Perjalanan yang belum selesai (276)
(Bagian ke dua ratus tujuh puluh enam , Depok, Jawa
Barat, Indonesia, 08 Mei 2015, 11.52 WIB)
Mau masuk surga: ini syaratnya ?.
Seluruh umat manusia dari sejak manusia pertama (nabi
Adam) sampai hari kiamat tentu ingin masuk surga, tidak ada satu pun manusia
ingin masuk neraka.
Salah satu syarat bila kita ingin memperoleh Rahmat dan
Hidayah Allah agar kita masuk surga dan tidak disiksa di alam barzah ketika
kita meninggal, adalah mencintai Allah dan Rasulnya melebihi selain keduanya.
Namun mencintai keduanya bukan sekadar ucapan secara
lisan atau hanya dalam hati (jantung/kalbu) kita saja, tetapi perlu
diimplemenastkan (dilakukan) dalam sikap perbuatan (action) nyata.
Kalau kita mencintai Allah , maka kita harus secara konsisten
melaksanakan rukun Islam dan rukun iman.
Setelah pengakuan kita akan kekuasaan Allah melalui
ucapan Laillahailaulah Muhammad Rasul Allah (Tiada Tuhan yang wajib disembah
kecuali Allah) dan Muhammad adalah Rasul Allah).
Setelah pengakuan Tauhid (Keesaan Allah), kita kemudian
melaksanakan sholat lima waktu sehari semalam, yang pahalanya sama dengan sholat
50 waktu.
Sholat ini wajib hikumnya, dan salah satu perbuatan dosa
besar kalau ditinggalkan, itu sebabnya kalau kita sehat selain kita diwajibkan
sholat lima waktu, yang kalau kita sholat berjamaah di Masjid/Musholla akan
dilipat gandakankan 27 derajat dibandingkan sholat sendirian.
Kalau kita sakit dan (tua dan lemah), maka kita boleh
sholat sambil duduk dan kalau tidak kuat duduk (sekarat/sakit keras), maka kita
dibolehkan sholat sambil tidur.
Sholat ini sangat penting dimata Allah, apalagi Allah
memberi tahu kita melalui Sabda Nabi Muhammad, bahwa hisab yang pertama kali
ditanya di Alam Barzah/akherat adalah tentang sholat kita, kalau sholat kita
baik, maka baik pula amalan kita yang lain, kalau kita tidak pernah sholat,
kita terancam masuk kategori orang kufur dan orang kafir, padahal orang kafir
dipastikan menjadi batubaranya neraka.
Inilah keistimewaannya soal sholat, selain itu selain
perintah lain, sholat adalah satu-satunya perintah Allah (diluar wahyu Alah
melalui malaikat Jibril) yang dilakukan langsung Allah melalui peristiwa Isra
(perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram Mekah menuju Masjidil Aqsa
(Jerusalem/Palestina), dan Mirad (Perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Aqsa
ke sidratul Muntaha. Selama perjalanan ini Nabi dipertemukan dengan para Nabi
dan Rasul yang telah meninggal terlebih dahuli, seperti Nabi Adam, Nabi Isa dan
Nabi Musa.
Ketika sampai ke Sindratul Muntaha (Langit ke tujuh)
inilah Nabi Muhammad mendapat perintah sholat 50 waktu, namun setelah ingin
kembali ke bumi Nabi Muhammad bertemu para Nabi itu, lalu di Nasehati, bahwa
Ummat Nabi Muhammad tidak akan sanggup melaksanakan sholat 50 waktu sehari
semalam, lalu bertemu Allah kembali di Sidratul Muntaha minta keringanan pada
Allah, lalu setelah bolak balik dari Sindratul Muntaha kembali menemui para
Nabi dan Rasul itu kembali Nabi dinasehati hal serupa sampai akhirnya Nabi
Muhammad memperoleh keinganan bahwa Ummatnya hanya diwajibkan sholat lima
waktu, namu pahalanya disetarakan dengan sholat 50 waktu.
Ini menunjukkan betapa Rahmat Allah itu sangat luas ,
karena kalau kita beribadah atas perintah Allah pahalanya dilipat gandakan,
sementara kalau Manusia berbuat satu dosa, maka dosanya hanya satu itu saja
tidak dilipat gandakan. Walaupun demikian karena fitrah manusia pada dasarnya
gampang digoda iblis agar bberbuat dosa, sehingga kata Nabi Muhammad dalam
sabdanya bahwa setiap anak adam (manusia) pasti pernah berbuat dosa, sehingga
seusai sholat kita dianjurkan banyak berzikir dan beristighfar (minta ampun
pada Allah/bertaubat) selain membaca surah Al Ikhlas 10 kali.
Karena kata Nabi Muhammad, membaca surah Al Ikhlas 10
kali pahalanya sama dengan pahala membaca 2/3 Al Quran.
Padahal, membaca Al Quran dengan terbata-bata satu
hurufnya kita dapat dua pahala, membaca al quran dengan fasih dan mengerti
maknanya, para Malaikat akan menyertai kita mendoakan kita agar masuk surga.
Kata Nabi Muhammad, bila kita membaca surah Al Ikhlas 10
kali, maka Allah akan kasih kita Istana di surga.
Selain sholat lima waktu yang wajib kita di sunnahkan
sholat sunnah, terutama sholat malam dan dhuha, agar menutupi sholat lima waktu
yang mungkin pernah kita lalaikan.
Setelah sholat, lalu kita melaksanakan puasa wajib puasa
dalam bulan Ramadhan, karena pahala puasa bulan Ramadhan apalagi kita beribadah
bertepatan pada malam Lailatulqadar, yang kata Nabi Muhammad terjadi pada malam
ganjil, sepuluh hari terahir bulan Ramadhan, pahala ibadah pada malam Lailatul
Qadar setara beribadah selama 82 tahun, pada Ummat Muhammad jarang sekali kita
dapati usia manusia yang bisa mencapai 80 tahun, nabi sendiri hanya berusia 63
tahun.
