Perjalanan yang belum selesai (243)
(Bagian ke dua ratus empat puluh tiga , Depok, Jawa
Barat, Indonesia, 21 Maret 2015, 05.19 WIB)
Ingin Masuk Sorga: Hargai Waktu.
Salah satu orang yang dijamin masuk sorga, kata Nabi
Muhammad adalah seorang pemuda yang mengisi waktu luangnya dengan beibadah
kepada Allah sampai ajal (Kematian) datang menjemputnya
Kalau kita lihat para ulama besar dan periwayat hadist
besar seperti ulama Imam Buchori, Imam Muslim, Imam Ahmad bin Hambali, Imam
Maliki, Sunan Abu Daud dan para ulama terkenal lainnya seperti Albany ,
Utsaimin dan para Tabiin lainnya selalu memanfaatkan waktu luang dengan belajar
ilmu agama dari sejak muda.
Bahkan banyak diantara mereka demi belajar ilmu hanya
menyisakan waktu tidur (istirahat) hanya dua-tiga jam per hari, bahkan diantara
mereka belajar (menuntut Ilmu) sampai mengunjungi negeri-negeri lain (merantau
dan safar).
Tidak banyak waktu tersisa, hanya untuk melamun, atau
nongkrong di kedai kopi.
Kini di di dunia modern, biasanya manusia disibukkan
dengan mencari harta sebanyak-banyaknya, bahkan demi meraih harta
sebanyak-banyaknya kadang kita diperdaya oleh dunia (Harta) sehingga melupakan
tujuan Manusia dan Jin diciptakan Allah semata untuk beribadah pada Allah untuk
mencapai kebahagiaan yang hakiki baik di dunia dan akherat.
Kita bahkan berkorban mempersiapkan berbagai dagangan,
baik kue-kue, nasi uduk, nasi kuning untuk di jual ke esok harinya dari pagi
sampai begadang tengah malam, kadang kita melupakan waktu sholat walau sejenak.
Kita disibukkan dengan pekerjaan dunia (kantor) berangkat
dari kantor subuh, pulang ke rumah subuh lagi, juga kadang melalaikan waktu
sholat.
Begitu seterusnya rutin setiap hari, akhirnya sampai pada
usia tua (pensiun), ia kalau kita ketika sudah waktunya dipanggil Allah
(meninggal), sempat bertaubat, kalau tidak sempat bertaubat bagaimana.
Bukankah di dunia ini ada Iblis yang terus berusaha
menggoda manusia agar manusia terus lalai selama hidupnya, dan berusaha
menghalangi manusia untuk meninggal dalam keadaan khusnul Khotimah.
Agar kita (manusia) meninggal dalam keadaan khusnul
Khotimah (bersih dari dosa) Allah memberikan resep dan tipsnya melalui
Firmannya Al Quran dan Sunnah (Hadist ) Nabi Muhammad, kalau kita berpegang
kepada keduanya dipastikan kita akan berbahagia di dunia dan akherat.
Dalam mencari dunia, kadang kita lupa memilih mencari
uang, apakah jalannya diridhoi Allah atau tidak.
Lihat berapa banyak orang kaya di dunia yang berakhir
bukan menikmati hasil jerih payahnya beupa kekayaan yang melimpah, tapi malah
meninggal bunuh diri, over dosis obat, narkoba, gantung diri akibat stress. Dan
perbuatan lainnya yang mengantarnya pada kematian sia-sia.
Bukankah untuk menjadi penghuni sorga kita tidak perlu
jadi orang kaya dulu, seperti menjadi penyanyi terkenal, artis dan bintang
film, konglomerat, atau bahkan jadi Walikota, Bupati atau Gubernur, Presiden
dulu.
Salah satu contoh orang biasa (miskin) yang dipastikan
masuk sorga adalah Uais Al Qurni dari Yaman.
Seperti diceritakan Nabi Muhammad dalam Hadistnya ketika
berwasiat kepada para sahabatnya sebelum dia meninggal.
Ridho Allah tergantung Ridho kedua orang tua, demikian
salah satu cuplikan Hadist Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya (sabdanya) mengatakan
Ridho Allah tergantung pada kedua orang tua kita, terutama Ibu Kandung kita.
