tinggi dan terang. Lalu seseorang pergi dan mendatangi al-'Awali (tempat di sudut Madinah) sedangkan matahari masih tinggi." [8]

E. Dosa Orang yang Melewatkan Shalat 'Ashar.
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Orang yang melewatkan shalat 'Ashar seperti orang yang berkurang keluarga dan hartanya."

Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ.

"Barangsiapa meninggalkan shalat 'Ashar, maka terhapuslah amalannya." [10]

F. Dosa Orang yang Mengakhirkannya Hingga Menjelang Senja (Ketika Matahari Akan Terbenam)
Dari Anas Radhiyallahu anhu dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسُ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً.

'Itulah shalatnya orang munafiq. Dia duduk sambil mengawasi matahari. Hingga ketika matahari berada di antara dua tanduk syaitan (waktu terbit dan tenggelamnya matahari) ia bangkit dan shalat empat raka'at dengan cepat. Ia tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit."[11]

G. Disunnahkan Menyegerakan Shalat Maghrib dan Dimakruhkan Mengakhirkannya
Dari 'Uqbah bin 'Amir Radhiyallahu anhu, Nabi Shalallahu a'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ أَوْ عَلَى الْفِطْرَةِ مَـالَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ.

"Umatku senantiasa dalam kebaikan atau dalam keadaan fithrah selama mereka tidak mengakhirkan shalat Maghrib hingga banyak bintang bermunculan."[12]

Dari Salamah bin al-Akwa' Radhiyallahu anhu : “Dulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Maghrib jika matahari telah terbenam dan bersembunyi di balik tirai (tidak nampak).” [13]

H. Disunnahkan Mengakhirkan Shalat 'Isya' Selama Tidak Memberatkan
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada suatu malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat ‘Isya’, hingga berlalulah sebagian besar malam dan para penghuni masjid telah tertidur. Kemudian beliau keluar dan shalat, lalu berkata, 'Sesungguhnya ini adalah waktunya, hanya saja aku tak ingin memberatkan umatku. [14]

I. Dimakruhkan Tidur Sebelumnya dan Perbincangan yang Tidak Berguna Sesudahnya.
Dari Abu Barzah Radhiyallahu anhu : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membenci tidur sebelum 'isya' dan berbincang-bincang sesudahnya." [15]

Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Suatu malam kami menunggu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga pertengahan malam. Lalu beliau datang dan shalat dengan kami, kemudian menasihati kami. Beliau berkata:

أَلاَ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا ثُمَّ رَقَدُوْا، وَإِنَّكُمْ لَمْ تَزَالُوا فِيْ صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُ الصَّلاَةَ.
'
Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang telah shalat kemudian tidur. Dan sesungguhnya kalian senantiasa dalam shalat selama kalian menunggu shalat.'"[16]

J. Disunnahkan Menyegerakan Shalat Shubuh di Awal Waktunya (Ketika Masih Gelap)
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu para wanita mukminat menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berbungkus pakaian mereka. Kemudian kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun yang mengenali mereka karena gelapnya malam."[17]

K. Kapankah Seseorang Dianggap Masih Mendapatkan Waktu Shalat?
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرِبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ.

"Barangsiapa mendapati satu raka'at shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka dia telah mendapati shalat Shubuh. Dan barangsiapa mendapati satu raka'at shalat 'Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapati shalat 'Ashar." [18]

Hukum ini tidak di khususkan bagi shalat Shubuh dan 'Ashar saja, tetapi untuk seluruh shalat.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ.

"Barangsiapa mendapati satu raka'at shalat, maka dia telah mendapati shalat itu" [19]

L. Mengqadha Shalat yang Terlewatkan
Dari Anas Radhiyiallahu anhu, dia mengatakan bahwa Nabi Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا.

“Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat atau tertidur darinya, maka kaffarat (tebusan)nya adalah melakukan shalat itu jika ia telah mengingatnya.” [20]

M.Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Dengan Sengaja Hingga Keluar dari Waktunya Wajib Untuk Mengqadha Shalat Tersebut?
Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam al-Muhallaa (II/235), “Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menjadikan waktu tertentu, yaitu awal dan akhirnya, bagi setiap shalat wajib. Masuk pada waktu tertentu dan keluar pada waktu tertentu. Tidak ada bedanya antara orang yang shalat sebelum waktunya dan orang yang shalat sesudah waktunya. Karena keduanya shalat pada selain waktunya. Qadha adalah kewajiban dari agama. Sedangkan agama tidak boleh selain dari Allah melalui lisan Rasul-Nya. Jika memang qadha wajib bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, maka tentu Allah dan Rasul-Nya tidak akan melalaikan dan melupakannya. Tidak pula sengaja menyulitkan kita dengan tidak memberi penjelasan mengenainya. “Dan tidaklah Rabb-mu lupa.” (Maryam: 64). Dan setiap syari'at yang bukan dari al-Qur-an dan Sunnah adalah bathil."

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]


No comments:

Post a Comment