Inilah salah satu nikmat terbesar Ummat Nabi Muhammad
mereka walupun rata-rata berusia hanya 60-70 tahun tetapi nikmat pahala malam
lailatul qadar mencapai 82 tahun, berbeda sengan ummat Nabi Nuh yang mencapai
1000 tahun, tetapi belum ada takdir malam Lailatul Qadar.
Memang Allah telah memberikan takdirnya dalam tiga
kategori, takdir umum yang Allah tulis dalam kitab:
"Lauh Mahfuzh" .
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima
puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no.
2653).
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
Kemudian Takdir seumur hidup dimana atas perintah Allah,
Malaikat mencatat apa yang kita lakukan seumur hidup kita, Takdir seumur hidup
ini dimulai sejak Allah meniupkan roh pada janin ketika berusia 4 bulan sepuluh
hari.
Kemudian takdir tahunan, berupa malam Lailatul Qadar
ketika bulan Ramadhan.
Kemudian kita melaksanakan Haji/Umroh kalau kita mampu,
pahalanya kalu dilakukan dengan ikhlas dan menggunakan uang halal dan menjadi
Haji Mabrur. Akan menghapuskan dosa kita.
Apa itu haji Mabrur: bila sebelum Haji/Umroh kita malas
sholat, maka sesudahnya kita rajin puasa, dan rajin puasa sunnah (puasa Senin
dan Kamis, atau puasa Nabi Daud, atau puasa sunnah lainnya sesuai dalil sunnah
yang sahih, yang telah dipraktekkan Nabi dan para sahabatnya, bukan dan ibadah tanpa dalil (bid ah).
Kemudian membayar zakat dan menggunakan harta yang kita
miliki untuk dijalan Allah.
Kenapa untuk jalan Allah, karena kita kerja keras mencari
harta selain kewajiban kita untuk menafkahi anak dan istri adalah untuk di
jalan Alah, seperti membantu kedua orang tua, saudara kandung, keponakan dan
orang lain yang sangat membutuhkan seperti anak yatim dan janda miskin dan
orang yang mengalami kesulitan (terlilit utang misalnya).
Karena kita tidak ada gunanya menumpuk harta berlebihan
kalau tidak digunakan di jalan Allah, karena kalau kita mati (meninggal) kita
hanya membawa kain kafan. Harta ditinggalkan. Kalu kita mati kita hanya
meninggal tiga perkara yang amalnya terus mengalir ke kita di alam kubur (alam
barzah), pertama ilmu yang bermanfaat, doa anak yang saleh, serta amal jariah
(sadaqoh/infak).
Kemudian selain mencintai Allah kita mencintai Rasul
(Muhammad) implementasinya kita melaksanakan sunnah (sabda/Hadist) yang sahih,
sesuai yang telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat (sampai
generasi Tabi dan Tabiin), bukan yang dipraktekkan selain Nabi dan Tabi-Tabiin,
seperti yang dipraktekkan kaum Shiah Fatimiah yang membiasakan penyelengaraan
Maulid Nabi Muhammad (padahal tidak ada satu pun Dalil Al Quran dan Sunnah yang
sahih menganjurkan Maulid Nabi Muhammad.
Ibadah itu asalnya haram, kecuali setelah adanya dalil
yang mewajibkan , jadi kalau kita beribadah tanpa dalil apa pun alasannya
disebut bidah, bidah kata Nabi Muhammad adalah sesat karena menambah-nambah
dalil yang tidak ada dalilnya, dan pelakunya diancam masuk neraka.
Kalau di Indonesia bukan saja kebiasaan kaum shiah itu
saja, tetapi juga kebiasaan agama hindu/Budha , seperti acara Tahlilan 7 hari,
tahlilan 100 hari Haul 1000 hari, membangun kuburan besar-besar pakai batu
kijjing misalnya sehingga menyebabkan banyak diziarahi ribuan orang yang
dikuatirkan orang yang berziarah ini melakukan praktek kesyirikan. Padahal
Allah mengancam , Allah akn mengampuni dosa manusia walau sebesar bumi dan
langit, kecuali berbuat syirik (menduakan Tuhan, minta sesuatu kepada yang
telah mati di kuburan) pergi ke dukun (orang pintar) agar dirinya disembuhkan.
Padahal Allah melalui Nabi bersabda, Allah akan
memasukkan ke surga seseorang langsung tanpa dihisab kalau yang bersangkutan
tidak pernah di rukqiah (karena Allah tidak ingin manusia akan tergantung pada
dukun/orang pintar itu), kalau ingin segala sesautu maka berdoalah/minta
langsung pada Allah, bukan pergi ke dukun atau orang pintar.
Kenapa kita jangan sampai mengikuti cara kaum shiah,
karena ajaran mereka secara fundamental berbeda akidahnya sama manusia.
Kalau cara Sunnah menggunakan dalil Al Quran dan Sunnah
yang sahih, maka shiah menggunakan Al Quran mushab Fatimiah (shiah) yang lebih
tebal dari mushab Usman bin Affan (Sunni).
Shiah mengunakan dalil Al Quran Mashab Fatimiah , hadist
jalur enam sahabat yang mereka anggap belum murtad, karena menurut Shiah semua
sahabat Nabi telah murtad (keluar dari Islam) kecuali enam sahabat, seperti Abu
Dzar dan Salman Al Farisi, shiah juga menaruh dua kalimat sahadatnya dengan 12
imam mereka.
Shiah menganggap 12 imam mereka maksum (tanpa dosa)
mengetahui hal yang ghaib melebihi Nabi, Rasul dan Malaikat.
Padahal, Allah dalam firmannya dalam surah Al an-am ayat
50 memberi tahu manusia bahwa hanya Allah lah satu-satunya yang mengetahui
perkara ghaib, tidak jugq orang termulia dari sisi Allah Nabi Muhammad.
Selain Quran mushab Fatimiah, Hadist diluar jalur
khulafaur Rasidin dan para sahabat Nabi di luar enam sahabat, shiah juga
menggunakan dalil Filsafat dan Tasauf.