Nabi dalam hadist bahkan sampai mengulangi kata-kata
Ibumu tiga kali baru disusul Ayahmu.
Peringatan Nabi Muhammad ini betapa ajaran Islam
mengajarkan penghormatan kepada orang tua harus dijunjung tinggi.
Bahkan kita sebagai Muslim diajarkan tidak boleh berkata
‘’Akh’’ sebagai kata penolakan kalau diperintah kedua orang tua kita.
Bahkan Nabi juga mengingatkan kita, agar kita tidak boleh
menghina kedua orang tua, walaupun itu kedua orang tua orang lain, karena bisa
jadi kedua orang tua orang lain yang kita hinakan itu akan membalas menghina
kedua orang tua kita.
Betapa agungnya Allah menempatkan betapa tingginya kedua
orang tua, agar kita harus hormati dan kita perlu berdharma bhakti pada mereka.
Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup dan berpesan pada
para sahabatnya,: Nanti akan datang seorang dari Yaman, namanya Uais Al Qurni,
pada kulit badannya ada tanda sopak, bekas terkena sakit kusta.
‘’Kalau kalian bertemu dengannya mintakan doa padanya
untukmu,’’
Doa Uais Al Qurni ini kata Nabi Muhammad diijabah Allah,
karena dia seorang yang sangat setia dan berdharmabakti pada ibunya.
Kemana-mana Ibunya pergi, karena Ibu Uais Al Qurni lumpuh
karena usia tua, selalu digendongnya sendiri, termasuk ketika ia mengadakan
perjalanan ke Mekah naik haji, selama prosesi Haji selalu dia gendong sendiri.
Ketika Nabi Wafat, Khalifah Abu Bakar memerintahkan anak
buahbya memeriksa dan menanyakan anggota setiap kabilah asal Yaman yang datang
ke Mekah untuk Naik Haji.
Namun pada Masa Khalifah Umar Bin Khatab, barulah Uais Al
Qurni ditemukan, setelah diperiksa satu persatu diantara para kabilah asal
Yaman baru ditemukan orang Yaman yang ciri-cirinya sesuai wasiat Nabi.
‘’Apakah Anda Uais Al Qurni,” Tanya Umar pada Uais,
betul, saya Uais Al Qurni, dari Yaman.
‘’Tolong doakan kami pada Allah agar kami dapat petunjuk
dari Allah,’’ kata Umar,’’. Apalah arti saya yang hanya orang biasa dan miskin,
sedangkan Sahabat Umar adalah Sahabat Nabi Muhammad yang lebih mulia, ‘’ kata
Uais, Lalu Umar bercerita adanya pesan dan wasiat dari Nabi Muhammad,’’
Mendengar pesan itu, barulah Uais Al Qurni mengangkat kedua tangannya keatas
mendoakan Pada Allah untuk Umar dan kekhalifahannya.
Ini menunjukkan betapa orang yang berdharma bhakti pada
orang tuanya dengan sepenuh hati dan ikhlas akan mendapat ganjaran dari Allah
berupa sorga di akherat dan doanya diijabah Allah, walaupun Uais Al Qurni
seorang miskin, yang kerjanya hanya mencari rumput makanan onta untuk para
kabilah. (pesuruh).
Jadi untuk menggapai sorga tidak perlu kita mencari harta
habis-habisan sampai menghabiskan seluruh waktu yang kita miliki. Kalau mencari
harta bukan untuk tujuan beribadah pada Allah semata, maka kita akan semakin
haus merasa kurang terus tiada akhir. Yang berakhir ketika Sakratul Maut
Menjemput kita, padahal ketika kita mati, kita hanya membawa kain kafan dan
amal saleh, tidak membawa harta yang walau mellimpah, bahkan harta yang kita
bertumpuk kalau kita tidak keluarkan dijalan Allah akan menjadi ular berbisa
yang menggigit kita di neraka.
Bukankah Nabi Muhammad ketika Isra Mirad ke langit ke
tujuh, diperlihatkan Allah mengenai kondisi sorga yang mayoritas diisi orang
miskin tapi beriman.
Kata Allah , kebahagiaan hakiki itu tempatnya di hati
(ketakwaan), bukan dari banyaknya harta yang kita tumpuk.