Padahal Filsafat adalah semata akal manusia yang terbatas
dan memiliki banyak kelemahan, sehingga bisa dipengaruhi, pemikiran Iblis yang
ingin menyesatkan manusia, seperti kitab Injil dan Taurat yang asalnya betul
wahyu Allah, namun pada masa setelah kematain Nabi Musa dan Nabi Isa, sudah
masuk pemikiran manusia sepeti filsafat dan tasauf.
Tasauf memang ada sebagian ada dalil dari Al Quran. Namun
selebihnya adalah cuplikan dari ajaran Hindu, Budha, Zoroaster, Kong Fuchu, Injil
dan Taurat, dan banyak kepetcayaan kesyirikan lainnya.
Jadi kalau kita ingin masuk surga Cintai Allah dan
Rasulnya melebihi selain keduanya, kalau belum bertaubatlah sebelum terlambat
(nafas/nyawa sampai kerongkongan).
Islam Satu-Satunya Agama Yang Benar
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Setiap Muslim yakin sepenuhnya bahwa karunia Allâh Azza
wa Jalla yang terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang Muslim wajib
bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat-Nya yang telah memberikan
hidayah Islam. Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa nikmat Islam adalah karunia
yang terbesar, sebagaimana firman-Nya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu,
dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu...” [al-Mâidah/5:3]
Sebagai bukti syukur seorang Muslim atas nikmat ini
adalah dengan menjadikan dirinya sebagai seorang Muslim yang ridha Allâh
sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Rasûlullâh Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya. Seorang Muslim harus menerima dan meyakini
agama Islam dengan sepenuh hati. Artinya ia dengan penuh kesadaran dan
keyakinan menerima apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan mengamalkan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam. Jika seseorang ingin menjadi Muslim sejati, pengikut Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang setia, maka ia harus meyakini Islam
sebagai satu-satunya agama yang haq (benar). Ia harus belajar agama Islam
dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan Islam dengan ikhlas karena Allâh Azza wa
Jalla dengan mengikuti contoh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kondisi sebagian umat Islam yang kita lihat sekarang ini
sangat menyedihkan. Mereka mengaku Islam, KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka
Islam, mereka semua mengaku sebagai Muslim, tetapi ironinya mereka tidak
mengetahui tentang Islam, tidak berusaha untuk mengamalkan Islam. Bahkan ada
sebagian ritual keagamaan yang mereka amalkan hanya ikut-ikutan saja. Penilaian
baik dan tidaknya seseorang sebagai Muslim bukan dengan pengakuan dan KTP,
tetapi berdasarkan ilmu dan amal. Allâh Azza wa Jalla tidak memberikan
penilaian berdasarkan keaslian KTP yang dikeluarkan pemerintah, juga tidak
kepada rupa dan bentuk tubuh, tetapi Allâh melihat kepada hati dan amal.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَـى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ،
وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَـى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allâh tidak memandang kepada rupa kalian,
tidak juga kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal
kalian.[1]
Seorang Muslim wajib belajar tentang Islam yang
berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah Nabi
yang shahih sesuai dengan pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum .
al-Qur'ân diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla agar dibaca, dipahami isinya dan
diamalkan petunjuknya. al-Qur'ân dan as-Sunnah merupakan pedoman hidup abadi
dan terpelihara, yang harus dipelajari dan diamalkan. Seorang Muslim tidak akan
sesat selama mereka berpegang kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman
para Shahabat Radhiyallahu anhum .
al-Qur'ân adalah petunjuk hidup, penawar, rahmat,
penyembuh, dan sumber kebahagiaan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ﴿٥٧﴾ قُلْ بِفَضْلِ
اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran
(al-Qur'ân) dari Rabb-mu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan
petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. Katakanlah (wahai Muhammad),
‘Dengan karunia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Karunia dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ [
Yunus/10:57-58]
ISLAM ADALAH SATU-SATUNYA AGAMA YANG BENAR
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama di sisi Allâh ialah Islam… [Ali
‘Imrân/3:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ
مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia
tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. [Ali
‘Imrân/3:85]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ
تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ
وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha
kepada kamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah,
‘Sesungguhnya petunjuk Allâh itulah petunjuk (yang sebenarnya).’ Dan jika
engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu,
maka tidak akan ada bagimu Pelindung dan Penolong dari Allâh.
[al-Baqarah/2:120]
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Islam satu-satunya
agama yang benar, adapun selain Islam tidak benar dan tidak diterima oleh Allâh
Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, agama selain Islam, tidak akan
diterima oleh Allâh Azza wa Jalla , karena agama-agama tersebut telah mengalami
penyimpangan yang fatal dan telah dicampuri dengan tangan-tangan kotor manusia.
Setelah diutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka orang Yahudi,
Nasrani dan yang lainnya wajib masuk ke dalam Islam, mengikuti Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kemudian ayat-ayat di atas juga menjelaskan bahwa orang
Yahudi dan Nasrani tidak senang kepada Islam serta mereka tidak ridha sampai
umat Islam mengikuti mereka. Mereka berusaha untuk menyesatkan umat Islam dan
memurtadkan umat Islam dengan berbagai cara. Saat ini gencar sekali dihembuskan
propaganda penyatuan agama, yang menyatakan konsep satu Tuhan tiga agama. Hal
ini tidak bisa diterima, baik secara nash (dalil al-Qur'ân dan as-Sunnah)
maupun akal. Ini hanyalah angan-angan semu belaka.
Kesesatan ini telah dibantah oleh Allâh Azza wa Jalla
dalam al-Qur'ân :
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا
أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ﴿١١١﴾بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ
عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Tidak akan
masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.’ Itu (hanya) angan-angan
mereka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang
yang benar. Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allâh, dan ia
berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut
pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.’ [al-Baqarah/2:111-112]
Orang Yahudi dan Nasrani mengadakan propaganda berupa
tipuan agar kaum Muslimin keluar dari ke-Islamannya dan mengikuti mereka.