Renungan Tentang Waktu
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Waktu adalah salah satu nikmat yang agung dari Allâh
Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia. Sudah sepantasnya manusia memanfaatkannya
secara baik, efektif dan semaksimal mungkin untuk amal shalih.
Allâh Ta’ala telah bersumpah dengan menyebut masa dalam
firman-Nya:
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan
nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya
menetapi kesabaran. [al-‘Ashr/103:1-3].
Di dalam surat yang mulia ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala
bersumpah dengan masa, dan ini menunjukkan pentingnya masa. Sesungguhnya di
dalam masa terdapat keajaiban-keajaiban. Di dalam masa terjadi kesenangan dan
kesusahan, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan. Jika seseorang
menyian-nyiakan umurnya, seratus tahun berbuat sia-sia, bahkan kemaksiatan
belaka, kemudian ia bertaubat di akhir hayatnya, dengan taubat yang diterima,
maka ia akan mendapatkan kebahagiaan sempurna sebagai balasannya, berada di dalam
surga selama-lamanya. Dia betul-betul mengetahui bahwa waktu hidupnya yang
paling berharga adalah sedikit masa taubatnya itu. Sesungguhnya masa merupakan
anugerah Allâh Ta’ala, tidak ada cela padanya, manusia-lah yang tercela ketika
tidak memanfaatkannya.
PERINGATAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu, sebagaimana disebutkan dalam hadits
berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia
tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. [HR Bukhari, no.
5933].
Hadits yang mulia ini memberitakan bahwa waktu luang
adalah nikmat yang besar dari Allâh Ta’ala, tetapi banyak manusia tertipu dan
mendapatkan kerugian terhadap nikmat ini.
Di antara bentuk kerugian ini adalah:
1. Seseorang tidak mengisi waktu luangnya dengan bentuk
yang paling sempurna. Seperti menyibukkan waktu luangnya dengan amalan yang
kurang utama, padahal ia bisa mengisinya dengan amalan yang lebih utama.
2. Dia tidak mengisi waktu luangnya dengan amalan-amalan
yang utama, yang memiliki manfaat bagi agama atau dunianya. Namun kesibukkannya
adalah dengan perkara-perkara mubah yang tidak berpahala.
3. Dia mengisinya dengan perkara yang haram, ini adalah
orang yang paling tertipu dan rugi. Karena ia menyia-nyiakan kesempatan
memanfaatkan waktu dengan perkara yang bermanfaat. Tidak hanya itu, bahkan ia
menyibukkan waktunya dengan perkara yang akan menggiringnya kepada hukuman
Allâh di dunia dan di akhirat.
Urgensi waktu dan kewajiban menjaganya merupakan perkara
yang disepakati oleh orang-orang yang berakal. Berikut adalah diantara
point-point yang menunjukkan urgensi waktu.
1. Waktu Adalah Modal Manusia.
Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
اِبْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ
ذَهَبَ بَعْضُكَ
Wahai Ibnu Adam (manusia), kamu itu hanyalah (kumpulan)
hari-hari, tiap-tiap satu hari berlalu, hilang sebagian dirimu.[1]
Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin Abdul-‘Aziz rahimahullah
berkata:
إِنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلَانِ فِيْكَ فَاعْمَلْ
فِيْهِمَا
Sesungguhnya malam dan siang bekerja terhadapmu, maka
beramalah pada malam dan siang itu.[2]
2. Waktu Sangat Cepat Berlalu.
Seseorang berkata kepada ‘Âmir bin Abdul-Qais
rahimahullah, salah seorang tabi’i: “Berbicaralah kepadaku!” Dia menjawab:
“Tahanlah jalannya matahari!”
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak menyerupakan
masa muda kecuali dengan sesuatu yang menempel di lengan bajuku, lalu jatuh”.
Abul-Walid al-Bâji rahimahullah berkata: “Jika aku telah
mengetahui dengan sangat yakin, bahwa seluruh hidupku di dunia ini seperti satu
jam di akhirat, maka mengapa aku tidak bakhil dengan waktu hidupku (untuk
melakukan perkara yang sia-sia, Pen.), dan hanya kujadikan hidupku di dalam
kebaikan dan ketaatan".
3. Waktu Yang Berlalu Tidak Pernah Kembali.
Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berkata:
إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لَا يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ،
وَلِلَّهِ حَقٌّ بِاللَّيْلِ لَا يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ
Sesungguhnya Allâh memiliki hak pada waktu siang, Dia
tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan Allâh juga memiliki hak pada waktu
malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang. [Riwayat Ibnu Abi Syaibah,
no. 37056].
Dengan demikian seharusnya seseorang bersegera
melaksanakan tugasnya pada waktunya, dan tidak menumpuk tugas dan
mengundurkannya sehingga akan memberatkan dirinya sendiri. Oleh karena itu
waktu di sisi Salaf lebih mahal dari pada uang. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah
berkata:
أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا كَانَ أَحَدُهُمْ أَشَحَّ عَلَى عُمْرِهِ
مِنْهُ عَلَى دَرَاهِمِهِ وَدَنَانِيْرِهِ
Aku telah menemui orang-orang yang sangat bakhil terhadap
umurnya daripada terhadap dirham dan dinarnya.[3]
Sebagian penyair berkata:
وَالْوَقْتُ أَنْفَسُ مَا عَنَيْتَ بِحِفْظِهِ ... وَأَرَاهُ
أَسْهَلَ مَا عَلَيْكَ يُضَيَّعُ
Waktu adalah perkara paling mahal yang perlu engkau
perhatikan untuk dijaga, tetapi aku melihatnya paling mudah engkau
menyia-nyiakannya.
4. Manusia tidak mengetahui kapan berakhirnya waktu yang
diberikan untuknya.
Oleh karena itu Allâh Ta’ala banyak memerintahkan untuk
bersegera dan berlomba dalam ketaatan. Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan agar bersegera melaksanakan amal-amal shalih. Para
ulama telah memperingatkan agar seseorang tidak menunda-nunda amalan. Al-Hasan
berkata:
اِبْنَ آدَمَ إِيَّاكَ وَالتَّسْوِيْفَ فَإِنَّكَ بِيَوْمِكَ
وَلَسْتَ بِغَدٍّ فَإِنْ يَكُنْ غَدٌّ لَكَ فَكُنْ فِي غَدٍّ كَمَا كُنْتَ فِيْ الْيَوْمَ
وَإِلَّا يَكُنْ لَكَ لَمْ تَنْدَمْ عَلَى مَا فَرَّطْتَ فِيْ الْيَوْمِ
Wahai anak Adam, janganlah engkau menunda-nunda
(amalan-amalan), karena engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok
pagi belum tentu engkau memilikinya. Jika engkau bertemu besok hari, maka
lakukanlah pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini. Jika
engkau tidak bertemu esok hari, engkau tidak akan menyesali sikapmu yang
menyia-nyiakan hari ini.[4]
KENYATAAN MANUSIA DALAM MENYIKAPI WAKTU
Berikut adalah beberapa keadaan manusia dalam menyikapi
waktu.
1. Orang-orang yang amalan shalih mereka lebih banyak
daripada waktu mereka.
Diriwayatkan bahwa Syaikh Jamaluddin al-Qâshimi
rahimahullah melewati warung kopi. Dia melihat orang-orang yang mengunjungi
warung kopi tenggelam dalam permainan kartu dan dadu, meminum berbagai minuman,
mereka menghabiskan waktu yang lama. Maka Syaikh berkata, “Seandainya waktu
bisa dibeli, sungguh pasti aku beli waktu mereka!”
2. Orang-orang yang menghabiskan waktu mereka dalam
mengejar perkara yang tidak berfaidah, baik berupa ilmu yang tidak bermanfaat,
atau urusan-urusan dunia lainnya.
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah menyebutkan seorang
laki-laki yang menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan dan menumpuk harta.
Ketika kematian mendatanginya, dikatakan kepadanya, “Katakanlah lâ ilâha illa
Allâh,” namun ia tidak mengucapkannya, bahkan ia mulai mengucapkan, “Satu kain
harganya 5 dirham, satu kain harganya 10 dirham, ini kain bagus”. Dia selalu
dalam keadaan demikian sampai ruhnya keluar.
3. Orang-orang yang tidak mengetahui apa yang harus
mereka lakukan terhadap waktu.