Bahkan mereka memberikan iming-iming bahwa dengan mengikuti agama mereka, maka
orang Islam akan mendapat petunjuk. Padahal, Allâh Azza wa Jalla telah
memerintahkan kita untuk mengikuti agama Ibrahim q yang lurus, agama tauhid
yang terpelihara. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ
بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Dan mereka berkata, ‘Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau
Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.’ Katakanlah, ‘(Tidak!) tetapi (kami
mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan dia tidak termasuk orang yang
mempersekutukan Allâh. [al-Baqarah/2:135]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan
kebathilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu
mengetahuinya. [al-Baqarah/2:42]
Berkenaan dengan tafsir ayat ini, “Dan janganlah kalian
campuradukkan yang haq dengan yang bathil,” Imam Ibnu Jarîr t membawakan
pernyataan Imam Mujâhid rahimahullah yang mengatakan, “Janganlah kalian
mencampuradukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam.”
Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Imam Qatâdah
rahimahullah berkata, “Janganlah kalian campur-adukkan agama Yahudi dan Nasrani
dengan agama Islam, karena sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allâh Azza
wa Jalla hanyalah Islam. Sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah bid’ah bukan dari
Allâh Azza wa Jalla !”
Sungguh, tafsir ini merupakan khazanah fiqih yang sangat
agung dalam memahami Al-Qur-an.
Untuk itulah kewajiban kita bersikap hati-hati terhadap
propaganda-propaganda sesat, yang menyatakan bahwa, ‘Semua agama adalah baik’,
‘kebersamaan antar agama’, ‘satu tuhan tiga agama’, ‘persaudaraan antar agama’,
‘persatuan agama’, ‘perhimpunan agama samawi’, ‘Jaringan Islam Liberal (JIL)’,
dan lainnya. Bahkan mereka gunakan juga istilah HAM (Hak Asasi Manusia) untuk
menyesatkan kaum Muslimin dengan kebebasan beragama.
Semua slogan dan propaganda tersebut bertujuan untuk
menyesatkan umat Islam, dengan memberikan simpati atas agama Nasrani dan
Yahudi, mendangkalkan pengetahuan umat Islam tentang Islam yang haq, untuk
menghapus jihad, untuk menghilangkan ‘aqidah al-wala' wal bara’ (cinta/loyal
kepada kaum Mukminin dan berlepas diri dari selainnya), dan mengembangkan
pemikiran anti agama Islam. Dari semua sisi hal ini sangat merugikan Islam dan
umatnya.
Semua propaganda sesat tersebut merusak ‘aqidah Islam.
Sedangkan ‘aqidah merupakan hal yang paling pokok dan asas dalam agama Islam
ini, karena agama yang mengajarkan prinsip ibadah yang benar kepada Allâh Azza
wa Jalla saja, hanyalah agama Islam.
Rasûlullâh, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
adalah Rasul terakhir dan Rasul penutup. Syari’at beliau n adalah penghapus
bagi syari’at sebelumnya. Dan Allâh Azza wa Jalla tidak menerima syari’at lain
dari seorang hamba selain syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
(Islam). Islam adalah syari’at penutup yang kekal dan terpelihara dari
penyimpangan yang terjadi pada syari’at-syari’at sebelumnya, dan seluruh
manusia diwajibkan untuk mengemban syari’at ini.
Setiap Muslim wajib berpegang teguh kepada agama Islam,
dan janganlah ia mati melainkan dalam keadaan Islam. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh
sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam. [Ali ‘Imrân/3:102]
Maka siapa saja yang tidak masuk Islam sesudah diutusnya
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mati dalam keadaan kafir
maka ia menjadi penghuni Neraka. Wal ‘iyâdzubillâh.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُـحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ بِـي أَحَدٌ
مِنْ هـٰذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِـيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Rabb yang diri Muhammad berada di tangan-Nya,
tidaklah seorang dari umat Yahudi dan Nasrani yang mendengar diutusnya aku
(Muhammad), lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku
diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni Neraka.[3]
AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK
Setiap orang yang beragama Islam wajib mentauhidkan Allâh
Azza wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Dan seorang Muslim
juga mesti memahami pengertian tauhid, makna syahadat, rukun syahadat dan
syarat-syaratnya, supaya ia benar-benar bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla .
Tauhid menurut etimologi (bahasa) diambil dari kata: وَحَّدَ،
يُوَحِّدُ، تَوْحِيْدًا artinya menjadikan sesuatu itu satu.
Sedangkan menurut terminologi (istilah ilmu syar’i),
tauhid berarti mengesakan Allâh Azza wa Jalla pada segala sesuatu yang khusus
bagi-Nya. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dalam ketiga macam tauhid, yaitu
Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah, maupun Asma' dan Sifat-Nya. Dengan kata
lain, Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja.
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang
dikerjakan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki,
menghidupkan dan mematikan. Allâh Azza wa Jalla adalah Raja, Penguasa dan Rabb
yang mengatur segala sesuatu.
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allâh Allâh Subhanahu
wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa
mendekatkan diri kepada Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu
disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah
(cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’ânah (minta pertolongan),
istighâtsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’âdzah (meminta
perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allâh Azza wa
Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini
dan lainnya harus dilakukan hanya untuk Allâh semata dan ikhlas karena-Nya. Dan
ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allâh.
Tauhid Asma’ wa Shifat artinya menetapkan Nama-Nama
maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang Allâh Allâh Subhanahu
wa Ta’ala telah tetapkan atas diri-Nya dan yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya
n , serta mensucikan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa
Ta’ala dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan
oleh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n . Dan kaum Muslimin wajib
menetapkan Sifat-Sifat Allâh Azza wa Jalla , baik yang terdapat di dalam
al-Qur'ân maupun dalam as-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil. Allâh Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ
الرَّحِيمُ
Dan Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa; Tidak ada Ilah
melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:163]
Syaikh al-‘Allâmah ‘Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di
rahimahullah (wafat th. 1376 H) berkata, “Allâh Azza wa Jalla itu tunggal dalam
Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Tidak
ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, dan Sifat-Sifat-Nya.
Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara
dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam
semesta ini kecuali hanya Allâh Azza wa Jalla . Apabila demikian, maka Dia
adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allâh tidak boleh
disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.”[3]
Inilah inti ajaran Islam, yaitu mentauhidkan Allâh Azza
wa Jalla . Seorang Muslim wajib mentauhidkan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala
dan melaksanakan konsekuensi dari kalimat syahadat لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
sebagai wujud rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa yang
bertauhid kepada Allâh dan tidak berbuat syirik kepada-Nya, maka baginya Surga
dan diharamkan masuk Neraka.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ
دَخَلَ الْـجَنَّةَ
Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan ia
mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain
Allâh, maka ia masuk Surga. [5]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ
مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ
Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah
(sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh dan bahwa Muhammad
adalah Rasul Allâh, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allâh mengharamkannya
masuk Neraka[6]
Sebaliknya, orang-orang yang berbuat syirik kepada Allâh
Azza wa Jalla , maka diharamkan Surga bagi mereka dan tempat mereka adalah di
Neraka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allâh, maka sungguh Allâh mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya
ialah Neraka dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong
pun.” [al-Mâidah/5:72]
ISLAM ADALAH AGAMA YANG MUDAH
Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah
manusia.[7] Islam adalah agama yang tidak sulit. Allâh Azza wa Jalla
menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan
kepada mereka. Sebagaimana firman Allâh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“...Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu...” [al-Baqarah/2:185]
Juga firman-Nya :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“... Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam
agama ...” [Al-Hajj/22: 78]
Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fithrah
manusia, baik dalam hal ‘aqidah, syari’at, ibadah, muamalah dan lainnya. Allâh
Azza wa Jalla yang telah menciptakan manusia, tidak akan memberikan beban
kepada hamba-hamba-Nya apa yang mereka tidak sanggup lakukan, Allâh Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya... [Al-Baqarah/2: 286]
Tidak ada hal apa pun yang sulit dalam Islam. Allâh Azza
wa Jalla tidak akan membebankan sesuatu yang manusia tidak mampu
melaksanakannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا
غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغَدْوَةِ
وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْـجَةِ
Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang
mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak
dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah,
sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala)
serta mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan ibadah pada waktu pagi, petang
dan sebagian malam.[8]
Hanya saja ada sebagian orang yang menganggap Islam itu
berat, keras, dan sulit. Anggapan keliru ini muncul karena :
1. Ketidaktahuan tentang Islam. Mereka tidak belajar
al-Qur'ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Shahabat, dan tidak mau
menuntut ilmu syar’i.
2. Mengikuti hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsu
menggap semuanya susah dan berat kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. Jadi
yang mudah dalam pandangan mereka hanyalah yang sesuai dengan nafsu mereka
saja.
3. Banyak berbuat dosa dan maksiat, sebab dosa dan
maksiat menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan dan selalu merasa berat untuk
melakukannya.
4. Mengikuti agama nenek moyang dan mengikuti pendapat
orang banyak.
5. Mengikuti adat istiadat dan kebudayaan.
6. Mengikuti kelompok, madzhab, dan lainnya.
Syari’at Islam adalah mudah. Kemudahan syari’at Islam
berlaku dalam semua hal, baik dalam ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) maupun
furu’ (cabang), baik dalam ‘aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, jual beli,
pinjam-meminjam, pernikahan, hukuman dan lainnya.
Semua perintah dalam Islam mengandung banyak manfaat.
Sebaliknya, semua yang dilarang dalam Islam mengandung banyak kemudharatan.
Maka, kewajiban atas kita untuk sungguh-sungguh memegang teguh syari’at Islam
dan mengamalkannya. Apabila kita mengikuti al-Qur'ân dan as-Sunnah dan
mengamalkannya maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan hidayah (petunjuk) dan
kita dimudahkan dalam melaksanakan agama Islam ini.
ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan
dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu,
dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu...” [al-Mâidah/5:3]
Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam al-Qur'ân
tentang ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) dan furu’ (cabang-cabang) agama
Islam. Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala
macam-macamnya. Islam menjelaskan tentang beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla
dengan benar, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , menjauhkan syirik, bagaimana
shalat yang benar, zakat, puasa, haji, bagaimana melaksanakan hari raya,
bergaul dengan manusia dengan batas-batasnya sampai tentang cara buang air
besar pun diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ سَلْمَانَ z قَـالَ: قَـالَ لَنَـا الْمُشْـرِكُوْنَ: قَدْ
عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْـخِرَاءَةَ ! فَقَالَ: أَجَلْ !
Dari Salmân Radhiyallahu anhu, beliau berkata,
“Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian
sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air
besar!’ Maka, Salman Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Ya!’”[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan kepada manusia apa saja yang membawa manusia ke Surga dan apa saja
yang membawa manusia ke Neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
عَنْ أَبِـى ذَرٍّ z قَالَ: تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ j وَمَا
طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِـي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا.
قَالَ: فَقَالَ j: مَا بَقِـيَ شَـيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْـجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ
النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.
Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu , ia
mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan
kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua
sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu anhu ,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal
sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan
telah dijelaskan semuanya kepada kalian.’” [10]
Setiap Muslim wajib mengembalikan apa yang mereka
perselisihkan kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allâh dan
ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh
(al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh
dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. [an-Nisâ’/4:59]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا
شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ’/4:65]
Wallaahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun
XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Golongan Yang Selamat Hanya Satu
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(( اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى
إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ،
وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ
فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ
أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ
وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ )) قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: ( اَلْجَمَاعَةُ
).
Dari Sahabat ‘Auf bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu , ia
berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ummat Yahudi
berpecah-belah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, maka hanya satu golongan
yang masuk surga dan 70 (tujuh puluh) golongan masuk neraka. Ummat Nasrani
berpecah-belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan 71 (tujuh puluh satu)
golongan masuk neraka dan hanya satu golongan yang masuk surga. Dan demi jiwa
Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh akan berpecah-belah ummatku menjadi
73 (tujuh puluh tiga) golongan, hanya satu (golongan) masuk surga dan 72 (tujuh
puluh dua) golongan masuk neraka.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanya, ‘Wahai Rasûlullâh, 'Siapakah mereka (satu golongan yang selamat) itu
?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘al-Jamâ’ah.’”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Ibnu Mâjah dan lafazh ini miliknya, dalam Kitâbul Fitan,
Bâb Iftirâqul Umam (no. 3992).
2. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitâbus Sunnah (no. 63).
3. al-Lalika-i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah
wal Jamâ’ah (no. 149).
Hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah
(no. 1492).
Dalam riwayat lain disebutkan tentang golongan yang
selamat yaitu orang yang mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para shahabatnya Radhiyallahu anhum. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
...كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً: مَا أَنَا
عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.
“...Semua golongan tersebut tempatnya di neraka, kecuali
satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya.”[1]
SYARAH HADITS
Islam yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepada kita,
yang harus kita pelajari, fahami, dan amalkan adalah Islam yang bersumber dari
al-Qur'ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Sahabat (Salafush
Shalih). Pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum yang merupakan aplikasi
(penerapan langsung) dari apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya pemahaman yang benar. Aqidah serta manhaj
mereka adalah satu-satunya yang benar. Sesungguhnya jalan kebenaran menuju
kepada Allâh hanya satu, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits di atas.
Satu golongan dari ummat Yahudi yang masuk Surga adalah
mereka yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kepada Nabi Musa
Alaihissallam serta mati dalam keadaan beriman. Dan begitu juga satu golongan
Nasrani yang masuk surga adalah mereka yang beriman kepada Allâh dan kepada
Nabi ‘Isa Alaihissallam sebagai Nabi, Rasul dan hamba Allâh serta mati dalam
keadaan beriman.[2] Adapun setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , maka semua ummat Yahudi dan Nasrani wajib masuk Islam, yaitu agama
yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para
Nabi. Prinsip ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ
مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.
Demi (Rabb) yang diri Muhammad ada di tangan-Nya,
tidaklah seorang dari ummat Yahudi dan Nasrani yang mendengar tentangku (Muhammad),
kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa,
niscaya ia termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim (no. 153), dari Sahabat Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
‘Abdullah bin Mas‘ûd Radhiyallahu ‘anhu berkata :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًـا، وَخَطَّ خُطُوْطًا
عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَـالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ ]مُتَفَـِرّقَةٌ[ لَيْسَ
مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ
تَعَالَـى: وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis
dengan tangannya kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allâh yang lurus.’ Lalu beliau
membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah
jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satupun dari jalan-jalan ini
kecuali disana ada setan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa Jalla , “Dan
sungguh, inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti
jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.
Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” [al-An’âm/6:153]
[3]
Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan ayat dalam surat al-An’âm bahwa jalan menuju Allâh Azza wa Jalla
hanya satu, sedangkan jalan-jalan menuju kesesatan banyak sekali. Jadi wajib
bagi kita mengikuti shiratal mustaqim dan tidak boleh mengikuti jalan, aliran,
golongan, dan pemahaman-pemahaman yang sesat, karena dalam semua itu ada setan
yang mengajak kepada kesesatan.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat tahun 751 H)
berkata, “Hal ini disebabkan karena jalan menuju Allâh Subhanahu wa Ta’ala
hanya satu. Jalan itu adalah ajaran yang telah Allâh Azza wa Jalla wahyukan
kepada para rasul -Nya dan Kitab-kitab yang telah diturunkan kepada mereka.
Tidak ada seorang pun yang bisa sampai kepada-Nya tanpa melalui jalan tersebut.
Sekiranya ummat manusia mencoba seluruh jalan yang ada dan berusaha mengetuk
seluruh pintu yang ada, maka seluruh jalan itu tertutup dan seluruh pintu itu
terkunci kecuali dari jalan yang satu itu. Jalan itulah yang berhubungan
langsung kepada Allâh dan menyampaikan mereka kepada-Nya.”[4]
Akan tetapi, faktor yang membuat kelompok-kelompok dalam
Islam itu menyimpang dari jalan yang lurus adalah kelalaian mereka terhadap rukun
ketiga yang sebenarnya telah diisyaratkan dalam al-Qur'ân dan as-Sunnah, yakni
memahami al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman assalafush shalih. Surat
al-Fâtihah secara gamblang telah menjelaskan ketiga rukun tersebut, Allâh Azza
wa Jalla berfirman :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. [al-Fâtihah/1:6]
Ayat ini mencakup rukun pertama (al-Qur'ân) dan rukun
kedua (as-Sunnah), yakni merujuk kepada al-Qur'ân dan As-Sunnah, sebagaimana
telah dijelaskan di atas.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.” [al-Fâtihah/1:7]
Ayat ini mencakup rukun ketiga, yakni merujuk kepada
pemahaman assalafush shalih dalam meniti jalan yang lurus tersebut. Padahal
sudah tidak diragukan bahwa siapa saja yang berpegang teguh dengan al-Qur'ân
dan as-Sunnah pasti telah mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus. Disebabkan
metode manusia dalam memahami al-Qur'ân dan as-Sunnah berbeda-beda, ada yang
benar dan ada yang salah, maka wajib memenuhi rukun ketiga untuk menghilangkan
perbedaan tersebut, yakni merujuk kepada pemahaman assalafush shalih.[5]
Tentang wajibnya mengikuti pemahaman para sahabat, Allâh
Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin,
Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan
dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”
[an-Nisâ’/4:115]
Uraian di atas merupakan penegasan bahwa generasi yang
paling utama yang dikaruniai ilmu dan amal shalih oleh Allâh Azza wa Jalla
adalah para Shahabat Rasul n . Hal itu karena mereka telah menyaksikan langsung
turunnya al-Qur'ân, menyaksikan sendiri penafsiran yang shahih yang mereka
fahami dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
Karena itu wajib bagi kita mengikuti pemahaman mereka.