Seorang ulama zaman dahulu berkata:
Aku telah melihat kebanyakan orang menghabiskan waktu
dengan cara yang aneh. Jika malam panjang, mereka habiskan untuk pembicaraan
yang tidak bermanfaat, atau membaca buku percintaan dan begadang. Jika waktu
siang panjang, mereka habiskan untuk tidur. Sedangkan pada waktu pagi dan sore,
mereka di pinggir sungai Dajlah, atau di pasar-pasar. Aku ibaratkan mereka itu
dengan orang-orang yang berbincang-bincang di atas kapal, kapal itu terus
berjalan membawa mereka dan berita mereka. Aku telah melihat banyak orang yang
tidak memahami arti kehidupan.
Di antara mereka, ada orang yang telah diberi kecukupan
oleh Allâh Azza wa Jalla , ia tidak butuh bekerja karena hartanya yang sudah
banyak, namun kebanyakan waktunya padai siang hari ia habiskan dengan nongkrong
di pasar (kalau zaman sekarang di mall dan sebagainya, Pen.) melihat
orang-orang (yang lewat). Alangkah banyaknya keburukan dan kemungkaran yang
melewatinya.
Di antara mereka ada yang menyendiri bermain catur. Di
antara mereka ada yang menghabiskan waktu dengan kisah-kisah kejadian tentang
raja-raja, tentang harga yang melonjak dan turun, dan lainnya.
Maka aku mengetahui bahwa Allâh tidak memperlihatkan
urgensi umur dan kadar waktu kesehatan kecuali kepada orang-orang yang Allâh
berikan taufiq dan bimbingan untuk memanfaatkannya. Allâh berfirman:
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا
إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. [Fushilat/41:35].
Adapun yang menjadi penyebab perbedaan keadaan manusia
dalam menyikapi waktu, kembali kepada tiga perkara berikut.
1. Sebab pertama, tidak menetapkan tujuan hidup. Oleh
karena itu, seorang muslim wajib mengetahui bahwa tujuan Allâh menciptakannya
adalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [adz-Dzariyat/51:56].
Dia harus mengetahui bahwa dunia ini adalah tempat
beramal, bukan tempat santai dan main-main, sebagaimana firman-Nya:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ
إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami? [al-Mukminun/23:115].
Dunia adalah sawah ladang akhirat. Jika engkau menanam
kebaikan di dunia ini, maka engkau akan memetik kenikmatan abadi di akhirat
nanti. Jika engkau menanam keburukan di dunia ini, maka engkau akan memetik
siksaan pedih di akhirat nanti.
Namun demikian, ini bukan berarti manusia tidak boleh
bersenang-senang dengan perkara yang Allâh ijinkan di dunia ini, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ
لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ
رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Demi Allâh, sesungguhnya aku adalah orang yang paling
takut dan paling takwa di antara kamu kepada Allâh, tetapi aku berpuasa dan
berbuka, shalat (malam) dan tidur, dan aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa
membenci sunnahku, maka ia bukan dariku. [HR al-Bukhari, no. 4776; Muslim, no.
1401]
2. Sebab kedua, bodoh terhadap nilai dan urgensi waktu.
3. Sebab ketiga, lemahnya kehendak dan tekad.
Banyak orang mengetahui nilai dan urgensi waktu, dan
mengetahui perkara-perkara bermanfaat yang seharusnya dilakukan untuk mengisi
waktu, tetapi karena lemahnya kehendak dan tekad, mereka tidak melakukannya.
Maka seorang muslim wajib mengobati perkara ini dan bersegera serta berlomba
melaksanakan amalan-amalan shalih, serta memohon pertolongan kepada Allâh
Ta’ala, kemudian bergabung dengan kawan-kawan yang shalih.
Jika kita benar-benar mengerti tujuan hidup, dan kita
benar-benar memahami nilai waktu, maka seharusnya kita isi waktu kita dengan
perkara yang akan menjadikan ridha Penguasa kita, Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan yang lurus. Âmîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun
XVII/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
________
Footnote
[1]. Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliya`. Perkataan
ini juga diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’abul- Iman, dari Abud Darda’
Radhiyallahu anhu
[2]. Kitab Rabi’ul-Abrar, hlm. 305.
[3]. Disebutkan dalam kitab Taqrib Zuhd Ibnul-Mubarok,
1/28.
[4]. Taqrib Zuhd IbnulMubarok, 1/28.
No comments:
Post a Comment