Setiap Muslim dan Muslimah dalam sehari semalam minimal
17 (tujuh belas) kali membaca ayat :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ﴿٦﴾صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [al-Fâtihah/1:6-7]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perhatikanlah hikmah
berharga yang terkandung dalam penyebutan sebab dan akibat ketiga kelompok
manusia (yang tersebut di akhir surat al-Fâtihah) dengan ungkapan yang sangat
ringkas. Nikmat yang dicurahkan kepada kelompok pertama adalah nikmat hidayah,
yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.”[6]
Permohonan dan do’a seorang Muslim setiap hari agar
diberikan petunjuk ke jalan yang lurus harus direalisasikan dengan menuntut
ilmu syar’i, belajar agama Islam yang benar berdasarkan al-Qur'ân dan as-Sunnah
yang shahih menurut pemahaman para shahabat (pemahaman assalafush shalih), dan
mengamalkannya sesuai dengan pengamalan mereka. Artinya, ummat Islam harus
melaksanakan agama yang benar menurut cara beragamanya para shahabat, karena
sesungguhnya mereka adalah orang yang mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan benar.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam
hadits ‘Irbadh Bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu tentang akan terjadinya
perselisihan dan perpecahan di tengah kaum Muslimin. Kemudian Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar yang terbaik yaitu,
berpegang kepada sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah
khulafâ-ur Rasyidin Radhiyallahu anhum serta menjauhkan semua bid’ah dalam
agama yang diada-adakan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
...فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا
كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاء الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ،
عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“…Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian
sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, karenanya
hendaklah kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur
Rasyidin. Peganglah erat-erat Sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham
kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena
sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat.’”[7]
Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Tidakkah
kalian mendengar apa yang disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
?’ Mereka berkata, ‘Apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan?’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ، فَقَالُوْا : فَكَيْفَ لَنَا
يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ وَكَيْفَ نَصْنَعُ ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْنَ إِلَى أَمْرِكُمُ الْأَوَّل
Sungguh akan terjadi fitnah”, Mereka berkata, ‘Bagaimana
dengan kita, wahai Rasûlullâh ? Apa yang kita perbuat?’ Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya kalian kembali kepada urusan kalian yang
pertama kali.”[8]
Apabila ummat Islam kembali kepada al-Qur'ân dan
as-Sunnah dan mereka memahami Islam menurut pemahaman Salaf dan mengamalkannya
menurut cara yang dilaksanakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya, maka ummat Islam akan mendapatkan hidayah (petunjuk), barakah,
ketenangan hati, terhindar dari berbagai macam fitnah, perpecahan,
perselisihan, bid’ah-bid’ah, pemahaman-pemahaman dan aliran yang sesat. Bila
umat Islam berpegang teguh dengan aqidah, manhaj, pemahaman, dan cara beragama
yang dilaksanakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Sahabatnya Radhiyallahu anhum maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kepada
kaum Muslimin keselamatan, kemuliaan, kejayaan dunia dan akhirat serta
diberikan pertolongan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk mengalahkan musuh-musuh
Islam dari kalangan orang-orang kafir dan munafiqin.
Realita kondisi ummat Islam yang kita lihat sekarang ini
adalah ummat Islam mengalami kemunduran, terpecah belah dan mendapatkan
berbagai musibah dan petaka, dikarenakan mereka tidak berpegang teguh kepada
‘aqidah dan manhaj yang benar dan tidak melaksanakan syari’at Islam sesuai
dengan pemahaman Shahabat, serta banyak dari mereka yang masih berbuat syirik
dan menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
... وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
“... Dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang-orang
yang menyelisihi Sunnahku. Dan barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk golongan mereka.”[9]
Pertama kali yang harus diluruskan dan diperbaiki adalah
‘aqidah dan manhaj[10] umat Islam dalam meyakini dan melaksanakan agama Islam.
Hal ini merupakan upaya untuk mengembalikan jati diri umat Islam untuk
mendapatkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan kemuliaan di dunia dan di akhirat.
FAWA-ID HADITS
1. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah
orang-orang mulia yang paling dalam ilmu dan hujjahnya. (lihat Saba'/34:6 ;
Muhammad/47:16)
2. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum sebagai sumber
rujukan saat perselisihan dan sebagai pedoman dalam memahami al-Qur'ân dan
As-Sunnah.
3. Mengikuti manhaj Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum
adalah jaminan mendapat keselamatan dunia dan akhirat. (lihat an-Nisâ'/4: 115)
4. Mencintai para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berarti iman, sedang membenci mereka berarti kemunafikan.
5. Kesepakatan (ijma’) para Sahabat Nabi Radhiyallahu
anhum adalah hujjah yang wajib diikuti setelah al-Qur'ân dan as-Sunnah. (lihat
an-Nisâ'/4:115 dan hadits al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu )
6. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah
orang-orang yang berpegang teguh kepada agama Islam yang berarti mereka telah
mendapat petunjuk, dengan demikian mengikuti mereka adalah wajib.
7. Keridhaan Allâh Azza wa Jalla dapat diperoleh dengan
mengikuti para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum , baik secara kelompok maupun
individu. (lihat at-Taubah/9:100)
8. Para Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah
orang-orang yang menyaksikan perbuatan, keadaan, dan perjalanan hidup
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mendengar sabda beliau, mengetahui
maksudnya, menyaksikan turunnya wahyu, dan menyaksikan penafsiran wahyu dengan
perbuatan beliau sehingga mereka memahami apa yang tidak kita pahami.
9. Mengikuti para Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah
jaminan mendapatkan pertolongan Allâh Azza wa Jalla , kemuliaan, kejayaan dan
kemenangan.
10. Mengikuti pemahaman assalaufus shalih adalah pembeda
antara manhaj (cara beragama) yang haq dengan yang batil, antara golongan yang
selamat dan golongan-golongan yang sesat.
11. Hadits di atas menetapkan bahwa ijma’ para Sahabat
sebagai dasar hukum Islam yang ketiga. (an-Nisâ’/4: 115)
12. al-Qur'ân dan as-Sunnah wajib dipahami dengan
pemahaman para shahabat, kalau tidak maka pemahaman tersebut akan membawanya
pada kesesatan.
13. Kewajiban mengikuti manhaj-nya (cara beragamanya)
para shahabat.
14. Golongan-golongan dan aliran-aliran yang sesat itu
sangat banyak sedangkan kebenaran hanya satu.
15. Mereka yang menyelisihi manhaj para Sahabat pasti
akan tersesat dalam beragama,manhaj dan aqidah mereka.
16. Hakikat persatuan di dalam Islam adalah bersatu dalam
‘aqidah, manhaj, dan pemahaman yang benar.
17. Hadits di atas melarang kita berpecah belah di dalam
manhaj dan aqidah.
18. Perselisihan yang dimaksud dalam hadits di atas ialah
perselisihan dan perpecahan dalam manhaj dan aqidah. Adapun perselisihan yang
disebabkan karena tabi’at manusia dan tingkat keilmuan seseorang yang lebih
kurang, maka hal yang seperti ini tidak terlarang secara mutlak asalkan mereka
tetap berada di dalam satu manhaj. Seperti perselisihan dalam masalah fiqih dan
hukum, hal ini sudah ada sejak zaman Shahabat.
19. Para shahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang
yang telah mengamalkan sunnah-sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan benar dan mereka tidak berselisih tentang ‘aqidah dan manhaj, meskipun
ada perbedaan pendapat dalam masalah hukum dan ijtihad.
20. Orang banyak bukan ukuran kebenaran, karena hadits di
atas dan ayat al-Qur'ân menjelaskan kalau kita mengikuti orang banyak niscaya
orang banyak akan menyesatkan kita dari jalan kebenaran. (al-An’âm/6:116)
21. Tidak boleh membuat kelompok, golongan, aliran,
sekte, dan jama’ah atas nama Islam, yang didasari kepada wala’ (loyalitas) dan
bara’ (berlepas diri) atas nama kelompoknya tersebut. Karena hal tersebut dapat
membuat perpecahan.
22. Bahwa bid’ah dan ahli bid’ah merusak agama Islam dan
membuat perpecahan.
23. Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah
sesat.
24. Kaum Muslimin, terutama para penuntut ilmu dan para
da’i, wajib mengikuti jalan golongan yang selamat, belajar, memahami, mengamalkan,
dan mendakwahkan dakwah yang hak ini, yaitu dakwah salaf.[11]
25. Do’a yang kita minta setiap hari memohon petujuk ke
jalan yang lurus, maka harus dibuktikan dengan mengikuti jalan golongan yang
selamat, yaitu cara beragamanya para sahabat Radhiyallahu anhum.
Maraaji’:
1. al-Qur'ânul Karîm dan terjemahnya.
2. Kutubus sittah.
3. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.
4. Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah,
al-Lâlika-i.
5. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qayyim.
6. Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah.
7. Dirâsât fil Ahwâ’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifis
Salaf minha.
8. Madârikun Nazhar fis Siyâsah.
9. Mâ ana ‘alaihi wa Ash-hâbii.
10. Dar-ul Irtiyâb ‘an Hadîts Mâ Ana ‘alaihi wa Ash-hâbii
oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarur Rayah/ th. 1410 H.
11. Al-Arba’ûna Hadîtsan an-Nabawiyyah fii Minhâjid
Da’wah as-Salafiyyah oleh Sa’id (Muhammad Musa) Husain Idris as-Salafi.
12. Badâ’iut Tafsîr Al-Jami’ Limâ Fassarahul Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah.
13. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun
XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim
(I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , dan dihasankan oleh
Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyâb ‘an
Hadîts Mâ Ana ‘alaihi wa Ash-hâbii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet.
Daarur Rayah/ th. 1410 H.
[2]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan
al-Baqarah/2:62
[3]. Shahih: HR. Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68),
al-Hakim (II/318), Syarhus Sunnah lil Imâm al-Baghawy (no. 97), dihasankan oleh
Syaikh al-Albâni dalam As-Sunnah libni Abi ‘Ashim no. 17. Tafsir an-Nasa-i (no.
194). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).
[4]. Tafsîrul Qayyim libnil Qayyim (hlm. 14-15), Badâ’iut
Tafsîr Al-Jâmi’ Limâ Fassarahul Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (hlm. 88), cet.
Daar Ibnu Jauzi.
[5]. Lihat Madârikun Nazhar fis Siyâsah baina
Tathbîqâtisy Syar’iyyah wal Infi’âlâtil Hamâsiyyah (hlm. 36-37) karya ‘Abdul
Malik bin Ahmad bin al-Mubarak Ramadhani Aljazairi, cet. IX/ th. 1430 H, Darul
Furqan.
[6]. Madârijus Sâlikin (I/20, cet. Daarul Hadits, Kairo).
[7]. HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676),
dan lainnya. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”. Silahkan baca
penjelasan hadits ini dan fawa-idnya dalam buku penulis “Wasiat Perpisahan”,
Pustaka at-Taqwa.
[8]. Shahih: HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr
(no. 3307) dan al-Mu’jamul Ausath (no. 8674). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah (no. 3165).
[9]. HR. Ahmad (II/50, 92) dan Ibnu Abi Syaibah (V/575
no. 98) Kitâbul Jihâd, cet. Daarul Fikr, Fat-hul Bâri (VI/98) dari Sahabat
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma , dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir
rahimahullah dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad (no. 5667).
[10]. Manhaj artinya jalan atau metode. Dan manhaj yang
benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman
para Sahabat Radhiyallahu anhhum. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan
menjelaskan antara ‘aqidah dan manhaj, beliau berkata, “Manhaj lebih umum
daripada ‘aqidah. Manhaj diterapkan dalam ‘aqidah, suluk, akhlak, mu’amalah,
dan dalam semua kehidupan seorang Muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang
Muslim dikatakan manhaj. Adapun ‘aqidah yang dimaksud adalah pokok iman, makna
dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya, inilah ‘aqidah.” (Al-Ajwibatul
Mufîdah ‘an As-ilatil Manâhij al-Jadîdah, hlm. 123. Kumpulan jawaban Syaikh Dr.
Shalih bin Fauzan al-Fauzan atas berbagai pertanyaan seputar manhaj,
dikumpulkan oleh Jamal bin Furaihan al-Haritsi, cet. III, Daarul Manhaj/ th.
1424 H.)
[11]. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca buku penulis
“Mulia dengan Manhaj Salaf”, cet. V, Pustaka At-Taqwa.
Sumber
http://alman haj.or.id/
No comments:
Post a Comment